• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Pemberdayaan Nelayan dalam Penanggulangan Kemiskinan

2.3.2 Kebijakan publik dalam pembangunan perikanan

2.3.2.1 Gerdutaskin

Gerakan Terpadu Pengatasan Kemiskinan (Gerdutaskin) adalah upaya pengatasan masyarakat miskin agar lepas dari kemiskinannya melalui bantuan investasi dan dukungan penuh untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif yang sesuai dengan potensi dan peluang yang tersedia yang dicanangkan berdasarkan Inpres Nomor 21 Tahun 1998 dan keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengatasan Kemiskinan No. 15/Kep/Menko/Kesra/ VII/1998 telah dibentuk Kelompok Kerja Taskin dan Sub Pokjanis-Sub Pokjanis diantaranya adalah Sub Pokjanis Pemberdayaan Keluarga Daerah Pantai.

Kegiatan pengatasan kemiskinan di kawasan pesisir meliputi peningkatan kualitas hidup pembudidaya ikan dan nelayan yang disertai dengan perbaikan kondisi lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan pendekatan tridaya yaitu pembinaan sumberdaya manusia, kesempatan berusaha, dan perbaikan lingkungan yang dilakukan sektor terkait secara terpadu dan bersinergi. Unsur-unsur pendekatan tridaya meliputi:

1) Pemberdayaan manusia

(1) Menumbuhkan peran swadaya masyarakat pesisir dalam pembangunan (2) Menetapkan pola pembangunan yang bertumpu pada keswadayaan

kelompok masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan pembinaan manusia agar dapat berperan aktif dalam proses pelaksanaan pembangunan

(3) Menetapkan aplikasi teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi daerah setempat sehingga dapat menumbuhkan dan meningkatkan kreatifitas masyarakat.

2) Pemberdayaan usaha

(1) Memberikan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif kepada masyarakat pesisir, sehingga mendapatkan nilai tambah.

(2) Mendukung usaha-usaha masyarakat pesisir yang meliputi agrin\bisnis, agroindustri di daerah pantai, baik dalam bidang industri kecil maupun industri rumah tangga, serta pengembangan usaha perdagangan dan jasa.

(3) Membangun, merehabilitasi dan melengkapi fasilitas seperti sarana dan prasarana di areal tempat berusaha seperti pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan, dan saluran irigasi tambak.

(4) Memberikan bantuan permodalan dalam bentuk kredit atau bantuan lain kepada masyarakat untuk menggerakkan kegiatan usahanya. 4) Pemberdayaan lingkungan dan sumberdaya

(1) Pembangunan lingkungan dan sarana dasar pemukiman di daerah pantai, mencakup antara lain: jalan lingkungan, jalan setapak, drainase, penyediaan air bersih, sanitasi, perbaikan dan pemugaran perumahan, serta kegiatan lain yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

(2) Memberikan konsepsi pengelolaan dan pemanfaatan laut dan pesisir (3) Menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat pesisir

(4) Menerapkan MCS (monitoring, controlling and surveilance) dengan prinsip partisipasi masyarakat pesisir

(5) Menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli (indigenous technology)

(6) Membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi generasi kini dan yang akan datang.

Sejalan dengan alur pikir penyusunan model Gerdutaskin di daerah pantai, peluang pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui pemberdayaan keluarga miskin di daerah pantai yang telah disusun oleh Kantor Menko Kesra dan Taskin dapat diwujudkan dalam bentuk program khusus dengan model pengembangan yang tepat dan terpadu. Model pemberdayaan keluarga miskin di daerah pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil merupakan suatu model (pilot proyek) pengembangan komoditas terpadu dan efisien dari hulu hingga hilir mencakup kegiatan penangkapan ikan, usaha pembudidayaan ikan (budidaya tambak dan budidaya laut), usaha pembenihan ikan, penegelolaan hasil sampai pada kegiatan pemasaran. Beberapa pokok kegiatan untuk mewujudkan model tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Inventarisasi dan identifikasi potensi untuk kawasan pengembangan; (2) Penyusunan masterplan model pengembangan;

(3) Menetapkan RUTR untuk pengembangan komoditas perikanan;

(4) Pembinaan (supervisi dan bimbingan, penyediaan tenaga pendamping, koordinasi antar instansi terkait, penyelenggaraan pelatihan, dan pemantapan kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat);

(5) Pengembangan prasarana;

(6) Pemberdayaan usaha melalui pemberian paket bantuan; (7) Rehabilitasi lingkungan dan sumberdaya;

(8) Penyediaan Kredit Taskin dan; (9) Monitoring dan evaluasi.

