• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP INFORMASI: MASYARAKAT KRITIS CERMINAN MASYARAKAT INFORMAS

Niko Grataridarga

Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16425, Indonesia

e-mail: nikinter90@gmail.com

Abstrak

Masyarakat informasi adalah masyarakat yang menggunakan informasi di seluruh elemen kehidupannya. Informasi menjadi bagian penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pemanfaatan informasi bagi kegiatan sehari-hari, masyarakat informasi yang ideal harus dapat benar-benar memahami dan berpikir kritis mengenai informasi yang tersedia. Informasi yang ada dari berbagai media, contohnya seperti televisi, harus dapat disikapi dengan kritis agar justru tidak terjebak pada pola masyarakat konsumtif. Untuk mencapai masyarakat informasi yang berpikiran kritis perlu dibentuk dengan pendidikan yang berkualitas dan budaya membaca yang terus ditingkatkan.

Kata Kunci: Berpikir Kritis, Budaya Membaca, Masyarakat Informasi, Tayangan Televisi, Pendidikan,

Abstract

Information society is a society that uses information on all elements of their life. Information is an important part for their survival. To achieve maximum results in the utilization of information for day-to-day activities, the ideal information society should be really understand and think critically about the information available. Existing information from various media, such as television, must be addressed by critical so that it does not get stuck in the pattern of the consumer society. To achieve information society that critically thinking needs to be made with a quality education and are continuously improved reading culture.

Pendahuluan

Berpikir kritis terhadap informasi saat ini sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Membludaknya informasi yang dapat diakses memberi keuntungan tersendiri bagi masyarakat sebagai bahan

pendukung dalam menjalankan

aktivitasnya. Sektor-sektor kehidupan tak lepas dari kebermanfaatan informasi. Ekonomi, sosial dan teknologi dapat berjalan maju dengan modal pemanfaatan informasi. Namun jika masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai akan informasi yang bertebaran tersebut, justru akan menimbulkan kebingungan tersendiri bagi mereka. Tanpa pemahaman dalam mengkritisi informasi, masyarakat Indonesia akan mudah diperdaya oleh informasi-informasi yang tidak netral dan komersialisasi. Maka dari itu harus dibentuk pola berpikir kritis dalam masing-masing individu masyarakat melalui pendidikan dan budaya membaca.

Masyarakat Informasi

Setiap sektor kehidupan dalam masyarakat yang tidak lepas dari kebermanfaatan informasi mengarahkan pola sosial masyarakat menjadi masyarakat informasi. Sebagaimana yang dipaparkan John Feather (2004), ada 4 model utama dalam penilaian bahwa suatu masyarakat menjadi masyarakat informasi, yaitu :

a. Ekonomi b. Teknologi c. Sosial d. Sejarah

Dalam model ekonomi, masyarakat informasi memandang informasi sebagai sebuah komoditas. Dikutip dari sebuah

artikel yang berjudul “Pendekatan Informasi

Sebagai Komoditi dalam Proses Diseminasi

Informasi” oleh Sugiharto (2011), dijelaskan bahwa era globalisasi informasi menjadi suatu primadona, di mana informasi tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang biasa, tapi informasi menjadi barang dagangan atau menjadi suatu komoditi yang artinya informasi dapat dikemas dalam berbagai bentuk sumber informasi (source) seperti bentuk digital, cd-rom, web, dll. Dengan demikian, informasi tersebut menjadi suatu kebutuhan pokok, sehingga informasi mempunyai nilai tambah dan merupakan komoditi yang dapat dijual kepada pengguna informasi di seluruh dunia, yang pada akhirnya dapat mendatangkan devisa.

Dari segi teknologi masyarakat informasi telah tergerak untuk selalu menggunakan teknologi informasi dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang ekonomi mulai dari produksi, distribusi atau transasksi ekonomi semuanya telah teratasi dengan sistem teknologi informasi. Sejak komputer menjadi komersial pada awal 1950an generasi teknologi juga mengikuti dengan perubahan yang cepat. Seluruh sendi-sendi kehidupan telah dirasuki dengan campur tangan teknologi.

