BAB II KAJIAN PUSTAKA ASPEK PENGELOLAAN RUMAH SUSUN
2.2 Kebijakan Perumahan
Kebijakan pembangunan rumah (O’Sullivan, 2000:400–428) dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan perumahan publik (public housing) dan perumahan privat (private housing). Kebijakan perumahan diarahkan pada penyediaan perumahan untuk publik apabila banyak penduduk yang tidak terlayani penyediaan perumahan. Sebaliknya, apabila di pasar formal ternyata permintaan perumahan privat lebih banyak maka kebijakan perumahan cenderung mengarah pada kebijakan penyediaan perumahan untuk privat. Hal ini berarti kebijakan perumahan rakyat dipenuhi/disediakan oleh sektor publik/pemerintah. Yudosodo (1991:151-160) menyebutkan pembangunan perumahan rakyat selama ini dilakukan oleh pemerintah dengan mekanisme penyertaan modal antara pusat dengan daerah.
Peranan pemerintah lokal adalah penting sebab landasan kebijakan perumahan terletak pada permasalahan yang dihadapi dalam suatu wilayah (O’Sullivan, 2000:400–428). Sehingga kebijakan perumahan seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah lokal. Pendapat O’Sullivan tersebut menegaskan sudah seharusnya peranan pemerintah lokal dalam kebijakan perumahan ditingkatkan. RPJP Bidang Perumahan Tahun 2005–2025 juga mengarahkan peningkatan peranan pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan.
Kebijakan memenuhi perumahan yang layak huni menghadapi kendala dari masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan akan rumah di pasar formal. O’Sullivan (2000:400–428) menegaskan bahwa kebijakan penyediaan perumahan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah diwujudkan melalui perumahan publik. Kebijakannya dengan pemberian subsidi sebagai
42
housing voucher (permintaan perumahann) sehingga masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki rumah. Di sisi lain rumah tidak bisa dipandang sebagai komoditas bila berada pada koridor kebijakan publik. Komoditas berarti keuntungan dan tidak memberi kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh rumah layak huni. Untuk itulah peranan pemerintah sebagai penyedia perumahan rakyat masih diperlukan.
Nilai ekonomi dan sosial rumah merupakan satu kesatuan yang melekat sehingga kebijakan perumahan publik tidak mengesampingkan hal ini. Menurut Jo Santoso, et.al. (2002:37–43) perumahan dapat dipandang sebagai pendorong pengembangan ekonomi perkotaan sekaligus mengandung aspek sosial (social overhead capital/SOC). Rumah merupakan suatu basis pemeliharaan kemampuan produksi dan juga basis pengembangan peradaban. Pewarisan nilai–nilai budaya mencerminkan kesadaran sosial bahwa rumah merupakan tempat untuk pengembangan dan pendidikan keluarga.
2.2.2 Pemenuhan Kebutuhan dalam Pasar Perumahan
Pasar perumahan merupakan interaksi antara rumah tangga yang mencari hunian dengan pemasok yang menawarkan tempat tinggal. Pasar perumahan terdiri dari sub–sub pasar secara substitusional yang memiliki segmentasi kelompok atau individu (McClure, 2005:361–372). Perpindahan dan perubahan segmentasi pasar dimungkinkan tergantung kualitas perumahan. Perubahan didasarkan keputusan ekonomi yang rasional antara konsumen rumah tangga dan pemasok atas dasar harga, kendala penghasilan (income gap), biaya transaksi dan banyak sebab lainnya. Bekerjanya sub pasar dan kebutuhan perumahan dilakukan dengan pendekatan lokasi. Lokasi dalam pembangunan perumahan sangat penting sebab menjadi determinan penyediaan rumah untuk melayani kebutuhan tempat tinggal. Sebagai misal, dua sub pasar yang berbeda sekalipun dapat berada dalam satu kawasan yang relatif kecil, yaitu kondomonium dengan unit rumah susun sewa.
Ochieng (2007:140–152) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan perumahan saat ini bukan lagi dengan pendekatan tradisional dengan menghitung berapa jumlah rumah yang akan disediakan dalam pasar perumahan tetapi dengan melihat pada besaran rumah tangga, subsidi pemerintah, pengentasan kemiskinan,
43 dan kehidupan yang lebih baik bagi individu maupun komunitas yang lebih luas Sehingga kualitas akan mempengaruhi kuantitas dalam pasar perumahan. Pembangunan perumahan ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan juga sudah mulai diimplementasikan di kawasan perkotaan (Bappenas, 2009).
