• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PENGARUH KEBIJAKAN PUBLIK, PERAKAYASAAN

5.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.1 Hasil

5.3.1.1 Kebijakan publik

Yang dimaksud dengan kebijakan publik dalam penelitian ini adalah program PEMP sebagai kebijakan publik, yang selama hampir 5 tahun masih tetap eksis dan berkembang di kedua lokasi penelitian serta relatif berdampak kepada perubahan perilaku masyarakat sebagai dampak sosial, dan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak ekonomi.

Analisis kebijakan pemberdayaan ini dilakukan melalui pendekatan pemahaman terhadap 3 indikator utama yang dianggap berpengaruh terhadap variabel kebijakan/program pemberdayaan, yaitu: bantuan dana program pemberdayaan (permodalan), skim bantuan dana program, dan keberadaan lembaga keuangan resmi sebagai mitra (bank mitra). Pemilihan tiga variable ini dilandasi oleh:

1) Bantuan dana program pemberdayaan (X31)

Salah satu penyebab ketertinggalan nelayan kecil secara ekonomi adalah ketidak mampuan nelayan mengakses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan dan sejenisnya, karena tidak mampu mengikuti aturan dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang disaratkan lembaga tersebut. Sehingga kebutuhan modal usaha mereka selama itu diperoleh dari para tengkulak, juragan dan rentenir dengan berbagai kemudahan, baik dari segi waktu (kecepatan proses), persyaratan yang ringan, dan jumlah (besaran pinjaman yang seperti tidak terbatas) walaupun dengan bunga yang relatif sangat tinggi. Hal tersebut secara sesaat dapat membantu mereka dari kesulitan, tanpa disadari bahwa secara jangka panjang kondisi ini membuat mereka terlilit hutang secara berkepanjangan. Oleh karena itu keberpihakan pemerintah dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal usaha nelayan kecil secara berkelanjutan mutlak diperlukan. Program PEMP sejatinya bertujuan memberikan solusi untuk mengatasi masalah permodalan nelayan kecil secara terencana, terarah, dan melembaga.

2) Skim bantuan dana program (X32).

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemerintah telah banyak mengalokasikan program yang identik dengan bantuan dana yang bersifat ”bantuan langsung” yang umumnya dikemas dalam bentuk kegiatan proyek jangka pendek. Secara jangka pendek hal tersebut seakan-akan membantu usaha dan kehidupan mereka, namun secara jangka panjang pola ini sungguh tidak mendidik, bahkan ada kecenderungan membuat mereka malas berfikir dan bekerja, tidak mandiri, dan selalu tergantung kepada bantuan pemerintah, yang pada akhirnya membuat mereka semakin tidak berdaya. Oleh karena itu berkaitan dengan dana bantuan, diperlukan adanya skim penyaluran dana yang bersifat mendidik, agar masyarakat belajar bertanggungjawab, dan sekaligus mengubah paradigma mereka dari paradigma ”bantuan” menjadi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan (dikembalikan), dan paradigma pemerataan menjadi pemerataan dan pertumbuhan. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya masyarakat

nelayan yang mampu mengakses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan resmi.

3) Keberadaan lembaga keuangan resmi (bank mitra) (X33).

Berkaitan dengan butir 1 dan 2, bahwa adanya bantuan dana pemberdayaan dari Pemerintah, dan adanya skim pembiayaan, belumlah lengkap apabila tidak bermitra dengan lembaga keuangan resmi seperti perbankan dan sejenisnya. Karena di samping program ini bertujuan menyiapkan masyarakat yang mampu mengakses dana dari lembaga keuangan resmi, juga secara bersamaan diharapkan lembaga-lembaga perbankan mengenal secara lebih mendalam tentang karakteristik masyarakat nelayan. Selama ini sektor perikanan kecil dianggap sebagai mitra berisiko tinggi oleh kalangan perbankan, sehingga citra nelayan di kalangan perbankan cenderung negatif.

Hasil survei terhadap responden tentang kebijakan publik di Kabupaten Cirebon menunjukan, bahwa 32.5–36% memberikan penilaian baik (4 skala

Likert) untuk ketiga indikator kebijakan publik perikanan tangkap tersebut. Secara kumulatif, hanya sekitar 25 – 30% responden yang memberikan penilaian 1 dan 2. Hal ini menunjukan, bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan dalam bentuk program PEMP dapat diterima dengan baik oleh masyarakat

nelayan setempat (Gambar 9).