Pada model sosial masyarakat informasi telah berada pada interaksi komunikasi yang tak terbatas.Komunikasi tidak lagi terhalang ruang dan waktu. Masyarakat di seluruh belahan dunia terhubung melalui berbagai jaringan. Pada saat ini jaringan internet menjadi pionir utama. Sejak dimulainya revolusi komputer memiliki dampak yang luar biasa dan komperhensif, yang mempengaruhi manusia dengan manusia yang lain dengan berbagai aspek dalam kehidupannya. Masyarakat informasi sebagai interkasi informasi yang saling mempengaruhi manusia yang satu dengan

yang lainnya dimulai sejak berkembangnya revolusi komputer.

Dari segi sejarah, masyarakat informasi telah melihat perkembangan informasi sebagai suatu yang penting dari masa ke masa. Mulai dari menuliskan simbol dan huruf pada batu, ditemukannya kertas, hingga penemuan mesin cetak. Dari sini, bagian historis menjadi peranan penting dalam membentuk masyarakat informasi.

Pada intinya masyarakat informasi adalah masyarakat yang menggunakan informasi di seluruh elemen kehidupannya. Informasi

menjadi bagian penting bagi

keberlangsungan hidup mereka. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pemanfaatan informasi bagi kegiatan sehari- hari, masyarakat informasi juga harus dapat benar-benar memahami dan berpikir kritis mengenai informasi yang tersedia. Informasi yang ada dari berbagai media seperti televisi, media massa, atupun internet harus mampu dipilah oleh masyarakat dan dipahami sebagai komoditi yang menguntungkan bagi mereka.

Diharapkan masyarakat mampu

mengaplikasikan informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan dan apa yang sebenarnya tidak perlu.

Tayangan Berita di Televisi

Media yang paling dekat dengan segala elemen masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dan dewasa, pedesaan, perkotaan dan memiliki intensitas tinggi dalam penyampaian informasi saat ini adalah televisi. Dan sebagian besar masyarakat menyukai tayangan berita di televisi. Berdasarkan hasil survei kepemirsaan TV Nielsen Audience Measurement di 10 kota besar di Indonesia pada periode Januari- Maret 2010, porsi tayang program berita di

11 stasiun TV nasional masih sama dengan tahun lalu, yaitu sebesar 21% dari total durasi tayang televisi yang mencapai 23.760 jam atau sekitar 4.996 jam. Jumlah ini paling besar dibandingkan program-program lainnya, seperti hiburan (19%), film (16%), informasi (14%) atau serial (12%), terutama karena kontribusi program-program berita MetroTV dan TVOne (hampir 50% dari total siaran berita). Hal ini memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa segmen penonton berita lebih memilih stasiun televisi khusus berita dengan beragamnya pilihan program berita untuk senantiasa memperoleh informasi terbaru seputar kasus-kasus yang sedang hangat dibicarakan. Selain itu kita bisa melihat bahwa kedua stasiun televisi ini bersaing dengan cukup kompetitif dalam hal pemberitaan dibandingkan stasiun televisi yang lain.

Ada dua stasiun televisi yang begitu intens dalam menyajikan sajian berita kepada masyarakat yaitu TV One dan Metro TV. Seperti yang kita tahu di Indonesia ada dua stasiun televisi yang mempunyai orientasi dan atau menjadikan berita sebagai sajian utama mereka. Kedua stasiun tersebut adalah TVOne dan MetroTV. Kedua stasiun tv ini mempunyai visi menjadi sebuah stasiun televisi yang berbeda di Indonesia dengan peringkat nomor satu untuk beritanya. Namun lebih jeli kita melihat pemilik dari kedua stasiun tv ini yaitu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh yang notabene juga merupakan ketua partai Golkar dan Nasional Demokrat, bisa ditengarai ada sajian berita yang disampaikan mengandung unsur politik juga dalam pemberitaan mereka. Ini juga mengindikasikan berita yang dimuat juga tidaklah netral. Satu waktu saat penulis menyaksikan berita di TV One yang

