• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERMINTAAN MINYAK SAWIT INDONESIA

OLEH INDUSTRI MINYAK GORENG, MARGARIN, SABUN,

DAN

FATTY ACID

CITRA IRENE PRATIWI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun dan Fatty Acid adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Citra Irene Pratiwi Manurung

(4)
(5)

ABSTRAK

CITRA IRENE PRATIWI. Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid. Dibimbing oleh NOVINDRA.

Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit. Produksi minyak sawit Indonesia yang tinggi tidak disertai dengan pengolahan di dalam negeri melainkan banyak dijadikan sebagai komoditas ekspor. Akan tetapi berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 secara bertahap jumlah ekspor Indonesia mengalami penurunan. Penurunan ekspor CPO Indonesia dalam periode 2009-2011 disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal dikarenakan krisis ekonomi global dan kejenuhan produksi minyak sawit di pasar dunia. Faktor internal dikarenakan industri hilir minyak sawit domestik mengalami perkembangan. Penelitian ini dibatasi hanya meneliti faktor internal penyebab turunnya ekspor CPO Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis produksi minyak sawit dan produksi produk hilir kelapa sawit, serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri hilir kelapa sawit terhadap minyak sawit di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1991-2011. Model permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri hilir minyak sawit diestimasi dengan model regresi linear berganda dan metode estimasi Ordinary Least Squares (OLS). Permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri hilir merupakan permintaan turunan (derived demand) dari keuntungan perusahaan sehingga diduga dipengaruhi oleh harga input (harga riil minyak sawit domestik), harga ouput (harga riil produk hilir) dan jumlah output (produksi produk hilir). Hasil penelitian menunjukkan penurunan ekspor CPO mengindikasikan bahwa industri hilir domestik mulai berkembang. Permintaan minyak sawit pada industri hilir di Indonesia signifikan dipengaruhi oleh harga riil input dan produksi produk hilir. Dalam rangka meningkatkan produksi industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid serta konsumsi minyak sawit oleh industri hilir tersebut maka pemerintah perlu memfasilitasi dengan subsidi suku bunga kredit dan penerapan

tax holiday. Pemerintah sebaiknya memberlakukan non pajak atau bea keluar yang rendah terhadap ekspor produk hilir minyak sawit.

Kata kunci: derived demand, minyak sawit, minyak goreng, margarin, sabun, dan

(6)

ABSTRACT

CITRA IRENE PRATIWI. Analysis of Demand for Indonesia Palm Oil by Edible Oil Industry, Margarine, Soap, and Fatty Acid. Supervised by NOVINDRA.

Crude Palm Oil (CPO) is a vegetable oil derived from palm oil . Indonesian palm oil production are not accompanied by high domestic processing but many serve as export commodities. However, based on data from the Ministry of Industry in 2009 to 2011 the number of Indonesian exports gradually decreased. The decline in Indonesia palm oil exports in the period 2009-2011 due to external and internal factors. External factors due to the global economic crisis, and the saturation of the production of palm oil in the world market. Internal factors due to domestic palm oil downstream industry developing. This study was restricted to examining the internal factors causing the decline in Indonesia palm oil exports. The purpose of this study is to analyze the production of palm oil and palm oil production of downstream products, as well as to analyze the factors that affect the demand for downstream palm oil industry in Indonesia for palm oil. This study uses time series data from 1991 to 2011 year. Indonesian palm oil demand model by palm oil downstream industry estimated by multiple linear regression models and estimation methods Ordinary Least Squares (OLS). Indonesian palm oil demand by downstream industries is derived demand (derived demand) of the company's profits that allegedly affected by input prices (real prices of domestic palm oil), output prices (real prices of downstream products) and total output (production of downstream products). The results showed a decrease in palm oil exports indicates that the domestic downstream industry began to flourish. Demand for palm oil in Indonesia's downstream industries significantly affected by the real price of inputs and the production of downstream products. In order to increase the production of cooking oil, margarine, soaps, and fatty acid and palm oil consumption by the downstream industry, the government should facilitate the loan interest rate subsidies and implementing tax holiday. The government should impose a tax or non-low duty on exports of palm oil downstream products.

(7)

ANALISIS PERMINTAAN MINYAK SAWIT INDONESIA

OLEH INDUSTRI MINYAK GORENG, MARGARIN, SABUN,

DAN

FATTY ACID

CITRA IRENE PRATIWI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid

Nama : Citra Irene Pratiwi

NIM : H44090059

Disetujui oleh

Novindra, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

(10)
(11)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi hikmat dan perlindungan-Nya pada penulis sehingga karya ilmiah ini selesai. Pengalaman dan pelajaran banyak penulis dapatkan selama penyelesaian skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ayahanda (J. Edwin Manurung, SH., MH., MM), Ibunda (Berlyana Manungkalit, SFarm., MSi), dan kakakku (Patricia Dian Ferissa., SH., MH) atas segala doa, dukungan, cinta, dan kasih sayangnya kepada penulis;

2. Novindra, SP., MSi sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membagikan ilmunya kepada penulis, memberi bimbingan dan pengarahan sehingga penulis tidak hanya dapat menyelesaikan skripsi ini tetapi juga menjadi pribadi yang dewasa dan lebih tabah.

3. Adi Hadianto, SP., M.Si sebagai penguji utama yang telah memberi banyak saran dan Hastuty, SP., M.Si sebagai dosen perwakilan departemen ESL yang telah memberikan arahan dan masukan.

4. Ir. Sutara Hendrakusumaatmadja, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatiannya selama penulis menjalani kuliah.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan telah membantu penulis dalam persiapan seminar dan sidang. 6. PT. Union Sampoerna Triputra Persada, Bapak Binsar Manurung, Prof. Dr. Ir.

Armansyah Tambunan, M.Si atas kesempatan dan pengalaman yang berharga sehingga penulis bisa turut serta dalam kegiatan internship sehubungan dengan penulisan karya ilmiah ini dan PT. Capricorn Indonesia Consult serta PT. Corinthian Indopharma Corpora, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik atas kerjasamanya dalam penyediaan data yang dibutuhkan oleh penulis.

7. Teman-teman sebimbingan: Fitri, Yuni, Astari, Naelis, Iyey, Alfi, Diena, Intan atas segala semangat dan perhatiannya; serta kepada teman-teman ESL 46 atas kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat-sahabat terbaikku: Kristina, Faithy, Iin, Chatrina, Tari, Qiqi, Nando, Isti, Vera 44, Anggi ESL 47 yang telah menemani dan hadir dalam seminar, sidang dan selama menyelesaikan karya ilmiah ini.

9. Semua pihak yang telah mendukung dan memotivasi penulis. Banyak hikmah dan pelajaran yang penulis dapatkan selama menulis skripsi, bahwa ketika kuliah mahasiswa hanya belajar menjawab soal tetapi dalam mengerjakan skripsi mahasiswa belajar untuk menjawab tantangan.

