• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kebijakan Tarif dan Harga dalam Industri Kelapa Sawit

Industri kelapa sawit di Indonesia yang dimulai dari buah kelapa sawit sebagai produk perkebunan sampai berbagai produk turunannya begitu penting.

Industri kelapa sawit sebagai penghasil devisa negara, pembuka kesempatan lapangan kerja, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik. Karena bekaitan dengan hajat hidup orang banyak, pemerintah dituntut perannya dalam pengaturan dan kebijakan industri kelapa sawit di Indonesia (Permadi, 2005).

Dalam suatu pasar yang sederhana, harga dan kuantitas dari produklah yang akan menentukan tercapainya suatu keseimbangan. Namun, dalam pasar yang semakin global dan kompleks, penentuan harga dan kuantitas juga akan semakin sulit untuk dilakukan. Selain mempertimbangkan permintaan dan penawaran domestik, hal lain yang harus mempertimbangkan adalah permintaan dan penawaran luar negeri yang juga berkaitan dengan perbedaan dan fluktuasi mata uang antar negara. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana kebijakan perdagangan di masing-masing negara terhadap produk yang diperdagangkan melalui aktivitas ekspor dan impor. Melalui aktivitas ekspor dan impor terdapat tantangan dalam menghadapi berbagai kebijakan tarif dan non-tarif.

Kebijakan tarif atau di Indonesia disebut dengan kebijakan Pajak Ekspor (PE), dimana kebijakan ini akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar dunia. Tujuan dari kebijakan tarif ini adalah menjamin adanya pasokan CPO di pasar domestik. Namun, kebijakan ini pun dapat menurunkan pangsa pasar

CPO Indonesia di pasar dunia. Apabila harga ekspor CPO Indonesia terus meningkat maka pasar akan memilih CPO dari negara lain. Kebijakan Pajak ekspor cenderung menjadi barrier dalam perdagangan internasional.

Perkembangan harga CPO dan minyak goreng cenderung naik secara konsisten. Sebagai informasi tambahan, kenaikan harga tersebut juga diikuti dengan kenaikan harga TBS. Harga-harga tersebut bergerak searah satu sama lain.

Gambar 3 menunjukkan Pergerakan Harga TBS, CPO dan Minyak Goreng Curah (Januari 2005– Juni 2007).

Gambar 3 Pergerakan Harga TBS,CPO dan Minyak Goreng Curah

Sumber : BPS, 2007

Melihat pergerakan harga TBS, CPO dan Minyak goreng curah yang terus meningkat, maka Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap kelapa sawit dan tingkatnya berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Pajak ekspor yang tinggi dikenakan ketika harga kelapa sawit dunia tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin supply yang cukup dalam penyediaan minyak untuk konsumsi pasar domestik. Misalnya, pada tahun 1979 dimana ekspor dikenakan pajak yang sangat tinggi atau dengan pelarangan ekspor. Demikian halnya pada tahun 1984, pemerintah mengenakan pajak ekspor tinggi sebesar 37,18 persen pada CPO

500

karena harga CPO dunia tinggi pada juni 1986 dan menjadi nol persen ketika harga dunia rendah.

Pemerintah menderegulasi perdagangan kelapa sawit dan kopra pada tahun 1991. Pengusaha bebas mengimpor CPO dan kopra dengan pajak impor 5 persen, sedangkan untuk minyak makan yang berasal dari kelapa sawit dan kelapa dikenakan pajak 10 persen. Pada september 1994, pemerintah kembali mengenakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya pada tingkat 40 persen hingga 75 persen. Alasan dibalik pengenaan pajak tinggi ini adalah karena harga dunia mulai meningkat dan mencapai harga tinggi pada agustus 1994. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia bertujuan untuk menjaga stabilitas kesediaan minyak kelapa sawit di Indonesia. Pada November 1996, stardar harga ekspor diturunkan untuk CPO sebesar 2,6 persen, RBD kelapa sawit sebesar 2,7 persen, crude olein sebesar 2,9 persen, dan RBDP olein sebesar 2,7 persen. Pada Juli tahun berikutnya, pemerintah kembali menaikkan pajak ekspor untuk mendorong pengembangan industri hilir dengan meningkatkan nilai value added industri kelapa sawit.

