• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kondisi Umum PerikananTangkap Indonesia

2.1.4 Tingkat kemiskinan

Fauzi (2005) mendeifinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Secara anatomis, pada dasarnya kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam 2 katagori yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah dapat timbul karena faktor alam yang tidak mendukung, misalnya sumberdaya yang langka atau tidak bisa lagi menjadi daya dukung kebutuhan manusia. Kemiskinan struktural terjadi karena struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Birokrasi yang berbelit-belit dan sistem mekanisme pasar yang tidak sehat misalnya merupakan beberapa sebab kemiskinan struktural.

Menurut Rasdani (1993), kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Selain itu, tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty).

Kusnadi (2002) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah, berkaitan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.

Kusnadi (2002) mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan nilai konsumsi total 9 bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg inyak goreng, 9 kg garam, 60 liter

minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa katagori sebagai berikut:

1) Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari 200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

2) Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

3) Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

4) Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari 75% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun.

2.1.5 ”The tragedy of the commons” akar penyebab kemiskinan nelayan

Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi (kejadian-kejadian yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh orang lain) yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecilah yang akan menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena sumberdaya ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny (1990) bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya memiliki 2 karakteristik, yaitu eksludabilitas (exludability) yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau hampir tidak mungkin dilakukan dan substraktabilitas (substractability), yaitu situasi persaingan dimana bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka orang lain memperoleh lebih sedikit. Jadi substraktabilitas mengandung makna

persaingan di dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian sumberdaya milik bersama adalah jenis sumberdaya alam dimana pengawasan terhadapnya sulit dilaksanakan dan pemanfaatan secara bersama-sama melibatkan persaingan.

Kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dan eksternalitas dis-ekonomi ini merupakan variabel mendasar yang selama ini tidak diprogramkan sebagai upaya untuk membangun perikanan di Indonesia (Nikijuluw, 2001).

Di bawah kelas sumberdaya milik bersama, terdapat sistem pemilikan sumberdaya (1) akses terbuka atau tidak dimiliki oleh siapapun, (2) kepemilikan swasta, (3) kepemilikan komunal atau oleh sekelompok masyarakat, dan (4) kepemilikan pemerintah.

Sumberdaya akses terbuka, seperti selama ini diatributkan pada sumberdaya perikanan Indonesia, adalah sistem dimana tidak seorangpun yang memiliki sumberdaya tersebut. Akibatnya sumberdaya itu terbuka bagi siapa saja untuk dimanfaatkan. Kondisi sumberdaya ikan akses terbuka biasanya adalah kemunduran jumlah ikan, penangkapan secara berlebih-lebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan tidak ada seorangpun yang mau bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya.

Kemiskinan sebagai akibat akses terbuka dan pengelolaan sumberdaya secara tidak efektif karena lebih dari 80% armada perikanan Indonesia adalah armada skala kecil dan umumnya menganut prinsip rejim dan kepemilikan aset terbuka (open access) maka dampak perikanan akses terbuka ini sangat nyata bagi Indonesia.

Dengan sumberdaya ikan yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka setiap orang berhak masuk atau keluar dari sumberdaya tanpa perlu mendapat izin dari yang lain. Kondisi akses terbuka, pada awalnya akan menghasilkan keuntungan bagi industri perikanan maupun nelayan secara individu. Namun keuntungan yang dimiliki ini tidak akan bertahan lama. Karena setiap keuntungan yang diperoleh akan memacu investasi baru. Baik nelayan yang sudah ada dalam industri maupun mereka yang di luar industri akan melihat adanya keuntungan pada industri tersebut sebagai daya tarik untuk masuk ke dalam industri.

Nelayan yang sudah terlebih dahulu ada akan meningkatkan investasi usahanya, dalam bentuk penambahan kapal baru, atau meningkatkan jumlah frekwensi penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan ikan akan bertambah. Sementara itu orang lain yang berada di luar industri akan masuk ke dalam industri dalam bentuk investasi baru.

