• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUTUHAN INFORMASI KOMUNITAS PERTUNI SEMARANG Amalia Nurma Dew

Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16425, Indonesia

e-mail: amalianurmadewi@gmail.com

Abstrak

Artikel ini merupakan hasil analisis terhadap kebutuhan informasi sebuah komunitas tunanetra yang bernama Pertuni. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara terhadap anggota Komunitas Pertuni serta melakukan kajian terhadap berbagai literatur yang berkaitan dengan kebutuhan informasi. Berdasarkan dari pengumpulan dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan informasi utama anggota Komunitas Pertuni Semarang berkaitan dengan kebutuhan integrasi sosial, kebutuhan akan hiburan, serta kebutuhan integrasi personal.

Kata Kunci:kebutuhan informasi, tunanetra, komunitas pertuni, Inklusi sosial

Abstract

This article written based on analyses related to information need in a community named Pertuni. Data collection was done by making observation and interview with the member of Pertuni Community and also literature studies. Based on data collection and analyses, it can be concluded that information need of Pertuny Community’s member related with social integrative need, entertainment need and personal integrative need.

Pendahuluan

Perpustakaan DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Pertuni), Semarang adalah sebuah perpustakaan komunitas yang dikhususkan untuk melayani kebutuhan informasi tunanetra di wilayah Semarang. Perpustakaan Pertuni merupakan satu- satunya perpustakaan di Semarang yang bisa dimanfaatkan oleh tunanetra untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Kebutuhan informasi didefinisikan sebagai kebutuhan yang diperlukan oleh seseorang untuk terus mengembangkan pemikirannya dan agar dia bisa mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam kehidupannya, kebutuhan informasi muncul karena adanya kesenjangan informasi yang dimiliki oleh seseorang, dengan informasi yang seharusnya dimiliki oleh orang tersebut untuk melakukan aktivitas sehari- hari ( Darvin).

Di tengah ketidakpedulian Perpustakaan Umum ataupun lembaga informasi lainnya terhadap kebutuhan informasi para tunanetra, Perpustakaan Pertuni mempunyai potensi besar sebagai satu-satunya lembaga informasi yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka. Di Perpustakaan Pertuni disediakan teknologi yang dapat membantu tunanetra untuk mengakses informasi di internet, koleksi perpustakaan di simpan dalam bentuk digital, yang kemudian bisa di dengarkan oleh tunaneta dalam bentuk audio. Keseluruhan teknologi yang disediakan ditujukan untuk mengatasi hambatan fisik yang dimiliki oleh tunanetra dan membuka akses informasi yang lebih luas bagi mereka.

Setelah delapan tahun berdirinya perpustakaan, pihak pengelola perpustakaan menyatakan bahwa walaupun pengguna

datang secara teratur setiap hari sabtu untuk ke perpustakaan, mereka hanya datang untuk berkumpul-kumpul saja, dan jarang memanfaatkaan koleksi dan teknologi informasi yang telah disediakan perpustakaan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara ditemukan bahwa koleksi dan teknologi informasi yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan informasi pengguna. Pembangunan Perpustakaan Pertuni yang murni berasal dari bantuan dan tidak dilibatkannya pengelola informasi profesional seperti pustakawan, menyebabkan pembangunan perpustakaan kurang tepat sasaran.

Pihak Perpustakaan Pertuni harus menyadari, bahwa untuk meningkatkan akses informasi pengguna perpustakaan, mereka membutuhkan lebih dari sekedar teknologi, tidak hanya keterbatasan fisik tunanetra saja yang dijadikan dasar pembangunan Perpustakaan Pertuni, tetapi hal-hal yang bersifat konseptual seperti informasi apa yang dibutuhkan, faktor- faktor apa saja yang menyebabkan munculnya kebutuhan informasi tersebut, dan bagaimana kecenderungan pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasinya, hal-hal yang seperti ini harus dipahami oleh pihak perpustakaan.