2.3.2.2 Pembentukan KPK (Komisi Penanggulangan Kemiskinan)

Sebagai upaya Pemerintah dalam mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada tanggal 7 Desember 2001, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 Tahun 2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang disempurnakan lagi dengan Keppres No. 8 dan No. 34 Tahun 2002 untuk memperlancar tugas dan fungsi

KPK tersebut. Komite ini berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Sumodiningrat, 2003). Strategi pemberdayaan masyarakat KPK adalah meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya dan mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama UMKM yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan. Pendampingan adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program, agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Sedangkan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dilakukan melalui penajaman alokasi APBN, yaitu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan melakukan tiga pemberdayaan, yaitu pada usahanya berupa bantuan permodalan dan pendampingan, pada manusianya yaitu berkaitan dengan pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesehatan; dan sarana-prasarananya/lingkungannya yang mendukung usaha atau kegiatan produktif masyarakat miskin. Selain itu penajaman APBN juga dilakukan melalui Bantuan Operasional Pembangunan (BOP) kepada departemen/LPND/instansi terkait untuk melakukan pembinaan teknis terhadap lembaga-lembaga di Tingkat Daerah, Pembinaan teknis yang diterapkan meliputi pembinaan kepada manusianya, usahanya, kelembagaannya, monitoring evaluasi dan pengendaliannya.

Hambatan-hambatan yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan UMKM di antaranya adalah keterbatasan sumberdaya finansial, badan hukum dan manajemen yang konvensional, sehingga sektor ini sulit tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank). Upaya pemerintah untuk membantu UMKM misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum cukup efektif mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.

Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung

dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut).

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri memuat 3 (tiga) elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama). Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.

Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. Yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia.

Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat mengelola keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya.

Selama ini keengganan dari pihak perbankan bank komersial dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa

kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang, bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin akan menyebabkan biaya tinggi dan penuh resiko. Tingginya biaya disebabkan oleh skala kredit yang terlalu kecil untuk bank komersial, tidak mampu memberikan agunan, pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.

Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM-organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral.

Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang berasal dari kegiatan LKM itu sendiri, atau berasal dari sisa laba BUMN yang merupakan hasil kerjasama dengan pemerintah.

Dengan terbitnya kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota lebih mempunyai ruang yang luas untuk mengelola

rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan hal ini, penanggulangan kemiskinan juga harus dilakukan pada tingkat daerah terkecil, namun fungsi dasar pemerintah daerah tetap sebagai fasilitator, regulator, serta motivator. Artinya pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat sentral karena lebih mengerti dan memahami potensi, tantangan, kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Pelibatan unsur-unsur lain di luar daerah juga tetap menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena apabila pemerintah daerah mengabaikan hal ini, maka kegagalan pembangunan Indonesia selama masa orde lama dan baru akan terulang kembali.

Terkait dengan KPK Daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan khususnya untuk masyarakat miskin produktif, maka pemberdayaan dan pengembangan UMKM menjadi prioritas utama. Konsekuensinya pemberdayaan dan pengembangan LKM sesuai dengan aspek lokalitas dan karakteristik UMKM menjadi salah satu syarat dasar. Pertanyaannya, bagaimana keterkaitan di antara keduanya? LKM di tingkat daerah dengan segala fleksibilitasnya dalam menyalurkan kredit mikro untuk sektor UMKM daerah dapat dijadikan mitra bagi perbankan umum yang menganut prinsip kehati-hatian, untuk menjangkau sektor UMKM yang selama ini dianggap tidak bankable.

