• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA. A. Struktur Produksi Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA. A. Struktur Produksi Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA

A. Struktur Produksi Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia

Minyak Goreng Sawit (selanjutnya disebut MGS) merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan MGS di dalam dan di luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan MGS terus meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan meningkatnya konsumsi masyarakat akan minyak goreng untuk memasak.16

Keunggulan kompetitif Indonesia sendiri dibandingkan dengan negara lain yaitu sumber daya alamnya, sedangkan keunggulan komparatif Indonesia dalam agribisnis yaitu sebagai negara tropis yang mendapat sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun dengan curah hujan yang cukup dan hampir merata. Kondisi inilah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit sebagai bahan baku utama minyak goreng sawit.

Kelapa sawit merupakan sosok tanaman yang cukup tangguh, terutama bila terjadi perubahan musim. Berbeda dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan dua jenis minyak yaitu minyak

16

Anonim, Positioning Paper Minyak Goreng, dapat diakses di www.kppu.go.id//Positioning_Paper/positioning_paper_minyak_goreng.pdf, hlm. 17, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.

(2)

kelapa sawit dan minyak inti sawit. Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa minyak sawit memiliki keunggulan dibandingkan minyak nabati lainnya. Beberapa keunggulan minyak sawit antara lain sebagai berikut :17

1. Tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu menempatkan CPO menjadi sumber minyak nabati termurah.

2. Penggunaanya sangat luas, diantaranya minyak goreng, shortening, dan margarin.

3. Sebagai sumber energi yang baik.

4. Dengan karateristik unik yang dimilikinya, terutama dalam hal potensi kandungan vitamin E dan karotenoid, serta tidak mengandung asam lemak trans, berbagai penelitian telah banyak yang menunjukkan bahwa penggunaan minyak sawit dalam bahan makanan berpengaruh positif bagi kesehatan tubuh.

5. Mengandung antioksidan alami (tokoferol dan tokotrienol). Telah banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan bahwa tokoferol dan tokotrienol

bisa melindungi sel-sel dari proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti

atherosclerosis dan kanker.

6. Komposisi asam lemak seimbang dan mengandung asam lemak linoleat sebagai asam lemak esensial.

7. Produktivitas minyak sawit tinggi yaitu 3,2 ton/ha, sedangkan minyak kedelai, lobak, kopra, dan minyak bunga matahari masing-masing hanya 0,34; 0,51; 0,57; dan 0,53 ton/ha.

(3)

8. Sifat intercgeable-nya cukup menonjol dibanding dengan minyak nabati lainnya karena memiliki keluwesan dan keluasan dalam ragam kegunaan baik di bidang pangan maupun nonpangan.

9. Sekitar 80% (delapan puluh persen) dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak terutama minyak yang harganya murah (minyak sawit).

10. Terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokomia yang berbahan baku CPO, terutama di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.

Minyak sawit juga mempunyai keunggulan dalam hal susunan dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Kadar sterol dalam minyak sawit relatif lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yang terdiri dari sitosterol, campesterol, sigmasterol, dan kolesterol. Bahkan, dari hasil penelitian dinyatakan bahwa kandungan kolesterol dalam satu butir telur setara dengan kandungan kolesterol dalam 29 liter minyak sawit. Minyak sawit dapat dikatakan sebagai minyak goreng non kolesterol (kadar kolesterolnya rendah).18

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pelaku industri dan konsumen yang cenderung menggunakan dan menyukai minyak sawit. Dari aspek ekonomis, harganya relatif murah dibandingkan minyak nabati lain.19 Selain itu, komponen yang terkandung di dalam minyak sawit lebih banyak dan beragam sehingga

18

Ibid., hlm. 185.

(4)

pemanfaatannya juga beragam. Dari aspek kesehatan yaitu kandungan kolesterolnya rendah.20 Saat ini telah banyak pabrik pengolah yang memproduksi minyak goreng dari kelapa sawit dengan kandungan kolesterol yang rendah.

Dengan berbagai fungsi dan keunggulan yang dimiliki kelapa sawit serta melihat kondisi bahwa subsektor perkebunan mempunyai peran atau berdampak penting antara lain terhadap pembangunan sosial ekonomi yang berupa terbukanya lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan terjadi pengembangan ekonomi kerakyatan, usaha perkebunan kelapa sawit ini layak dikembangkan di daerah-daerah.21

Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari minyak sawit maupun minyak inti sawit melalui proses vaksinasi, rafinasi, dan hidrogenesis. Produksi CPO Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai pelengkap minyak goreng dari minyak kelapa.