Faibissof dan Ely mengungkapkan, bahwa kesesuaian antara koleksi dan layanan sebuah lembaga informasi dengan kebutuhan informasi penggunanya akan meningkatkan pemanfaatan lembaga informasi tersebut, karenanya, lembaga informasi harus mampu mengcapture

kebutuhan informasi yang dimiliki oleh penggunanya, bukan hanya kebutuhan informasi yang disampaikan oleh pengguna, bukan hanya kebutuhan informasi yang disadari oleh pengguna, tetapi juga

kebutuhan informasi yang nyata tetapi tidak disadari oleh pengguna dan juga kebutuhan informasi yang tidak terucapkan oleh pengguna, dan untuk mendapatkan pemahaman terhadap kebutuhan informasi tersebut profesional informasi harus memiliki pemahaman mendalam terhadap latar belakang dan karakteristik yang menyebabkan munculnya keberagaman kebutuhan informasi penggunanya (Faibissof dan Ely).

Pemahaman dan analisis mendalam terhadap faktor-faktor yang menyebabkan munculnya kebutuhan informasi dan jenis kebutuhan informasi dari pengguna Perpustakaan Pertuni bermanfaat untuk merancang desain layanan perpustakaan yang bisa memenuhi kebutuhan informasi penggunanya dan diharapkan bisa meningkatkan pemanfaatan penggunaan perpustakaan, sehingga tujuan Perpustakaan Pertuni sebagai lembaga informasi yang bisa meningkatkan aksesbilitas informasi dan literasi informasi tunanetra bisa tercapai.

Jenis-jenis Kebutuhan Informasi

Dikaitkan dengan lingkungan yang mendorong timbulnya kebutuhan Informasi, khususnya yang berkaitan dengan seseorang yang dihadapkan pada berbagai media penyedia informasi (sumber-sumber informasi), menurut Katz, Gurevitch, dan Haas (1973), kebutuhan informasi dikelompokkan menjadi:

Kebutuhan kognitif. Kebutuhan ini berkaitan erat dengan kebutuhan untuk memperkuat atau menambah informasi, pengetahuan, dan pemahaman seseorang akan lingkungannya. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat seseorang untuk memahami dan menguasai lingkungannya.

Kebutuhan afektif. Kebutuhan ini dikaitkan dengan penguatan estetis, kesenangan dan pengalaman-pengalaman emosional. Berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik, sering dijadikan alat untuk mengejar kesenangan dan hiburan. Orang membeli radio, televisi, menonton film, dan membaca buku-buku bacaan ringan dengan tujuan untuk mencari hiburan.

Kebutuhan integrasi personal. Kebutuhan ini sering dikaitkan dengan penguatan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individu. Kebutuhan-kebutuhan ini berasal dari hasrat seseorang untuk mencari harga diri. Merupakan gabungan antara kebutuhan afektif dengan kognitif

Kebutuhan integrasi sosial (social integrative needs). Kebutuhan ini dikaitkan dengan penguatan hubungan dengan keluarga, teman, dan orang lain di dunia. Kebutuhan ini didasari oleh hasrat seseorang untuk bergabung atau berkelompok dengan orang lain..

Kebutuhan berkhayal (escapist needs). Kebutuhan ini dikaitkan dengan kebutuhan- kebutuhan untuk melarikan diri, melepaskan ketegangan, dan hasrat untuk mencari hiburan atau pengalihan (diversion).

Profil Pengguna Perpustakaan Pertuni

Perpustakaan Pertuni didirikan pada Maret 2007, untuk memastikan agar perpustakaan ini bisa termanfaatkan secara maksimal, maka pihak pendiri perpustakaan menunjuk staf perpustakaan, yang semuanya adalah tunanetra untuk mengelola dan mengajak teman-teman sesama tunanetra agar datang dan memanfaatkan Perpustakaan Pertuni, hal tersebut menyebabkan pengguna perpustakaan pertuni mengenal satu sama lain sehingga kemudian perpustakaan

dijadikan tempat mereka bertemu, berdiskusi, atau sekedar menghabiskan waktu. Lama-kelamaan hubungan antar pengguna menjadi semakin dekat sehingga akhirnya pengguna perpustakaan memutuskan untuk membentuk sebuah komunitas, yang disebut sebagai komunitas pertuni.

Apa yang terjadi dalam komunitas Pertuni bisa dipahami melalui konsep jaringan sosial. Jaringan sosial adalah sebuah konsep tentang hubungan antara seseorang atau sekelompok orang, hingga menciptakan sebuah ikatan sosial yang didasari oleh adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005).

