• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap orang. Kehadiran lingkungan hidup merupakan hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Manusia hidup dan berkembang dari waktu ke waktu. Setiap aktivitas yang dilakukan manusia dalam mencapai kehidupannya pasti akan mempunyai dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya pasti akan memiliki dampak bagi lingkungan, dimana pembangunan yang dilakukan pasti akan menuntut ketersediaan sumber-sumber alam. Sedangkan, lingkungan yang terdiri dari sumber daya alam dan ekosistem memiliki sifat keterbatasan, dimana harus dilakukan pelestarian terhadap fungsinya. Pengelolaan lingkungan tersebut merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan mencapai kesejahteraannya.

Makin meningkatnya belakangan ini pencemaran atau kerusakan lingkungan, baik dilihat dari segi intensitasnya, maupun dari sudut kualitasnya yakni sifat dan bahaya yang ditimbulkannya, serta dilihat dari sudut kuantitasnya yakni makin meluasnya sebaran dampak yang diakibatkannya, adalah seiring dengan berkembangnya peradaban manusia itu sendiri.4

4

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam Jakarta : Jakarta, 2009, Halaman 18

Salah satu komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah hutan. Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini. Sebab di dalam hutan telah diciptakan segala makhluk hidup baik besar, kecil, maupun yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di samping itu, di dalamnya juga hidup sejumlah tumbuhan yang menjadi hamparan, yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Hal ini menjadi sumber kekayaan yang dapat dikelola dengan baik, yang dipergunakan untuk membangun bangsa dan negara. Oleh karena itu, aset yang terdapat di dalam hutan sangat dibutuhkan untuk menambah pendapatan negara dan pendapatan daerah, sehingga dengan adanya pengelolaan hutan tersebut dapat pula menopang pendapatan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan.5

Hutan menurut Dangler adalah : 6

“sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas

dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”.

Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan. Ada tiga unsur yang tercantum dalam rumusan hukum kehutanan, yaitu : (1) adanya kaidah hukum kehutanan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, (2) mengatur hubungan antara

5

Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia, Sinar Grafika : Jakarta, 2010, Halaman 1

6 Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atma Jaya Yogyakarta : Yogyakarta, 2005, Halaman 12

negara dengan hutan dan kehutanan, dan (3) mengatur hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.7

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Manfaat itu dapat dibedakan atas dua macam, langsung dan tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Ada delapan manfaat hutan secara tidak langsung, antara lain : mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan rasa keindahan, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan manfaat dalam bidang pertanahan keamanan, menampung tenaga kerja, dan menambah devisa negara. Di dalam Agenda 21 Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 disebutkan manfaat hutan sebagai paru-paru dunia. 8

Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan. Potensi yang sangat besar tersebut, dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia, setelah Saire dan Brasil. Hutan di Indonesia memiliki ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove), selain itu negara Indonesia merupakan 10 (sepuluh) negara pemilik hutan terluas di dunia. Adapun

7 Ibid., Halaman 6

8

kesepuluh negara yang terluas hutannya tersebut, diantaranya : (1) Federasi Rusia luas wilayah 1.688,9 juta hektar, dengan luas hutan 809 juta hektar ; (2) Brasil luas wilayah 845,9 juta hektar, dengan luas hutan 478 juta hektar ; (3) Kanada luas wilayah 922,9 juta hektar, dengan luas hutan 310 juta hektar, (4) Amerika Serikat luas wilayah 915,9 juta hektar, dengan luas hutan 303 juta hektar, (5) Cina luas wilayah 932,7 juta hektar, dengan luas hutan 197 juta hektar, (6) Australia luas wilayah 768,2 juta hektar, dengan luas hutan 164 juta hektar, (7) Republik Demokrat Kongo luas wilayah 226,7 juta hektar, dengan luas hutan 134 juta hektar, (8) Indonesia luas wilayah 181,2 juta hektar, dengan luas hutan 88 juta hektar, (9) Peru luas wilayah 128 juta hektar, dengan luas hutan 69 juta hektar, dan (10) India luas wilayah 297,3 juta hektar, dengan luas hutan 68 juta hektar. 9

Akibat perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan sampai pada tindakan – tindakan yang menimbulkan perubahan komposisi hutan yang mencolok.10 Hutan Indonesia merupakan hutan tropis terbesar ketiga di Dunia. Dengan ukuran yang sebesar itu, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia yang bisa menyerap pencemaran udara seperti emisi karbondioksida. Sayangnya, hutan Indonesia sedang berada dalam ancaman besar terutama dari