mengabarkan mengenai kondisi tempat pengungsian korban gunung meletus di Jogjakarta beberapa waktu lalu, hal yang pertama kali ditanyakan oleh news anchor

kepada reporter di lapangan adalah “apakah

sudah ada partai yang memberikan bantuan

untuk korban pengungsi?”. Tentu saja

reporter menjawab dengan lugas bahwa Partai Golkar menjadi yang pertama memberikan bantuan.

Gambar 1. Dua kubu stasiun TV berita di Indonesia yang juga dipengaruhi unsur politik

Hartley (1982) mengatakan bahwa yang perlu dipahami mengenai suatu berita adalah berita tidak sekedar informasi. Harus dipahami bahwa dalam proses pembentukan berita itu terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi konteks dari berita tersebut. Jadi berita atau informasi yang diberikan dalam tayangan televisi tidak selalu netral. Terdapat kepentingan-kepentingan yang termuat di dalamnya. Baik itu kepentingan komersialisasi, politik, pengalihan isu social, atau sekedar memenuhi selera masyarakat yang senang bergosip. Sebagaimana Schramm (1975) mengatakan bahwa dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan seagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan politik. Lantas bagaimana membuat masyarakat memahami sepenuhnya mana

informasi yang penting ditangkap dan mana informasi yang sebetulnya tidak perlu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas kembali lagi pada pemahaman masyarakat atas informasi itu sendiri. Masyarakat Informasi menuntut kemampuan berpikir kritis dan kemauan untuk terus menjadi manusia yang memahami informasi seumur hidup. Masyarakat informasi dapat memahami dan menggunakan informasi yang ada secara tepat demi menunjang kegiatan sehari- harinya sehingga dapat menegerti informasi mana yang penting dan mana yang sebenarnya tidak perlu. Masyarakat informasi juga bisa melihat fenomena sosial lebih objektif sehingga pemikiran mereka menjadi lebih berkembang dan tidak mudah untuk diarahkan ke suatu isu tertentu.

Tayangan televisi yang perlu dikritisi lagi bukan saja pada acara-acara ataupun berita yang ada namun juga pada iklan-iklan yang disajikan. Iklan membentuk pola pikir konsumsi pada masyarakat. Iklan bukan hanya sekedar untuk mempromosikan barang namun juga memaksakan barang untuk dibeli padahal belum tentu dibutuhkan. Iklan membentuk image suatu barang menjadi mewah, seseorang yang memakai produk tertentu menjadi simbol untuk kelas sosial tertentu juga.

Tanpa Berpikir Kritis menjadi Masyarakat konsumtif

Selain tayangan berita, siaran televisi juga sebagian besar dipenuhi dengan iklan-iklan komersil. Bahkan iklan sendiri bukan saja hanya ada di televise tapi juga kita temui dalam lingkungan keseharian kita. Bisa dari internet, kantor, jalanan, pusat pembelanjaan, dan lain-lain. Arens et.al

(2008) mendefinisikan iklan sebagai informasi terstruktur dan terdiri dari

komunikasi non-personal, dibayar dan biasanya bersifat persuasif, tentang produk, jasa atau ide oleh sponsor yang diidentifikasi melalui berbagai media. Definisi tersebut menunjukkan bahwa iklan- iklan dan acara di televisi begitu gencar menyuguhkan informasi produk kepada masyarakat yang sifatnya mengajak atau persuasif. Informasi ini bila tidak disikapi dengan bijak, akan membentuk pola sosial masyarakat konsumtif.

Salah seorang tokoh filsafat dan sosiologi Perancis, Jean Boudrillard (1929-2007) mengatakan, sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, ajang kompetisi calon bintang, gaya hidup selebritis, dan sebagainya. Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena yang sebenarnya kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak pernah mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tak pernah terpuaskan. Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsusmsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidakpuasan. Kita menjadi teralienasi karena perilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin.