0% 20% 40% 60% 80% 100% X31=Program pemberdayaan X32=Skim program pemberdayaan X33=Keberadaan bank mitra P ro sen tas e

1=Buruk sekali 2=Buruk 3=Cukup 4=Baik 5=Sangat baik

Hampir sama dengan nelayan di Cirebon, nelayan di Indramayu juga merespon positif kebijakan tersebut. Sekitar 30 – 35 % nelayan di Indramayu memberikan penilaian ”4” terhadap indikator-indikator kebijakan publik perikanan. Namun secara kumulatif responden yang memberikan penilaian 1 dan 2 di Indramayu lebih besar dibanding Cirebon, yaitu berkisar antara 30 – 40%. (Gambar 10)

Masih adanya persepsi responden yang diekspresikan dengan nilai 1-2, baik untuk Cirebon maupun Indramayu yang relatif besar, umumnya datang dari responden yang mengalami kesulitan mengakses atau mengembalikan pinjaman.

0% 20% 40% 60% 80% 100% X31=Program pemberdayaan X32=Skim program pemberdayaan X33=Keberadaan bank mitra P ro sen tase

1=Buruk sekali 2=Buruk 3=Cukup 4=Baik 5=Sangat baik

Gambar 10 Persepsi responden terhadap program pemberdayaan di Indramayu

5.3.1.2 Perekayasaan kelembagaan

Kelembagaan dianggap sebagai suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi

(predictable) dalam hubungan antar manusia. Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal seperti Negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencuri hak-hak orang lain.

Menurut Commons (1934), kelembagaan adalah collective action in

restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan

dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Kelembagaan dapat juga diartikan sekumpulan orang yang mempunyai visi, misi dan tujuan yang sama dalam mencapai tujuan (Arifin dan Didik , 2001)

Kaitannya dengan perekayasaan kelembagaan perikanan, analisis kelembagaan disini difokuskan untuk mengkaji kelembagaan nelayan yang mampu menaungi dan menjembatani kepentingan serta kerjasama semua pelaku perikanan tangkap, seperti nelayan, kalangan swasta, pemerintah pusat maupun daerah. Secara umum, perekayasaan kelembagaan perikanan di tingkat nelayan di lokasi kajian diarahkan dan dikembangkan melalui program PEMP beserta turunannya.

Program PEMP merupakan awal perintisan kelembagaan yang terprogram dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan di Cirebon. Sebagai program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan dan penggalangan partisipasi masyarakat, serta kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya, PEMP diprediksi mampu menumbuhkan dan menguatkan lembaga ekonomi mikro pada masyarakat nelayan, seperti: Lembaga Keuangan Mikro (LKM)-Swamitra Mina dan Koperasi LEPP-M3. Sedangkan, lembaga-lembaga lain yang sudah ada sebelum program PEMP adalah Koperasi Unit Desa (KUD), Bank Rakyat Indonesia, dan tempat pelelangan ikan (TPI), dinilai belum secara signifikan dapat memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan.

Indikator yang dikaji dari variable Perekayasaan Kelembagaan ini adalah, organisasi/kelompok nelayan, koperasi LEPP-M3, dan lembaga keuangan mikro (LKM).

1) Kelembagaan nelayan (X11)

Salah satu kelemahan praktek usaha nelayan kecil adalah dilakukan secara individual, tradisional, dan bersifat subsisten, sehingga sulit untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih besar dan kuat. Oleh karena itu, salah satu upaya yang pernah dicoba di dalam program PEMP antara tahun 2001 sampai dengan 2003 (Ditjen KP3K, 2003), adalah mendorong usaha- usaha nelayan penerima bantuan program dilakukan secara berkelompok.

Hal ini dilakukan dalam rangka menggalang rasa kebersamaan dalam pemupukan modal, penyerapan teknologi, dan antisipasi dalam mengatasi kebutuhan dan kelayakan modal usaha, efektifitas usaha, dan akses pasar. Modal yang diberikan kepada kelompok berupa pinjaman bergulir antar kelompok dengan besaran sesuai dengan rencana usaha yang diajukan oleh kelompok usaha tersebut. Sesuai dengan perkembangannya, maka kelompok-kelompok usaha tadi diwadahi dalam kelembagaan yang lebih teratur dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum yaitu kelembagaan koperasi.