9 Supriadi, op.cit., Halaman 2

10 Sumardi, S.M. Widyastuti, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2004, Halaman 2

kegiatan manusia seperti Illegal Logging, perkebunan, pertanian, dan sebagainya.11

Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena individu (perseorangan) tersebut telah mengusahakan tanah miliknya untuk menanam kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemanfaatannya diatur yang bersangkutan. 12

Shannon L. Smith mencatat terdapat 7 (tujuh) faktor menjadi sumber tekanan perusakan hutan, yakni : 13

1. Pembalakan (logging) komersial, baik dilakukan secara legal maupun ilegal (illegal logging)

2. Pertambangan, baik dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi tradisional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih 3. Transmigrasi, termasuk juga pemukiman kembali penduduk lokal

perambah hutan sekaligus dengan pencetakan areal pertanian menetap 4. Perkebunan dan hutan tanaman industri (timber estate)

5. Perladangan berpindah

11

Sukanda Husin, Penegakan hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2009, Halaman 45

12 Ibid, hal. 7

13 N.H.T. Siahaan, Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan, Pancuran Alam: Jakarta, 2007, Halaman 20

6. Eksploitasi hutan nonkayu

7. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar yang kebanyakan dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata.

Pada tahun 1950, lembaga yang pada waktu itu disebut Dinas Kehutanan Indonesia menerbitkan peta vegetasi untuk negara ini. Dari peta ini disimpulkan bahwa hampir 84 persen luas daratan Indonesia waktu itu tertutup hutan primer dan sekunder serta perkebunan seperti teh, kopi dan karet. Survei untuk menghasilkan peta ini menggabungkan seluruh tipe perkebunan ke dalam kategori "hutan" sehingga rincian luas masing-masing tidak dapat disebutkan secara pasti. Namun demikian, jelas bahwa pada tahun 1950 luas perkebunan skala besar dan perkebunan skala kecil tidak begitu mempengaruhi hutan. Catatan-catatan jaman penjajahan Belanda dari tahun 1939 menyebutkan bahwa perkebunan skala besar luasnya mencapai sekitar 2,5 juta ha "yang dieksploitasi" dan sebenarnya hanya 1,2 juta ha yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi selama tahun 1940- an dan 1950-an, dan luas lahan yang ditanami baru mencapai luas seperti yang ada pada tahun 1939 setelah ditanam ulang pada tahun 1970-an. Luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta ha pada tahun 1969, dan sebagian besar dari luas kawasan ini ditanami pada tahun 1950-an dan 1960-an. Hutan jati di Jawa luasnya mencapai 824.000 ha pada tahun 1950. Penyebab utama pembukaan hutan yang terjadi sampai tahun 1950 adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.14

14 FWI/GFW, Majalah Hukum, “Keadaan Hutan Indonesia”, Bogor : Forest Watch

Indonesia dan Washington D.C, 2001,

http://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_full_id.pdf. Diakses pada Tanggal 12 Maret 2016 Pukul 18 : 18 WIB

Namun demikian, untuk mengetahui secara pasti berapa luas hutan di Indonesia, sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan : Pertama, kawasan hutan berarti lahan yang berada di bawah wewenang Departemen Kehutanan, bukan hanya daerah berhutan. Berdasarkan pengertian ini dan Tata Guna Kesepakatan (TGHK) Tahun 1980 luas hutan di Indonesia diperkirakan seluas 143,8 juta ha. Kedua, pelaksanaan inventarisasi hutan relatif terlambat dan ini masih berlanjut. Keadaan ini menyulitkan penentuan berapa luas hutan yang sebenarnya. Sebagai contoh, hasil penelitian RePPPorT selama Tahun 1985-1989 atas dasar hasil foto udara 1982, memperkirakan bahwa wilayah hutan mencakup 63 % dari seluruh luas hutan Indonesia. Penelitian paling akhir oleh proyek kehutanan 1990 FAO/RI, memperkirakan bahwa wilayah hutan yang paling efektif hanya 109 juta ha atau 57 % dari luas daratan nasional. Angka yang sering digunakan untuk luas lahan hutan adalah 140,3 juta ha, terdiri atas 30,8 juta ha hutan lindung, 18,8 juta ha cagar alam dan taman nasional, 64,3 juta ha hutan produksi, dan sekitar 26,6 juta ha hutan telah dialokasikan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, perumahan, transmigrasi, dan tata guna lahan bukan hutan lainnya. Kini kawasan hutan Indonesia tercatat hanya seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6 % dari keseluruhan total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar (339) unit. Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam yang terdiri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168) unit dan suaka margasatwa 3.612.323 hektar (42) unit. Sementara kawasan hutan pelestarian

alam meliputi Taman Wisata 299.117 hektar (75) unit, Taman Buru 248.932 hektar (13) unit, Taman Nasional 11.458.993 hektar (30) unit dan Taman Hutan Raya 252.089 hektar (11) unit. Selain kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga terdiri atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran Sungai (DAS). 62 DAS di antaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 176 DAS prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 28.675.811 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar. 15