Sebagai bahan baku untuk minyak makan, minyak sawit antara lain digunakan dalam bentuk minyak goreng, margarin, butter, vanaspati, shortening

dan bahan untuk membuat kue-kue. Sebagai bahan pangan, minyak sawit mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan minyak goreng lain, antara lain mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan

tokoferol sebagai sumber vitamin E. Di samping itu, kandungan asam linoleat dan linolenatnya rendah sehingga minyak goreng yang terbuat dari buah sawit

20

Ibid.

21

Maruli Pardamean, Cara Cerdas Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit, (Yogyakarta: Lily Publisher, 2011), hlm. 3.

(5)

memiliki kemantapan kalor (heat stability) yang tinggi dan tidak mudah teroksidasi. Oleh karena itu, minyak sawit sebagai minyak goreng bersifat lebih awet dan makanan yang digoreng dengan menggunakan minyak sawit tidak cepat tengik.

Produk turunan minyak kelapa sawit untuk industri pangan selain minyak goreng kelapa sawit, dapat juga dihasilkan margarin, shortening, vanaspati

(vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instans noodle, cocoa butter extender,

chocolate dan coatings, specialtyfats, sugarconfectionary, biscuitcreamfats, dan

filled milk. Sementara itu produk turunan dari minyak inti sawit dapat dihasilkan

cocoa butter substitute, specialty fats, ice cream, coffee whitener/cream, sugar confectionary, biscuitcreamfats, filledmild dan imitationcream.

Berikut adalah keunggulan minyak sawit pada aplikasinya untuk keperluan pangan:22

1. Produk pangan yang diformulasikan dengan menggunakan minyak sawit akan mempunyai keawetan yang lebih baik karena minyak sawit sangat stabil terhadap proses ketengikan dan kerusakan oksidatif lainnya. Alasan itulah yang membuat minyak sawit dikenal sebagai minyak goreng terbaik.

2. Minyak sawit mempunyai kecenderungan untuk mengalami kristalisasi dalam bentuk kristal kecil sehingga mampu meningkatkan kinerja creaming jika digunakan pada formulasi cake dan margarin.

3. Kandungan asam palmitat minyak sawit sangat baik untuk proses aerasi campuran lemak/gula, misalnya pada proses baking.

(6)

4. Minyak sawit baik digunakan untuk membuat vanaspati, atau vegetableghee, yang mengandung 100% (seratus persen) lemak nabati; bisa digunakan untuk substitusi mentega susu dan mentega coklat.

5. Roti yang diproduksi dengan shortening dari minyak sawit mempunyai tekstur dan keawetan yang lebih baik.

6. Minyak sawit juga banyak dipakai untuk produksi krim biskuit, terutama karena kandungan padatan dan titik lelehnya yang cukup tinggi.

Adapun manfaat yang nantinya dapat diperoleh dari usaha perkebunan kelapa sawit adalah:23

1. Meningkatkan produktivitas sumber daya alam dan manusia melalui usaha agribisnis perkebunan.

2. Meningkatkan ekspor nonmigas melalui subsektor perkebunan.

3. Memperluas kesempatan kerja dan serta peluang berusaha bagi masyarakat di sekitar lokasi kebun.

4. Meningkatkan perekonomian masyarakat/petani yang ikut serta dalam kegiatan kebun.

5. Pendayagunaan sumber daya alam secara efisien, produktif dan berwawasan lingkungan.

6. Menambah peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari sektor perkebunan.

7. Melakukan alih teknologi, manajemen dan pengetahuan Agribisnis dan Agroindustri kepada usaha perkebunan rakyat di sekitar lokasi proyek.

(7)

Minyak sawit adalah salah satu solusi bagi isu ketahanan pangan (food security) dan volatilitas harga pada bahan pangan yang sedang dihadapi dunia saat ini. Hal ini karena satu hektar tanah dapat menghasilkan 6000 liter minyak sawit sehingga minyak sawit jauh lebih ekonomis dan ramah lingkungan bila dibandingkan dengan rapeseed yang hanya menghasilkan 1.190 liter/ha, biji bunga matahari sebanyak 952 liter/ha, dan biji kedelai 446 liter/ha.24

Alur proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO

(Sumber: Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 hlm. 4)

Keterkaitan erat antara industri kelapa sawit dengan minyak goreng menjadi latar belakang kedua industri tersebut cenderung terintegrasi guna mencapai efisiensi dan efektivitas terutama dalam hal kepastian/keamanan pasokan bahan bakunya. Dari sisi peraturan atau regulasi, pemerintah juga memberikan peluang tercitanya industri terintegrasi dari hulu (perkebunan kelapa

24Ibid., hlm. 188.