Bogor, April 2014

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala hikmat dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah permintaan industri, dengan judul Analisis Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Minyak Goreng, Margarin, Sabun, dan Fatty Acid.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Novindra, S.P., M.Si selaku dosen pembimbing telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Haryanto dan Bapak Murdyan PT. CIC dan Bapak Syafrizal PT. Corinthian Indopharma Corpora yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUANPUSTAKA ... 10

2.1. Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia ... 10

2.2. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia ... 10

2.2.1. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Sawit di Indonesia ... 11

2.3. Industri Pemakai Minyak Sawit... 14

2.3.1. Industri Minyak Goreng ... 14

2.3.2. Industri Margarin ... 16

2.3.3. Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci ... 18

2.3.4. Industri Oleokimia ... 20

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit ... 23

2.5. Penelitian Terdahulu ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 37

3.1. Kerangka Teoritis ... 37

3.1.1. Fungsi Derived Demand ... 37

3.1.2. Model Regresi Linear Berganda ... 38

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

IV. METODE PENELITIAN ... 45

(14)

4.2. Metode Analisis Data ... 45

4.2.1. Analisis Konsumsi Minyak Sawit dan Produksi Produk Industri Hilir Minyak Sawit ... 48

4.2.2. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Minyak Sawit Indonesia oleh Industri Hilir Minyak Sawit Domestik .... 48

4.2.2.1. Spesifikasi Model ... 48

4.2.2.2. Tahapan Pengujian Model ... 51

V. ANALISIS PRODUKSI MINYAK SAWIT DAN PRODUK BERBAHAN DASAR MINYAK SAWIT ... 54

5.1. Analisis Produksi Minyak Sawit dan Produk Berbahan Dasar Minyak Sawit ... 54

5.2.Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Hilir Kelapa Sawit ... 55

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERMINTAAN INDUSTRI HILIR SAWIT TERHADAP MINYAK SAWIT ... 58

6.1. Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 58

6.2..Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 60

6.3..Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 62

6.4. Hasil dan Pembahasan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 64

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 70

7.1. Simpulan ... 70

7.2. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN ... 78

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pendapatan Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (Miliar Rupiah) ... 1

2. Kontribusi Indonesia dengan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit... 4

3. Produksi, Impor, Ekspor, dan Konsumsi Domestik Minyak Sawit Indonesia . 4 4. Ekpor Minyak Sawit Menurut Negara Tujuannya ... 6

5. Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton) ... 6

6. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit ... 9

7. Jumlah Industri Pengolah Minyak Sawit dan Kapasitas Produksi Per Provinsi Tahun 2011 ... 15

8. Jumlah Industri dan Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Tahun 2011 ... 17

9. Produksi Minyak Goreng Berbahan Baku Minyak Sawit Tahun 2007-2011 17 10. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun 2007-2011 .. 18

11. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Margarin Tahun 2011 ... 19

12. Produksi Margarin Berbahan Baku Minyak Sawit ... 19

13. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin 2007-2011 ... 20

14. Perbandingan Kapasitas Produksi Industri Sabun Tahun 2011 ... 21

15. Produksi Sabun Mandi dan Deterjen Berbahan Baku Minyak Sawit ... 22

16. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci ... 22

17. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia Tahun 2011 ... 23

18. Perkembangan Produksi Oleokimia Berdasarkan Jenis ... 24

19. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 25

20. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian Penulis dengan Penelitian Terdahulu ... 38

21. Matriks Kesesuaian Tujuan, Jenis Data dan Metode Analisis Data ... 47

22. Perbandingan Produksi, Konsumsi Domestik, Produksi Industri Hilir dan Ekspor Minyak Sawit (ton) ... 57

23. Perubahan Produksi Industri Hilir Kelapa Sawit (ton) ... 58

24. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 62

25. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 64

26. Hasil Estimasi Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 66

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Luas lahan dan produksi minyak sawit Indonesia Tahun 2007-2011 ... 2

2. Perkembangan Produksi, Impor, dan Ekspor Minyak Sawit Indonesia Pada Tahun 2007-2011 ... 5

3. Pohon Industri Kelapa Sawit ... 14

4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 46

5. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri-Industri Hilir Minyak Sawit ... 59

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1

.

Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit Domestik oleh Industri Minyak Goreng ... 79

2. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 79

3. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng terhadap minyak Sawit Domestik ... 79

4. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 80

5. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 80

6. Uji Autokolerasi untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

7. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

8. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 81

9. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 82

10. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 82

11. Uji Multikolinearitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 83

(17)

13. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Industri Sabun terhadap Minyak Sawit Domestik ... 83 14. Hasil Uji Statistik: uji t, uji F, uji koefisien determinasi dan uji

Autokolerasi untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid ... 84 15. Uji Multikolinearitas untuk Permintaan Minyak Sawit oleh Industri

Fatty Acid ... 84 16. Uji Heteroskedastisitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh

Industri Fatty Acid ... 84 17. Uji Normalitas untuk Model Permintaan Minyak Sawit oleh Industri

Fatty Acid ... 85 18. Perubahan Harga Rill Minyak Sawit, Produksi Minyak Goreng,

Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun Sebelumnya dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 86 19. Perubahan Selisih Harga Rill Minyak Goreng dan Permintaan Minyak

Sawit Oleh Industri Minyak Goreng ... 87 20. Perubahan Harga Rill Minyak Sawit Domestik Produksi Margarin

Domestik dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Margarin ... 88 21. Perubahan Harga Riil Margarin Domestik Tahun Sebelumnya dan

Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Margarin……… ... 89 22. Perubahan Harga Riil Minyak Sawit Domestik, Produksi Sabun

Domestik, Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Sabun Tahun Sebelumnya, dan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Sabun ... 90 23. Perubahan Harga Riil Sabun Domestik Tahun Sebelumnya dan

Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Sabun ... 91 24. Perubahan Produksi Fatty Acid dan permintaan Minyak sawit Oleh

Industri Fatty Acid Sebelumnya dan Permintaan Minyak Sawit Oleh Industri Fatty Acid ... 92 25. Perubahan Laju Harga Riil Minyak Sawit Domestik, Selisih Harga Riil

(18)
(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan komoditas unggulan pada sub sektor perkebunan di Indonesia. Berdasarkan aspek komoditas, komoditi binaan Direktorat Jenderal Perkebunan terdiri atas 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai dataran tinggi, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Terdapat 127 jenis komoditi perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan membuat prioritas pengembangan komoditi perkebunan tahun 2010-2014 yang akan difokuskan pada 15 komoditas unggulan nasinal yaitu karet, kelapa sawit, kakao, kelapa, jarak pagar, teh, kopi, jambu mete, lada, cengkeh, kapas, tembakau, tebu, nilam, dan kemiri sunan (Direktorat Jenderal Perkebunan 2014).

Industri pengolahan termasuk didalamnya industri pengolahan minyak sawit, telah lama berperan dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (Tabel 1).

