• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Thomas Dye (dalam Tangkilisan, 2003:1) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah

harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan. menurut Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:30) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Solichin Abdul Wahab (2008:4) merincikan konsep mengenai kebijakan publik dalam beberapa poin antara lain, pertama kebijaksanaan Negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebuah perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina akan mencakup beberapa tindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negatif berupa keputusan pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

II.1.2 Bentuk Kebijakan Publik

Terdapat tiga kelompok rentetan kebijakan publik yang dirangkum secara sederhana yakni sebagai berikut (Nugroho Riant, 2006:3) :

1. Kebijakan Publik Makro

Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga dikatakan sebagai kebiajakn yang mendasar. Misalnya: (a) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945; (b) Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c) Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah.

2. Kebijakan Publik Meso

Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau yang lebih dikenal dengan penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar-menteri, Gubernur dan Bupati atau Walikota.

3. Kebijakan Publik Mikro

Kebijakan publik yang bersifat mikro, mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang berada di bawah menteri, Gubernur,Bupati dan Walikota.

Dalam hal ini program kemitraan dan bina lingkungan merupakan kebijakan publik meso karena kebijakan ini dibuat oleh kementrian BUMN dengan peraturan PER-09/MBU/07/2015 namun dalam pelaksanaannya maka dapat dikatakan menjadi kebijakan publik mikro karena kebijakan publik mikro mengatur tentang pelaksanaannya atau implementasi dari kebijakan tersebut. Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus diuji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut :

II.1.3 Tahapan Kebijakan 1. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumusan kebijakan.

Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan,dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan ”bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antar direktur lembaga atau keputusan peradilan.

4. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh pelaksana.

5. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakalh kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan. (Budi Winarno, 2007:35-37).

Maka dari penjelasan diatas dapat dilihat beberapa tahapan kebijakan publik. Dimana sesuai dengan tahapan tersebut maka adanya implementasi kebijakan oleh para agen pelaksana kebijakan tersebut. Oleh karena itu maka ada penjelasan yang lebih konkrit mengenai implementasi kebijakan sebagai berikut:

III.1.4 Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi (dalam Tangkilisan, 2003:20). Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah . Menurut pressman dan wildavsky ( tangkilisan 2003: 17) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya. Tangkilisan (2003:18) implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diingikan.

Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kegiatan dirumuskan. Menururt Robert Nakamura dan Frank Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003:19) hal-hal yang berhubungan dengan implementasi adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus.. Jadi tahapan implementasi

merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah .

Berdasarkan pemaparan beberapa pendapat ahli tersebut maka penulis menyimpulkan bahwasanya implementasi merupakan suatu tahapan yang digunakan setelah suatu kebijakan ditetapakan, kegiatan-kegiatan pelaksanaan program dari pemerintah dimana para agen pelaksana ditetapkan sebagai penghubung untuk menjalankan dan menerapkan kebijakan tersebut secaraa terencana dan teorganisir yang bermanfaat untuk mencapai hasil yang diharapkan maka dalam proses pencapaiannya ditetapkannlah indikator dan atau variabel yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program atau kegiatan sehingga mencapai sasaran kebijakan dengan memperhatikan dampak yang ada. Maka ada beberapa model implementasi kebijakan menurut para ahli yang dapat digunakan sebagai variabel pengukur keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan , anatara lain:

2.1.5 Model-model Implementasi Kebijakan

Penggunaan model analisis kebijakan untuk kepentingan analisis maupun penelitian sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permaslahan kebijakan yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. pedoman awal yang dikemukakan oleh Solichin (2004: 70) adalah semakin kompleks permasalahan

kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan semakin model yang relatif operasional, model yang mampu menghubungkan kausalitas antar variable yang menjadi fokus masalah. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu :

a. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn 1975

Menurut Meter dan Horn ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi (dalam subarsono 2005:19), yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terstruktur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. Mengukur kerja implementasi kebijakan tentunya akan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

2. Sumber daya

Kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human resource) maupun sumber daya non-manusia (non-human resource). Keberhasilan implementasi sangat tergantung dari kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai

dengan pekerjaan yang dilimpahkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya financial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementai kebijakan.

3. Komunikasi antar organisasai dan penguatan aktivitas

Dalam berbagai kasus implementasi, sebuah program terkadang perlu dukung dan koordinasi dengan instansi lain agar tercapai keberhasilan kebijakan yang diinginkan.