Begitulah yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Sebuah survey menunjukkan Indonesia menduduki tempat pertama dalam

pembelian gadget terbanyak dibandingkan negara-negara lain di dunia. Menurut data dari VNI Forecast Cisco, pada 2011, tercatat ada 250 juta pembelian berbagai ponsel dan komputer tablet di Indonesia. Hanya dalam satu tahun, menurut penelitian Cisco, pemilik ponsel di Indonesia meningkat 50 juta menjadi 300 juta pengguna. Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berkembang hingga 2017 menjadi 370 juta pengguna ponsel atau komputer tablet.

Menurut Director for Mobility Architecture for Asia Pacific, Japan, and Greater China, Dirk Wolter, peningkatan jumlah ini dikarenakan perilaku konsumtif warga Indonesia disertai gaya hidup yang berubah mengikuti perkembangan teknologi. "Seperti dapat kita lihat, satu orang di Indonesia sekarang bisa memiliki 4 ponsel. Ya seperti yang Anda punya, benar kan?" tutur Wolter memberikan penjelasan lewat telepresence dari Singapore, dikutip dari berita okezone.com pada Kamis (22/8/2013). Meskipun 4 ponsel yang ada memiliki fungsi masing-masing, namun jika dilihat pada masa sekarang ini 1 ponsel saja juga telah mencakup semua kegiatan. Mulai dari internet chat, telpon, dan sms. Namun juga kita bisa melihat fenomena antrian panjang saat launching sebuah gadget terbaru. Seperti saat penjualan perdana dari produk Samsung Galaxy SIII pada 2012 lalu, sebelum toko dibuka sudah banyak

orang yang mengantri untuk

mendapatkannya. Padahal harga yang ditawarkan untuk ponsel ini cukup tinggi yaitu sekitar 7 juta rupiah. Pembayaran juga bisa melalui kredit. Jika kita lihat ada beberapa ponsel merk lain yang spesifikasinya sama dengan Galaxy SIII dan harganya lebih murah tidak terlalu diminati karena bukan dari merk terkenal.

Bukan hanya sekedar fungsi, telepon genggam menjadi semacam simbol sosial. Memiliki ponsel dari merk terkenal seperti Apple atau Samsung membuat kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Dari fenomena tersebut, pertanyaannya apakah kita membutuhkan itu semua? Atau bahkan kita tidak mengetahui sebenarnya apa yang kita butuhkan? Sehingga saat ada produk baru atau produk yang dianggap melambangkan kelas sosial yang tinggi dengan mudahnya orang akan mengantri dan menjadi orang pertama yang mendapatkannya.

Gambar 2. Konsumerisme merugikan masyarakat tanpa disadari

Iklan-iklan dan informasi yang terpampang di berbagai media dimaknai mentah-mentah oleh masyarakat tanpa menelisik lebih tajam apa yang menjadi kebutuhan dasarnya. Sehingga membuat masyarakat mudah diarahkan pemikiran dan bahkan tindakannya menuju apa yang diinginkan oleh si pembuat iklan karena tidak ada pemikiran yang tajam terhadap informasi dan penggambaran iklan yang ditampilkan. Alih-alih untuk bergerak ke masyarakat informasi, masyarakat Indonesia telah terjebak menuju masyrakat konsumsi.

Berpikir Kritis terhadap Informasi

Untuk memahami dan memandang netral dengan adanya berita-berita di televisi serta segera keluar dan tidak terjebak semakin dalam di pola konsumtif yang dibentuk oleh

kapitalisme, kita harus mampu berpikir kritis terhadap informasi. Berpikir kritis (critical thinking) adalah proses untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, komunikasi atau bisa juga dari tayangan televisi. Berpikir kritis adalah sebuah proses, tujuannya adalah untuk membuat keputusan rasional mengenai apa yang dipercaya dan apa yang harus dilakukan (Ennis, 1996).