2) Koperasi LEPP-M3 (X12).

Salah satu kendala lain di samping sifat usaha nelayan seperti disebut pada butir (1), adalah sulitnya usaha nelayan dipercaya oleh pihak luar, seperti perbankan, investor dan pasar. Hal ini disebabkan oleh walaupun lembaga mereka sudah lebih dari sekedar kelompok, namun lembaga tersebut sulit dipertanggungjawabkan keabsahanya secara hukum, yang merupakan salah satu modal kepercayaan bagi pihak luar. Sehingga sejak tahun 2004, program PEMP mendorong kelompok-kelompok atau lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi berbadan hukum yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat stempat yaitu Koperasi. Karena kelembagaan masyarakat nelayan sebelumnya disebut LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-Miro Mitra Mina), maka koperasi yang dibentuk tersebut menggunakan nama Koperasi LEPP-M3.

3) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina (X13).

Kendala utama dalam usaha nelayan adalah lemahnya akses terhadap sumber permodalan, terutama akses terhadap lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena ketidak- mampuan nelayan untuk menyiapkan persyaratan yang ditentukan, baik berupa agunan maupun persyaratan administrasi lainnya. Oleh karena itu didorongnya pembentukan LKM yang dapat diakses oleh masyarakat nelayan, adalah salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun LKM yang dibentuk adalah LKM yang dikelola secara

profesional, taransparan dan mandiri, serta melibatkan lembaga-lembaga keuangan resmi sebagai mitra dan pembina. LKM dipandang sebagai sebuah lembaga keuangan mikro yang sesuai dengan karakteristik masyarakat nelayan yang sederhana dalam segala hal, yang sedapat mungkin menghindari hal-hal atau aturan yang rumit. LKM juga melayani kebutuhan nelayan kecil yang tidak terlalu besar, karena pada umumnya usaha nelayan kecil bahkan tergolong mikro. Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya mengenai keberadaan bank mitra, maka LKM dalam program PEMP bekerjasama/bermitra dan mendapatkan binaan manajemen dari bank pelaksana atau lembaga keuangan sejenis sebagai mitra. Seperti disebutkan DKP (2007), bahwa sampai saat ini LKM masyarakat nelayan bermitra dengan Bank Bukopin (LKM Swamitra Mina), Bank BRI, Bank Papua, Bank Maluku, Bank Syariah Mandiri (USP Baetul Qirod), dan PT. Perbankan Nasional Madani (BPR Pesisir).

Hasil penelitian menunjukan, bahwa secara umum responden di Cirebon memberikan penilaian positif terhadap variabel-variabel perekayasaan kelembagaan. Secara kumulatif, hampir 40-50 % responden memberikan

penilaian 4-5 skala Likert. Sebaliknya, yang memberikan penilaian 1-2 hanya

Gambar 11 Persepsi responden terhadap perekayasaan kelembagaan di Cirebon

Tidak jauh berbeda dengan di Cirebon, perekayasaan kelembagaan perikanan tangkap di Indramayu diinisiasi sejak dilaksanakannya program PEMP. Lembaga-lembaga seperti Swamitra Mina dan LEPP-M3 juga tumbuh dengan baik di Indramayu. Lembaga lain yang telah lebih dahulu eksis adalah KUD, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan koalisi masyarakat pesisir Indramayu (KOMPI).

Hasil penilaian responden di Indramayupun tidak jauh berbeda dengan nelayan di Cirebon. Secara kumulatif, sebanyak 45-50 % responden di Indramayu

memberikan penilaian 4-5. (Gambar 12)

0% 20% 40% 60% 80% 100%

X11=Kelembagaan nelayan X12=Koperasi LEPP-M3 X13=LKM Swamitra mina

Pr

osent

ase

0% 20% 40% 60% 80% 100%

X11=Kelembagaan nelayan X12=Koperasi LEPP-M3 X13=LKM Swamitra Mina

P ro s en ta se

1=Buruk sekali 2=Buruk 3=Cukup 4=Baik 5=Sangat baik

Gambar 12 Persepsi responden terhadap perekayasaan kelembagaan di Indramayu