4. Karakteristik agen pelaksana

Mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni:

a) Respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

b) Kognisi, yaitu pemahamannya terhadap kebijakan.

c) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor

b. Model Implementasi Edward III 1980

Studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy (Indiahono. 2009: 32). Implementasi kebijakan adalah pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekali pun kebijakan itu di implementasikan dengan sangat baik. sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di implementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Menurut Edward ada empat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik (dalam subarsono 2005:90-92)

1. Komunikasi

Menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (Kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari program atau kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam lingkungan yang sesungguhnya.

2. Sumber Daya

Kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program atau kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan pemerintah agar berjalan efektif. Adapun indikator yang dapat digunakan dalam melihat sejauh mana sumber daya mempengaruhi implementasi kebijakan, adalah:

a. Staf, merupakan sumber daya utama dalam pelaksana implementasi kebijakan. Kegagalan yang sering terjadi dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, salah satunya disebabkan oleh staf atau pegawai yang tidak cukup berkompeten dalam bidangnya, tidak memadai dan tidak mencukupi.

b. Informasi, mempunyai dua bentuk, yaitu pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.

c. Fasilitas, merupakan menjadi faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Para pelaksana kebijakan mungkin mempunyai stau yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program atau kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan di hadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan program atau kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktifitas organisasi tidak fleksibel.

II.1.6 Variabel yang relevan dengan Implementasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan, perlu diketahui variabel-variabel atau faktor-faktor penentunya. Semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional, yang mampu menghubungkan kausalitas antar variabel yang mejadi fokus masalah. Beberapa model yang berisikan variabel-variabel untuk mengukur implementasi telah dikemukan oleh para ahli.oleh karena itu variabel-variabel yang penulis gunakan untuk penelitian ini kiranya dapat mengukur pengimplementasian program kemitraan dan bina lingkungan, adapun variabel-variabel yang penulis gunakan adalah :

1. Standar dan sasaran kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terstruktur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterprestasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. Mengukur kerja implementasi kebijakan tentunya akan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

2. Sumber daya (Resources)

Sumber daya Manusia (SDM) yang tidak memadai (Jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bias melakukan pengawasan dengan baik. Keberhasilan proses implementasi

kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya menunjukkan setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia, fasilitas, dan financial. Ketersediaan sumber daya mempengaruhi efektifitas implementasi suatu program kebijakan.

3. Komunikasi

Dalam menjalankan implementasi kebijakan yang efektif haruslah adanya komunikasi yang baik, akurat dan mudah dimengerti agar mereka yang melaksanakan keputusan mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Komunikasi diperlukan supaya tercipta konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi adalah dalam hal bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada publik untuk memperoleh respon dari pihak-pihak yang terlibat.Komunikasi antar organisasi juga menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan dengan program atau kebijakan. Implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. koordinasi adalah praktik dari pelaksanaan kekuasaan dan kejasama antarpihak yang mempunyai kewenangan. Jenis manfaat yang dihasilkan, implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

4. Struktur birokrasi

Struktur birokrasi yang mengimplementasikan kebijakan menjadi pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari orginasasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (Standard

Operational Procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementasi dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

5. Disposisi atau sikap

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi dengan baik, maka ia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang sama dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi efektif. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni:

Kebijakan –kebijakan yang dibuat beradasarkan kepentingan pemerintah untuk melakukan pembangunan berkelanjutan salah satunya yaitu aspek ekonomi. Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur bahwa perusahaan-perusahan yang ada di Indonesia wajib melaksanakan kegiatan yang memiliki pengaruh positif terhadap masyarakat dan hal tersebut dijadikan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar perusahaan baik lingkungan ekonomi, sosial, dan lainnya. Maka konsep tersebut dikenal dengan nama CSR ( corporate social responsibility) adalah konsep yang mengahrapkan bahwa perusahaan itu tidak hanya sekedar mencari keutungan semata melainkan memberikan alternatif dalam pemberdayaan masyarakat miskin sekitar lokasi

perusahaan. Hal ini diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang perusahaan terbatas. Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbbatas menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan ligkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Dengan demikian penulis menyertakan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian serta manfaat dari CSR.

Dokumen terkait