Komunitas Pertuni merupakan aktor dari suatu jaringan sosial, komunitas tersebut terdiri dari 17 orang, mereka bekerja sebagai tukang pijat, sales, guru, motivator dan beberapa anggota komunitas tersebut masih berstatus siswa. Latar belakang pendidikan sebagian besar anggota komunitas adalah lulusan sekolah menengah pertama (di SLB). Anggota komunitas Pertuni secara rutin berkumpul di perpustakaan setiap hari sabtu, kemudian mereka akan berbagi informasi melalui komunitas (tanpa memanfaatkan informasi yang ada di perpustakaan) secara verbal, mengenai kehidupan sehari-hari, pekerjaan, pendidikan, hobi, dan motivasi.

Mereka mempunyai ikatan yang kuat, saling percaya antar anggota kelompok, membantu satu sama lain, saling mendukung, berkomunikasi secara intensif, saling berkunjung kerumah, mengadakan piknik

bersama, makan bersama, diskusi, futsal dan banyak kegiatan lainnya. Ikatan kelompok yang kuat ini, berdampak pada eksklusifitas. Para anggota mempunyai kepedulian tentang apa yang terjadi di dalam komunitas mereka, tetapi mereka kurang peduli dengan apa yang terjadi di luar komunitas. Mereka tidak mau tahu tentang kondisi masyarakat, politik, ekonomi, dampak ikatan kelompo kini akan di bahas pada bagian analisis.

Perasaan ekslusifitas ini sebenarnya timbul karena mereka merasa “berbeda” dengan orang-orang pada umumnya; mereka merasa rendah diri, lemah, dan harus berhati-hati dengan orang “normal”. Mereka merasa tidak nyaman untuk berinteraksi dengan orang normal karena khawatir, orang normal akan melakukan hal yang merugikan para tunanetra ini. Selain itu di lingkungan sekitar, mereka acap kali menerima perlakuan yang tidak adil, tetangga-tetagga memandang rendah kepada mereka, beranggapan bahwa orang tunanetra berpendidikan rendah, masa depan suram dan diidentikan dengan tukang pijat.

Siswa tunanetra yang masih bersekolah, dan beberapa dari mereka bersekolah di sekolah umum, sering mendapatkan perlakuan tidak adil dari teman-teman atau bahkan guru mereka. Menurut salah seorang anggota komunitas yang masih duduk di bangku sekolah teman-teman menjauhi mereka karena tidak mau direpotkan, mereka khawatir jika terlalu dekat dengan siswa tunanetra ini mereka akan kerepotan menuntun tunanetra tersebut berjalan, menulis tugas, membaca di papan tulis, dsb. Sementara para guru, kerap kali memarahi mereka karena ketika guru sedang menerangkan siswa tunanetra tersebut memegang handphone, guru berpikir siswa

tersebut main-main, padahal dia sedang mencatat keterangan guru di handphonenya karena ketidak-mampuannya dalam menulis ataupun membaca seperti orang normal, walaupun siswa telah berusaha untuk menerangkan, tetapi masih saja ada beberapa guru yang tidak bisa menerima hal tersebut.

Sementara anggota komunitas yang telah bekerja dan mereka mendapatkan pekerjaan di lingkungan dimana mereka dikelilingi oleh orang-orang yang bukan tunanetra, mereka merasa inferior. Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap mereka di lingkungan kerja, anggota komunitas tersebut cenderung berpikir bahwa dirinya adalah beban di lingkungan kerjanya karena tidak bisa bekerja sebanyak teman- temannya, hal ini membuat dirinya merasa malu, merasa tidak berguna, dan rendah diri. Hal tersebut berakibat, tunanetra ini cenderung pasif di tempat kerja, untuk anggota tunanetra yang bekerja dengan tunanetra lainnya, seperti di panti pijat, menunjukkan karakteristik yang hampir sama, mereka pasrah dengan kondisinya, mudah merasa bersyukur, dan kurangnya motivasi untuk mengembangkan diri.

