• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK

A. Kebijakan Penal

Dalam menyelesaikan sebuah permasalahan hukum, terdapat berbagai sarana untuk menyelesaikan suatu masalah hukum. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui sarana penal yang berarti melalui lembaga pengadilan, dan juga dapat diselesaikan melalui sarana non penal yaitu penyelesaian permasalahan hukum diluar pengadilan. Sarana penal dapat juga disebut sebagai kebijakan yang bersifat represif. Kebijakan ini menjadi salah satu bentuk kebijakan yang paling sering digunakan dalam permasalahan hukum. Dengan sarana penal maka ditentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Bentuk perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana, merupakan perbuatan perbuatan yang memiliki unsur-unsur kesalahan dalam suatu perbuatan. Apakan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan, ataupun perbuatan yang dilakukan karena kelalaian subjek hukum. 1. Perbuatan-perbuatan Yang Termasuk Tindak Pidana Perusakan Hutan Menurut

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan pidana, dan bersifat melawan hukum, baik melawan hukum secara formil maupun perbuatan hukum secara materil. Artinya, suatu perbuatan baru dikatakan tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan juga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dianggap negatif oleh masyarakat. Dari perbuatan tersebut, akan ditemukan akibat-akibat yang ditimbulkan, dan akibat dari perbuatan tersebut akan berdampak negatif terhadap orang lain.

Perusakan lingkungan, merupakan salah satu perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Perusakan lingkungan ini dikatakan sebagai perbuatan pidana dikarenakan perbuatan tersebut telah banyak merugikan orang lain, ataupun merugikan kondisi negara. Akibat dari perusakan lingkungan ini adalah terjadinya erosi yang berakbat banjir, terjadinya kebakaran hutan dan lahan, dan lainnya.

Pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan terkait larangan untuk melakukan suatu perbuatan yang berakibat kerusakan lingkungan, dan juga memberikan sanksi pidana berupa sanksi pidana penjara, kurungan, maupun denda, bagi pelaku yang dalam perbuatannya mengakibatkan kerusakan lingkungan. Bentuk peraturan perundang-undangan ini juga merupakan bentuk kebijakan penal dari pemerintah, sebagai upaya represif untuk menangani permasalah kerusakan lingkungan.

Istilah kerusakan hutan yang dimuat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang berlaku, ditafsirkan bahwa perusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan nyata melawan

hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan / tanpa adanya persetujuan pemerintah.83

Peraturan pemerintah dalam kebijakan penal untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan adalah dengan membentuk Undang-undang Nomor l8 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-undang lainnya yang mengatur mengenai kerusakan hutan.

Perbuatan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi :

1. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan (Pasal 12 huruf a)

Dalam penjelasan resmi Pasal 12 huruf a dijelaskan yang dimaksud dengan “izin pemanfaatan hutan” adalah izin untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, atau Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

2. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 12 huruf b)

Yang dimaksud dengan ”penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin” berdasarkan penjelasan resmi Pasal 12 huruf b adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang diperoleh secara

83

tidak sah, yaitu izin yang diperoleh dari pejabat yang tidak berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan hutan.

3. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 12 huruf c)

Yang dimaksud dengan ”penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin” adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang diperoleh secara tidak sah, yaitu izin yang diperoleh dari pejabat yang tidak berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan hutan.

Penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c merupakan penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :

a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;

c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan/atau

f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

4. Memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin (Pasal 12 huruf d)

dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; (Pasal 12 huruf e)

6. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 12 huruf f)

7. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;(Pasal 12 huruf g) 8. Memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil

pembalakan liar;(Pasal 12 huruf h)

9. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; (Pasal 12 huruf i)

10.Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara; (Pasal 12 huruf j)

11.Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; (Pasal 12 huruf k)

12.Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau (Pasal 12 huruf l)

13.Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan

yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf m)

14.Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau (Pasal 14 huruf a)

15.Menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu (Pasal 14 huruf b)

16.Melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 15)

17.Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. (Pasal 17 ayat (1) huruf a)

18.Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri (Pasal 17 ayat (1) huruf b)

19.Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf c).