Pendapat McClure tentang sub pasar, segmentasi dan perubahannya, serta kualitas perumahan dipengaruhi oleh keputusan ekonomi yang rasional dari individu. Artinya bila kendala penghasilan besar maka perpindahan dan substitusi akan terjadi. Implikasinya bisa pada masalah lokasi perumahan. Lokasi perumahan menentukan keinginan masyarakat untuk memperoleh tempat tinggal secara fisik. Tetapi keinginan ini dibatasi atau tergantung kepada kemampuan ekonomi yang dimiliki. Sedangkan Ochieng melihat bahwa kualitas lebih diutamakan dalam penyediaan perumahan publik, sehingga perlu intervensi dari pemerintah misalnya dalam pemberian subsidi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh O’Sullivan, dimana housing voucher bisa menjadi instrumen dalam kebijakan perumahan publik. Jadi kemampuan ekonomi masyarakat untuk memiliki rumah sangat berpengaruh dalam penyediaan perumahan, sehingga masih memerlukan adanya peranan pemerintah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
2.2.3 Arahan Kebijakan
Arahan pembangunan rumah di perkotaan yang menghadapi kendala atara lain keterbatasan lahan pubik, efisiensi biaya dan manfaat, kemampuan, dan harga ialah dengan rumah susun. UU No.16/1985 dan PP No.4/1988 mengarahkan pembangunan rumah susun yang ditujukan untuk MBR di perkotaan (rumah susun sederhana). Sedangkan pedoman pembangunan rumah susun merujuk pada SK Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Nomor 10/KPTS/M/1999 tentang Kebijakan dan Strategi Pembangunan Rumah Susun.
Pembangunan rumah ke arah vertikal bak sewa maupun milik sudah selayaknya diimplementasikan di kawasan perkotaan besar dan kota yang menghadapi permasalahan dalam perluasan fisiknya, sesuai rencana tata ruang kota. Pembangunan rumah susun menengah ke atas (sewa/milik) diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah akan mengatur perijinan serta memberi petunjuk teknis dan pengendaliannya. Insentif yang sama diberikan pada pengembang
44
rumah susun sederhana untuk MBR yang sudah mampu (sewa/milik). Sedangkan rumah susun sederhana (sewa) bagi masyarakat yang belum mampu akan diberi subsidi berupa tanah, pembiayaan, bangunan, prasarana dan sarana dasar, atau kombinasi di antaranya sesuai dengan tingkat kemendesakan untuk pemenuhannya dan kemampuan kelompok sasaran masyarakat yang akan menghuni serta kemampuan pemerintah daerah setempat
Penggunaan konsep hunian vertikal tersebut dijadikan sebagai model rumah layak huni. Ketinggian rumah susun yang rendah (low rise) masih dapat diterima oleh masyarakat golongan menengah ke bawah karena kebersamaan sosial lebih tercipta dibandingkan rumah susun yang tinggi (high rise). (Laporan
Proceeding Hasil Rakornas Pembangunan Perumahan Rakyat, 2007).
Perumahan secara vertikal akan memberikan lebih banyak penerima manfaat dan akan terdapat efisiensi dalam penggunaan lahan, ruang, dan PSU (prasarana sarana utilitas) serta juga akan memaksimalkan ruang terbuka yang ada. Pada pilihan model perumahan secara horisontal, luasan kawasan pengembangan perumahan akan menjadi pembatas banyaknya penerima manfaat disamping PSU harus melayani seluruh luasan kawasan perumahan. Jadi efisiensi merupakan pertimbangan dalam memutuskan pembangunan perumahan di kawasan perkotaan. Hal ini sesuai dengan pendapat O’Sullivan (2000:315) yang menyatakan bahwa efisiensi biaya penyediaan infrastruktur dan fasilitas kota akan terbentuk dengan biaya penyediaan yang tidak lebih besar daripada kontribusi penerimaan pajak, apabila lokasi perumahan tidak berada di pinggiran kota. Dengan kata lain bahwa jarak dengan penyediaan infrastruktur dan fasilitas kota akan berpengaruh terhadap penerimaan pendapatan kota.