• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

2.2.2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan

2.2.2.2 Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jaman Penjajahan Jepang

Sebelum pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang tahun 1942 terjadi perusakan pada sarana-prasaran produksi, perhubungan, telekomunikasi dan pertanian termasuk perusakan kawasan hutan jati terutama di Karesidenan Semarang, Jepara, Rembang, Telawa, dan Bojonegoro.

Pada masa pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942-1945, Jawatan Kehutanan yang berganti namanya jadi Ringyo Tyuoo Zimusyo terus melaksanakan tugas pada pos mereka masing-masing. Walau hutan jati di pulau Jawa dan Madura tetap berada di bawah penjajahan Jepang, namun pengawasan pengelolaan hutan di luar pulau Jawa dan Madura ditangani berdasarkan kesepakatan kerja sama, antara pemerintah pusat di wilayah Hindia Belanda yang saat itu dikuasai Jepang dan pemerintah Swapraja.

Selama masa pendudukan tentara Jepang, pemerintah Jepang melakukan eksploitasi hutan di kawasan hutan jati Jawa dan Madura. Pembukaan kawasan hutan dimanfaatkan untuk membuat perkebunan palawija, tanaman jarak, kebun kopi, gua-gua perlindungan maupun untuk membangun gudang-gudang penyimpanan logistik dan amunisi mesin perang Jepang.

20 2.2.2.3 Kebijakan Pengelolaan Hutan pada Jaman Orde Lama

Kebijakan pengelolaan hutan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia mengacu pada pasal 33 ayat 1 sampai 3 UndangUndang Dasar 1945. Jawatan Kehutanan membentuk satu tim yangmemiliki tugas sebagai penterjemah seluruh peraturan hukum dan kebijakan kehutanan yang pernah disahkan di masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Langkah selanjutnya adalah pembentukan Panitia Peraturan Kehutananberdasarkan Surat Ketetapan Kepala Jawatan Kehutanan tanggal 4 Juli 1947, Nomor 2758/KBK/YG.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1952, Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai dan mengelola tanah-tanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kewenangan tersebut dipertegas dan diperluas melalui peraturan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara (Lembaran Negara No. 14Tahun 1953), yang sebelumnya pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda diatur denganSurat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 25 Januari 1919 No. 33 atau

Staatsblad 1911 No. 110.

Pada tahun 1960, pemerintah menerbitkan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), yang berisi pengakuan terhadap berlakunya hukum adat terhadap tanah yang disebutkan bahwa sepanjang masih ada dan berlaku, dengan kewajiban agar melepaskan haknya apabila tanah tersebut diperlukan untuk : (1) kepentingan umum; (2) kepentingan pemerintah; atau untuk (3) kepentingan pembangunan. Dengan pemberlakuan UUPA pada tahun 1960 tersebut, maka hak penguasaan dan pengelolaan hutan Swapraja yang dimiliki oleh Raja dan Sultan dari pemerintahan Swapraja diserahkan kepada Gubernur. Di tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang) No. 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.17 sampai No. 30 Tahun 1961 tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani). Untuk menegaskan kawasan hutan yang menjadi wilayah kerja Perhutani maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun1963 tentang Penunjukan Hutan-hutan yang Pengusahaannya diserahkan kepada Perhutani. Melalui Perhutani ini, pemerintah berharap akan terjadi peningkatan pendapatan atau devisa negara melalui sektor kehutanan dan perkayuan.

Departemen Kehutanan pertama kali terbentuk dalam susunan Kabinet Dwikora yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964 yang memiliki tugas untuk: (1) merencanakan; (2) mengawasi; serta (3) melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian rakyat Indonesia.

21 2.2.2.4 Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jaman Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa sektor kehutanan Indonesia termasuk di dalamnya industri dan produk-produk hasil hutan, memainkan peranan penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia karena kontribusinya yang signifikan terhadap: (1) produk domestik bruto; (2) devisa Negara; (3) pendapatanNegara; dan (4) penyerap tenaga kerja. Berdasdarkan hal tersebut dikeluarkanlah Kebijakan Pengelolaan Hutan pada tahun 1967-1980, berupa pemberian izin HPH dan izin ekspor logs.

Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk berusaha membangun ekonomi dengan cara

mengekstraksi sumber daya alam. Arah kebijakan pemerintah memprioritaskan pada

peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mendorong munculnya upaya untuk memperoleh

pendapatan di luar sektor minyak dan gas. Hutan dipandang sebagai sumber daya alam yang

bernilai ekonomis tinggi yang dapat meningkatkan pendapatan negara sehingga dapat dieksploitasi secara efisien dan dalam tingkatan yang rasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada awalnya, ekstraksi sumber daya alam ini ditempuh melalui kebijakan mengekspor kayu bulat atau log tanpa melalui proses pengolahan terlebih dulu. Selama masa tahun 1980-1990-an, sektor kehutanan memberikan kontribusi penting terhadap produk domestik bruto sebesar 2.3 persen sampai 4.3 persen (atau sebesar 20.6 persen sampai24.3 persen dari sektor industri). Nilai ekspor produk hasil hutan mencapai level tertingginya pada tahun 1997, sebesar 6.24 juta US$, yang setara dengan 17.8 persen dari nilai ekspor sektor industri dan 11.7 persen dari total nilai ekspor.Total pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan mencapai 682 juta US$ pada tahun 1997 (senilai 2.4 persen dari pendapatan sektor non migas atau setara 1.6 persen dari seluruh pendapatan pemerintah.

Pada masa tersebut jumlah penduduk baru mencapai 219,9 juta jiwa, dan sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar hutan. Bagi mereka, sumber daya alam hutan mampu mendukung kebutuhan mereka terhadap sandang, pangan, papan, dan di beberapa tempat hutan juga sekaligus sebagai medium dalam melaksanakan aktivitas spiritualitas. Berbagai produk hutan juga dikumpulkan untuk dijual dan dikonsumsi termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, termasuk satwa liar, dan ikan.

Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 tahun 1967 memberikan mandat hukum kepada negara untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan penguasaan hutan serta menggunakan pengaturan sesuai dengan wewenang yang dimiliki pemerintah. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pengelolaan hutan harus ditujukan

22 untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pemungutan hasil hutan untuk pembangunan nasional, perlindungan terhadap mata pencaharian masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, upaya pencegahan banjir, konservasi hutan, migrasi, pertanian, dan perkebunan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 ini menyebutkan definisi hutan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan. Disebutkan pula bahwa hutan merupakan kesenyawaan kehidupan yang mempunyai kemampuan untuk memberikan beberapa manfaat sekaligus, yaitu produksi, perlindungan dan manfaat lainya secara lestari. Selain UU No. 5 Tahun 1967 pemerintah juga mengeluarkan UndangUndang No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang No. 6Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, serta dua Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (PP No. 21 Tahun 1970), dan Perencanaan Hutan (PP No. 33 Tahun 1970).

Penerbitan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang PMA (PenanamanModal Asing) serta Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) oleh pemerintah, dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital atau capitaloriented dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi atau growth dengan mengutamakan pencapaian target-target pertumbuhan tertentu. Undang- Undang tersebut, segera mendapat sambutan dari para pemilik modal asing yang datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Melalui mekanisme kebijakan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan), sumber daya hutan dijadikan agen pembangunan selama lebih dari tiga dasa warsa. Peraturan Pemerintah ini menentukan kriteria dan mekanisme administrasi untuk: (1) pengusahaan hutan baik skala besar maupun kecil; (2) izin usaha skala besar untuk kebutuhan ekspor (HPH) yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat; (3) izin eksploitasi skala yang lebih kecil untuk kepentingan pribadi dan kebutuhan domestik (tidak untuk diekspor) (HPHH) yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Hasil kebijakan segera terlihat hasilnya terhadap pendapatan Negara dengan melonjaknya pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan menjadi 564juta US$ pada pada tahun 1974 dari sebelumnya hanya diseputar 6 juta US$ pada tahun 1973. Kayu bulat hasil hutan Indonesia tersebut diekspor antara lain ke Jepang (5,5 juta