(20)

2

Kontribusi industri minyak sawit yang sangat strategis dalam perkembangan perekonomian ini dapat terus ditingkatkan, mengingat penggunaan minyak sawit dunia yang sangat prospektif serta potensi yang dimiliki oleh industri minyak sawit nasional seperti antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja (Apolin News 2006 dalam Soekopitojo 2011). Peranan kelapa sawit dalam menghasilkan minyak sawit sangat penting antar lain sebagai bahan baku industri.

Menurut Lubis (1992), minyak yang berasal dari kelapa sawit ada dua jenis yaitu daging buah (mesocarp) yang dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan (pressan) dan dikenal sebagai minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil

(PKO). Kedua jenis minyak sawit ini dapat diolah menjadi berbagai jenis produk lain, baik produk yang siap pakai maupun diproses kembali. Minyak sawit dipergunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi produk turunan non pangan setelah melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Minyak sawit kasar atau CPO dibagi menjadi dua fraksi fase, yaitu fraksi fase padat (RBD Stearin)

Gambar 1. Luas Lahan Perkebunan Sawit dan Produksi Minyak Sawit Indonesia Tahun 2007-2011

T

(21)

3 baku pembuatan pasta gigi, kosmetik dan produk-produk farmasi (Suprihatini 2001).

Luas lahan perkebunan sawit Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hal ini mengakibatkan produksi minyak sawit Indonesia dalam kurun waktu 2007-2011 mengalami peningkatan tiap tahun. Berdasarkan Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa produktivitas minyak sawit domestik pada tahun 2007-2011 mencapai 3 ton/ha/tahun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Direktorat Jenderal Perkebunan (2012), produksi minyak sawit Indonesia yang tinggi merupakan hasil dari peningkatan luas wilayah (ekstensifikasi) bukan dari pengembangan teknologi (intensifikasi).

Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia sangat pesat dikarenakan beberapa hal. Pertama adalah kebutuhan minyak nabati dunia cukup besar dan terus meningkat sebagai akibat penambahan jumlah penduduk maupun tingkat konsumsi per kapita. Kedua, diantara berbagai jenis tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit merupakan tanaman dengan produksi minyak tertinggi. Ketiga, berkembangnya jenis-jenis industri berbasis kelapa sawit baik oleokimia maupun biodiesel (Barlow et al 2003 dalam Hadiguna 2010).

Permintaan dunia terhadap minyak nabati terus meningkat seiring dengan banyaknya negara maju yang beralih dari penggunaan lemak-trans ke alternatif yang lebih sehat (World Growth 2011). Minyak sawit sering digunakan sebagai pengganti lemak-trans karena merupakan salah satu lemak nabati yang berbentuk semi-padat pada suhu kamar. Dari sisi biaya produksi minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit dan produk turunannya memiliki nilai yang lebih kompetitif. Jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya biaya produksi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit lebih rendah dan ramah lingkungan (Buana et al 2007).

(22)

4

diikuti oleh negara Thailand yaitu sebesar 2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peranan yang paling besar diantara negara-negara lainnya sebagai negara produsen dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia.

Tabel 2. Kontribusi Indonesia dan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit dalam Memenuhi Permintaan Minyak Sawit oleh Dunia Tahun 2009-2011

Perkembangan minyak sawit nasional menunjukkan bahwa minyak sawit Indonesia lebih banyak untuk diekspor daripada diolah di dalam negeri. Hal ini terlihat dari proporsi total ekspor minyak sawit yang mencapai 73 persen sedangkan konsumsi domestik hanya sebesar 37 persen (Tabel 3). Konsumsi minyak sawit domestik dalam bidang pangan banyak digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, shortening, margarin, vanaspati, Cocoa Butter Substitute

(23)

5 Ekspor minyak sawit yang tinggi menjadi permasalahan yang diduga mengakibatkan kelangkaan bahan baku bagi industri hilir domestik (Hansen 2008). Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa: (1) serapan minyak sawit oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang, (2) nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi minyak sawit, bukan dari produk turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO) yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi, dan (3) tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternatif (biodiesel). Berdasarkan Gambar 2, terlihat meskipun total produksi meningkat realisasi volume ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan dimulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 total penurunan ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 15 persen.

Sumber: Kementerian Perindustrian (2013)

Gambar 2. Perkembangan Produksi, Impor, dan Ekspor Minyak Sawit di Indonesia Pada Tahun 2007-2011

Terdapat beberapa spekulasi yang menjelaskan fenomena penurunan ekspor minyak sawit pada periode tahun 2009 sampai dengan 2011. Ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang turut memengaruhi turunnya ekspor minyak sawit Indonesia adalah dikarenakan krisis ekonomi global yang melanda negara-negara importir mengingat selama ini produksi minyak sawit Indonesia lebih banyak dijadikan komoditas ekspor, kemudian kejenuhan suplai minyak sawit di

(24)

6

pasar minyak nabati dunia. Faktor internal yang turut berkontribusi menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan adalah berkembangnya industri hilir minyak sawit domestik.

Tabel 4.Ekspor Minyak Sawit Indonesia Menurut Negara Tujuannya Pada Tahun 2007-2011

Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab turunnya ekspor minyak sawit Indonesia adalah dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi terutama pada negara Amerika dan Yunani sebagai salah satu negara yang mengalami krisis ekonomi terbesar sehingga berdampak terhadap kumpulan negara-negara di Eropa (Uni Eropa). Jika diteliti kembali hal tersebut sebenarnya tidak memberi dampak yang besar, karena berdasarkan data yang dipublikasikan oleh UN Comtrade sebagai lembaga statistik perdagangan yang diakui di dunia, menunjukkan bahwa lima negara terbesar yang berkontribusi sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah India (29 persen), Belanda (6 persen), Cina (1 persen), Malaysia (6 persen), dan Pakistan (0.8 persen). Adapun kontribusi negara Amerika dan Yunani sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah sangat kecil yaitu sebesar 0.04 persen dan 0.09 persen.

Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia Pada Tahun

(25)

7 penyebab penurunan ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Adapun jumlah produksi minyak sawit dunia lebih besar daripada konsumsi minyak sawit dunia sehingga mengindikasikan bahwa telah terjadi kejenuhan pada suplai minyak sawit dunia, hanya pada tahun 2011. Berdasarkan pemaparan diatas diduga bahwa faktor internal merupakan faktor terbesar yang menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan. Artinya minyak sawit Indonesia lebih banyak dijual ke dalam negeri sebagai bahan baku produk industri hilir minyak sawit.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional merupakan petunjuk nasional dalam pembangunan industri termasuk di dalamnya industri hilir kelapa sawit. Tujuan pembangunan industri jangka panjang adalah membangun industri dengan konsep pembangunan berkelanjutan, didasarkan pada tiga aspek yang tidak terpisahkan yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan hidup. Sedangkan tujuan pembangunan sektor industri jangka menengah ditetapkan bahwa industri harus tumbuh dan berkembang sehingga mampu menguasai pasar dalam negeri dan meningkatkan ekspor, mampu mendukung perkembangan infrastruktur, mampu memberikan sumbangan terhadap penguasaan teknologi nasional dan harus mampu meningkatkan pendalaman struktur industri dan mendiversifikasi jenis-jenis produksinya untuk memperluas pangsa ekspor minyak sawit agar Indonesia tidak hanya mengekspor minyak sawit mentah tetapi juga produk hilirnya. Oleh karena itu, untuk mengkaji rencana pemerintah tersebut perlu diketahui keterkaitan produksi minyak sawit sebagai bahan baku industri produk hilir minyak sawit dan konsumsi oleh industri-industri hilir minyak sawit. Kemudian perlu diketahui faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri hilir kelapa sawit terhadap minyak sawit.

