• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR

(Crude Palm Oil) INDONESIA

Oleh :

RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

(2)

RINGKASAN

RAMIAJI KUSUMAWARDHANA. Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia.

Bimbingan NUNUNG KUSNADI.

Komoditi kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Sebagai sumber lapangan kerja, sektor kelapa sawit ini pun menyerap tenaga kerja dari sektor hulu hingga hilir. Berdasarkan kepemilikannya perkebunan kelapa sawit terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Milik Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Milik Pemerintah (PTPN).

Kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng yang kedudukannya semakin penting dan sebagai perolehan devisa menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan. Pilihan pemerintah antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa. Pemerintah merasa perlu berperan dalam mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah berupa pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan menentukan aturan-aturan alokasi CPO pada tempat tertentu. Kebijakan yang lain adalah pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik dan pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Tujuan utama dari penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri pun stabil pada tingkat yang rendah

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan Pajak Ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia, menganalisis sejauhmana penawaran ekspor mempengaruhi penawaran domestik dan harga domestik. Penelitian ini pun untuk mengidentifikasikan apakah penerapan kebijakan Pajak Ekspor menjamin suplai CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan diberlakukan kebijakan tersebut.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Jenis data sekunder bersumber dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, BPS Jakarta, LIPI Jakarta, LIPI Bogor, LPRI Bogor, Perpustakaan IPB, Internet serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini.

Data tersebut berupa angka-angka, grafik, dan gambar. Sumber-sumber lainnya berupa majalah, koran, jurnal hasil penelitian dan buku-bukun literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian, produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar memiliki hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Jika produksi CPO Indonesia meningkat maka penawaran ekspor CPO Indonesia akan meningkat. Apabila harga ekspor CPO Indonesia meningkat, maka penawaran ekspor CPO akan meningkat.

(3)

Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor.

Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik.

Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domesti Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak.

Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Harga CPO Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai tidak memiliki hubungan dengan harga domestik CPO Indonesia. Hal ini menunjukkan minyak kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda.

Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia.

Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar. Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik.

(4)

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR

(Crude Palm Oil) INDONESIA

Oleh :

RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

(5)

JUDUL : Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil) Indonesia

NAMA : Ramiaji Kusumawardhana NRP : A14104073

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 131 430 801

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus:

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.

SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2008

Ramiaji Kusumawardhana A 14104073

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 Januari 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan DR.Dr.H. Hendro Darmawan, MSc.SpJP dan DR.Ir.Hj.Delima Hasri Azahari Darmawan, MS. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Polisi IV Bogor pada tahun 1998, lalu menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Bogor pada tahun 2001, kemudian menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi Duta Muda ASEAN- Indonesia tahun 2007-2008, Ketua Yayasan Delima Harapan Bangsa (DHB) tahun 2008-sekarang, Public Relation (PR) dari South East ASIA Youth Environment Networking (SEAYEN) tahun 2007-2008, UNICEF Voluntary Board tahun 2006- 2007, Anggota Departemen Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian tahun 2006-2007, Staf Bendahara Umum MISETA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian) tahun 2005-2006, serta Bendahara Umum Himipunan Kesatuan Mahasiswa Agribisnis tahun 2004-2005.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamiin, penulis limpahkan rasa syukur kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang mengambil judul “Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia” sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pertanian jurusan Manajemen Agrisbisnis Institut Pertanian Bogor.

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini, banyak pihak yang dapat mengambil manfaat dan hasil dari penelitian ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas saran dan kritiknya serta pihak-pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Bogor, September 2008

Penulis

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang teramat dalam, perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi,MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan kemudahan, nasehat, dan bimbingan serta kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak ada kata lain selain terima kasih atas bimbingan bapak.

2. Dr.Ir. Ratna Winandi, MS sebagai dosen penguji utama yang telah berkenan meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Faroby Falatehan, SP. ME sebagai dosen penguji dari wakil komisi pendidikan Program Studi Manajemen Agribisnis atas segala kritik dan saran yang telah diberikan.

4. Ayahanda tercinta, Dr.dr.H. Hendro Darmawan, MSc.SpJP dan Ibunda tercinta, Dr.Ir.Hj.Delima Hasri Azahari Darmawan, MS yang telah menjadi teladan dan inspirator dalam kehidupan penulis. Rasa sayang dan rasa hormat yang tak terhingga untuk kalian, sebagai seseorang yang sangat penulis cintai. Terima kasih untuk semuanya.

5. Sekretariat Program Studi Manajemen Agribisnis (Mbak Dian, Mbak Dewi, dan Mas Hamid) serta seluruh staf pengajar dan karyawan/wati Departemen Agribisnis, Faperta IPB yang telah banyak membantu penulis.

(10)

6. Om Sony, serta semua pihak dalam Pusat Sosial Ekonomi (PSE) atas kerjasama, bimbingan, serta bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

7. Kakakku tercinta Ranitya Kusumadewi, SE. ST dan adikku Rahmadia Kusumamardhika sebagai saudara, sahabat, dan teman berbagi. Terima kasih karena dengan kehadiran kalian membuat kehidupan penulis menjadi lebih bermakna.

8. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL …...……….………... xiii

DAFTAR GAMBAR ...………...…...………. xv

DAFTAR LAMPIRAN .…….………….……...……...……….. xvi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...…………...……….……… 1

1.2 Perumusan Masalah ...…….……….………. 8

1.3 Tujuan Penelitian ....…………...……… 10

1.4 Manfaat Penelitian ...………...…...……..……….. 11

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Posisi Sawit di Indonesia ….………..……….…... 12

2.2 Luas Areal Perkebunan Sawit di Indonesia ...14

2.3 Kebijakan Tarif dan Harga dalam Industri Kelapa Sawit ... 16

2.4 Perdagangan CPO Indonesia ... 24

2.5 Prospek dan Tantangan Industri Kelapa sawit di Indonesia ... 27

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Permintaan dan Penawaran Kelapa Sawit ... 32

3.2 Perdagangan Internasional ……... 37

3.3 Ekspor Kelapa Sawit Indonesia ... 39

3.4 Pajak Ekspor Kelapa Sawit Indonesia ... 41

3.5 Kerangka Pemikiran Teori ... 43

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data ………...……….…… 47

4.2 Metode Pengumpulan Data …...…...………..……… 47

4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ….………...…………... 48

4.4 Spesifikasi Model Simultan ……….……….. 49

(12)

4.5.1 Penawaran Ekspor CPO Indonesia ………....…….51 4.5.2 Penawaran Domestik CPO Indonesia ……….52 4.5.3 Model Harga CPO Domestik Indonesia ………....……… 53 4.5 Identifikasi Model………55 4.6 Definisi Operasional ...……..………..…………..……….… 58 4.7 Pengujian Terhadap Hipotesis ... 60

V. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT INDONESIA

5.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia …..……..….……. 64 5.2 Perkembangan Harga Ekspor CPO Indonesia ………….……..…... 69 5.3 Pengaturan Tataniaga CPO Indonesia oleh Pemerintah ………...… 73 5.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika………77 5.5 Perkembangan Harga Ekspor Minya Kelapa Indonesia …..…….... 78