Forest Watch Indonesia (FWI) sebagai lembaga pemantau hutan independen yang ada semenjak 15 tahun lalu menggambarkan kondisi hutan alam pada tahun 2013 dan perubahan tutupan hutan16 alam yang terjadi dalam periode 2009-2013. Berdasarkan analisis interpretasi tutupan hutan alam yang dilakukan oleh FWI, sampai tahun 2013 luas tutupan hutan alam hanya tinggal 82 juta hektare atau sekitar 46 persen dari luas daratan Indonesia dan 62,6 persen dari total luas kawasan hutan. Lebih dari setengah (51 persen) luas hutan alam Indonesia pada tahun 2013 tersebar di 3 (tiga) provinsi saja, yaitu Papua, Kalimantan Timur dan Papua Barat. Delapan provinsi yang memiliki tutupan hutan terluas yaitu: Provinsi Papua dengan luasan sekitar 25 persen dari luas hutan Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur2 sekitar 15 persen, Provinsi Papua Barat

15 Supriadi, op.cit., Halaman 4-5

16 Hutan/Tutupan Hutan: Lahan di mana pohon mendominasi tipe vegetasi di dalamnya. FAO mendefinisikan hutan sebagai lahan dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10 persen dari tanah, dan luas kawasan lebih dari 0,5 ha. Selain itu, pohon harus mampu mencapai t inggi minimum 5 meter saat pohon dewasa. Perlu diperhatikan bahwa 10 persen ambang tutupan tajuk mewakili tutupan pohon yang sangat jarang; kebanyakan hutan alam di Indonesia merupakan hutan yang tajuknya tertutup.

sekitar 11 persen, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 9 persen, Provinsi Kalimantan Barat sekitar 7 persen, 5 persen di Provinsi Sulawesi Tengah sekitar 5 persen, Provinsi Aceh sekitar 4 persen, dan Provinsi Maluku sekitar 3,2 persen. Kerusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya tutupan hutan secara masif dan berkelanjutan mulai terjadi di Indonesia sejak awal tahun 1970- an. Ketika perusahaan-perusahaan pengusahaan hutan diberi kemudahan oleh pemerintah dan mulai melakukan eksploitasi skala komersil.17

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan laju deforestasi18 pada hutan primer di Indonesia pada periode tahun 2011 -2012 sebesar 24.474,3 hektar. Laju deforestasi pada hutan primer tersebut terbagi dalam Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer dan Hutan Mangrove Primer.19 Upaya yang terus dilakukan oleh Kementerian Kehutanan untuk menurunkan deforestasi hutan adalah: 1). Percepatan tata batas kawasan hutan, 2). Peningkatan penetapan kawasan hutan, 3). Pembentukan KPH, sebagai intesifikasi pengelolaan, pendekatan pelayanan akses masyarakat terhadap manfaat hutan, 4). Penegakan hukum berkait dengan illegal logging dan perambahan, 5). Pengendalian penggunaan kawasan hutan, 6). Penentuan High Conservation Value (HCV) pada pelepasan kawasan hutan, 7). Pendelinasian

17

Intip Hutan (Media Informasi Seputar Hutan Indonesia), Bogor : Forest Watch Indonesia, 2015, Halaman 5, http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2015/03/intip_hutan_HR.pdf

diakses pada tanggal 12 Maret 2016, pukul 20.00 WIB. 18

Deforestasi adalah penebangan hutan: penyebab utama adalah kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/deforestasi, diakses pada tanggal 7 juni 2016 pukul 20.00 WIB

19 Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan, “Deforestasi Indonesia Pada

Tahun 2011 –2012 Hanya Sebesar 24 Ribu Hektar”, Dalam Siaran Pers Nomor : S. 409

/PHM-1/2014, http://www.dephut.go.id/uploads/files/ce7d69be1e3df78967e11864d92d34e1.pdf. Diakses pada tanggal 14 Maret 2016 Pukul 23:34 WIB.