1.2. Perumusan Masalah

(26)

8

2014)1. Suplai minyak nabati yang melimpah memengaruhi permintaan dari negara-negara importir yaitu Uni Eropa, Cina, dan India. Faktor eksternal lainnya yang mengakibatkan ekspor minyak sawit Indonesia mengalami penurunan adalah krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara Uni Eropa. Krisis ekonomi yang melanda mengakibatkan negara-negara Uni Eropa mengurangi anggaran belanja produk-produk impor. Faktor internal yang menyebabkan ekspor minyak sawit Indonesia turun adalah terdapat kontribusi industri hilir dalam menyerap produksi minyak sawit.

Industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid merupakan beberapa industri hilir yang paling banyak menggunakan minyak sawit maka kegiatan ekonomi pada industri tersebut dipengaruhi oleh kebijakan terhadap komoditas minyak sawit. Berbagai kebijakan pemerintah terhadap komoditas minyak sawit antara lain antara lain adalah diterapkannya PE (Pajak Ekspor), operasi pasar dan DMO (Domestic Market Obligation) sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 mengenai perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran dalam negeri. Kebijakan-kebijakan tersebut turut memengaruhi keseimbangan pasar minyak sawit domestik. Adanya kebijakan perdagangan berupa pajak ekspor minyak sawit akan berdampak negatif pada industri hulu yaitu berupa penurunan harga tingkat petani, produksi, dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir memeroleh manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dengan harga lebih rendah (Kusumawardhana 2008). Pengembangan industri hilir minyak sawit membutuhkan kontinuitas ketersediaan bahan baku.

Perkembangan industri hilir diduga sebagai alasan penurunan ekspor minyak sawit Indonesia. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata peningkatan suplai minyak sawit lokal adalah sebesar 10.67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir persediaan minyak sawit di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini diduga sebagai faktor yang mengakibatkan turunnya ekspor minyak sawit Indonesia.

1

(27)

9 Industri hilir domestik yang meningkat berdampak positif terhadap peningkatan nilai tambah minyak sawit. Pengolahan yang dilakukan terhadap minyak sawit menjadi produk hilir lainnya menjadikan minyak sawit memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor minyak sawit (Tabel 6). Dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang signifikan (Didu 2003).

Tabel 6. Nilai Tambah Industri Turunan Minyak Sawit

Produk Nilai Tambah (%)

Minyak sawit mentah (CPO) 0

Minyak goreng 60

Sumber : Kementerian Perindustrian dalam Kurniadi (2013)

Kebijakan pemerintah yang turut serta dalam mendukung perbaikan industri hilir terdapat dalam naskah kebijakan kelapa sawit oleh Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2010 (Kurniadi 2013). Adapun kebijakan dalam naskah tersebut membahas mengenai pengembangan produk (hilir dan sampingan) dan peningkatan nilai tambah melalui: (1) pengembangan jaringan infrastruktur yang terintegrasi, (2) insentif fiskal untuk pengadaan peralatan dan pengolahan mesin-mesin produk hilir, (3) prioritas alokasi kredit dan subsidi bunga untuk investasi dan modal kerja dalam rangka pengembangan industri hilir kelapa sawit, (4) insentif bea keluar untuk ekspor produk hilir dan samping; serta disinsentif bea keluar untuk ekspor bahan mentah dengan tetap memerhatikan keberadaaan industri hulu, dan (5) penguatan penelitian dan pengembangan (Litbang) kelapa sawit melalui peningkatan anggaran dan investasi Litbang serta kerjasama Litbang dengan pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi.

(28)

10

No.67/PMK.011/2010. Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa bea keluar minyak sawit berkisar 0-22.5 persen, sedangkan bea keluar biodiesel sebagai produk hilir dari minyak sawit hanya berkisar 0-7.5 persen (Kemenkeu 2011).

Oleh karena itu, dilakukan analisis terhadap penurunan ekspor minyak sawit yang ditinjau dari sisi ekonomi terhadap pengembangan minyak sawit dan industri hilirnya kemudian mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri minyak goreng, margarin, sabun dan fatty acid terhadap minyak sawit melalui variabel harga input, harga output dan total produksi output.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat diringkas beberapa pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana perkembangan produksi minyak sawit, produksi produk industri hilir minyak sawit, dan konsumsi minyak sawit oleh industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid di Indonesia?

2. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi permintaan industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid terhadap minyak sawit di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat dituliskan sebagai berkut:

1. Menganalisis perkembangan produksi minyak sawit, produksi produk industri hilir, dan konsumsi minyak sawit oleh industri minyak goreng, margarin, sabun, dan fatty acid di Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan minyak sawit Indonesia oleh industri minyak goreng, margarin, sabun dan fatty acid.

1.4. Manfaat Penelitian

(29)

11 sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan peraturan terhadap industri hilir kelapa sawit.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(30)

12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Kelapa Sawit Indonesia

Tanaman kelapa sawit (Elais guinensiss Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada pula yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit di dunia (Fauzi et al 2002).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusinya yang cukup besar dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja (GAPKI 2010). Perkembangan pengolahan industri minyak sawit dan turunannya di Indonesia selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar (hulu) kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah (hilir perkebunan sawit dan hulu bagi industri yang berbasiskan minyak sawit) (Basdabella 2001).

2.2. Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia

(31)

13 kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umumnya. Sifat yang krusial ini disebabkan beberapa faktor penting diantaranya:

1. Sifat buah kelapa sawit yang segera mengalami penurunan kualitas dan rendemen bila tidak segera diolah;

2. Minyak sawit dan inti sawit merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana kualitasnya menentukan daya gunanya untuk diolah menjadi pupuk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin,

minyak goreng, margarin, shortening, minyak inti sawit, kosmetik, sabun dan deterjen, shampo, dll.