VI. PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN CPO 6.1 Hasil Pendugaan Model Perdagangan CPO Indonesia………... 81 6.2 Penawaran Ekspor CPO Indonesia ……….………….. 82 6.3 Penawaran Domestik CPO Indonesia ………....…………...……… 86 6.4 Harga Domestik CPO Indonesia ………...…....…….. 89

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ...…….………...… 93

Saran

………..………

94

DAFTAR PUSTAKA ………..… 96 LAMPIRAN …………..……….. 99

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Areal Kelapa Sawit Indonesia 2000-2007... 2

2. Perbandingan Total Ekspor dan Impor Terhadap GDP Indonesia Tahun 1996...…………..………... 8

3. Produksi Minyak Sawit Dunia 1969, 1980, 2001 dan 2004... 13

4. Perkembangan Penetapan Tarif Pajak ekspor Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya, 1999-2001... 19

5. Harga Patokan Ekspor (HPE) Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya... 20

6. Tren Harga CPO, 1997-2004... 21

7. Produksi dan Penggunaan Dalam Negeri CPO Indonesia (1994-2004) ... 26

. 8. Order Condition Identification dari Model ... 56

9. Ekspor CPO Indonesia Periode 1979-2007 ……….…….... 65

10. Produksi CPO Indonesia Periode 1979-2007 ... 67

11. Penawaran CPO Domestik Periode 1979-2007 ... 69

12. Harga Ekspor CPO IndonesiaPeriode 1979-2007 ……... 71

13. Perkembangan Harga CPO Domestik Periode 1979-2007 …………. 73

14. Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar (Rupiah) 1979-2007 …….... 78

15. Harga Ekspor Minyak Kelapa Indonesia Periode 1979-2007 …..…….. 80

16. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia ………..………... 83

17. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Penawaran Domestik …. 88 18. Peubah-peubah yang Diduga Mempengaruhi Harga Domestik …….... 90

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Ekspor CPO Berdasarkan Negara Tujuan Periode Tahun

2001-2006 ... 4

2. Siklus Bisnis dan Musiman Harga CPO Periode Tahun 1982-2006... 6

3. Pergerakan Harga TBS, CPO dan Minyak Goreng Curah... 17

4. Siklus Bisnis Harga CPO Periode 1970 – 2007... 28

5. Pergerakan Harga Musiman CPO... 29

6. Kurva Proses Terjadinya Perdagangan Internasional……...………... 38

7. Bagan Kerangka Teoritis Pengaruh Kebijakan Pajak Terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) Indonesia ……...….. 46

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Hasil Perhitungan Pendugaan dengan STATA …..……….…...…….. 100

2. Perkembangan Produksi, ekspor dan impor Minyak Kelapa dan Minyak Kelapa Sawit ………... 103

3. Perkembangan Harga Penjualan CPO di Pasar Lokal dan Ekspor……… 105

4. Struktur Produksi dan Distribusi Kelapa Sawit ……….……106

5. Matriks Kebijakan Pemerintah untuk CPO ……….……..107

6. Tabel Distribusi F ...110

7. Statistik Durbin Watson ... 111

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam perekonomian Indonesia karena selain merupakan sektor yang menyediakan pangan bagi rakyat Indonesia, juga merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Sektor Pertanian menyumbang sekitar 18 persen terhadap Gross Domestic Product (GDP) dan menyerap 45 persen dari angkatan kerja di Indonesia (Laporan Akhir Tahun Departemen Pertanian, 2007). Sektor pertanian juga merupakan penyumbang devisa negara dan menyediakan bahan baku bagi pengembangan industri dalam negeri. Kontribusi sektor pertanian terhadap penyediaan devisa terutama merupakan ekspor komoditi perkebunan dimana salah satunya dan yang terbesar adalah kelapa sawit.

Laju pertumbuhan sektor Pertanian pada tahun 2006 adalah 2,56 persen per tahun. Pada periode ini laju pertumbuhan sub sektor perkebunan juga naik menjadi 5,14 persen/tahun, laju pertumbuhan rata-rata pada periode tahun 1994–

1996 hanya 4,65 persen/tahun. Pertumbuhan sektor pertanian pada periode tahun 2002 sampai 2006 menunjukkan laju penurunan pertumbuhan yaitu sebesar 2,55 per tahun dan sub sektor perkebunan hanya bertumbuh dengan 2,23 persen, artinya sektor pertanian khususnya sub-sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan pada tahun 2006 jauh lebih baik dibandingkan pertumbuhan sektor

(17)

ekonomi lainnya setelah Indonesia dihantam krisis multidimensi tahun 1998 sampai tahun 2000 (Laporan Akhir Tahun Departemen Pertanian, 2006).

Luas areal tanaman kelapa sawit meningkat secara substansial dari 728 ribu hektar pada tahun 1986 menjadi 6,3 juta hektar tahun 2006 bahkan pada tahun 2008 areal perkebunan sawit mendekati 7.0 juta hektar. Komposisi penguasaan areal tanaman sawit berdasarkan data tahun 2006 adalah 2,52 juta hektar atau 42 persen Perkebunan Rakyat (PR), 2,96 juta hektar atau 47 persen Perkebunan Besar Milik Swasta Nasional (PBSN) dan 0,693 juta hektar atau 11 persen milik Perkebunan Besar Milik Pemerintah (PTPN).

Tabel 1 Areal Kelapa Sawit Indonesia 2000-2007

Tahun Area (Ha)

Perkebunan Rakyat (PR)

Perkebunan Pemerintah

(PTPN)

Perkebunan Besar Swasta

(PBSN)

Total

1994 572.544 386.309 845.296 1.804.149 1995 658.536 404.732 961.718 2.024.986 1996 738.887 426.804 1.083.823 2.249.514 1997 813.175 448.735 1.254.169 2.516.079 1998 890.506 489.143 1.409.134 2.788.783 1999 1.038.289 516.447 1.617.427 3.172.163 2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077 2001 1.561.031 609.943 2.542.457 2.713.431 2002 1.808.424 631.566 2.627.068 5.067.058 2003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557 2004 2.120.339 664.776 2.781.520 5.556.635 2005 2.356.895 677.792 2.915.662 5.950.349 2006 2.548.452 679.235 3.022.773 6.250.460 2007 2.852.344 698.312 3.324.865 6.875.521 Sumber: Indonesian Palm Oil Statistic, 2007

Perluasan areal tanaman kelapa sawit di Indonesia, seringkali dikaitkan dengan isu pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan kerusakan lingkungan dan perusakan biodiversity. Isu lingkungan akhir-akhir ini digunakan kompetitor yaitu produsen minyak nabati dengan bahan baku lainnya, antara lain jagung, kedele, kanola, sebagai untuk menyudutkan produksi kelapa sawit Indonesia di

(18)

pasar dunia dengan melakukan kampanye citra negatif minyak sawit yang berasal dari Indonesia.

Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengan isu lingkungan antara lain pengrusakan hutan (deforestation dan biodiversity, seperti yang disampaikan oleh NGO Green Peace dalam laporan yang berjudul Burning Borneo) dan oleh WWF tentang perusakan hutan yang terjadi di Riau. walaupun demikian Indonesia mempunyai komitmen untuk membangun perkebunan kelapa sawit dengan melibatkan lebih banyak tenaga kerja. (Green Peace, 2006 dan WWF 2006)

Rata-rata pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia adalah 10-15 persen per tahun, data terakhir dari Oil World menunjukkan bahwa produksi minyak sawit Indonesia tahun 2006 mencapai 15,9 juta ton, sedikit lebih tinggi dari produksi minyak sawit Malaysia yang mencapai 15,88 juta ton pada tahun yang sama. Data Oil World menunjukkan bahwa produksi minyak sawit Indonesia tahun 2006 telah mencapai 16,5 juta ton yang berasal dari perkebunan rakyat, Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan PT. Perkebunan Negara.

Pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia mencapai 17,5 juta ton dan tahun 2008 diperkirakan mencapai lebih dari 18 juta ton, jauh melebihi produksi minyak sawit Malaysia. Walaupun demikian Malaysia adalah tetap negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, karena penggunaan minyak sawit domestik yang lebih kecil dibandingkan Indonesia.

Pemerintah Indonesia akan menambah areal perkebunan sawit sebanyak 1,35 juta hektar, selain itu pemerintah akan melakukan penanaman kembali sebesar 125 ribu hektar melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Melalui program ini produksi minyak sawit Indonesia paling tidak meningkat sebanyak

(19)

1,5 juta ton per tahun sampai tahun 2010. Diharapkan dengan adanya peningkatan produksi CPO Indonesia akan menaikkan pangsa pasar CPO Indonesia.

Pada tahun 2006, kontribusi ekspor produk kelapa sawit adalah 5,833 miliar USD meningkat sebesar 1,133 miliar USD dari 4,7 miliar USD tahun 2005.

Ekspor kelapa sawit Indonesia masih didominasi oleh Crude Palm Oil (CPO) sebesar 37 persen. Adapun negara tujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia adalah India, Belanda, Singapura, Malaysia dan Cina. Sedangkan negara tujuan ekspor produk CPO lainnya yang terbesar adalah Cina, India, Belanda, Pakistan dan Bangladesh.

Gambar 1 Ekspor CPO Berdasarkan Negara Tujuan Periode 2001-2006

Sumber: BPS, 2001-2006, diolah

Permintaan pasar akan CPO baik untuk keperluan industri dalam negeri maupun untuk memenuhi permintaan ekspor akan terus meningkat terutama karena adanya permintaan untuk edible oil oleh China dan India dan permintaan untuk bahan baku pengembangan industri biodiesel oleh Uni Eropa. Adapun penggunaan CPO domestik adalah 4,5 sampai 5 juta ton untuk industri minyak

(20)

goreng dan kurang dari 1 juta ton untuk pengembangan industri biodiesel (Statistik Minyak Sawit Indonesia, 2006).

Produk-produk yang dapat dihasilkan dari minyak sawit sangat luas dan mempunyai prospek pasar yang sangat besar di pasar dunia. Pada saat ini produk minyak sawit Indonesia yang diekspor barulah berupa produk primer (CPO) dan produk intermediet seperti RBD palm oil dan stearin. Produk-produk yang bernilai tambah tinggi seperti oleokimia dan vitamin produksinya masih sedikit.

Harga CPO setiap tahun sangat berfluktuasi, terlebih sejak bulan November 2006 harga CPO cenderung meningkat dimulai dengan diberlakukannya International Maritime Organization (IMO), kesepakatan yang memberlakukan pengangkutan CPO harus menggunakan angkutan kapal khusus untuk edible oil. Ketentuan ini mengakibatkan kenaikan harga minyak nabati termasuk CPO, minyak kedele, minyak matahari, dan minyak kanola. Permintaan dunia akan minyak nabati juga meningkat tajam akibat permintaan untuk pengembangan industri biofuel terutama di Uni Eropa dan peningkatan permintaan dari Cina dan India untuk keperluan konsumsi. Situasi ini diperburuk dengan kenaikan harga minyak bumi yang terus meningkat sampai diatas 120 USD per barrel.

Pada akhir Desember 2006, harga CPO berfluktuasi dari 590 sampai 830 USD per ton cif Rotterdam. Fluktuasi harga ini dipicu dengan kenaikan harga minyak bumi, yang mengakibatkan kenaikan biaya transportasi dan kenaikan harga input terutama pupuk. Harga CPO yang tinggi di pasar dunia menunjukkan adanya kelangkaan pasokan CPO di pasar internasional. Pada kondisi harga yang tinggi, negara pengekspor terutama Indonesia tidak dapat cepat merespon

(21)

permintaan dunia karena adanya tengat waktu (time lag) dalam memproduksi CPO. Sementara negara pengimpor seperti India, merespon kenaikan harga ini dengan menurunkan Tarif Bea Masuk (TBM) untuk impor CPO untuk memperbesar supply. Namun, walaupun harga CPO dunia terus meningkat sampai dengan akhir Juli 2008 mencapai 1100 USD/ton, namun produksi dan ekspor Indonesia tidak dapat dengan cepat merespon harga tersebut. Harga CPO yang tinggi justru menimbulkan reaksi kenaikan harga minyak goreng di pasar dalam negeri, karena besarnya permintaan ekspor di pasar dunia. Untuk tetap menjamin pasokan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng dalam negeri, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) secara voluntary untuk menjamin pasokan CPO ke pasar domestik dengan harapan dapat menekan harga minyak goreng yang juga berarti menekan laju inflasi. Namun kebijakan ini ternyata tidak efektif dalam menekan harga minyak goreng di pasar dalam negeri, seperti yang diperlihatkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2 Perkembangan harga CPO, musiman Periode 1982-2006

Sumber: Oil World, 2006

(22)

Pada tanggal 15 juni 2007, Pemerintah memberlakukan Kebijakan Pajak Ekspor (PE) yang baru untuk produk kelapa sawit termasuk 4 produk yang sebelumnya tidak termasuk dalam kebijakan Pajak Ekspor antara lain Crude Palm Kernel Oil (PKO), Refined bleached deodorized (RBD), crude stearin dan RBD stearin. Walaupun sudah diterapkannya kebijakan pajak ekspor, permintaan CPO dan produknya cenderung terus meningkat baik untuk permintaan pangan maupun non-pangan terutama untuk biodiesel baik di pasar internasional maupun di dalam negeri.

Semakin pentingnya kedudukan kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng dan perolehan menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pilihan pemerintah antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa. Pemerintah merasa perlu berperan dalam mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO.

Bentuk intervensi pemerintah ini ada tiga, yaitu:

1. Pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan menentukan aturan-aturan alokasi CPO pada tempat tertentu.

2. Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik

3. Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO

Tujuan utama dari penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin pasokan CPO dalam negeri, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri stabil pada tingkat yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa Pengaruh kebijakan Pajak Ekspor pada CPO terhadap penawaran ekspor CPO

(23)

Indonesia, penawaran CPO untuk pasar domestik dan harga CPO domestik. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk saran perbaikan dalam implementasi kebijakan Pajak Ekspor dalam mendukung posisi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia.

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu faktor yang dapat mendorong pertumbuhan pendapatan nasional adalah surplus ekspor terhadap impor. Apabila ekspor lebih besar dari impor, posisi neraca perdagangan luar negeri akan surplus. Sehingga income akan naik dan berarti pula GNP akan naik. Surplus neraca perdagangan merupakan indicator keterbukaan ekonomi suatu Negara. Semakin besar surplus ekspor, maka semakin besar pula pengaruh ekonomi internasional terhadap ekonomi nasional suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian negara tersebut semakin terbuka (Open Economy).