Deregulasi perdagangan kelapa sawit terus berlanjut hingga pada tahun 1997. Deregulasi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Indonesia menghadapi globalisasi. Perubahan Pajak Ekspor terus terjadi hingga tahun 2008. Pada tahun 2008, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang lebih rendah dalam bentuk harga dasar ekspor kelapa sawit dan turunannya. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor yang dapat meningkatkan penerimaan devisa, pada tahun 2001 pemerintah memandang perlu meninjau kembali besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Tabel 4 berikut menggambarkan

perkembangan penetapan tarif pajak ekspor. Khusus komoditi kelapa sawit pada tahun 1999 tarif yang dikenakan adalah 40 persen, namun pada tahun 2001 tarif yang dikenakan adalah sebesar 5 persen. Pemerintah akan menaikan tarif pajak ekspor ketika harga internasional tinggi, karena hal ini akan merangsang produsen untuk memilih mengekspor ke pasar internasional.

Tabel 4 Perkembangan Penetapan Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya, 1999-2007

No. Jenis Komoditi Kode HS 1999 2000 2001 2007 1 Kelapa Sawit (Tandan Buah

Segar) dan Biji Kelapa Sawit

1207.10.000 40% 3% 5% 10%

2 Crude Palm Oil (CPO) 1511.10.000 40% 5% 3% 6.5%

3 Refined Belached Deodorized Palm Oil (RBD PO)

1511.90.000 32% 1% 2% 2%

4 Crude Palm Olein (CRD Olein) 1511.90.000 41% 2% 1% 2%

5 Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Olein)

1511.90.000 32% 2% 1% 2%

Sumber: Departemen Pertanian, 2007

Penentuan untuk pajak ekspor dalam industri kelapa sawit di Indonesia yang digunakan oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Daerah adalah diberlakukan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Tabel 6 merinci HPE untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya yang berlaku.

Kelapa sawit dan biji kelapa sawit dengan harga HPE sebesar US$ 35, sedangkan untuk Crude Palm Oil (CPO) sebesar US$ 160. Hal ini menunjukkan bahwa harga HPE untuk CPO cukup tinggi, dimana harga CPO yang tinggi akan merangsang produsen untuk mengekspor ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor maka akan terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri. Tabel 5 menjelaskan Harga Patokan Ekspor (HPE) kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya.

Tabel 5 Harga Patokan Ekspor (HPE) Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya

No. Kode HS Nama Komoditi Harga US$/Ton

1 1207.10.000 Kelapa Sawit dan Biji Kelapa Sawit

35 2 1511.10.000 Crude Palm Oil (CPO) 160 3 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized

Palm Oil (RBD Olein)

175 4 1511.90.000 Crude Palm Olein (CRD Olein) 165 5 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized

Palm Olein (RBD Palm Olein)

190 Sumber : Departemen Perdagangan, 2007

CPO yang berasal dari kelapa sawit pada awalnya dijual berdasarkan Tandan Buah Segar (TBS). Harga TBS di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam periode 1997-2004 walaupun terjadi penurunan harga cukup drastis pada tahun 1999 setelah terjadi peningkatan pada tahun 1998. Pemasaran dan perdagangan CPO lewat Kantor Perkebunan Bersama (KPB) sejak tahun 2000 juga menunjukkan tren peningkatan. Harga ekspor dan harga impor CPO berfluktuasi seiring dengan perubahan kekuatan permintaan dan penawaran.