Pabrik kelapa sawit merupakan salah satu kunci sukses pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. PKS tersusun atas unit-unit proses yang memanfaatkan kombinasi perlakuan mekanis, fisik, dan kimia. Parameter penting produksi seperti efisien ekstraksi, rendemen, kualitas produk sangat penting peranannya dalam menjamin daya saing industri perkebunan kelapa sawit dibanding industri minyak nabati lainnya.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/2000, sebuah PKS hanya dapat didirikan jika perusahaan tersebut memiliki kebun yang mampu memasok 50 persen dari kapasitas PKS yang akan didirikan. Implikasi dari peraturan tersebut adalah kemampuan PKS mengolahkan buah milik pihak luar jadi sangat terbatas. Oleh sebab itu, kebun-kebun yang luas akan lebih aman apabila memiliki PKS sendiri (Buana et al 2007).

2.2.1. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Sawit di Indonesia

(32)

2

Sumber : Kementerian Perindustrian (2010)

Gambar 3. Pohon Industri Kelapa Sawit

(33)

15 industri produk hilir kelapa sawit. Minyak sawit yang diproduksi sebagian besar digunakan sebagai produk ekspor dan hampir 90 persen konsumsi domestik digunakan sebagai bahan baku minyak goreng (Siahaan 2006). Industri lain yang menggunakan minyak kelapa sawit adalah industri margarin, sabun, dan industri kimia lainnya.

Produk hilir berbasis minyak sawit dan PKO berdasarkan kegunaannya dibedakan atas dua jenis kelompok produk yaitu edible product dan non-edible product. Edible product merupakan produk turunan minyak sawit yang dapat dikonsumsi seperti minyak goreng, minyak salad dan berbagai minyak serta lemak khusus seperti cocoa butter substitute, coffee whitener, dll. Non-edible product

merupakan produk yang bukan digunakan seperti produk teknis non pangan seperti sabun, deterjen, plasticizer, produk kimia dll (Siahaan 2006).

Produk Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil (RBDPO) dan RBD

(34)

16

digunakan dalam industri makanan sebagai minyak goreng. RBDPO juga digunakan untuk memproduksi margarin, shortening, es krim, condensed milk, vanaspati, sabun, dan lainnya. RBD palm stearin digunakan sebagai bahan baku margarin dan shortening juga bahan untuk pembuatan lemak untuk pelapis pada industri permen dan coklat. RBD palm stearin digunakan juga dalam menghasilkan sabun dan industri oleokimia (Siahaan 2006).

2.3. Industri Pemakai Minyak Sawit di Indonesia

Pemanfaatan minyak sawit di Indonesia sebagian besar digunakan sebagai bahan dasar produksi minyak goreng yang awalnya menggunakan minyak kelapa. Namun karena sifat minyak goreng yang berbahan dasar minyak kelapa sawit tidak mudah berbau jika disimpan dalam waktu yang lama maka penggunaan minyak sawit sebagai bahan dasar minyak goreng lebih banyak dipilih oleh produsen.

2.3.1. Industri Minyak Goreng

Kebutuhan masyarakat akan minyak goreng sangat tinggi hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi masyarakat terhadap makanan yang digoreng. Pengusaha industri minyak goreng menjadikan hal ini sebagai peluang untuk memperluas usaha dan meningkatkan kapasitas produksi.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Minyak Goreng

Minyak goreng sawit merupakan komoditas bernilai strategis karena peranan sebagai salah satu bahan pangan pokok. Kebutuhan minyak goreng mengalami peningkatan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan.

(35)

17

Tabel 8. Jumlah Industri dan Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Tahun 2011

No Propinsi Jumlah Industri

(Unit)

b. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Berbahan Baku Minyak Sawit

Produksi minyak goreng berbahan dasar minyak sawit mengalami penurunan dalam produksinya pada tahun 2007 dan 2008. Berdasarkan hasil penelitian hal ini terjadi antara lain dikarenakan tingginya jumlah ekspor bahan baku minyak sawit atau tingginya persaingan antara industri yang memproduksi minyak goreng.

Tabel 9. Produksi Minyak Goreng Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Minyak Goreng (ton) Perubahan (%)

2007 8 808 063

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng

(36)

18

Tabel 10. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng

2007 5 319 848

2008 2 905 175

2009 2 174 965

2010 3 020 113

2011 5 371 458

Sumber: CIC (2012a)

Peningkatan konsumsi minyak goreng antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, semakin berkembangnya pabrik pengolahan minyak goreng dan meningkatnya unit usaha makanan yang memanfaatkan minyak goreng sebagai komposisi bahan bakunya.

2.3.2. Industri Margarin

Sejalan dengan perkembangan teknologi produksi, bahan baku yang digunakan oleh industri margarin tidak lagi memanfaatkan minyak kelapa melainkan minyak sawit. Tingginya permintaan dalam negeri maupun luar negeri memicu industri meningkatkan kapasitas produksi.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Margarin

Komoditas margarin merupakan produk olahan makanan yang memanfaatkan minyak sawit sebagai bahan bakunya. Berdasarkan prosesnya margarin terbentuk dari minyak sawit pada fraksi padat yang disebut dengan

stearin (Suprihatini 2001). Saat ini terdapat 32 perusahaan yang turut serta dalam bisnis margarin dan shortening. Tujuh belas perusahaan diantaranya adalah produsen pemegang merek yang memiliki kapasitas dan memproduksi sendiri produk margarin ataupun shortening. Lima belas perusahaan lainnya adalah sebagai perusahaan impor yang mendatangkan produknya dari luar. Selain itu, ada pula perusahaan impor yang melakukan makloon (sewa produksi) ke perusahaan lokal (PT. CIC 2011).

(37)

19

Tabel 11. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Margarin Tahun 2011 industri margarin dengan kapasitas produksi sebesar 230 700 ton/tahun dengan kontribusi produksi margarin terbesar yaitu 64 persen (Tabel 11). Provinsi Jawa Timur terdapat 3 perusahaan industri margarin dengan kapasitas produksi sebesar 8 500 ton/tahun atau share industri turunan minyak sawit sebesar 17.65 persen dan share kapasitas kilang sebesar 2.36 persen.

b. Perkembangan Produksi Margarin Berbahan Dasar Minyak Sawit

Berdasarkan Tabel 12, produksi margarin berbahan baku minyak sawit selama lima tahun mengalami peningkatan tiap tahun sebesar 8 persen. Peningkatan ini antara lain dikarenakan meningkatnya jumlah permintaan industri boga yang memanfaatkan margarin sebagai bahan baku pembuatan roti dan kue (Anita 2011).

Tabel 12. Produksi Margarin Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Produksi Margarin (ton) Laju (%)

2007 458 481

(38)

20

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam` menduga konsumsi minyak sawit oleh industri margarin digunakan suatu asumsi yaitu untuk memproduksi 1 ton margarin membutuhkan 0.8 ton minyak sawit dan 0.2 ton bahan tambahan lainnya (CIC 2012).

Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa konsumsi bahan baku oleh industri margarin digunakan pendekatan dengan jumlah konsumsi bahan baku dibagi dengan suplai minyak sawit domestik.