Suatu negara dapat dikatakan menganut perekonomian terbuka apabila total ekspornya lebih besar dari 10 persen dari GDP-nya (Hadi, 2006). Mengacu pada pendapat ini, Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbuka berdasarkan data berikut.

Tabel 2 Perbandingan Total Ekspor dan Impor CPO Terhadap GDP Indonesia Tahun 2007

Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Prosentase 1. Total Ekspor 116.968,90 28,22 % 2. Total Impor 104.549,15 25,23 % 3. GDP 414.418,90 100,00 % Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2007

Sebagai konsekuensi dari keterbukaan ekonomi Indonesia, perubahan dan dinamika pasar internasional segera berimbas pada pasar domestik. Demikian pula yang terjadi pada pasar CPO. Pada saat ini, harga CPO di pasar internasional lebih

(24)

tinggi dibandingkan dengan harga CPO di pasar domestik. Sebagai respon dari fenomena ini ditambah dengan perilaku homoeconomicus, yaitu mahluk ekonomi yang berusaha mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang paling murah, produsen CPO Indonesia memilih untuk mengekspor CPO ke pasar internasional. Kecenderungan ini menyebabkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan CPO untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi dalam negeri.

Untuk mencegah kekurangan pasokan dalam negeri, maka jumlah ekspor dikendalikan melalui penerapan kebijakan Pajak Ekspor. Penerapan Pajak Ekspor (PE) merupakan instrumen perdagangan yang tidak menyalahi ketentuan perjanjian perdagangan WTO.

Penerapan Pajak Ekspor yang efektif dapat menekan laju ekspor CPO Indonesia di pasar dunia yang kemudian akan menjamin pasokan CPO dalam negeri. Penerapan pajak ekspor ini haruslah tetap menjaga komitmen ekspor Indonesia untuk merespon permintaan CPO di pasar dunia. Penerapan Pajak Ekspor (PE) juga dipandang sebagai kebijakan yang dapat memberikan pendapatan kepada pemerintah dari penerimaan PE yang dapat digunakan antara lain untuk membiayai fasilitas, subsidi harga minyak goreng untuk golongan ekonomi lemah dan membiayai Program Revitalisasi Perkebunan.

Di lain pihak, kebijakan Pajak Ekspor juga dapat menekan harga CPO dalam negeri terutama Harga Patokan Ekspor (HPE) yang pada umumnya akan berdampak menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan petani.

Harga TBS yang lebih rendah akan mempengaruhi kesejahteraan petani kelapa sawit.

(25)

Pajak Ekspor yang terlalu tinggi seringkali menjadikan pelaku usaha melakukan langkah tidak terpuji yaitu melakukan ekspor secara ilegal yang pada gilirannya merugikan pemerintah pada umumnya, pengusaha kecil dan menengah serta petani khususnya.

Berdasarkan uraian singkat mengenai situasi terkini pasar Crude Palm Oil (CPO), terkait dengan harga CPO di pasar internasional yang tinggi dan permintaan akan CPO yang cenderung meningkat, maka masalah-masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh kebijakan pajak ekspor Crude Palm Oil (CPO) terhadap penawaran ekspor CPO?

2. Sejauhmana penawaran ekspor mempengaruhi penawaran domestik dan harga domestik?

3. Apakah kebijakan pajak ekspor efektif dalam menjamin suply CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan awal diberlakukan kebijakan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis pengaruh penetapan kebijakan Pajak Ekspor (PE) CPO terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh penawaran ekspor terhadap penawaran domestik dan harga domestik.

(26)

3. Mengidentifikasi penerapan kebijakan Pajak Ekspor menjamin suplai CPO ke pasar domestik yang diukur dengan turunnya harga minyak goreng di pasar domestik sesuai dengan tujuan diberlakukan kebijakan tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dengan menambah pengetahuan akan kebijakan pajak ekspor dapat dijadikan sumber informasi untuk menentukan harga di masing-masing tahapan pasar dengan tepat. Informasi yang cepat dan tepat diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat perbedaan harga yang signifikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Pajak Ekspor pada komoditas CPO terhadap perdagangan CPO Indonesia dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan recursive yang diduga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Keterbatasan penelitian ini antara lain adalah data time series yang digunakan yaitu sejak tahun 1979-2007.

Sebab tujuan penelitian ini melihat pengaruh kebijakan Pajak Ekspor sebelum dan setelah ditetapkan. Periode 1979-2007 menunjukkan bagaimana kinerja penetapan pajak ekspor. Selain itu, keterbatasan penelitian ini adalah tidak meneliti minyak- minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak lobak yang merupakan komoditi yang dipertimbangkan sebagai barang lain minyak sawit.

(27)

II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai konsep dari penelitian ini dan juga penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik skripsi ini. Oleh karenanya, bab ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama mengenai posisi sawit Indonesia di dunia, bagian kedua yang menyajikan luas areal kelapa sawit di Indonesia, bagian ketiga menyajikan kebijakan tarif dan harga dalam industri kelapa sawit bagian keempat membahas perdagangan CPO dan bagian kelima prospek dan tantangan industri kelapa sawit Indonesia.

2.1 Posisi Sawit Indonesia di Dunia

Kebutuhan dunia akan minyak dan lemak (oils and fats) dipenuhi oleh 17 jenis sumber yaitu minyak kedelai, minyak kelapa sawit, minyak bunga matahari, minyak kanola (rape seed oil), minyak biji kapas, minyak kacang tanah, minyak inti sawit, minyak biji sesame (sesame seed oil), minyak kelapa, lin seed, minyak biji jarak (castor seed oil), minyak jagung, minyak zaitun (olive oil), minyak ikan, ditambah tiga jenis lemak hewan (butter, lard, tallow, greases oil). Dari jenis- jenis sumber minyak dan lemak tersebut, yang memegang peranan utama adalah minyak kedelai dan minyak kelapa sawit (Bangun, 2005).

Pada akhir 1970-an kontribusi minyak kedelai terhadap kebutuhan dunia sebesar 21 persen, sedangkan minyak kelapa sawit hanya sebesar 7 persen. Pada akhir tahun 1990-an proporsinya berubah menjadi minyak kedelai sebesar 22 persen, minyak kelapa sawit sebesar 17 persen, Oil World memprediksikan bahwa

(28)

periode tahun 2016-2020 minyak kelapa sawit akan meningkat menjadi 23 persen sedangkan minyak kedelai menjadi 21 persen.

Peningkatan peranan minyak kelapa sawit didasarkan pada produktivitasnya per ha yang lebih tinggi, dibandingkan semua jenis minyak dan biaya produksinya yang lebih rendah. Peranan minyak kelapa sawit Indonesia dalam produksi dunia pada tahun 1969 masih sangat kecil, meningkat pesat pada awal 1980 mencapai tingkat yang sangat berpengaruh saat ini. Dengan meningkatnya kontribusi produksi CPO Indonesia, maka CPO dapat dikategorikan sebagai komoditi yang strategis bagi Indonesia.

Produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2005 mencapai sekitar 13,6 juta ton, mendekati produksi Malaysia sebesar 14,6 juta ton. Dengan perluasan areal tanaman yang terus berlangsung, diprediksikan Indonesia akan menjadi produsen CPO nomer satu pada 2010. Perlu dicatat bahwa sebagai negara pengekspor CPO dengan pangsa pasar terbesar di dunia Malaysia juga meningkatkan produktivitasnya dengan memperbaiki jenis bibit. Produksi negara penghasil minyak sawit dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Produksi Minyak Sawit Dunia 1969, 1980, 2001 dan 2004 Negara 1969 Pers

entas e (%)

1980 Pers entas

e (%)

2001 Pers entas

e (%)

2004 Pers entas

e (%) Produk

si (ton)

Produksi (ton)

Produksi (ton)

Produksi (ton)

Malaysia 370 32,74 2.558 50,99 11.660 48,26 13.974 45,44 Indonesia 190 16,82 640 12,65 8.300 34,36 12.220 39,67

Nigeria 50 4,42 670 13,24 750 3,10 790 2,57 Colombia 30 2,66 70 1,38 560 2,32 632 2,06 Thailand NA - NA - 530 2,19 670 2,18 Kongo 230 20,35 NA - 96 0,40 NA - Lain-lain 260 23,01 1.100 21,74 2.263 9,37 2.487 8,08

Total 1.130 100,0 5.060 100,0 24.159 100,0 30.753 100

Sumber: Oil World, 2004

Jika dipandang dari aspek produksi, Indonesia sudah dapat menyamai Malaysia. Namun, dari aspek kualitas yang dihasilkan Indonesia masih

(29)

memerlukan penyempurnaan. Prakasa (1995), melihat bahwa perlu adanya penyeimbangan antara peningkatan mutu dan processing CPO. Produksi CPO akan terus meningkat, bahkan peningkatannya akan lebih cepat daripada kenaikan konsumsi dan ekspor. Mengingat masih kurangnya produksi CPO Indonesia yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Selain itu penetapan harga-harga di dalam negeri yang sangat rendah dibandingkan dengan harga ekspor, mengurangi ketertarikan pengusaha CPO untuk memasarkan produknya di dalam negeri.

Posisi CPO Indonesia di pasar dunia saat ini memegang peranan penting.

Saat ini Indonesia merupakan negara pemegang pangsa pasar kedua terbesar di dunia. Kebijakan pemerintah akan posisi kelapa sawit Indonesia haruslah memegang bersifat one side fits all, sehingga posisi kelapa sawit Indonesia bisa tetap memegang peranan penting.

2.2 Luas Areal Perkebunan CPO di Indonesia

Sentra perkebunan kelapa sawit tersebar di 18 provinsi, yaitu provinsi NAD, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalomantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, dan Papua. Daerah dengan produksi terbanya adalah daerah Sumatra. Luas areal kelapa sawit nasional mengalami kenaikan secara berkala, jika pada tahun 1985 mencapai 597 ribu ha, maka pada tahun 2004 mencapai 5,29 juta ha atau mengalami kenaikan lebih dari 8 kali lipat. Komposisi kepemilikan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2003 terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR) 29,7 persen, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) 13,2 persen dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 57,1 persen. Tingkat produktivitas dari perkebunan rakyat

(30)

mencapai 2,7 ton per ha, PTPN 4,5 ton per ha, dan PBSN 2,8 ton per ha. Berbagai permasalahan masih dihadapi dalam pengembangan kelapa sawit yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Rata-rata produktivitas tanaman yang masih rendah (berkisar 10 ton TBS/ha/tahun) yang antara lain akibat tingginya harga dan kelangkaan pupuk pada beberapa tahun terakhir. Kondisi ini berada dibawah produktivitas yang dicapai Malaysia.

b. Pengawasan mutu benih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 40% areal tanaman kelapa sawit dengan bibit palsu.

c. Berdasarkan data yang dihimpun Ditjen Bina Produksi Perkebunan, pada saat ini kebun kelapa sawit yang harus diremajakan mencapai areal 400 ribu ha.

d. Belum terintegrasinya pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

e. Tidak tersedia lagi dana murah (kredit program) untuk pengembangan kebun kelapa sawit yang mengakibatkan upaya peremajaan dan pengembangan tanaman khususnya perkebunan rakyat menjadi terlambat.

Luas areal kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Kelapa sawit merupakan komoditi yang sangat penting. Dengan melihat keistimewaan kelapa sawit, di Indonesia luas areal semakin besar seiring dengan bertambahnya konsumsi dari minyak kelapa sawit. Perluasan areal kelapa sawit di Indonesia tetap berada di bawah Undang-Undang, sehingga perluasannya dilakukan di bawah pengawasan. Perluasan areal kelapa sawit kemudian memperbesar

(31)

produksi CPO Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang terus meningkat akan meningkatkan pangsa pasar dari CPO Indonesia.

2.3 Kebijakan Tarif dan Harga dalam Industri Kelapa Sawit

Industri kelapa sawit di Indonesia yang dimulai dari buah kelapa sawit sebagai produk perkebunan sampai berbagai produk turunannya begitu penting.

Industri kelapa sawit sebagai penghasil devisa negara, pembuka kesempatan lapangan kerja, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik. Karena bekaitan dengan hajat hidup orang banyak, pemerintah dituntut perannya dalam pengaturan dan kebijakan industri kelapa sawit di Indonesia (Permadi, 2005).

Dalam suatu pasar yang sederhana, harga dan kuantitas dari produklah yang akan menentukan tercapainya suatu keseimbangan. Namun, dalam pasar yang semakin global dan kompleks, penentuan harga dan kuantitas juga akan semakin sulit untuk dilakukan. Selain mempertimbangkan permintaan dan penawaran domestik, hal lain yang harus mempertimbangkan adalah permintaan dan penawaran luar negeri yang juga berkaitan dengan perbedaan dan fluktuasi mata uang antar negara. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana kebijakan perdagangan di masing-masing negara terhadap produk yang diperdagangkan melalui aktivitas ekspor dan impor. Melalui aktivitas ekspor dan impor terdapat tantangan dalam menghadapi berbagai kebijakan tarif dan non-tarif.

Kebijakan tarif atau di Indonesia disebut dengan kebijakan Pajak Ekspor (PE), dimana kebijakan ini akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar dunia. Tujuan dari kebijakan tarif ini adalah menjamin adanya pasokan CPO di pasar domestik. Namun, kebijakan ini pun dapat menurunkan pangsa pasar

(32)

CPO Indonesia di pasar dunia. Apabila harga ekspor CPO Indonesia terus meningkat maka pasar akan memilih CPO dari negara lain. Kebijakan Pajak ekspor cenderung menjadi barrier dalam perdagangan internasional.

Perkembangan harga CPO dan minyak goreng cenderung naik secara konsisten. Sebagai informasi tambahan, kenaikan harga tersebut juga diikuti dengan kenaikan harga TBS. Harga-harga tersebut bergerak searah satu sama lain.

Gambar 3 menunjukkan Pergerakan Harga TBS, CPO dan Minyak Goreng Curah (Januari 2005– Juni 2007).