Karakter tersebut berbeda dengan beberapa anggota komunitas yang pernah mengenyam bangku perguruan tinggi. Mereka menunjukkan perilaku pantang menyerah, selalu ingin maju, dan bisa hidup

1Holes atau lubang di dalam struktur jaringan

sosial, menyediakan keuntungan yang bisa dieksploitasi (Burt dalamPescosolido, 2006).Idealnya, denganadanya “hole”

dalamsuatujaringansosialakanberdampakbaikk arenaakanmendorongaktoruntukmencariinfor masilebihbanyaktentangjaringansosialtersebut

seperti orang lain, mereka ini adalah para pengurus Perpustakaan Pertuni. Kepedulian mereka terhadap teman-teman tunanetra membuat diri mereka selalu ingin belajar berbagai hal baru, untuk kemudian disebarkan kepada teman-temannya yang tunanetra. Menurut mereka, walaupun terkadang mereka mendapatkan perilaku tidak adil dari orang-orang sekitar, tetapi hal tersebut justru memicu mereka untuk bahwa diri mereka mampu mencapai lebih dari apa yang orang-orang tersebut miliki.

Sikap masyarakat yang cenderung memperlakukan anggota komunitas secara berbeda membuat mereka tidak percaya dan selalu menaruh curiga kepada orang-orang disekitarnya. Kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap mereka menciptakan suatu lubang di dalam jaringan sosial, yang menyebabkan aktor dalam jaringan yaitu komunitas tunanetra tidak dapat terhubung kejaringan sosial1. Anggota komunitas merasa mereka bukan bagian dari masyarakat, kepedulian terhadap apa yang terjadi di masyarakat pun menjadi rendah. Mereka merasa inferior dan termarjinalkan. Hal tersebut menyebabkan ikatan sebagai kelompok di dalam komunitas tunanetra menguat dan menciptakan eksklusifitas komunitas, yang secara tidak langsung justru membuat komunitas pertuni semakinberjarakdengan apa yang ada dan yang terjadi di dalam masyarakat.

agar lubang dalam jaringan sosial bisa tertutup, dan dia bisa terhubung ke dalam jaringan tersebut. Ketidakmampuan dalam mengatasihole dalam jaringan sosial akan menyebabkan aktor sosial terexclude dari jaringan sosial yang ada.

Kebutuhan Informasi Anggota Komunitas Pertuni

Berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh penulis, hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwasebanyak delapan orang dari anggota komunitas kebutuhan informasi utamanya berkaitan dengan kebutuhan integrasi sosial,enam orang anggota komunitas menyatakan bahwa kebutuhan informasi utamanya adalah kebutuhan untuk berkhayal, sementara tiga orang anggota komunitas menyatakan bahwa kebutuhan informasi utamanya adalah kebutuhan integrasi personal

Kebutuhan integrasi sosial

Sebanyak delapam informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa kebutuhan informasi utama mereka berkaitan dengan kebutuhan integrasi sosial. Berikut ini kutipan wawancara dari salah satu informan: “informasi apa ya? Sepertinya paling sering cari informasi tentang teman- teman pertuni, kadang cari di facebook. Kadang telpon-telponan, atau dateng ke acara kumpul-kumpul di pertuni. Gimana kabar mereka, gosip-gosip tentang temen biar kalau ketemu bisa buat ledek-ledekan, atau kalau ada temen buka bisnis apa, ada acara buat tunanetra bisa bareng-bareng ikut”

Bisa dipahami mengapa kebutuhan informasi sebagian besar anggota pertuni berkaitan dengan informasi tentang teman-

2Fungsi jaringan sosial ada empat;

Instrumental support, emotional Support,

teman atau apa yang terjadi di dalam komunitas mereka. Perlakuan orang-orang di sekitar mereka yang menjaga jarak, memandang rendah, dan tidak menganggap keberadaan mereka menyebabkan pengguna perpustakaan memiliki keinginan kuat untuk menjadi bagian dari komunitas pertuni.

Kuatnya ikatan antar anggota, menyebabkan komunitas yang mereka bentuk berfungsi sebagai emotional support dan appraisal2. Dalam menjalankan fungsinya sebagai emotional support, Komunitas Pertuni mampu memberikan, persahabatan, rasa nyaman dan percaya, kepedulian dan cinta sehingga membuat anggota komunitas bisa merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, mereka merasa penting dan dibutuhkan. Pada perkembangannya, perasaan menjadi bagian dari komunitas membuat mereka memiliki keinginan kuat untuk selalu mengetahui apa yang terjadi di dalam komunitas mereka, hal tersebut mendorong kebutuhan informasi yang muncul pada sebagian besar anggota komunitas adalah informasi terkait dengan komunitas mereka.

