• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah teori-teori yang digunakan pada penelitian sebagai landasan atau argumentasi yang mendukung untuk menjawab tujuan-tujuan penelitian. Kerangka teoritis dalam penelitian ini terdiri atas konsep teori fungsi

derived demand dan model regresi berganda.

3.1.1. Fungsi deriveddemand

Permintaan input merupakan derived demand yang diturunkan secara langsung dari fungsi permintaan output sehingga faktor-faktor yang menggeser permintaan dari output juga merupakan faktor penggeser permintaan input. Menurut Case and Fair (2001) dalam Yugustya permintaan faktor produksi merupakan kelanjutan dari teori perilaku produsen. Faktor produksi diminta oleh dunia usaha karena keberadaan faktor produksi sebagai input, produsen dapat menghasilkan barang dan jasa yang dijual di pasar barang. Oleh karena itu, permintaan akan faktor produksi bersifat turunan (derived demand) yang berasal dari fungsi produksi di dalam perusahaan.

Permintaan industri hilir kelapa sawit terhadap minyak sawit berkaitan erat dengan derived demand. Permintaan industri terhadap minyak sawit dapat diturunkan dari permintaan terhadap produk akhir. Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Dolan 1974 dalam Novindra 2011, mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi penawaran suatu komoditi, yaitu harga komoditi itu sendiri, harga komoditi lain (sebagai substitusi), biaya faktor produksi, biaya perusahaan, tujuan perusahaan, tingkat teknologi, pajak, subsidi, harapan harga dan keadaan alam.

Henderson dan Quandt (1980) dalam Senteri (1988) menyatakan bahwa permintaan input oleh produsen diturunkan dari permintaan yang mendasari jumlah output yang diproduksinya. Dengan menggunakan fungsi produksi:

q = A (1)

dengan α, > 0, α + < 1,

40

– r1x2– r2x2 (2)

kemudian persamaan turunan parsial sama dengan nol:

= PαA (3) = P A (4) keterangan: r1 = harga input x1 r2 = harga output x2 P = jumlah output

Penyelesaian persamaan untuk X1 dan X2 adalah dengan memasukan fungsi

permintaan yang sesuai yaitu: X1 = (5) = g1(r1, r2, P) (6) X2 = (7) = g2(r1, r2, P). (8) = 1 –α -

Persamaan (6) dan (8) menjelaskan bahwa permintaan untuk input terdiri dari harga input, harga output dan jumlah output yang dihasilkan. Berdasarkan persamaan (6) dan (8) dapat disimpulkan bahwa struktur fungsi permintaan minyak sawit adalah sebagai berikut:

CPOt = f(PIt, POit, Qt)

i = 1, 2, . . . , n Keterangan:

CPOt = kuantitas minyak sawit yang dikonsumsi

PIt = harga minyak sawit

POit = harga produk hilir minyak sawit

Qt = jumlah barang yang diproduksi 3.1.2. Model Regresi Linear Berganda

Analisis regresi merupakan teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan antara variabel-variabel yang digunakan. Sasaran utama dalam analisis regresi linier adalah menjelaskan perilaku suatu variabel tak

41 bebas sehubungan dengan perilaku satu atau lebih variabel bebas dengan asumsi bahwa hubungan antara varibel bersifat tidak pasti. Model regresi linear berganda adalah model regresi dengan lebih dari satu variabel penjelas yang mungkin memengaruhi variabel tak bebas (Gujarati 2006).

Metode yang paling umum untuk memperoleh nilai parameter dalam suatu model regresi adalah metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS). Selain mudah, metode estimasi OLS juga memiliki sifat teoritis yang kokoh, yang dijelaskan dalam teorema Gauss-Markov. Teorema tersebut menyatakan bahwa berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linier klasik, penaksir OLS memiliki varians yang terendah di antara penaksir-penaksir linier lainnya; dalam hal ini penaksir OLS disebut sebagai penaksir tak bias linier terbaik (Best Linier Unbiased Estimator/BLUE). Dalam upaya mencapai kondisi statistika yang baik, metode OLS akan menghasilkan pendugaan yang baik apabila asumsi-asumsi yang mendasarinya terpenuhi, antara lain :

1. Memiliki parameter-parameter yang bersifat linier dan model ini ditentukan secara tepat;

2. Faktor kesalahan mempunyai nilai rata-rata sebesar nol; 3. Tidak adanya autokorelasi dalam setiap variabel dalam model; 4. Asumsi homoskedastisitas atau penyebaran yang sama;

5. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara variabel bebas; serta

6. Untuk pengujian hipotesis, faktor kesalahan mengikuti distribusi normal dengan rata-rata sebesar nol dan homoskedastis.

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi di antara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas sektoral) (Kendal et al dalam Gujarati 2006). Adanya gejala autokorelasi pada suatu model akan menyebabkan suatu model memiliki suatu selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat, sehingga menyebabkan hasil dari uji-t dan uji-F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Uji yang paling umum untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji statistik Durbin-Watson. Masalah autokorelasi dapat diatasi dengan menggunakan prosedur generalized differencing,

42

prosedur Cochrane-Orcutt, atau prosedur Hilderth-Lu (Juanda 2009). Namun dalam kasus khusus jika persamaan mengandung lag endogen maka prosedur uji statistik Durbin Watson tidak sesuai dilakukan pada persamaan tersebut. Sebagai ganti prosedur uji Durbin Watson dilakukan uji statistik dh (Pindyck dan Rubinfeld 1991).