(8)

sawit) hingga hilir (produksi minyak goreng), dan apabila diuraikan proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng maka dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2. Alur Proses Penyulingan Minyak Kelapa Sawit

(Sumber: Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 hlm. 9)

B. Bentuk Pemasaran Minyak Goreng Sawit Di Indonesia

Kelapa Sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika Barat yang mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1848 melalui

Hortus Botanicus Amsterdam sebagai tanaman hias di taman kebun raya Bogor. Oleh karena cocok ditanam di Indonesia dengan iklim dan jenis tanah yang ada, maka pada tahun 1911 dikembangkan secara besar-besaran di Sumatera Utara.25 Kelapa sawit sangat penting artinya bagi Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, kelapa sawit menjadi komoditas andalan ekspor dan komoditas yang

25

Endang Tjitroresmi, Peran Industri Perkelapasawitan Dalam Pasar Global, dapat diakses di www.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog.pdf, hlm. 136, terakhir diakses tanggal 25 April 2012.

(9)

diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta para transmigran di Indonesia.26

Untuk pengembangan yang bersifat ekonomis maka tanaman kelapa sawit berkembang luas dengan berbagai bentuk seperti : perkebunan milik pemerintah (BUMN/PTP), perusahaan inti rakyat-perkebunan (PIR-BUN), perkebunan inti rakyat khusus (PIR-SUS), perkebunan inti rakyat transmigrasi (PIR-TRANS), Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan perkebunan rakyat.

Kelapa sawit merupakan komoditas primadona dari sub sektor perkebunan yang diunggulkan untuk pasar domestik maupun ekspor. Sebelum mengenal kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng, penduduk Indonesia pada umumnya menggunakan kelapa biasa sebagai bahan baku pembuatan minyak nabati. Pohon kelapa ini banyak tumbuh di Indonesia di berbagai pelosok wilayah dan sudah dikenal sebagai bahan baku minyak goreng. Disamping minyak kelapa dikenal pula minyak kacang, minyak jagung, minyak bunga matahari, dan sebagainya. Namun produk minyak lain tersebut sangat sedikit (jarang masyarakat yang memproduksi sendiri), sementara minyak goreng dari kelapa merupakan kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri dan memang sejak dahulu merupakan primadona minyak nabati masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia membutuhkan minyak nabati yang tidak sedikit jumlahnya, oleh karena itu berkembanglah minyak yang berbahan baku kelapa sawit.

26

Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, (Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka, 2008), hlm. 1.

(10)

Pada mulanya teknologi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng juga cukup sederhana sehingga hasilnya kurang menguntungkan karena harus cepat dimasak untuk menghindari menurunnya kualitas produk, yaitu berbau tengik. Kelapa sawit maksimal 24 jam setelah panen harus diproses untuk diolah menjadi bahan kasar minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Hal ini harus dilakukan untuk menghindari bau minyak yang kurang enak (tengik). Dengan menggunakan bahan baku kelapa biasa hal tersebut tidak akan terjadi karena sebelum diolah menjadi minyak kelapa, maka diproses terlebih dahulu menjadi kopra. Dengan demikian, hasilnya juga lebih bagus, walaupun dengan teknologi yang masih sangat sederhana. Namun dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pemasakan tandan buah sagar (TBS) kelapa sawit dapat dilakukan dengan lebih baik dan dapat menghilangkan bau tengik. Akhirnya bahan baku kelapa sawit dapat bersaing dengan kelapa biasa dan bahkan memiliki keunggulan dalam hal warna, rasa, penampilan dan keawetan. Kelapa sawit juga bisa diuraikan menjadi bahan turunan yang bisa dipergunakan untuk keperluan lain baik sebagai bahan dasar olahan makanan maupun industri kecantikan, kesehatan dan sebagainya.