Gambar 3. Berpikir kritis membantu masyarakat untuk berkembang memahami informasi

Lebih lanjut Reichenbach mengatakan dalam bukunya Introduction to Critical Thinking (2001), dengan berpikir kritis kita memasuki sebuah perjalanan dalam mempertanyakan, menganalisis, dan mengevaluasi apa yang dibaca dan didengar. Kita akan lebih tertantang untuk mengetahui dunia dan bebas untuk meragukan sesuatu. Dari pengalaman, bacaan, dan segala hal yang kita dengar, bukan hanya nilai luarnya saja yang kita petik tapi juga melihat sesuatu yang lebih jelas untuk di pertanyakan kembali, dibuktikan, dan di argumentasikan. Jika perjalanan berpikir kritis ini telah komplit kita akan mendapatkan kemampuan untuk mempertahankan pandangan kita dan bekerja untuk menyelesaikan masalah. Seseorang yang berpikir kritis dapat bernalar logis dan membuat kesimpulan yang tepat. Langkah-langkah berpikir kritis yang yang baik meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Tentu saja berpikir kritis ini dibentuk melalui pendidikan, kebiasaan, dan pengalaman dalam belajar. Pola pendidikan yang baik, budaya membaca yang selalu digalakkan, akan membentuk pengalaman dan keterampilan intelektual yang mememadai dalam memahami informasi. Hal ini menjadi bekal untuk berpikir kritis dan bijak dalam menyikapi lautan informasi yang semakin luas saat ini.

Membentuk Pola Kritis dengan Pendidikan

Modal utama untuk membentuk

keterampilan intelektual dan menjadikannya pola pemikiran kritis, bisa dikatakan pendidikan adalah jawaban yang paling tepat untuk permasalahan masyarakat Indonesia. Bagaimana pola pemikiran seseorang untuk berfikir kritis dan memahami informasi dimulai saat dia mendapat pendidikan di sekolah. Di Indonesia kebanyakan metode belajar

mengajar masih sebatas “menghafal”. Murid

diberi pertanyaan kemudian menjawab pertanyaan sesuai teks. Terlalu kaku. Ditambah lagi dengan adanya UAN (Ujian Akhir Nasional) yang menjadi momok tersendiri bagi siswa. Memang ada tujuan positif dari UAN sebagai evaluasi belajar siswa selama menempuh pendidikan baik itu SD, SMP, dan SMA. Tapi karena keistimewaan dari UAN ini juga yang membuat UAN bak sebuah tiket untuk keluar dari pendidikan wajib belajar. Jadi orang akan melakukan apa saja demi mendapatkan tiket tersebut, termasuk

dengan “membayar” mahal untuk

membelinya.

Gambar 4. Ujian Nasional masih dianggap momok yang menakutkan

Sepertinya para tenaga pengajar di Indonesia perlu memahami lagi arti pendidikan itu sebenarnya. Seperti diungkapkan oleh Budiningsih (2004) sekolah bukan hanya mencetak anak-anak pintar tapi lebih dari sekedar itu. Menjadi pintar bukanlah poin utama, tapi membentuk diri siswa untuk menggali potensi dalam dirinyalah yang menjadi tujuan dari pendidikan.

Untuk benar-benar menjadi pendidik, tidak cukup hanya dengan menguasai bahan pelajaran, tetapi juga harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada mahasiswa (Nata, 2003). Seorang siswa yang belajar matematika apakah akan menggunakan ilmu menghitungnya untuk berbuat jujur atau untuk memanipulasi data keuangan. Seorang siswa yang belajar kimia dan biologi akan menggunakan ilmunya untuk memajukan industri pertanian di Indonesia atau mencemari lingkungan semata-mata demi meraih keuntungan.

Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan selain menggali potensi siswa, juga harus menjadi pondasi bagi pembentukan karakter dan moral. Menjadi pintar dan memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang terbaik di bidangnya tidaklah cukup. Siswa

juga harus memiliki karakter dan moral yang tertanam dalam dirinya untuk selalu berpikir kritis, tentu saja kritis dalam hal positif menuju kebaikan dunia.