makro dan mikro dalam perijinan pemanfaatan hutan, 8). Pencegahan dan penanggulangan kebakaran, 9). Peningkatan mutu pengelolaan hutan dengan sertifikasi, 10). Rehabilitasi, reklamasi, revegetasi, penanaman hutan dan kebun bibit.20

FWI menyimpulkan bahwa penyebab utama dari tingginya tingkat kerusakan hutan alam yang terjadi secara terus-menerus di Indonesia adalah akibat dari lemahnya tata kelola hutan. Selanjutnta, kelemahan tata kelola hutan tersebut menyediakan ruang terjadinya praktik-praktik korupsi. Pada akhirnya ketiadaan transparansi dan partisipasi, korupsi, dan cara pandang bahwa sumber daya alam khususnya sumberdaya hutan hanyalah sumber pendapatan dan keuntungan keuangan semata, menjadi kontributor terbesar kerusakan hutan Indonesia. Sepanjang keseluruhan dekade ini, lemahnya peran dan kapasitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan menciptakan celah dan insentif bagi oknum-oknum pelaku kehutanan yang nakal untuk mengeksploitasi sumber daya hutan secara destruktif. Upaya perbaikan tata kelola hutan sudah menjadi kebutuhan mendesak dan sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Peran publik sangat penting dibutuhkan dalam memberikan perspektif lain terkait perbaikan tata kelola. Pemerintah juga harus memberi ruang-ruang bagi publik untuk turut berpartisipasi baik dari proses perencanaan dan juga implementasinya. Hasil-hasil kajian akademisi, monitoring pemantauan yang dilakukan oleh publik harus dilihat sebagai masukan yang membangun

20

karena hutan adalah barang publik dan pengelolaannya harus dapat dipertanggungjawabkan pula kepada publik.21

Mengantisipasi terjadinya kerusakan hutan oleh pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan, perambah hutan, dan pencuri kayu, perlu dilakukan penegakan hukum secara konsekuen terhadap para pelaku tanpa memandang suku, agama, maupun kedudukan sosialnya, karena semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum secara konsekuen di bidang kehutanan, yaitu : 22

1. Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang kehutanan. Ketentuan hukum yang ada dalam bidang kehutanan telah cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal, seperti tata cara penyidikan, penuntutan, serta memuat tentang sanksi, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana

2. Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil, dan bermoral di bidang kehutanan, seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Polri, Kejaksaan, dan Hakim

3. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum

4. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat, penegak hukum sulit untuk memprosesnya.

21 Intip Hutan (Media Informasi Seputar Hutan Indonesia), Op.Cit., Halaman 6-7.

22

Upaya untuk menyelamatkan hutan Indonesia tentunya tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian tunggakan masalah di masa sebelumnya, baik dari sisi persoalan nyata di tingkat tapak, persoalan kebijakan, maupun persoalan kapasitas penyelenggara kehutanan. Identifikasi masalah kehutanan secara tepat dan fundamental dengan menggunakan informasi yang akurat, akan menentukan capaian perbaikan kinerja kehutanan. Penyelesaian permasalahan kehutanan tersebut bukan hanya menentukan apa masalahnya, tetapi juga memerlukan strategi bagaimana solusi masalah-masalah tersebut dapat dijalankan. Selanjutnya, agar strategi tersebut dapat dilakukan optimal maka prasyarat kelembagaan dan kepemimpinan (leadership) kehutanan menjadi sebuah keharusan.23

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, secara formal pengaturan khusus mengenai hutan diatur pada tahun 1967 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. undang tersebut merupakan Undang-Undang yang khusus mengatur tentang hutan dan kehutanan. Namun demikian, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, maka menyangkut pengaturan mengenai kehutanan diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tidak diatur mengenai kehutanan secara khusus, tetapi mengatur mengenai hasil hutan.24

23

Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013, Bogor : Forest Watch Indonesia, 2014, Halaman 92, http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2015/05/PKHI-2009-2013_update__sz.pdf, diakses pada tanggal 15 maret 2016 pada pukul 15.00 WIB

24

Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan, tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan payung hukum baru agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya. Penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 menyatakan bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.25

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengangkat judul yaitu Analisis Hukum Mengenai Penerapan Ketentuan Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap Pelaku Perusakan Hutan (Studi Putusan No : 21/Pid.Sus/2015/PN.Tkn)

Dokumen terkait