Apabila permintaan tinggi umumnya harga akan meningkat dan penawaran di pasaran akan naik. Harga ekspor CPO tertinggi mencapai US$ 546,34/ton pada tahun 1998 dan harga terendah mencapai US$ 219,78/ton pada tahun 2001. Harga impor CPO tertinggi yang dicapai yaitu US$ 622,36/ton pada tahun 2003 dan US$

165/ton pada tahun 2000. Kondisi harga ekspor dan impor ini tidak terlepas dari harga pasar CPO dunia, seperti di pasar Eropa. Pasar Eropa merupakan tujuan ekspor yang paling banyak sehingga harga yang berada di pasar besar pun menentukan harga pasar dunia. Walaupun Indonesia sebagai negara besar dalam pasar, tetapi harga ditentukan oleh pasar dan negara besar produsen lainnya.

Dalam pasar dunia, harga di tentukan oleh negara besar dan negara dengan pasar terbesar. Tabel 6 menjelaskan tren harga CPO tahun 1997 hingga 2007.

Tabel 6 Tren Harga CPO, 1997-2004

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Pengaturan tataniaga minyak sawit telah dilakukan sejak tahun 1978. Berbagai instrument kebijakan telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu pengendalian laju inflasi, mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat dan pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996).

Beberapa instrument kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penerapan pajak ekspor, penerapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar dan pelarangan ekspor. Instrumen kebijakan yang sangat popular dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang berkepentingan adalah pungutan ekspor (levy export) dan pelarangan ekspor (export ban).

Komoditi Minyak sawit telah banyak menjadi bahan penelitian bagi para peneliti sebelumnya, baik mengenai budidaya, produksi, harga, penjualan dan pertumbuhan permintaan CPO itu sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa komoditi ini telah menjadi bahan yang penting dan menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Tidak itu saja, tapi pengelolaan CPO telah menjadi sebuah industri yang perlu perencanaan dan analisis pengembangan yang matang.

Drajat (1998) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi harga minyak goreng dan menganalisis dampak kebijakan pajak ekspor CPO terhadap tingkat stabilitas harga minyak goreng. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspor CPO dipengaruhi oleh produksi, harga ekspor, nilai tukar dan harga patokan pasar. Harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Pajak ekspor juga tidak berpengaruh untuk terciptanya stabilitas harga CPO dalam negeri.

Rifin (2005) menganalisis dampak dari pajak ekspor terhadap ekspor CPO dan daya saing ekspor CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Penelitian tersebut menggunakan model ekonometrik persamaan simultan dari fungsi permintaan ekspor dan fungsi harga. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak ekspor memiliki dampak yang lebih besar terhadap ekspor CPO Indonesia jika dibandingkan dengan variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia, selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.

Susilowati (1989) dengan menggunakan data tahun 1969 hingga 1998 dan menggunakan alat analisis pendugaan Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas CPO domestic terhadap tingkat pendapatan bersifat elastis, akibat kebijaksanaan pemerintah untuk mengalokasikan sebagian besar produksi CPO guna menjamin kebutuhan bahan baku minyak goring dalam negeri, sedangkan harga CPO dalam negeri dan harga kopra tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan beberapa penelitian penerapan pajak eskpor pada komoditas CPO akan mengakibatkan harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor, maka harga minyak goreng dalam negeri akan meningkat akibat kelangkaan CPO di pasar dalam negeri. Harga domestik yang meningkat tidak sejalan dengan tujuan diberlakukan pajak ekspor. Tujuan pajak ekspor adalah terjaminnya pasokan dalam negeri sehingga dapat terjadinya stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Pajak eskpor yang diterapkan oleh pemerintah akan mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat. Pajak ekspor yang mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat di pasar dunia mengakibatkan adanya pilihan bagi pasar dunia untuk memilih CPO dari negara lain yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga CPO Indonesia. Pajak ekspor memberikan dampak yang negatif terhadap daya saing perdagangan CPO Indonesia. Harga CPO Indonesia yang tinggi seharusnya dapat membuat produsen CPO beralih ke pasar

domestik. Harga CPO dunia yang tinggi tetap membuat produsen CPO Indonesia memilih mengekspor ke pasar dunia. Pasar domestik tetap mengalami kekurangan pasokan, akibatnya harga minyak kelapa sawit domestik tetap tinggi. Sehingga kebijakan Pajak ekspor ini tidak efektif.

Dokumen terkait