Kemitraan kerja ini dapat melalui dua saluran. Pertama, LKM bertindak hanya sebagai penyalur dan pendamping bagi pengusaha UMKM yang mendapat kucuran kredit dari perbankan. Fungsi executing tetap dipegang oleh perbankan. Kedua, LKM berfungsi sebagai penyalur dan pemutus kredit (kredit), dan bank bertindak sebagai pengucur kredit (perbankan mengucurkan kredit kepada LKM untuk kemudian disalurkan kepada sektor UMKM).

Pengembangan kemitraan kerja ini, harus didukung oleh unsur-unsur daerah yang lain, seperti dunia usaha dalam bentuk penciptaan kemitraan di bidang produksi, manajemen dan pemasaran, lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai pemantau, evaluasi dan penyempurnaan suatu kebijakan, serta pemerintah daerah dalam bentuk penciptaan kondisi makro dan mikro di tingkat daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Sementara itu, peran pendampingan juga LKM dapat dijalankan oleh LSM.

2.3.2.3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 1) Tinjauan umum program PEMP

Studi tentang masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan di berbagai wilayah Indonesia telah memberikan gambaran yang jelas bahwa persoalan kerawanan sosial-ekonomi seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, lemahnya kelembagaan sosial, dan lemahnya akses terhadap modal usaha, teknologi dan pasar, merupakan masalah- masalah serius yang perlu diatasi. Masyarakat pesisir yang berjumlah sekitar 16.420.000 jiwa tersebar di 8.090 desa pesisir. Mereka terdiri atas kelompok nelayan 4.015.320 jiwa, pembudidaya perairan 2.671.400 jiwa, dan kelompok sosial lainnya 9.733.280 jiwa. Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 32% atau 5.254.400 jiwa, dari total masyarakat pesisir (DKP, 2004b).

Berbagai persoalan kritis di bidang sosial dan ekonomi tersebut muncul disebabkan oleh permasalahan yang bersifat multidimensi (kompleks) dan saling terkait satu dengan lainnya. Menurut Kusnadi (2006), sebab-sebab pokok penyebab kemiskinan nelayan adalah: Pertama, belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan. Kedua, adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya perikanan telah mencapai kondisi ‘over- fishing’, musim paceklik yang berkepanjangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ketiga, masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial-ekonomi. Keempat, adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi-perikanannya. Kelima, adanya relasi sosial ekonomi yang ”eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan. Keenam adalah rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas kehidupan mereka.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan meluncurkan Program PEMP, yang dirancang sejak tahun 2001 sampai dengan 2009 dapat dipandang sebagai upaya kongkret untuk mengatasi hal-hal disebutkan di atas. Program PEMP secara umum bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan partisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya yang berbasis sumber daya lokal dan berkelanjutan, sehingga dapat mendorong dinamika pembangunan sosial ekonomi di kawasan pesisir.

Pada awalnya, Program PEMP digagas untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran (revolving fund) Dana Ekonomi Produktif (DEP). Pengelolaan DEP dilakukan oleh Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3), yaitu lembaga yang sejatinya dibentuk sebagai cikal-bakal holding company milik masyarakat pesisir.

Program PEMP memiliki 4 kegiatan utama, yaitu: (1) Pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM) di tingkat masyarakat yang bernama Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-Mikro Mitra Mina (LEPP-M3). Lembaga ini pada awalnya adalah lembaga informal yang didirikan sendiri oleh masyarakat serta dijalankan atau diorganisir oleh mereka sendiri. (2) Pengembangan usaha ekonomi produktif oleh kelompok pemanfaat yang merupakan kelompok- kelompok kecil yang memiliki kesamaan usaha, aspirasi dan tujuan. Kegiatan ekonomi produktif yang dilakukan berdasarkan atas potensi sumberdaya alam yang tersedia, peluang pasar, kemampuan dan penguasaan teknologi oleh masyarakat, serta dukungan adat dan budaya setempat. Bentuk-bentuk kegiatan ekonomi produktif meliputi usaha penangkapan ikan, budidaya ikan, serta usaha jasa yang mendukung seperti perbengkelan atau penyediaan sarana produksi lainnya. (3) Pelatihan dan pengembangan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal. Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat menjalankan program yang dilaksanakan. Agenda pelatihan lebih banyak bermuatan non-teknis seperti peningkatan motivasi, kerjasama kelompok, serta bagaimana merumuskan masalah dan menyampaikan pendapat secara tertulis maupun tidak tertulis. (4)

Pengembangan model pemberdayaan pasca program yang diarahkan pada pengembangan jaringan usaha antara masyarakat sasaran dengan kelompok lain, LSM, swasta, serta pemerintah.