Dalam era globalisasi dimana persaingan antara negara-negara penghasil komoditi sejenis begitu ketatnya maka untuk menghadapinya tentunya harus mulai dipersiapkan agar produk dari Indonesia bisa ikut berperan di pasar dunia. Strategi keunggulan kompetitif di sektor perkebunan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan bahan baku berkualitas bagi sektor industri. Keunggulan kompetitif ini akan menciptakan daya saig produk yang tinggi bagi

(11)

komoditi perkebunan karena memanfaatkan keunggulan tenaga kerja, iklim tropis (sinar matahari dan curah hujan merata sepanjang tahun), ketersediaan lahan yang luas, serta ditambah dengan dukungan pemerintah dalam pendanaan investasi.27 Dengan potensi lahan dan kemampuan berbudidaya yang cukup berpengalaman serta kemampuan produksi yang sudah mencapai peringkat 2 (dua) dunia seharusnya lebih terpacu lagi untuk dapat bersaing.

Di dunia dikenal 40 (empat puluh) jenis minyak dan lemak yang dapat dikonsumsi manusia, namun yang sudah masuk perdagangan internasional hanya 17 (tujuh belas) jenis yang diperdagangkan oleh lebih dari 120 (seratus dua puluh) negara.28 Saat ini minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling popular karena keunggulannya yaitu bisa diproduksi secara besar-besaran dan dapat dipasarkan hampir di seluruh dunia serta menghasilkan volume minyak yang paling besar per satuan hektar tanaman dibandingkan produk minyak dari bahan baku lain.

Akhir-akhir ini timbul pertentangan mengenai penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng, diantaranya menyebutkan CPO kelapa sawit dapat menimbulkan kolesterol tinggi, namun ternyata dari hasil penelitian tidak menunjukkan hal demikian.29 Selain keunggulan per satuan luas dalam menghasilkan minyak, terdapat manfaat CPO dan hasil olahan lainnya yaitu: pertama, mengandung karoten, tokofenol dan antioksidan yang bermanfaat untuk kesehatan diantaranya merupakan sumber provitamin A, obat antikanker, dan

27 Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu

Hingga Hilir, (Jakarta:PenebarSwadaya, 2008), hlm. 1.

28

Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 138.

(12)

mencegah jantung koroner, kedua: asam lemak yang berasal dari CPO kelapa sawit adalah asam lemak tak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah.30

Sekitar 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi perkapita untuk minyak dan lemak terutama untuk minyak yang harganya murah.31 Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan pendapatan. Faktor lain yang memperbesar peluang CPO adalah bergesernya industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan seperti oleokimia hasil CPO, seperti di negara-negara Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang.

Saat ini Indonesia memasok 31% (tiga puluh satu persen) kebutuhan minyak kelapa sawit (CPO) dunia, dengan posisi ini seharusnya bisa ditingkatkan atau paling tidak bertahan dan tidak mudah tergoyahkan oleh negara pesaing yang kemungkinan akan lebih giat memacu produksinya.32 Selain itu, permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit juga terus meningkat dari tahun ke tahun yang diperkirakan pada tahun 2010 mencapai lebih dari 3 (tiga) juta ton per tahun. Dalam prediksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) kebutuhan minyak kelapa sawit akan terus meningkat dari 2,6 juta ton per tahun pada tahun 1998, menjadi 3,4 juta ton pada tahun 2010.33 Sementara di pasar dunia akhir-akhir ini kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan

30Ibid., hlm. 185.

31

Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 139.

32

Ibid., hlm. 139.

(13)

turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati jenis lain, seperti minyak kedelai.

Secara relatif pangsa konsumsi minyak sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian diikuti minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat. Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung resiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor.

Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng non sawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.

Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah, yakni mencapai 80% (delapan puluh persen). Sisanya, yakni 20% (dua puluh persen) dalam bentuk

(14)

kemasan (bermerek).34 Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20% (dua puluh persen) - 30% (tiga puluh persen)) di bawah harga minyak goreng kemasan), masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari minyak goreng kemasan.

Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20% (dua puluh persen), telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa diantaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik

(monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti promosi/iklan. Beberapa minyak goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol.

Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan minyak goreng bermerek. Sekitar 32% (tiga puluh dua persen) produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar

34

Tungkot Sipayung, Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit, (Bogor:PT. Penerbit IPB Press, 2012), hlm. 85.

(15)

minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas).

Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah.

Secara keseluruhan dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor.

Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik.35

Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai distributor untuk melakukan

35Ibid., hlm. 88.

(16)

distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak mempunyai afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan dalam kasus kartel minyak goreng, diperoleh informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng kemasan (bermerek) hanya sampai ditributornya saja dimana distributor mendapatkan marketing fee sebesar 5% (lima persen).36 Sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah, sebagian produsen tidak menunujuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara (pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak mempunyai kontrol harga di tingkat konsumen akhir. kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya pada harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan dikeluarkan dari gudang produsen.

C. Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia.

Indonesia merupakan konsumen terbesar CPO yang pada tahun 2001 mencapai 3,7 juta ton atau 42% (empat puluh dua persen) dari total produksi CPO nasional atau 15,6% (lima belas koma enam persen) konsumsi CPO dunia.

(17)

Dibandingkan dengan kondisi tahun 1998,37 terjadi peningkatan konsumsi tetapi persentase terhadap produksi nasional dan dunia menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan konsumsi tidak sebanding dengan kenaikan produksi atau laju pertumbuhan produksi lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan konsumsi. Besarnya kebutuhan konsumsi minyak goreng sawit membutuhkan peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO).

Pada kurun waktu tahun 1990-1993, konsumsi CPO untuk industri minyak goreng jauh lebih besar dibandingkan produksi CPO dalam negeri. Oleh karena itu, untuk memenuhinya maka industri minyak goreng banyak mengimpor CPO dari negara lain seperti Malaysia sebagai produsen terbesar dunia. Laju pertumbuhan konsumsi dan produksi per tahun pada kurun waktu tersebut rata-rata adalah 5,9% (lima koma sembilan persen).38 Baru pada tahun 1994 produksi CPO melampaui dari kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng, yang berarti sebagian bisa diekspor ke negara lain. Pada tahun 1998 konsumsi CPO Indonesia mencapai 2,8 juta ton (56% (lima puluh enam persen)) dari total produksi CPO Indonesia atau 16% (enam belas persen) dari konsumsi dunia yang mencapai 17,3 juta ton.39

Perkembangan industri minyak goreng sawit pada 10 tahun terakhir mengalami peningkatan karena beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa menjadi minyak goreng kelapa sawit. Konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16,5 kg per tahun dimana konsumsi untuk minyak

37

Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 156.

38

Ibid., hlm. 157.

(18)

goreng sawit sendiri mencapai 12,7 kg per tahun. Berdasarkan peningkatan konsumsi untuk keperluan rumah tangga dan industri, maka total konsumsi minyak goreng dalam negeri pada tahun 2005 mencapai 6 (enam) juta ton dimana 83,3% (delapan puluh tiga koma tiga persen) terdiri dari minyak goreng sawit.40

Pada tahun 2000, jumlah unit usaha minyak goreng mencapai 58 (lima puluh delapan) perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. 27,8% (dua puluh tujuh koma delapan persen) industri minyak goreng sawit berada di Sumatera, 19% (sembilan belas persen) di Riau, 17% (tujuh belas persen) di Jakarta, 14,9% (empat belas koma Sembilan persen) di Jawa Timur dan 21,3% (dua puluh satu koma tiga persen) di daerah lainnya.41 Pada tahun tersebut, kapasitas industri minyak goreng seluruhnya adalah sebanyak 8,2 juta ton, namun produksi yang dihasilkan baru mencapai 3,5 juta ton, dimana 40% (empat puluh persen) nya adalah untuk pasaran ekspor.

Pada tahun 2011, para pebisnis kelapa sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan produksi CPO pada 2011 meningkat 1 juta-1,5 juta ton.42 Produksi CPO tersebut hanya tumbuh 4,7% (empat koma tujuh persen) dibandingkan tahun 2010. Menurut perhitungan Gapki, realisasi produksi CPO tahun 2010 lalu mencapai 21 juta ton. Pada untuk pasar ekspor, Gapki memperkirakan total ekspor CPO tahun 2010

40Ibid., hlm. 158.

41

Ibid.

42

Herlina, KD, Produksi Minyak Sawit Tumbuh 4,7%, dapat diakses di http://industri.kontan.co.id/news/produksi-minyak-sawit-tumbuh-47-1, terakhir diakses tanggal 13 Juni 2012.