Tabel 13. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin Tahun 2007-2011 Tahun Konsumsi Bahan Baku Industri Margarin (ton)

2007 285 260

2008 425 881

2009 434 563

2010 534 155

2011 487 957

Sumber : CIC (2012b)

Menurut penelitian INDOCOMMERCIAL, No.417-16 Mei 2010 industri-industri yang turut berkontribusi dalam pemakaian margarin antara lain industri-industri roti, industri biskuit serta snack, margarin juga dikonsumsi oleh sektor industri lainnya seperti industri cokelat, perhotelan, jasa catering restoran, rumah tangga, industri makanan jajanan seperti martabak dan lain-lain. Konsumsi minyak sawit oleh industri margarin pada tahun 2007 hingga 2011 mengalami peningkatan (Tabel 13). Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh berkembangnya industri roti/bakery, biskuit, snack dan lainnya karena industri-industri tersebut mendominasi pemanfaatan margarin.

2.3.3. Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci

(39)

21

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Sabun

Sabun sebagai produk turunan minyak sawit serta sebagai produk yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sejalan dengan meningkatnya pendapatan dan gaya hidup masyarakat maka selera masyarakat dalam menggunakan sabun pun meningkat. Hal ini dimanfaatkan industri untuk meningkatkan inovasinya mengikuti selera konsumen. Dalam Tabel 14, diperlihatkan informasi mengenai perkembangan industri sabun mandi dan sabun cuci pada beberapa provinsi di Indonesia tahun 2011. Industri sabun sebagian besar berada di Pulau Jawa yaitu terdapat 33 industri dengan kapasitas industri total sebesar 335 848 ton terdiri dari 21 industri sabun mandi berkapasitas 278 230 ton dan 12 industri sabun cuci dengan kapasitas total 57 618 ton.

Tabel 14. Perbandingan Kapasitas Produksi Industri Sabun Tahun 2011 No Propinsi Sabun Mandi (ton/tahun) Sabun Cuci (ton/tahun)

Perusahaan Kapasitas Perusahaan Kapasitas

1 Sumut 2 11 400 6

Berdasarkan penelitian Affudin (2007), pangsa pasar sabun merupakan yang terbesar ke-3 setelah minyak goreng dan margarin. Hal ini mengindikasikan penguasaan pasar oleh produk sabun cukup tinggi sehingga meningkatkan peluang pengembangan produk sabun berbahan baku minyak sawit.

b. Perkembangan Produksi Sabun Mandi dan Sabun Cuci di Indonesia

(40)

22

penduduk dan gaya hidup konsumen sehingga meningkatkan permintaan terhadap sabun mandi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor-faktor yang memengaruhi permintaan diantaranya adalah harga barang yang dimaksud, harga barang lain atau substitusi tingkat pendapatan, jumlah penduduk, selera, dan estimasi di masa yang akan datang (Putong 2002).

Tabel 15. Produksi Sabun Mandi dan Deterjen Berbahan Dasar Minyak Sawit Tahun 2007-2011

Tahun Produksi Sabun dan Deterjen (ton)

2007 455 727

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam menduga konsumsi minyak sawit oleh industri deterjen digunakan asumsi untuk menghasilkan 1 ton deterjen membutuhkan 1.82-2 ton minyak sawit.

Konsumsi minyak sawit dalam penelitian ini merupakan total konsumsi oleh industri sabun mandi dan deterjen yang dihitung dalam satuan ton. Tujuan dalam penelitian ini adalah menghitung total minyak sawit yang digunakan industri sabun dan deterjen oleh karena itu satuan yang digunakan bukan berupa batang atau kemasan melainkan ton.

Tabel 16. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Sabun Mandi dan Sabun Cuci Tahun 2007-2011

Tahun Konsumsi industri sabun dan deterjen (ton)

2007 878 675

(41)

23 dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan maupun non pangan. Diantara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik (Said 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Affudin (2010), proporsi produk hilir minyak sawit dibagi menjadi 90 persen untuk produk pangan seperti minyak goreng, margarin atau shortening dan 10 persen untuk produk non pangan seperti sabun, deterjen, fatty acid, fatty alcohol, surfaktan, stearin, dan lainnya.

a. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia

Oleokimia dihasilkan dari lemak nabati minyak sawit. Sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan industri domestik akan oleokimia turut memengaruhi peningkatan jumlah perusahaan dan kapasitas produksi pada setiap perusahaan (Tabel 17).

Tabel 17. Perusahaan dan Kapasitas Produksi Oleokimia di Indonesia Tahun 2011

No. Nama Perusahaan Lokasi Jenis

Produk

PT. Prima Inti Perkasa Medan

Fatty

Chemical Tangerang Fatty acid 182 000

Fatty

alcohol 20 000

Glycerin 5 500

6. PT. Asianagro

Agungjaya Jakarta Utara Fatty acid 14 800

7. PT. Sumi Asih Bekasi Fatty acid 100 000

Glycerin 3 500

8. PT. Bukit Perak Semarang Glycerin 1 440

9. PT. Unilever Indonesia Surabaya Glycerin 8 950

10. PT. Wings Surya Surabaya Glycerin 3 000

11. PT. Musim Mas Deli Fatty acid 90 000

(42)

24

Produk hilir minyak sawit menjadi fokus pengembangan pemerintah Indonesia. Produk fatty acid hanya salah satu dari banyak jenis oleokimia yang dikembangkan di Indonesia. Pemanfaatan fatty acid banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri sabun dan deterjen.

b.Perkembangan Produksi Oleokima Berdasarkan Jenis Produk

Produk fatty acid merupakan salah satu intermediate product (produk antara) yang dimanfaatkan sebagai bahan baku dari berbagai industri yaitu industri sabun, karet, dan paralon PVC. Perkembangan produksi fatty acid secara signifikan mengalami peningkatan (Tabel 18). Hal ini terjadi dikarenakan peningkatan pada produksi industri non pangan seperti sabun, kosmetik, dan lainnya sehingga bahan baku yang dibutuhkan pun mengalami peningkatan.

Tabel 18. Perkembangan Produksi Oleokimia Berdasarkan Jenis Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Fatty Acid Glycerin Fatty Alcohol Total

2007 567 050 57 680 380 110 1 004 840

2008 605 060 69 040 331 780 1 005 880

2009 722 540 70 960 344 840 1 138 340

2010 632 870 35 810 336 410 1 005 100

2011 763 910 61 230 351 840 1 176 990

Sumber: CIC (2012c)

Berdasarkan Tabel 18, didapatkan informasi produksi fatty acid dalam jangka waktu lima tahun cenderung meningkat. Komoditas fatty acid, glycerin,

dan fatty alcohol merupakan jenis oleokimia yang telah diproduksi di Indonesia dalam jumlah besar. Hal ini akan terus terjadi dengan syarat kontinuitas suplai bahan baku minyak sawit untuk industri dapat dipertahankan.

c. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid

Jumlah konsumsi didapatkan dengan menjumlahkan produksi dengan impor kemudian dikurangi dengan ekspor dengan demikian nilai konsumsi industri sama dengan jumlah suplai minyak sawit domestik. Suplai dianggap sebagai konsumsi dengan asumsi stok nasional sama dengan nol dan seluruh bahan baku habis dikonsumsi dalam tahun tersebut. Dalam menduga konsumsi minyak sawit oleh industri oleokimia digunakan asumsi bahwa untuk menghasilkan 1 ton fatty acid

(43)

25

Tabel 19. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid Tahun 2007-2011 (ton)

Tahun Bahan Baku Fatty Acid Produksi Fatty Acid

2007 820.978 567 050

2008 936.974 605 060

2009 975.052 722 540

2010 1 155.103 632 871

2011 1 376.991 763 912

Sumber: CIC (2012c)

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit

Pemerintah bersama industri terkait selalu mengupayakan kemajuan industri hilir dari produk turunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan devisa negara dan menciptaan lapangan kerja baru.

Pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu

Domestic Market Obligation (DMO). Sesuai dengan Undang-Undang No.18

tentang perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran minyak sawit dalam negeri (Novindra 2011). Sejalan dengan alternatif kebijakan pemerintah, dimana minyak sawit sebagai salah satu hasil perkebunan kelapa sawit perlu dibatasi ekspornya dalam bentuk mentah untuk menciptakan daya saing yang lebih tinggi, untuk itu selanjutnya diperlukan pengembangan industri hilirnya dan keamanan pasokan minyak sawit dalam negeri.

Intervensi pemerintah dengan instrumen pajak (fiskal) merupakan komponen penting untuk pengembangan industri hilir. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor memberikan dasar hukum yang kuat bagi upaya pembatasan ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menetapkan besaran tarif bea keluar untuk barang ekspor setelah mendapatkan masukan dari kementerian/instansi terkait.

(44)

26

tentang Perubahan atas Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya dan Permendag Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Adapun isi Permendag Nomor 32 Tahun 2011 adalah:

1. Penetapan harga patokan ekspor (HPE) ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum HPE;

2. Tarif bea keluar untuk komoditi kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata minyak sawit CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan atau harga rata-rata bursa Jakarta;

3. Harga referensi CPO sebesar USD 1 009.51/MT.

Dalam Lampiran I Permendag Nomor 32 Tahun 2011 harga patokan ekspor (HPE) minyak sawit (HS 1511.10.00.00) adalah sebesar 938 USD/MT, Palm Fatty Acid Distilate (3823.19.10.00) adalah sebesar 808 USD/MT, dan biodiesel (3824.90.90.00) adalah sebesar 1 065 USD/MT.

Dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dari komoditas minyak sawit pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Peraturan ini menjadi dasar hukum untuk Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut Tax Holiday untuk industri-industri khusus (pionir) termasuk diantaranya industri-industri minyak sawit.

(45)

27 kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan ketersediaan dana menjadi kendala utama untuk melanjutkan percepatan pembangunan perkebunan. Pada awal krisis, tidak sedikit perusahaan perkebunan menghadapi masalah keuangan sehingga terpaksa menghentikan kegiatannya. Pembangunan perkebunan sempat mengalami stagnasi bahkan pada beberapa kasus perkebunan besar mengalami kerusakan karena dijarah dan dirusak masyarakat. Permodalan untuk perkebunan baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan, merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan perkebunan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dan IMF, kredit lunak menjadi sangat terbatas. Sejak saat itu, ketersediaan modal mengandalkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan dari dalam dan luar negeri dengan pola pengadaan dan penyaluran sistem komersial.

Tahun 2006 pemerintah mulai memberi perhatian terhadap permodalan usaha perkebunan terkait dengan pengembangan industri hilir dalam meningkatkan nilai tambah pada komoditas sawit. Pemerintah mencanangkan subsidi kredit investasi untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 yang selanjutnya ditanggapi oleh Kementerian Pertanian melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Petanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang subsidi kredit untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit melalui revitalisasi perkebunan. Selanjutnya kebijakan ini untuk penyalurannya bekerjasama dengan pihak perbankan melalui perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/Dirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur) .

(46)

28

tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah bekerjasama dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan produk hilir hasil perkebunan yang bernilai tambah dan pemasaran hasil. Pendanaan pembiayaan 100 persen berasal dari dana perbankan dengan subsidi bunga dari pemerintah.

Secara umum, pembiayaan investasi tergantung kepada adanya kredit dan iklim usaha yang berlaku. Keperluan kredit pun tidak hanya terbatas kepada kredit/pembiayaan investasi di on farm tetapi juga kepada investasi pada pengolahan, perdagangan dan asuransi. Kebutuhan akan dana investasi dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan untuk meningkatkan kapasitas produksi suatu sektor dalam perekonomian. Dana investasi yang dibutuhkan berjumlah besar jika ingin menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan catatan tidak ada masalah efisiensi dari suatu perekonomian dalam menggunakan barang modal. Kebijakan percepatan pembangunan perkebunan tidak terlepas dari keberadaan sumber dana investasi, ketersediaan dana investasi dan tingkat bunga pinjaman untuk dana investasi.

Mencermati kondisi pembiayaan hulu sampai hilir perkebunan di atas, pembiayaan perkebunan untuk keperluan investasi dan modal kerja pembangunan perkebunan dapat dikatakan masih lemah. Kelangkaan modal, sistem penyaluran biaya secara komersial, dan kurangnya perhatian dari lembaga keuangan terhadap perkebunan merupakan kelemahan pembangunan perkebunan di Indonesia. Pembiayaan perkebunan juga masih dihadapkan pada permasalahan klasik pembiayaan melalui kredit, yaitu masalah sumber dan akses kredit terutama untuk petani. Selain itu, daya saing investasi juga lebih lemah dibandingkan negara-negara produsen komoditas perkebunan lainnya.

(47)

29 1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman

modal dibebankan selama 5 tahun; 2. Penyusutan dan amortisasi dipercepat;

3. Pengenaan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10 persen atau tarif tax treaty;

4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10 tahun dengan persyaratan tertentu. Industri hilir kelapa sawit termasuk dalam bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan sebagaimana tercantum pada Lampiran I PP 62 Tahun 2008.

Adapun industri hilir minyak sawit yang termasuk dalam bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan sebagaimana tercantum pada Lampiran I PP 62 Tahun 2008 adalah industri oleokimia (industri fatty acid, fatty alcohol,

dan glycerin), industri bioenergi (industri biodiesel, biooil, dan bioetanol anhidrat), dan industri biolube.

2.5. Penelitian Terdahulu

(48)

30

melainkan sangat dipengaruhi oleh harga minyak hewani dan harga minyak sawit. Elastisitas harga silang minyak nabati bersifat inelastis pada jangka pendek mengindikasikan perubahan harga minyak nabati berdampak kecil terhadap penggunaan minyak sawit. Permintaan minyak sawit Amerika terhadap produksi minyak sawit Malaysia disebabkan oleh rendahnya produksi minyak sawit domestik di Amerika dan ketersediaan minyak sawit Malaysia dengan harga yang lebih rendah.