Program PEMP dirancang untuk tiga tahap pengembangan, yaitu tahap pertama, 2001-2003, merupakan periode inisiasi dengan fokus pada penggalangan partisipasi dan penyadaran masyarakat (termasuk lembaga swadaya masyarakat), serta perintisan kelembagaan yang diharapkan sebagai cikal bakal holding company yang akan memayungi aktivitas ekonomi masyarakat pesisir. Sampai akhir 2003, program ini telah menjangkau 246 Kabupaten/Kota pesisir yang tersebar di seluruh Indonesia, telah terbentuk 323 Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3), 9.964 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), dan menyentuh sekitar 94.182 KK masyarakat pesisir.

Tahap kedua, yang dilaksanakan dari 2004 sampai 2006, merupakan periode institusionalisasi (penguatan kelembagaan). Dalam kurun waktu tiga tahun periode ini, program difokuskan pada revitalisasi kelembagaan melalui peningkatan status LEPP-M3 menjadi berbadan hukum koperasi. Pada akhir 2004 telah terbentuk 160 koperasi masyarakat pesisir, 89 di antaranya merupakan pengembangan LEPP-M3 dan selebihnya merupakan koperasi baru dan koperasi perikanan yang telah eksis sebelumnya. Koperasi-koperasi tersebut adalah koperasi serba usaha, yang diharapkan akan memiliki berbagai unit usaha. Tahun pertama periode institusionalisasi, koperasi tersebut difasilitasi untuk mendirikan unit lembaga keuangan mikro (LKM).

Tahap ketiga adalah tahap diversifikasi, yaitu tahap pengembangan usaha sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir dan kebutuhan pasar. Pada tahap ini dimulai dengan pengadaan program SPDN (Solar Packed Dealer) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar solar bagi nelayan dan Kedai Pesisir untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan peralatan melaut.

Peningkatan status kelembagaan ini diiringi dengan perubahan sistem penyaluran dan status dana ekonomi produktif (DEP) yang semula sebagai dana bergulir yang dikelola oleh LEPP-M3 menjadi dana hibah kepada koperasi yang

harus dijaminkan pada perbankan. Oleh karena itu dana yang dikeluarkan oleh perbankan berstatus kredit/pinjaman kepada koperasi yang dikelola oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina/USP, yaitu salah satu unit usaha milik koperasi LEPP-M3 di bidang keuangan yang pembentukan serta pengelolaannya bekerjasama antara koperasi dengan perbankan (bank pelaksana). Fungsi utama LKM ini adalah menjembatani keperluan permodalan masyarakat pesisir dengan lembaga pembiayaan/perbankan. Dengan demikian sistem penyaluran DEP yang semula melalui perguliran berubah menjadi skim kredit mikro.

Sebagai bentuk rekayasa kelembagaan lanjutan dalam rangka penyempurnaan manajemen, peningkatan pelayanan, transparansi dan kepercayaan, beberapa LKM yang bekerjasama dengan Bank Bukopin telah menerapkan sistem operasinya dengan sistem online. Kelebihan sistem ini adalah telah menggunakan teknologi informasi perbankan yang secara sistematis kinerja LKM dapat termonitor secara cermat dari waktu ke waktu. Hal ini membuat LKM beroperasi secara proporsional dan transparan.