(19)

mencapai 15,15 juta ton-15,6 juta ton. Volume ekspor ini naik tipis ketimbang total ekspor tahun 2009 yang sebesar 15,3 juta ton.43

Kelapa sawit ternyata berhasil menjadi komoditas yang dapat “menembus” daerah yang selama ini tidak memilikinya, seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan provinsi lain di luar Aceh, Sumatera Utara, dan Lampung. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit “cukup bersahabat” dibandingkan tanaman lain dan lebih tahan dalam menghadapi berbagai kendala dan masalah.44

Pada saat ini, sejumlah industri minyak goreng kelapa sawit mentah (CPO) berencana untuk berinvestasi membangun pabrik baru minyak goreng. Ekspansi produsen CPO ini diwujudkan untuk untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri yang terus meningkat. Ini juga sekaligus memanfaatkan fasilitas yang akan diberi pemerintah untuk pengembangan industri hilir CPO nasional. Untuk industri hilir CPO dan turunannya ada tiga hingga empat investor yang sudah menyatakan kesanggupannya. Wilmar Group, merupakan salah satu perusahaan CPO besar di Indonesia yang menyatakan akan menambah investasi untuk industri hilir CPO sebesar 500 (lima ratus) juta dolar AS.45 Perusahaan ini menyatakan akan membangun pabrik minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya di gresik.

Sementara itu, Sinar Mas Group sudah membangun pabrik baru minyak goreng di Indonesia. Pabrik industri minyak goreng tersebut sedang diuji coba

43

Ibid.

44 Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit,

Op.Cit., hlm. 3.

45

Kementerian Perindustrian, Industri Hilir CPO: Pabrik minyak goreng bertambah, dapat diakses di http://www.kemenperin.go.id/artikel/1367/Industri-hilir-CPO:-Pabrik-Minyak-Goreng-Bertambah, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.

(20)

dengan produksi minyak goreng sekitar 800 (delapan ratus) ton per hari. Selanjutnya, Sinar Mas juga akan menyelesaikan pembangunan pabrik baru minyak goreng di Tarjun, Kalimantan Selatan. Pabrik minyak goreng ini dengan kapasitas produksi 340.000 ton per tahun dengan investasi sekitar Rp. 600 (enam ratus) miliar. Bahkan, kapasitas pabrik Tarjun ini juga akan dilipatgandakan produksinya pada tahun 2012. Selain pabrik minyak goreng yang baru, Sinar Mas saat ini sudah memiliki pabrik minyak goreng di Pulo Gadung, Jakarta, dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. Selain itu juga di Surabaya sebanyak 470.000 ton per tahun dan Belawan (Medan) 470.000 ton per tahun.46 Seluruh produksi minyak goreng tersebut diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia semakin terus bertambah seiring dengan semakin tingginya konsumsi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Hal yang sangat mempengaruhi semakin tingginya konsumsi masyarakat di Indonesia akan minyak goreng sawit adalah tipe makanan yang dimakan oleh penduduk Indonesia itu sendiri yang membutuhkan dilakukan penggorengan terlebih dahulu. Dengan semakin tingginya kebutuhan dan keinginan masyarakat Indonesia akan minyak goreng sawit, maka hal ini akan menjadi faktor penting dalam perkembangan industri minyak goreng sawit itu sendiri, dan di Indonesia kebutuhan akan minyak goreng sawit semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan hal ini yang akan memicu semakin berkembang dan bertambahnya industri minyak goreng sawit di Indonesia.

46

Gambar

Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO
Gambar 2. Alur Proses Penyulingan Minyak Kelapa Sawit

Referensi

Dokumen terkait

Data 23 : Charlotte tells Carrie that she is pregnant, and she is so happy Data 24 : Charlotte and the family are eating together in happiness Data 25 : Scenes that use medium shot

Setiap stasiun televisi memiliki kekuatan berbeda-beda dalam mengakuisisi program, contohnya di RCTI, mereka lebih banyak mengakuisisi program lokal dibanding dengan

Dengan kondisi tersebut, cross section B akan menghasilkan nilai faktor keamanan yang lebih kecil dari nilai faktor keamanan pada cross section A (tabel 4.3 dan tabel

Pendidikan di sekolah adalah sarana pengembangan pribadi manusia untuk dapat menjadi manusia yang mampu bersanding dengan manusia lainnya dalam bingkai

Partisipasi Dewan Direksi pada Pegadaian sudah berjalan dengan baik. Partisipasi Dewan Direksi memang tidak secara langsung terjadi di Pegadaian

Pék cocogkeun hasil pagawéan Sadérék kana jawaban latihan anu geus disayagikeun di bagian tukang ieu modul. Itung jumlah jawaban anu benerna, tuluy gunakeun rumus

E. Pertimbangan Lingkungan Hidup adalah Aspek-aspek yang mengintegrasikan kepentingan lingkungan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang Pemda/Pemprop pada tingkatan

Leicht I” tersebut dengan materi yang terdapat pada kurikulum 2013 untuk pembelajaran keterampilan menyimak agar dapat diketahui apakah materi dalam ketiga judul video