Budaya Membaca

Gambar 5. Budaya membaca menjadi bekal kemjauan bangsa.

Selain pendidikan yang baik kebiasaan yang baik juga membantu membentuk pola pikir yang memadai dalam menyikapi informasi yang ada.Budaya membaca merupakan salah satu kebiasaan intelektual yang harus dikedepankan.Teringat akan obrolan santai saya dengan teman-teman dekat. Salah seorang teman mencoba membuka topik

dengan kalimat “kita memang terkenal

dengan budaya lisan tapi tidak ada yang salah dengan itu kan? Saya pribadi justru lebih menangkap pelajaran saat mendengarkan daripada membaca jadi bisa dikatakan kita tidak terlalu butuh-butuh

banget membaca”. Sebuah pernyataan yang

membuat saya berpikir dan merenung.

Jika kita analogikan ada dua orang, sebutlah mahasiswa A dan mahasiswa B. Kedua mahasiswa ini akan menghadiri sebuah kuliah diskusi dengan tema “Kekerasan Simbolik”. Kedua mahasiswa ini disuruh membaca dulu materinya sebelum mengikuti diskusi tersebut. Si A, dalam

penyerapan informasi saat membaca, pemahamannya terhadap Kekerasan Simbolik menjadi 70% dan si B hanya 30%. Pada akhirnya mereka melengkapi ‘sisa’ pemahamannya itu dengan mengikuti kuliah diskusi. Katakanlah setelah mengikuti diskusi pemahaman si A menjadi 100% dan si B menjadi 80%. Dari analogi tersebut apakah membaca menjadi tidak perlu karena si B tidak mencapai 100%? Menurut saya jawabannya tetap bahwa membaca sangat penting, karena bukankah itu lebih baik daripada si A dan B menghadiri diskusi dengan bekal pemahaman 0%.

Berdiskusi dan mendengarkan dapat membuat kita cukup terbantu dalam memahami sesuatu, tapi dengan membaca pemahaman kita akan lebih mendetail daripada sekedar mendengarkan. Sebuah

buku yang mengambil judul “Kekerasan Simbolik” tentu akan mengupas habis mengenai “Kekerasan Simbolik” melalui

tiap-tiap halamannya. Tentunya tiap halaman ini tidak langsung mengacu pada judul utama tapi akan membentuk fondasi yang kokoh melalui bahasan-bahasan mendetail tiap bab nya mengenai

“Kekerasan Simbolik” sehingga

pengetahuan yang disampaikan lebih terstruktur. Hal ini lah yang mungkin tidak didapat jika hanya mendengarkan.

Budaya membaca harus terus

dikampanyekan untuk membentuk masyarakat informasi yang berpikiran kritis. Menurut Anderson (dalam Tarigan, 2008), terdapat tujuh tujuan membaca.

Ketujuh tujuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts).

2. Memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas).

3. Mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization).

4. Membaca bertujuan untuk

menyimpulkan isi yang terkandung dalam bacaan (reading for inference).

5. Mengelompokkan atau

mengklasifikasikan jenis bacaan (reading to classify).

6. Menilai atau mengevaluasi isi wacana atau bacaan (reading to evaluate).

7. Membandingkan atau

mempertentangkan isi bacaan dengan kehidupan nyata (reading to compare or contrast).

Tujuan membaca secara umum adalah memperoleh informasi, mencakup isi, dan memahami makna yang terkandung dalam bahan bacaan. Dengan membaca, seseorang dapat memperluas wawasan dan pengetahuan. Bahkan jika telah memahami dengan lebih mendalam seseorang dapat menuju tingkat mempertentangkan isi bacaan tersebut. Sehingga kita bisa lebih kritis dan tidak mudah untuk diperdaya.

Kesimpulan

Pemahaman masyarakat akan informasi