• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit

Pemerintah bersama industri terkait selalu mengupayakan kemajuan industri hilir dari produk turunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan devisa negara dan menciptaan lapangan kerja baru.

Pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu

Domestic Market Obligation (DMO). Sesuai dengan Undang-Undang No.18

tentang perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran minyak sawit dalam negeri (Novindra 2011). Sejalan dengan alternatif kebijakan pemerintah, dimana minyak sawit sebagai salah satu hasil perkebunan kelapa sawit perlu dibatasi ekspornya dalam bentuk mentah untuk menciptakan daya saing yang lebih tinggi, untuk itu selanjutnya diperlukan pengembangan industri hilirnya dan keamanan pasokan minyak sawit dalam negeri.

Intervensi pemerintah dengan instrumen pajak (fiskal) merupakan komponen penting untuk pengembangan industri hilir. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor memberikan dasar hukum yang kuat bagi upaya pembatasan ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menetapkan besaran tarif bea keluar untuk barang ekspor setelah mendapatkan masukan dari kementerian/instansi terkait.

Pengenaan bea keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri (Permenkeu 2008). Berdasarkan Permenkeu tersebut, Kementerian Perdagangan pada tanggal 13 September 2011 mengeluarkan Permendag Nomor 25/M-DAG/PER/9/2011

26

tentang Perubahan atas Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya dan Permendag Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Adapun isi Permendag Nomor 32 Tahun 2011 adalah:

1. Penetapan harga patokan ekspor (HPE) ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum HPE;

2. Tarif bea keluar untuk komoditi kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata minyak sawit CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan atau harga rata-rata bursa Jakarta;

3. Harga referensi CPO sebesar USD 1 009.51/MT.

Dalam Lampiran I Permendag Nomor 32 Tahun 2011 harga patokan ekspor (HPE) minyak sawit (HS 1511.10.00.00) adalah sebesar 938 USD/MT, Palm Fatty Acid Distilate (3823.19.10.00) adalah sebesar 808 USD/MT, dan biodiesel (3824.90.90.00) adalah sebesar 1 065 USD/MT.

Dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dari komoditas minyak sawit pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Peraturan ini menjadi dasar hukum untuk Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut Tax Holiday untuk industri- industri khusus (pionir) termasuk diantaranya industri minyak sawit.

Permasalahan dengan pengolahan produk hilir, produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Upaya dalam mengatasi permasalahan pengembangan

27 kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan ketersediaan dana menjadi kendala utama untuk melanjutkan percepatan pembangunan perkebunan. Pada awal krisis, tidak sedikit perusahaan perkebunan menghadapi masalah keuangan sehingga terpaksa menghentikan kegiatannya. Pembangunan perkebunan sempat mengalami stagnasi bahkan pada beberapa kasus perkebunan besar mengalami kerusakan karena dijarah dan dirusak masyarakat. Permodalan untuk perkebunan baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan, merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan perkebunan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dan IMF, kredit lunak menjadi sangat terbatas. Sejak saat itu, ketersediaan modal mengandalkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan dari dalam dan luar negeri dengan pola pengadaan dan penyaluran sistem komersial.

Tahun 2006 pemerintah mulai memberi perhatian terhadap permodalan usaha perkebunan terkait dengan pengembangan industri hilir dalam meningkatkan nilai tambah pada komoditas sawit. Pemerintah mencanangkan subsidi kredit investasi untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 yang selanjutnya ditanggapi oleh Kementerian Pertanian melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Petanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang subsidi kredit untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit melalui revitalisasi perkebunan. Selanjutnya kebijakan ini untuk penyalurannya bekerjasama dengan pihak perbankan melalui perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/Dirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur) .

Revitalisasi perkebunan yang dimaksudkan dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi

28

tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah bekerjasama dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan produk hilir hasil perkebunan yang bernilai tambah dan pemasaran hasil. Pendanaan pembiayaan 100 persen berasal dari dana perbankan dengan subsidi bunga dari pemerintah.

Secara umum, pembiayaan investasi tergantung kepada adanya kredit dan iklim usaha yang berlaku. Keperluan kredit pun tidak hanya terbatas kepada kredit/pembiayaan investasi di on farm tetapi juga kepada investasi pada pengolahan, perdagangan dan asuransi. Kebutuhan akan dana investasi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor dalam perekonomian. Dana investasi yang dibutuhkan berjumlah besar jika ingin menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan catatan tidak ada masalah efisiensi dari suatu perekonomian dalam menggunakan barang modal. Kebijakan percepatan pembangunan perkebunan tidak terlepas dari keberadaan sumber dana investasi, ketersediaan dana investasi dan tingkat bunga pinjaman untuk dana investasi.

Mencermati kondisi pembiayaan hulu sampai hilir perkebunan di atas, pembiayaan perkebunan untuk keperluan investasi dan modal kerja pembangunan perkebunan dapat dikatakan masih lemah. Kelangkaan modal, sistem penyaluran biaya secara komersial, dan kurangnya perhatian dari lembaga keuangan terhadap perkebunan merupakan kelemahan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pembiayaan perkebunan juga masih dihadapkan pada permasalahan klasik pembiayaan melalui kredit, yaitu masalah sumber dan akses kredit terutama untuk petani. Selain itu, daya saing investasi juga lebih lemah dibandingkan negara- negara produsen komoditas perkebunan lainnya.

Demi meningkatkan masuknya investasi di bidang industri pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu atau di daerah-daerah tertentu. Bentuk fasilitas yang diberikan berupa :

29 1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman

modal dibebankan selama 5 tahun; 2. Penyusutan dan amortisasi dipercepat;

3. Pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10 persen atau tarif tax treaty;

4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10 tahun dengan persyaratan tertentu. Industri hilir kelapa sawit termasuk dalam bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan sebagaimana tercantum pada Lampiran I PP 62 Tahun 2008.

Adapun industri hilir minyak sawit yang termasuk dalam bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan sebagaimana tercantum pada Lampiran I PP 62 Tahun 2008 adalah industri oleokimia (industri fatty acid, fatty alcohol,

dan glycerin), industri bioenergi (industri biodiesel, biooil, dan bioetanol anhidrat), dan industri biolube.

Dokumen terkait