Kebutuhan integrasi sosial yang kuat pada anggota pertuni, memberi dampak positif dan negatif terhadap anggota,.dampak positif tersebut adalah tingginya rasa ingin tahu, keinginan kuat untuk terus

berkembang dan mengembangkan

komunitasnya membuat para pengguna terdorong untuk menambah pengetahuan baru yang berkaitan dengan tunanetra dan komunitas mereka. Sebelum bergabung dengan komunitas pertuni, mereka hanya melakukan pekerjaan rutin yang menurut

appraisal, dan monitoring Aneshensel dalam pescosolido, 2006)

mereka tidak membutuhkan informasi dan lingkup pergaulan yang berorientasi pada keluarga dengan tiga atau empat orang teman membuat mereka tidak menyadari kebutuhan informasinya, motivasi dan usaha untuk memenuhi kebutuhan informasi kurang. Dengan bergabungnya mereka dengan komunitas, rasa ingin tahu semakin terasah, kebutuhan informasi lebih disadari, dan motivasi dan usaha untuk memenuhi kebutuhan informasi menguat.

Dampak negatif yang muncul akibat kuatnya kebutuhan integrasi sosial adalah ketidakpedulian anggota komunitas terhadap informasi di luar lingkungan komunitas mereka. Hal tersebut salah satunya terbukti saat saya menanyakan informasi berkaitan dengan berita terhangat yang sedang menjadi sorotan media, dari 17 aggota pertuni, hanya dua orang saja yang mengetahu informasi tersebut. Jika kebutuhan integrasi informasi di anggota komunitas tidak di rangsang dengan informasi lain yang lebih luas dan beragam dari pihak perpustakaan, maka kemungkinan munculnya kebutuhan informasi yang homogen yang membuat ikatan anggota komunitas makin kuat, tetapi menjauhkan mereka dari kehidupan masyarakat luas bisa terjadi.

Kebutuhan berkhayal (escapist need)

Sebanyak enam orang informan menyatakan bahwa kebutuhan informasinya berkaitan dengan kebutuhan berkhayal. Kebutuhan ini dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melarikan diri, melepaskan ketegangan, dan hasrat untuk mencari hiburan atau pengalihan (diversion). Berikut ini, kutipan wawancara dari beberapa anggota komunitas yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi yang paling utama

dipenuhi berkaitan dengankebutuhan berkhayal:

mmm..kalau informasi si saya sukanya nyari informasi yang bikin seneng, kaya gosip-gosip artis, kalo ga saya pinjem koleksi perpustakaan yang novel-novel, tapi milih yang tipis si mba males baca tebel-tebel”.

“Bola mba, seneng banget saya sama

Arsenal, kalo pas abis pusing-pusing ada masalah apa, terus saya online aja cari- cari artikel tentang arsenal, bisa bikin saya seneng lagi, buat hiburan banget

lah mba”.

Anggota Komunitas Pertuni yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi mereka berkaitan dengan kebutuhan berkhayal adalah para anggota yang bekerja di panti pijat, dengan rutinitas keseharian yang sama, berulang-ulang, dan monoton hampir setiap harinya, dengan lingkungan pergaulan yang berkisar antara keluarga dan rekan kerja di panti pijat membuat anggota komunitas yang berada dalam kondisi tersebut merasa jenuh, beberapa anggota bahkan menyatakan, bahwa satu- satunya hiburan yang bisa mereka dapatkan adalah melakukan surfing di internet, keterbatasan indra penglihatan menyebabkan terbatasnya ruang gerak, dan mereka juga menyatakan bahwa tidak semua orang mau berbicara dengan tunanetra, hal tersebut menyebabkan kebutuhan informasi yang berkaitan dengan berkhayal, yang bisa membuat mereka keluar dari kehidupan sehari-hari yang terasa monoton dan membosankan, informasi-informasi yang membuat mereka merasa terhibur, yang membuat mereka bisa berkhayal tentang kehidupan di luar yang tidak bisa mereka dapatkan karena keterbatasan yang mereka miliki menjadi

prioritas utama kebutuhan informasi mereka.