Gambar 3 Pergerakan Harga TBS,CPO dan Minyak Goreng Curah

Sumber : BPS, 2007

Melihat pergerakan harga TBS, CPO dan Minyak goreng curah yang terus meningkat, maka Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap kelapa sawit dan tingkatnya berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Pajak ekspor yang tinggi dikenakan ketika harga kelapa sawit dunia tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin supply yang cukup dalam penyediaan minyak untuk konsumsi pasar domestik. Misalnya, pada tahun 1979 dimana ekspor dikenakan pajak yang sangat tinggi atau dengan pelarangan ekspor. Demikian halnya pada tahun 1984, pemerintah mengenakan pajak ekspor tinggi sebesar 37,18 persen pada CPO

500 1500 2500 3500 4500 5500 6500 7500 8500

Jan-

05 Peb Mar Apr Mei Jun Jul

Ags Sep

t Okt

Nop Des 200 5

'Jan 200

6 Peb Mar Apr Mei Jun Jul

Ags Sep

t Okt

Nop Des 'Jan 200

7 Peb Mar Apr Mei Jun Jul

Rp

TBS CPO Minyak Goreng

(33)

karena harga CPO dunia tinggi pada juni 1986 dan menjadi nol persen ketika harga dunia rendah.

Pemerintah menderegulasi perdagangan kelapa sawit dan kopra pada tahun 1991. Pengusaha bebas mengimpor CPO dan kopra dengan pajak impor 5 persen, sedangkan untuk minyak makan yang berasal dari kelapa sawit dan kelapa dikenakan pajak 10 persen. Pada september 1994, pemerintah kembali mengenakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya pada tingkat 40 persen hingga 75 persen. Alasan dibalik pengenaan pajak tinggi ini adalah karena harga dunia mulai meningkat dan mencapai harga tinggi pada agustus 1994. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia bertujuan untuk menjaga stabilitas kesediaan minyak kelapa sawit di Indonesia. Pada November 1996, stardar harga ekspor diturunkan untuk CPO sebesar 2,6 persen, RBD kelapa sawit sebesar 2,7 persen, crude olein sebesar 2,9 persen, dan RBDP olein sebesar 2,7 persen. Pada Juli tahun berikutnya, pemerintah kembali menaikkan pajak ekspor untuk mendorong pengembangan industri hilir dengan meningkatkan nilai value added industri kelapa sawit.

Deregulasi perdagangan kelapa sawit terus berlanjut hingga pada tahun 1997. Deregulasi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Indonesia menghadapi globalisasi. Perubahan Pajak Ekspor terus terjadi hingga tahun 2008. Pada tahun 2008, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang lebih rendah dalam bentuk harga dasar ekspor kelapa sawit dan turunannya. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor yang dapat meningkatkan penerimaan devisa, pada tahun 2001 pemerintah memandang perlu meninjau kembali besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Tabel 4 berikut menggambarkan

(34)

perkembangan penetapan tarif pajak ekspor. Khusus komoditi kelapa sawit pada tahun 1999 tarif yang dikenakan adalah 40 persen, namun pada tahun 2001 tarif yang dikenakan adalah sebesar 5 persen. Pemerintah akan menaikan tarif pajak ekspor ketika harga internasional tinggi, karena hal ini akan merangsang produsen untuk memilih mengekspor ke pasar internasional.

Tabel 4 Perkembangan Penetapan Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, CPO dan Produk Turunannya, 1999-2007

No. Jenis Komoditi Kode HS 1999 2000 2001 2007 1 Kelapa Sawit (Tandan Buah

Segar) dan Biji Kelapa Sawit

1207.10.000 40% 3% 5% 10%

2 Crude Palm Oil (CPO) 1511.10.000 40% 5% 3% 6.5%

3 Refined Belached Deodorized Palm Oil (RBD PO)

1511.90.000 32% 1% 2% 2%

4 Crude Palm Olein (CRD Olein) 1511.90.000 41% 2% 1% 2%

5 Refined Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Olein)

1511.90.000 32% 2% 1% 2%

Sumber: Departemen Pertanian, 2007

Penentuan untuk pajak ekspor dalam industri kelapa sawit di Indonesia yang digunakan oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Daerah adalah diberlakukan Harga Patokan Ekspor (HPE) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Tabel 6 merinci HPE untuk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya yang berlaku.

Kelapa sawit dan biji kelapa sawit dengan harga HPE sebesar US$ 35, sedangkan untuk Crude Palm Oil (CPO) sebesar US$ 160. Hal ini menunjukkan bahwa harga HPE untuk CPO cukup tinggi, dimana harga CPO yang tinggi akan merangsang produsen untuk mengekspor ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor maka akan terjadi kekurangan pasokan di dalam negeri. Tabel 5 menjelaskan Harga Patokan Ekspor (HPE) kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya.

(35)

Tabel 5 Harga Patokan Ekspor (HPE) Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya

No. Kode HS Nama Komoditi Harga US$/Ton

1 1207.10.000 Kelapa Sawit dan Biji Kelapa Sawit

35 2 1511.10.000 Crude Palm Oil (CPO) 160 3 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized

Palm Oil (RBD Olein)

175 4 1511.90.000 Crude Palm Olein (CRD Olein) 165 5 1511.90.000 Refined Bleached Deodorized

Palm Olein (RBD Palm Olein)

190 Sumber : Departemen Perdagangan, 2007

CPO yang berasal dari kelapa sawit pada awalnya dijual berdasarkan Tandan Buah Segar (TBS). Harga TBS di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam periode 1997-2004 walaupun terjadi penurunan harga cukup drastis pada tahun 1999 setelah terjadi peningkatan pada tahun 1998. Pemasaran dan perdagangan CPO lewat Kantor Perkebunan Bersama (KPB) sejak tahun 2000 juga menunjukkan tren peningkatan. Harga ekspor dan harga impor CPO berfluktuasi seiring dengan perubahan kekuatan permintaan dan penawaran.

Apabila permintaan tinggi umumnya harga akan meningkat dan penawaran di pasaran akan naik. Harga ekspor CPO tertinggi mencapai US$ 546,34/ton pada tahun 1998 dan harga terendah mencapai US$ 219,78/ton pada tahun 2001. Harga impor CPO tertinggi yang dicapai yaitu US$ 622,36/ton pada tahun 2003 dan US$

165/ton pada tahun 2000. Kondisi harga ekspor dan impor ini tidak terlepas dari harga pasar CPO dunia, seperti di pasar Eropa. Pasar Eropa merupakan tujuan ekspor yang paling banyak sehingga harga yang berada di pasar besar pun menentukan harga pasar dunia. Walaupun Indonesia sebagai negara besar dalam pasar, tetapi harga ditentukan oleh pasar dan negara besar produsen lainnya.

Dalam pasar dunia, harga di tentukan oleh negara besar dan negara dengan pasar terbesar. Tabel 6 menjelaskan tren harga CPO tahun 1997 hingga 2007.