Harfa (1996) melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia menggunakan data sekunder berupa data runtut waktu periode tahun 1983-1994. Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dianalisa dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Pengolahan data dilakukan dengan metode OLS menggunakan program komputer Shazam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur yang telah terjadi dalam permintaan tepung terigu di Indonesia, mengetahui keadaan faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap permintaan tepung terigu beserta derajat kepekaannya. Pada analisis deskriptif disimpulkan bahwa permintaan tepung terigu mengalami peubahan konsumsi ke bentuk olahan (masyarakat telah mengalami perubahan selera dalam mengonsumsi tepung terigu). Pada analisa regresi digunakan enam variabel bebas yaitu harga tepung terigu, harga beras, harga tepung tapioka, pendapatan per kapita, selera dan variabel dummy (untuk membedakan keadaan resesi dan tidak resesi). Dari hasil analisis regresi ini ternyata ke enam variabel tersebut dapat berpengaruh nyata pada fungsi permintaan tepung terigu (pada taraf kepercayaan 90 persen dan 95 persen).

(49)

31 lilin dan industri kosmetik. Pembatasan perdagangan dalam bentuk non-tarif yaitu sertifikasi yang menjamin bahwa minyak sawit tidak terkontaminasi dengan radioaktif dianggap tidak efektif karena hal tersebut akan memperlambat perdagangan antar negara dan tidak sesuai dengan liberalisasi perdagangan yang telah disetujui WTO (World Trade Organization).

Novindra (2011) dalam penelitiannnya mengenai dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen minyak sawit di Indonesia. Penelitian tersebut mengunakan data sekunder dari tahun 1980–2007. Metode estimasi model yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah 2SLS. Tujuan penelitian tersebut menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia kemudian mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia serta penerimaan devisa tahun 2003-2007. Peramalan dampak kebijakan domestik terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016. Model permintaan dan penawaran merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46

(50)

32

sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) berdampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak sawit terlebih dahulu. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik kemudian akan mengakibatkan penurunan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik.

Santoso (2011) dalam penelitiannya yang berjudul analisis penawaran dan permintaan kayu bulat: kebijakan pengaturan bahan baku untuk industri pengolahan kayu primer menggunakan data time series Model dalam penelitian ini terdiri atas lima blok, yaitu: blok kayu bulat, blok kayu gergajian, blok kayu lapis, blok pulp, dan blok pasokan-permintaan. Setiap blok akan terdiri atas beberapa persamaan yang secara keseluruhan akan berjumlah 28 persamaan, 23 diantaranya berupa persamaan struktural, sedangkan 5 persamaan lainnya merupakan persamaan identitas.

Lebih lanjut dalam setiap blok persamaan dibangun persamaan- persamaan yang menggambarkan perilaku penawaran, permintaan dan harga. Persamaan-persamaan tersebut menggunakan asumsi bahwa semua pelaku ekonomi bertindak secara rasional sehingga akan memaksimumkan keuntungan. Dengan demikian semua perilaku dari pelaku ekonomi akan dipengaruhi oleh dinamika perubahan dari harga-harga input dan output serta kebijakan yang berlaku. Selain itu dalam setiap blok juga dikembangkan persamaan harga yang bertujuan untuk mempelajari selain integrasi antara pasar domestik dan internasional juga untuk mempelajari integrasi 45 antara pasar bahan baku dengan pasar produk hilirnya.

(51)

33 kekuatan pasokan dan pengaruh signifikan lingkup internasional pasar, turunan permintaan untuk skrap baja akan dipengaruhi oleh tingkat produksi baja di sejumlah besar negara. Peran Cina di pasar skrap baja dunia meningkat secara signifikan selama dekade terakhir, namun dalam hal konsumsi baja skrap, Amerika Serikat juga merupakan negara pemain besar mengingat ketergantungan yang kuat pada intensifnya penggunaan skrap pada proses EAF. Menegaskan penelitian empiris gagasan elastisitas sendiri - harga yang relatif rendah pasokan skrap yang dalam kombinasi dengan pendapatan -sensitive demand

side-menghasilkan volatile pergerakan harga jangka pendek. Pengalaman dari sejarah panjang produksi skrap dan penggunaannya menggambarkan bahwa pasokan memiliki penyesuaian secara spontan untuk peningkatan permintaan. Ini tidak selalu berarti bahwa kebijakan publik sebagai langkah-langkah untuk memfasilitasi pengumpulan skrap daur ulang (misalnya dari rumah tangga) tidak efisien secara ekonomi. Namun, setiap intervensi kebijakan yang tidak mengandalkan analisis perilaku pasar dan kinerja risiko menyebabkan lebih berbahaya. Kebijakan publik diutamakan mampu mengatasi rintangan teknis dalam industri pengolahan skrap–dasar melalui dukungan R & D, jika lebih lanjut penggunaan akhir limbah menguntungkan, pasar akan muncul dengan sendirinya.

Supriyadi (2012) melakukan penelitian dengan judul dampak pengembangan biodiesel terhadap industri turunan kelapa sawit nasional. Tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap produk turunan kelapa sawit yang berbasis pangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari tahun 1999-2009. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan menggunakan metode 2SLS yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas.

Gambar

Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000
Gambar 1. Luas Lahan Perkebunan Sawit dan Produksi Minyak Sawit Indonesia
Tabel 2. Kontribusi Indonesia dan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit
Gambar 2. Perkembangan Produksi, Impor, dan Ekspor Minyak Sawit di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (I) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan keragaan ekonomi minyak sawit, minyak goreng sawit,

Profil investasi industri minyak goreng kelapa sawit ini merupakan salah satu jawaban untuk menarik investor menanamkan modalnya di sektor ini dengan memberikan

• Industri Minyak Sawit dalam Isu Sosial dan Ekonomi Indonesia.. • Perkebunan Kelapa Sawit dalam Isu Sosial dan

Jika dibandingkan antara ekspor minyak sawit Indonesia dengan Malaysia untuk tujuan pasar India maka secara relatif daya saing minyak sawit Indonesia mengalami

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal sehingga apabila pemerintah menginginkan peningkatan

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data: produksi CPO, produksi minyak goreng sawit Indonesia, pendapatan per kapita Indonesia, jumlah penduduk Indonesia,

Gambar 6: Rata-rata Skor Efisiensi Teknik Industri Minyak Kelapa Sawit Berdasarkan Kegiatan Ekspor, 2014 Pada gambar 6, perusahaan yang hasil produksinya diekspor hanya memiliki

Jurnal Agribisnis Vol: 25 No: 2 Desember 2023 ISSN-P: 1412-4807 ISSN O: 2503-4375 Pengaruh Kebijakan Mandatori Biodiesel Terhadap Neraca Perdagangan dan Industri Minyak Goreng Sawit