Bila proses ini berjalan terus, maka yang akan terjadi adalah perebutan yang semakin kompetetif (purely and perfectly competitive) terhadap sumberdaya yang ada yang semakin hari semakin meningkat. Oleh karena besar dan stok sumberdaya ada batasnya (carrying capacity) dan adanya sifat substraktabilitas sumberdaya yang common property, maka kompetisi yang terjadi akan membuat semakin kecil perolehan keuntungan. Bila sebelumnya, sumberdaya menghasilkan keuntungan supernormal, dengan makin bertambahnya nelayan dan kapal penangkapan ikan, maka pendapatan setiap orang nelayan akan berkurang. Proses ini pada akhirnya akan membuat penerimaan nelayan dari penjualan ikan secara rata-rata, hanya mampu untuk menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengangkapan tersebut.

Kejadian-kejadian seperti diuraikan tersebut, sering dikatakan sebagai

tragedi akses terbuka. Feeny (1990) menguraikannya sebagai tragedi milik bersama. Disebutkan sebagai suatu tragedi karena terjadinya proses pemiskinan, nelayan yang tadinya bisa meraih keuntungan pendapatan akhirnya mengalami penurunan pendapatan. Tragedi ini semakin parah karena lebih banyak orang yang terperangkap dalam usaha memanfaatkan sumberdaya milik bersama ini, terutama di negara berkembang dimana kondisi tenaga kerja relatif banyak tetapi lapangan dan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga akan terjadi aliran orang-orang yang terus masuk ke industri perikanan yang memang dicirikan dengan sumberdaya akses yang terbuka.

Karena kompetisi antara nelayan terus terjadi, maka individu yang satu berusaha melebihi yang lainnya. Semakin cepat dan semakin banyak seseorang mendapat ikan akan semakin baik bagi yang bersangkutan. Dengan permintaan ikan di pasar yang terus meningkat maka setiap orang akan berusaha memenuhi permintaan itu. Akhirnya, nelayan cenderung menggunakan cara-cara yang tidak

benar dengan merusak sumberdaya dan merusak lingkungan. Sampai pada kondisi ini maka tragedi milik bersama magnitude dan skalanya.semakin besar

Di Indonesia, secara nasional tragedi itu telah terjadi dan hal tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: Potensi lestari ikan laut Indonesia berdasarkan evaluasi potensi terakhir oleh DKP adalah sekitar 6,18 juta ton per tahun. Potensi lestari artinya bahwa jumlah ini bisa diambil dari laut setiap tahun secara kontinyu tanpa adanya kemunduran atau degradasi sumberdaya. Namun berdasarkan cara- cara pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, maka yang bisa diambil dari laut yaitu sekitar 80% dari potensi lestari, atau hanya sekitar 5 juta ton per tahun. Angka 5 juta ton dinamakan jumlah tangkapan diperbolehkan (total allowable catch)

Dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan ini yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada tahun1998 sekitar 3,8 juta ton, atau sekitar 76%, sehingga masih ada sekitar 1,2 juta ton yang dapat diambil lagi dari laut. Namun jumlah yang tersisa tersebut diprediksi akan semakin kecil karena banyak kapal asing yang mencuri ikan, banyak kapal ikan yang tidak melapor kepada yang berwajib, atau laporan di bawah angka yang sebenarnya.

Bila dinilai dengan, katakanlah, Rp 5.000 per kg ikan maka nilai hasil tangkapan pada tahun 1998 adalah Rp 19 trilyun. Nilai sebesar ini dihasilkan oleh sekitar 4 juta orang nelayan (skala besar dan kecil, industri dan tradisional). Dengan demikian dalam setahun, seorang nelayan menghasilkan sekitar Rp 4.750.000, nilai kotor sebelum dikurangi biaya operasional dan investasi. Dalam sebulan, berarti setiap nelayan menghasilkan nilai hasil tangkapan kotor sekitar Rp 395.833.

Pendapatan rata-rata nelayan per bulan ini memang tergolong rendah. Apalagi jumlah ini harus digunakan untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan itu sendiri dan juga untuk kebutuhan keluarga yang umumnya sekitar 4 jiwa per keluarga.

Inilah tragedi itu. Meskipun banyak upaya sudah dilakukan untuk menghentikan, namun tampaknya sulit, karena caranya yang salah, kurang

mengena, kurang strategis, dan tidak tepat sasaran. Sementara itu nelayan tetap bertambah karena sumberdaya ikan tetap bersifat akses terbuka. Jadilah usaha perikanan sebagai perangkap kemiskinan.