(36)

Tabel 6 Tren Harga CPO, 1997-2004 Tahun Harga

Produsen Pedesaan

TBS

Harga Perdagangan

Besar CPO

Harga Tender

KPB CPO

Harga Ekspor

CPO

Harga Impor CPO

Harga Pasar

CPO Eropa Rp.Juta/

Ton

Rp.Juta/Ton Rp.Juta/

Ton

US$/Ton US$/Ton US$/Ton

1997 0.19 1.61 n.a 482.65 531.44 546.00 1998 0.45 4.18 n.a 546.34 n.a 671.00 1999 0.34 3.78 n.a 311.97 512.82 436.00 2000 0.35 3.22 2.28 262.12 165 310.00 2001 0.30 3.24 2.5 219.78 n.a 286.00 2002 0.39 4.21 3.52 318.03 276.02 390.00 2003 0.47 4.23 3.78 267.28 622.36 443.00 2004 n.a n.a n.a n.a n.a 471.00 2005 0.49 4.34 3.98 620 540 658 2006 0.53 4.52 4.02 645 610 895 2007 0.62 4.65 4.14 860 790 980 Sumber: BPS, 2007

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Pengaturan tataniaga minyak sawit telah dilakukan sejak tahun 1978. Berbagai instrument kebijakan telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu pengendalian laju inflasi, mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat dan pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996).

Beberapa instrument kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penerapan pajak ekspor, penerapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar dan pelarangan ekspor. Instrumen kebijakan yang sangat popular dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang berkepentingan adalah pungutan ekspor (levy export) dan pelarangan ekspor (export ban).

(37)

Komoditi Minyak sawit telah banyak menjadi bahan penelitian bagi para peneliti sebelumnya, baik mengenai budidaya, produksi, harga, penjualan dan pertumbuhan permintaan CPO itu sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa komoditi ini telah menjadi bahan yang penting dan menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Tidak itu saja, tapi pengelolaan CPO telah menjadi sebuah industri yang perlu perencanaan dan analisis pengembangan yang matang.

Drajat (1998) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi harga minyak goreng dan menganalisis dampak kebijakan pajak ekspor CPO terhadap tingkat stabilitas harga minyak goreng. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspor CPO dipengaruhi oleh produksi, harga ekspor, nilai tukar dan harga patokan pasar. Harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Pajak ekspor juga tidak berpengaruh untuk terciptanya stabilitas harga CPO dalam negeri.

Rifin (2005) menganalisis dampak dari pajak ekspor terhadap ekspor CPO dan daya saing ekspor CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Penelitian tersebut menggunakan model ekonometrik persamaan simultan dari fungsi permintaan ekspor dan fungsi harga. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak ekspor memiliki dampak yang lebih besar terhadap ekspor CPO Indonesia jika dibandingkan dengan variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia, selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.

(38)

Susilowati (1989) dengan menggunakan data tahun 1969 hingga 1998 dan menggunakan alat analisis pendugaan Two Stage Least Square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas CPO domestic terhadap tingkat pendapatan bersifat elastis, akibat kebijaksanaan pemerintah untuk mengalokasikan sebagian besar produksi CPO guna menjamin kebutuhan bahan baku minyak goring dalam negeri, sedangkan harga CPO dalam negeri dan harga kopra tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan beberapa penelitian penerapan pajak eskpor pada komoditas CPO akan mengakibatkan harga CPO domestik terdistorsi oleh kebijakan harga murah, sehingga pasar domestik tidak menarik. Karena kebijakan harga murah ini maka produsen memilih untuk mengekspor CPO ke pasar dunia. Jika produsen memilih mengekspor, maka harga minyak goreng dalam negeri akan meningkat akibat kelangkaan CPO di pasar dalam negeri. Harga domestik yang meningkat tidak sejalan dengan tujuan diberlakukan pajak ekspor. Tujuan pajak ekspor adalah terjaminnya pasokan dalam negeri sehingga dapat terjadinya stabilitas harga minyak goreng dalam negeri. Selain itu kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap daya saing CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Pajak eskpor yang diterapkan oleh pemerintah akan mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat. Pajak ekspor yang mengakibatkan harga ekspor CPO Indonesia meningkat di pasar dunia mengakibatkan adanya pilihan bagi pasar dunia untuk memilih CPO dari negara lain yang harganya lebih rendah dibandingkan dengan harga CPO Indonesia. Pajak ekspor memberikan dampak yang negatif terhadap daya saing perdagangan CPO Indonesia. Harga CPO Indonesia yang tinggi seharusnya dapat membuat produsen CPO beralih ke pasar

(39)

domestik. Harga CPO dunia yang tinggi tetap membuat produsen CPO Indonesia memilih mengekspor ke pasar dunia. Pasar domestik tetap mengalami kekurangan pasokan, akibatnya harga minyak kelapa sawit domestik tetap tinggi. Sehingga kebijakan Pajak ekspor ini tidak efektif.

2.4 Perdagangan CPO Indonesia

Perdagangan CPO Indonesia meliputi ekspor CPO ke pasar dunia, konsumsi dalam negeri, dan impor CPO. Ekspor minyak sawit mengalami peningkatan, baik salam volume maupun nilai ekspornya. Jika pada awal tahun 1980, volume ekspor CPO baru mencapai 350 ribu ton dengan nilai sebesar US$

204 juta meningkat tajam menjadi 9,6 juta ton dengan nilai US$ 3,9 miliar pada tahun 2004. Data ekspor pada tahun 2004 menunjukkan peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 26 persen, sedangkan nilai ekspor meningkat hampir satu setengah kali lipat dari tahun sebelumnya.

Lima negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Cina, Belanda, Malaysia, dan Singapura. Malaysia masih menjadi negara pengimpor kelapa sawit Indonesia karena Malaysia berupaya untuk meningkatkan ekspor luar negeri, sehingga malaysia melakukan re-ekpsor kelapa sawit Indonesia. Maka, ekspor malaysia masih menempati posisi nomer satu sebagai pengekspor terbesar di dunia. Nilai ekspor CPO pada semester I tahun 2004 meningkat cukup tinggi sebesar 69 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2003. Pada pangsa ekspor minyak sawit dunia, indonesia menempati posisi kedua setelah malaysia dengan pangsa sebesar 27,63 persen. Meski diproyeksikan bahwa permintaan terhadap minyak sawit di tingkat dunia akan

(40)

terus meningkat dibandingkan minyak nabati lainnya, ekspor minyak sawit Indonesia masih memperoleh hambatan lain, seperti:

a. Tarif: Diferensiasi tarif bea masuk oleh importir terbesar, India, antara minyak sawit dengan minyak kedelai.

b. Teknis: Ketentuan Pemerintah India tentang kandungan betacarotene pada minyak sawit.

c. Legislasi tentang ketentuan penerapan food safety oleh Uni Eropa.

d. Isu lingkungan: Kampanye negatif LSM yang mengkaitkan pengembangan perkebunan kelapa sawit nasional dengan kerusakan lingkungan.

Pada awalnya konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah untuk mengisi bahan baku minyak goreng yang tidak dapat dipenuhi oleh minyak kelapa.

Dengan pesatnya perkembangan produksi minyak sawit nasional, maka terjadi pergeseran dimana minyak sawit menjadi sumber utama untuk mensuplai kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri, sedangkan minyak kelapa lebih banyak untuk diekspor. Pada tahun 2002 total konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 7,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7 juta ton digunakan sebagai bahan baku minyak goreng dan selebihnya untuk industri atau produk- produk lain. Pada tahun 2003 konsumsi minyak sawit untuk penggunaan dalam negeri meningkat menjadi 8,9 juta ton atau naik sebesar 26,7 persen dari penggunaan tahun 2002. Pada tahun 2007 konsumsi CPO dalam negeri mencapai angka 14.151.983 ton. Konsumsi Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami penurunan. Tabel 7 menjelaskan produksi dan penggunaan dalam negeri CPO Indonesia tahun 1994-2007.