Kebutuhan integrasi personal

Sebanyak tiga orang informan menyatakan bahwa kebutuhan informasi utamanya berkaitan dengan kebutuhan integrasi personal. Berikut ini adalah petikan wawancara dari informan:

“Informasi yang sering saya cari

biasanya informasi yang berkaitan dengan manajemen, SDM, dan psikologi. Saya butuh informasi tersebut karena tuntutan pekerjaan. Pekerjaan sampingan saya kan juga bekerja sebagai motivator, ga hanya di dalam komunitas perpustakaan saja, kadang juga diundang ke luar seperti kalo ada acara dari Telkomsel

“Saya biasanya mencari informasi

tentang budaya, sejarah, sama filsafat. Hal-hal yang seperti itu. Latar belakang pendidikan saya kan memang sejarah sama bahasa dan saya juga bekerja sebagai guru bahasa jadi saya berusaha untuk terus mengikuti informasi yang berhubungan dengan topik-topik tersebut. Kalau tidak diikuti terus- menerus nanti ada miss link nya. Selain itu, dengan mengikuti perkembangan dari topik yang berkaitan dengan pekerjaan, saya merasa lebih mempunyai bekal dan rasa percaya diri ketika berdiskusi dengan guru-guru lain yang bidang ilmunya sama dengan

saya.”(IND)

“Biasanya mencari informasi tentang

komputer, saya mengikuti terus perkembangan tentang komputer, software-software, dan juga screen readernya. Saya memang tertarik sekali

dengan hal-hal yang berbau IT. Kebetulan di PERTUNI ini saya bekerja di bagian IT, jadi kalau ada teman-teman yang minta diajarin tentang IT saya tidak

keteteran menjawabnya.”(AR)

Dari kutipan wawancara di atas kita bisa melihat bahwa informan berusaha membekali diri dengan informasi-informasi terbaru seputar bidang yang diminatinya. Informan yang menjawab bahwa kebutuhan informasi utama mereka berkaitan dengan kebutuhan integrasi personal, adalah para anggota komunitas yang di dalam Komunitas Pertuni mempunyai peran sebagai “panutan”, mereka berlatar belakang pendidikan lebih tinggi dari rata- rata anggota komunitas lainnya, dianggap lebih pintar, dan dijadikan sebagai “sumber informasi” bagi anggota komunitas lainnya, dengan peran yang demikian, anggota- angota komunitas tersebut merasa mempunyai “kewajiban” untuk terus meningkatkan kemampuannya sehingga status mereka sebagai panutan dalam kelompok bisa terus stabil. mereka bisa terus mendapatkan kepercayaan dari anggota komunitas lainnya, kredibilitas.

Dengan memiliki banyak informasi terkait bidang yang diminati, informan dianggap ahli oleh teman-teman dalam komunitas pertuni.Keinginan untuk mendapatkan harga diri, kredibilitas, dan kepercayaan dari anggota komunitas lain menjadi motivasi utama informan dalam melakukan pencarian informasi. Pernyataan informan akan kebutuhan integrasi personal ini diperkuat oleh pendapat Katz, Gurevitch, dan Haas (dalam Yusup, 2010:83) yang menyatakan bahwa kebutuhan integrasi personal adalah kebutuhan seseorang akan kepercayaan, stabilitas, status, dan kredibilitas yang diberikan oleh orang lain kepada dirinya.

Kebutuhan ini didasari oleh hasrat seseorang yang ingin mencari harga diri.

Anggota komunitas yang menyatakan kebutuhan informasi utamanya berkaitan deengan kebutuhan integasi personal mempunyai kecenderungan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan informasi dan menyebarkan informasi yang mereka dapatkan, anggota tersebut juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebutuhan informasi anggota komunitas lainnya, mereka bisa mempengaruhi anggota komunitas agar merasa tertarik terhadap suatu jenis informasi dan mendorong anggota komunitas untuk melakukan pencarian informasi dengan lebih aktif.

Kesimpulan

Kebutuhan informasi satu orang dengan yang lainnya berbeda, pada tunanetra keterbatasan indra penglihatan berpengaruh tidak hanya pada cara mereka mengakses informasi tetapi juga pada jenis informasi yang dibutuhkan, hal tersebut yang terkadang dilupakan oleh pusat informasi. Beberapa pusat informasi yang ramah difabilitas, seperti Perpustakaan Pertuni, cenderung berfokus pada pembangunan teknologi informasi canggih yang bisa mengatasi keterbatasan para tunanetra, hal tersebut memang penting dilakukan tetapi