20.Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin dan/atau (Pasal 17 ayat (1) huruf d)

21.Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf e)

patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri; (Pasal 17 ayat (2) huruf a)

23.Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan; (Pasal 17 ayat (2) huruf b)

24.Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin; (Pasal 17 ayat (2) huruf c)

25.Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau (Pasal 17 ayat (2) huruf d)

26.Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf e)

27.Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 19 huruf a)

28.Ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 19 huruf b)

29.Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/ atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 19 huruf c) 30.Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara

tidak sah secara langsung atau tidak langsung; (Pasal 19 huruf d) 31.Menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar

dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 19 huruf e)

32.Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/ atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri; (Pasal 19 huruf f)

33.Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya; (Pasal 19 huruf g) 34.Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; dan/atau (Pasal 19 huruf h)

35.Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 19 huruf i)

36.Memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf a)

37.Menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 24 huruf b)

38.Memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Pasal 24 huruf c) 39.Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan (Pasal 25)

40.Merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.

2. Perumusan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Sanksi merupakan salah satu sarana terapi yang paling ampuh diberikan kepada orang, masyarakat, dan badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, terutama dalam bidang kehutanan. Sebab dengan pemberian hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh perusak lingkungan, masalah kehutanan ini akan dapat dicegah dari adanya kegiatan yang mengarah ke perbuatan yang merusak dan mengeksploitasi hutan secara tidak beraturan.84

Ketentuan pidana dalam bidang kehutanan sebenarnya perlu diperberat lagi agar pelaku tindak pidana kehutanan jera. Walaupun dalam beberapa

84

undang sudah cukup diatur, tetapi implementasinya juga sering tidak membuat efek jera bagi pelakunya.

Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah perusakan lingkungan akibat pembangunan diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua alasan diperlukannya sanksi pidana, yaitu :85

1. Sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik jika persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak terpenuhi.

2. Pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar dan/atau rusak, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik badan usaha yang bersangkutan.

Perumusan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah sebagai berikut :

Pasal 82

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:

a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud

85 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia: Jakarta, 2009, Halaman 7-8.

dalam Pasal 12 huruf a;

b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam Pasal 12 huruf a, b, dan c dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 82 ayat (2) disebutkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, maka pelaku dipidana pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi seperti dalam Pasal 82 ayat (3) pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 83

sengaja dan yang karena kelalaiannya :

a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau

c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h

Pelaku orang perseorangan yang dengan sengaja, dipidana dengan pidana penjara pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Sedangkan pelaku orang perseorangan yang karena kelalaiannya, dipidana dengan pidana penjara pidana penjara paling singkat 8 (delapan ) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dan pada ayat (3) disebutkan bahwa apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Ayat (4) menyebutkan, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah). Pasal 84

Pasal 84 mengatur orang perseorangan yang dengan sengaja dan yang karena kelalaiannya :

Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon didalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f

Pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut dengan sengaja dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Sedangkan yang karena kelalaiannya dipidana dengan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dipidana pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Apabila yang melakukan adalah korporasi maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal12 huruf g dipidana dengan pidanapenjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Apabila dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam ayat (2) maka akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 86

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:

a. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau

b. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf j

Pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Korporasi yang melakukan tindak pidana tersebut sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 87

Dalam Pasal 87 mengatur tindak pidana yang dengan sengaja ataupun yang karena kelalaiannya :

a. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf k;

b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l; dan/atau

c. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf m

Jika tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja, maka pelaku dikenakan pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Jika tindak pidana tersebut terjadi karena kelalaian, maka pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan, maka pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa apabila yang melakukan tindak pidana tersebut adalah korporasi, maka akan dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 88

a. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau

c. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

Pelaku tindak pidana tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Apabila pelakunya korporasi maka akan dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 89

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja :

a. kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b; dan/atau

atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a

Terhadap pelaku orang perseorangan yang melakukan tindak pidana tersebut dikenakan pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Korporasi yang melakukan tindak pidana tersebut dikenakan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 90

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c

Orang yang melakukan tindak pidana tersebut dikenakan pidana pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Korporasi yang melakukan tindak pidana tersebut sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dikenakan pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 91

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja :

a. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan

penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e

Orang perseorangan yang melakukan tindak pidana sebagaimana

Dokumen terkait