(41)

Tabel 7 Produksi dan Penggunaan Dalam Negeri CPO Indonesia (1994-2007)

Tahun Produksi Penggunaan/Konsumsi DN

1994 4.008.062 2.701.659 1995 4.479.670 3.475.262 1996 4.898.658 3.912.295 1997 5.380.447 1.909.879 1998 5.640.154 3.810.481 1999 5.989.183 2.084.526 2000 6.257.425 4.439.761 2001 8.396.472 4.701.136 2002 9.622.345 7.106.136 2003 8.817.214 8.902.915 2004 10.308.075 8.564.872 2005 11.861.615 10.375.792 2006 13.390.807 12.100.921 2007 14.339.986 14.151.983 Sumber: Departemen Perdagangan, 2007

Prahastuti (2000) menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO), serta keterkaitan pasar CPO dengan minyak goreng sawit di Indonesia. Luas areal kelapa sawit di Indonesia dipengaruhi oleh harga domestik, harga pupuk, harga ekspor CPO, kurs mata uang, dan tingkat suku bunga. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Mengenai harga, pembentukan harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga dunia CPO dan produksi CPO Indonesia. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika cenderung tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga ekspor CPO Indonesia. Sedangkan harga CPO di dalam negeri cenderung hanya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Harga ekspor CPO dan penawaran CPO domestik cenderung tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga CPO domestik.

Pada tahun 1969 hingga 1979, Indonesia tidak mengimpor minyak sawit (CPO) dari Negara lain. Indonesia mulai melakukan impor CPO terutama impor olein sejak 1980. Akan tetapi, pertumbuhan impor minyak sawit Indonesia selama

(42)

tahun 1998-2004 cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1998, 1999 dan 2001, Indonesia tidak mengimpor CPO dari luar negeri. Hal ini terkait dengan diberlakukannya pungutan ekspor CPO hingga mencapai 60 persen, sehingga pasokan CPO di pasar domestik cukup besar.

Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia masih mengimpor CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor CPO umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia. Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia. Impor yang dilakukan oleh Indonesia sangat kecil, impor ini untuk menjamin tersedianya CPO domestik.

2.5 Prospek dan Tantangan Industri Kelapa sawit di Indonesia

Prospek masa depan kelapa sawit ditandai oleh meningkatnya permintaan dunia akan minyak dan lemak, terutama di negara-negara yang jumlah penduduknya besar seperti Cina dan India. Pertumbuhan ekonomi yang membawa peningkatan kesejahteraan di negara-negara tersebut, langsung diikuti oleh peningkatan kebutuhan minyak makan.

Diperkirakan bahwa tambahan kebutuhan minyak makan di seluruh dunia adalah sekitar 2,5 juta-3 juta ton/tahun. Pertambahan ini dapat dipenuhi secara berarti hanya oleh Brazil dengan produksi minyak kedelai serta Indonesia dan Malaysia dengan pertambahan produksi minyak kelapa sawit. Pertambahan produksi minyak kelapa sawit juga terdapat di Thailand dan Kolumbia, namun dalam jumlah yang kecil.

(43)

Gambar 4 Siklus Bisnis Harga CPO Periode 1970 – 2007

Sumber: GAPKI, 2007.

Faktor harga merupakan pendukung yang menyebabkan kelapa sawit mempunyai prospek yang cerah. Harga CPO yang tinggi akan mengakibatkan produsen CPO Indonesia berespon dengan meningkatkan produksi demi mencapai keuntungan yang besar. Perkembangan siklus bisnis harga CPO dan pergerakan harga musiman CPO Indonesia dapat dilihat pada gambar 4 dan Gambar 5. Harga CPO dunia terus berfluktuatif, dimulai tahun 1970-an pada awal perdagangan kelapa sawit mulai menjadi primadona dengan harga kisaran USD 200/ton hingga tahun 2008 dengan kisaran USD 800/ton. Walaupun harga CPO berfluktuatif, industri kelapa sawit memberikan prospek yang cerah. Saat ini harga CPO di pasar dunia mencapai harga US$ 1000/ton. Harga CPO yang tinggi terjadi akibat banyaknya konsumsi CPO dunia untuk bahan baku industri maupun bahan energi alternatif. Kondisi ini terus menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu komoditi yang memiliki peluang yang besar. Gambar 5 menunjukkan pergerakan harga musiman CPO.

390 691

425405 530

609 650

584 572

445 502 501

436

344

257 289

349 339 394

377 513

628

530 545

672 729

283 311

432 442 390

470 420

477 682

211

0 100 200 300 400 500 600 700 800

1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

TAHUN

USD / TON

(44)

Gambar 5 Pergerakan Harga Musiman CPO

Sumber: Oil World, 2006, diolah

Jelas terlihat dari gambar diatas bahwa harga CPO senantiasa mengalami gerak naik turun atau fluktuasi yang sangat tajam. Secara rata-rata, harga CPO masih berada jauh dari harga pokoknya. Harga rata-rata yang dialami dari tahun 1970 sampai 2000 adalah sekitar US$400 per ton. Tingkat harga ini masih berada jauh diatas biaya produksi, terutama di Indonesia.

Faktor tambahan yang mendorong peningkatan permintaan minyak sawit Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) adalah faktor trans fat, yaitu minyak atau lemak yang mengandung trans fatty acid. Dalam industri makanan, tingkat kepadatan suatu jenis minyak atau lemak sangat penting. Minyak kedelai dan minyak kanola sifatnya sangat cair, berbeda dengan minyak kelapa sawit yang kental atau bahkan padat pada suhu kamar. Faktor lain yang mendorong peningkatan permintaan minyak sawit adalah pemakaian sebagai bahan bakar, baik secara langsung maupun sebagai biodiesel. Harga petroleum yang terus mengalami peningkatan sampai dengan US$ 140/barrel, menyebabkan penggunaan CPO sebagai bahan bakar campuran menjadi layak.

Referensi

Dokumen terkait

Industri minyak goreng berdasarkan produksi crude palm oil (cpo) dari daerah Industri minyak goreng berdasarkan produksi crude palm oil (cpo) dari daerah asal ialah dengan

Kota Malang yang tidak dianggap sebagai kota seni-budaya ternyata di kota ini ada juga pecinta seni yang berani membuka galeri swasta. Seorang dokter yaitu dr. Purnomo Limanto

Uraian tersebut menunjukkan pentingnya di- lakukan kajian pengambilan keputusan belanja pada produk daging olahan beku yang secara spesifik bertujuan untuk mengukur pengaruh

Simulasi untuk pengujian jalur evakuasi pada gedung merupakan hal yang penting, perancangan denah gedung harus diperhatikan dengan baik untuk menekan angka korban

Setelah melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran berfikir induktif pada konsep kalor pada siklus I diadakan refleksi.. terhadap hasil

Maka untuk dapat menentukan barang yang bagaimana atau barang dengan merek apa yang akan dijual oleh Alfamart tersebut dibutuhkan beberapa informasi penting.. Misalnya

Membahas Pengelolaan PNS yang mengalami gangguan