Sejak dimulai tahun 2001 hingga tahun 2005, program ini telah menjangkau 271 dari 289 kabupaten/kota berpesisir di seluruh Indonesia, dan telah terbentuk 323 kelembagaa masyarakat LEPP-M3, 9.964 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) serta menyentuh sekitar 101.428 KK masyarakat pesisir atau 554.055 jiwa. Berdasarkan data dari 52 Swamitra Mina online, 67% sasaran Program PEMP berkaitan langsung dengan sektor perikanan dan 33% tidak terkait langsung, misalnya untuk mendukung kegiatan ekonomi pemilik bengkel, tukang ojek, industri pengolahan bahan makanan dan minuman, pemilik toko/warung makanan, dan konsumtif warga masyarakat pesisir. Jumlah dana ekonomi produktif atau penguatan modal PEMP yang digulirkan sejak tahun 2001 s.d. 2007 sebesar Rp 616.939.401.000.

Untuk meningkatkan kinerja LEPP-M3, pada tahun 2004 Program PEMP diarahkan pada penguatan kelembagaan LEPP-M3 dalam format koperasi dan pada masing-masing koperasi dibentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Peningkatan status kelembagaan ini diiringi oleh perubahan sistem penyaluran DEP, yang semula berstatus sebagai dana bergulir dikelola LEPP-M3 menjadi

dana hibah kepada koperasi yang dijaminkan pada perbankan (cash collateral). Selanjutnya, dana yang dikeluarkan oleh perbankan berstatus kredit/pinjaman dikelola oleh LKM Swamitra Mina/USP atau sejenisnya, yang merupakan salah satu unit usaha milik koperasi LEPP-M3/koperasi perikanan. Pembentukan dan pengelolaan LKM tersebut bekerja sama antara koperasi dengan bank pelaksana.

LKM ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga pembiayaan alternatif, yang cepat atau lambat akan menggantikan peran rentenir. Perbankan juga dapat menyalurkan kredit melalui LKM dengan skim kredit tidak langsung (two steps loan). Alokasi kredit diberikan kepada LKM untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat dengan skim kredit mikro yang sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir. Upaya penguatan kelembagaan tersebut sampai saat ini (periode institusionalisasi 2004-2006) telah menghasilkan 278 Koperasi LEPP- M3/Koperasi Perikanan yang mempunyai unit usaha LKM (242 unit), baik Swamitra Mina, Unit Simpan Pinjam (USP), Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pesisir, dan Baitul Qirodl. Swamitra Mina, baik online (52 unit), maupun offline (95 unit), pembinaannya dilakukan oleh Bank Bukopin; USP (68 unit), pembinaannya oleh Bank BRI (34 unit), Bank Papua (18 unit), dan Bank Maluku (16 unit); BPR Pesisir (9 unit), pembinaannya oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM); Baitul Qirodl (LKM Syariah) sebanyak 18 unit, pembinaannya oleh Bank Syariah Mandiri dan Pusat Inkubasi usaha kecil (PINBUK). Dana pihak ketiga (tabungan dan deposito) masyarakat peserta program di Swamitra Mina online sudah mencapai Rp 10.557.450.931 (data Swamitra online, November 2006) dan dana penyertaan perbankan murni di luar DEP telah mencapai Rp 10.511.920.000, serta sisa hasil usaha (SHU) mencapai Rp 2.604.098.467 dan BDR (kredit tidak lancar) 19,71%.

Pada tahun 2005 sebanyak 80 unit LKM dikembangkan melalui diversifikasi usaha. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir yang tersebar di beberapa daerah. Tujuannya adalah agar Koperasi LEPP-M3/Koperasi Perikanan dapat mengarah kepada cita-cita untuk menjadi holding company. Adapun pembangunan SPDN bekerja sama dengan PT Pertamina dan PT Elnusa Petrofin

dan untuk Kedai Pesisir bekerja sama dengan Distributor Ritel. Jumlah SPDN 112 unit, sedangkan Kedai Pesisir 118 unit.

Pembentukan kelembagaan dan perubahan-perubahan sistem di atas, semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara holistik dan sistematik sesuai dengan prinsip pemberdayaan, yaitu helping the poor to help themselves. Oleh karena itu, dalam jangka panjang Program PEMP diarahkan pada tiga hal berikut ini.

(1) Peningkatan kemandirian masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), partisipasi masyarakat, penguatan modal, dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir.

(2) Peningkatan kemampuan masyarakat pesisir untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut secara optimal, berkelanjutan