Homoskedastisitas adalah kondisi dimana semua observasi dalam suatu model memiliki varians yang sama. Homoskedastisitas terjadi karena fungsi regresi populasi (PRF) memberikan nilai mean/rata-rata variabel tak bebas untuk tingkat variabel-variabel penjelas tertentu. Penyimpangan terhadap asumsi homoskedastisitas disebut dengan heteroskedastisitas (Gujarati 2006). Konsekuensi dari heteroskedastisitas adalah estimator OLS masih linier dan tidak bias, namun tidak lagi efisien karena tidak lagi memiliki varians minimum. Jika heteroskedastisitas terjadi, rutinitas pengujian hipoteses yang seperti biasa tidak bisa diandalkan karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Pendeteksian ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan grafik scatterplot antara nilai residual regresi dengan nilai prediksi. Model persamaan regresi yang baik adalah tidak memiliki masalah heteroskedastisitas, yaitu jika titik-titik pada grafik scatterplot tersebar acak tidak membentuk suatu pola tertentu seperti segitiga, segiempat, lengkung yang beraturan, dan sebagainya (Mulyanto et al 2010).

Pengujian untuk mendeteksi heteroskedastisitas antara lain metode grafik, uji Park, uji Glejser, uji Breusch-Pagan, uji Goldfeld-Quandt, atau white test

(Juanda 2009). Jika heteroskedastisitas terjadi dalam model, maka dapat diatasi dengan melakukan teknik pendugaan yang tepat, sesuai dengan diketahui atau tidaknya ragam sisaan. Apabila ragam sisaan diketahui, pendugaan parameter dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Terboboti (Weighted Least Square, WLS), sedangkan jika ragam sisaan tidak diketahui maka perlu dipertimbangkan kasus-kasus khusus dimana cukup informasi tersedia untuk memperkirakan ragam sisaan yang sebenarnya. Selain itu, masalah heteroskedastisitas kadangkala dapat diatasi dengan mentransformasi data dengan logaritma.

43 Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier di antara variabel-variabel penjelas dalam suatu regresi berganda. Hubungan linier yang sempurna antara variabel penjelas disebut sebagai multikolinearitas sempurna, apabila terjadi akan menyebabkan estimasi dan pengujian hipotesis koefisien regresi individual dalam regresi berganda menjadi tidak dapat dilakukan. Adapun hubungan kolinieritas yang tinggi namun tidak sempurna disebut sebagai multikolinearitas tidak sempurna.

Multikolinearitas bersifat spesifik-sampel, merupakan fitur dari sampel, sehingga multikolinearitas tidak dapat diuji keberadaannya, melainkan diukur derajatnya dalam sampel tertentu (Gujarati 2006). Konsekuensi dari adanya multikolinearitas tidak sempurna antara lain varians besar dan kesalahan standar estimator OLS, interval keyakinan yang lebih lebar, rasio t tidak signifikan, nilai R2 yang tinggi tapi sedikit rasio t signifikan, serta estimator OLS dan kesalahan standarnya cenderung tidak stabil. Indikator yang dapat menunjukkan adanya multikolinearitas antara lain pengujian korelasi parsial, regresi subsider/tambahan, dan faktor inflasi varians (variance inflation factor, VIF). Beberapa cara yang digunakan untuk mengatasi multikolinearitas (Juanda 2009), antara lain :

1. Memanfaatkan informasi sebelumnya (a prior information);

2. Mengeluarkan peubah dengan kolinearitas tinggi, namun dapat menimbulkan kesalahan spesifikasi;

3. Melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model dengan first difference form untuk data deret waktu;

4. Menggunakan regresi komponen utama (principal component); 5. Menggabungkan data cross section dengan data time series; 6. Cek kembali asumsi waktu pembuat model; serta

7. Penambahan data baru.

Selain itu, diperlukan uji normalitas yang bertujuan untuk memastikan bahwa data yang digunakan untuk analisis berasal dari data variabel yang terdistribusi normal. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji histogram (secara grafis), normal probability test, uji Skewnes-Kurtosis, dan uji

44

sederhana antara lain dengan menggunakan histogram residu, gambar probabilitas normal, dan uji Jarque-Bera (Gujarati 2006).

Dalam pembuatan model regresi linier berganda diperlukan pengujian secara statistik untuk mengetahui seberapa bagus model yang telah dibuat. Pengujian tersebut antara lain uji-F, uji-t, dan uji koefisien determinasi. Uji-F bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas, sedangkan uji-t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel tidak bebas. Adapun koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman variabel tidak bebas dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas di dalam model (Gujarati 2006). Besaran nilai koefisien determinasi berkisar antara 0 sampai 1. R2 sering secara informal digunakan sebagai statistika untuk kebaikan dari kesesuaian model (goodness of fit), dan membandingkan validitas hasil analisis model regresi (Juanda 2009), namun terdapat beberapa masalah dengan penggunaan R2, yaitu:

1. Semua hasil analisis statistika berdasarkan asumsi awal bahwa model tersebut benar, kita tidak memiliki prosedur untuk membandingkan spesifikasi alternatif;

2. R2 sensitif terhadap jumlah peubah bebas dalam model;

3. Interpretasi dan penggunaan R2 menjadi sulit jika suatu model diformulasikan mempunyai intersep = 0. Dalam kasus ini, nilai R2 dapat diluar selang 0 sampai dengan 1.

Nilai R2 terkoreksi (2) mempunyai karakteristik yang diinginkan sebagai ukuran goodness of fit daripada R2. Jika peubah baru ditambahkan, R2 selalu naik, namun 2 dapat naik atau turun. Penggunaan 2 menghindari dorongan peneliti untuk memasukkan sebanyak mungkin peubah bebas tanpa pertimbangan yang logis (Juanda 2009).

Dokumen terkait