I. Kebutuhan Biaya Pelaksanaan; J. Instrumen Penilaian Kinerja.
KELIMA : Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat perubahan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
padatanggal : 10 Februari 2021
DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN,
REYNHARD SILITONGA NRP 67090332
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan anugerah-Nya sehingga Standar Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) bagi Petugas di Lapas Super Maximum, Maximum, Medium, dan Minimum Security telah selesai disusun.
Standar SPPN ini disusun untuk memberikan petunjuk kepada petugas pemasyarakatan dalam penyelenggaraan pembinaan dan penilaian terhadap perilaku narapidana yang mengedepankan objektivitas. Penilaian terhadap perilaku narapidana dilakukan berdasarkan data-data akurat yang ada di lapangan dan tercatat, dengan menggunakan pendekatan evidence-based correctional treatment atau pembinaan berdasarkan fakta. Pada akhirnya, penilaian yang objektif dan terukur terhadap perubahan perilaku narapidana ini akan mendorong pemenuhan hak-hak narapidana dan kebutuhan program pembinaan serta pengawasan yang sesuai dengan aspek-aspek narapidana yang sudah dinilai. Sehingga optimalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan di bidang pembinaan narapidana akan dapat terwujud dengan lebih baik.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap penyusunan Standar SPPN ini. Selanjutnya kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan standar ini. Oleh karena itu kami sangat mengapresiasi kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaannya.
Semoga Allah SWT melindungi kita semua. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 10 Februari 2021 Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi,
Thurman SM Hutapea
DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penyusunan Standar Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) bagi Petugas di Lapas Super Maximum, Maximum, Medium, dan Minimum Security dapat diselesaikan dengan baik. Standar SPPN ini mengatur sistematika, mekanisme, dan prosedur penilaian pembinaan narapidana. Penilaian terhadap narapidana ini sejatinya sejalan dengan tujuan pemasyarakatan yakni membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.
Sehubungan dengan usaha mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat dan sekaligus mencegah narapidana mengulangi kejahatannya, seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, hakikatnya telah menjadi kewajiban petugas pemasyarakatan untuk memberikan pembinaan mental, sosial dan keterampilan kerja yang memadai untuk menjadi bekal kehidupan narapidana setelah kembali ke masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, wujud pembinaan tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas dalam fungsi pembinaan ini dilakukan dengan mendorong perubahan perilaku dan menurunkan tingkat risiko narapidana dengan mekanisme yang terukur dan objektif sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.35 tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan. Dengan demikian, Standar SPPN ini hadir sebagai strategi penyelenggaraan pembinaan dan penilaian terhadap narapidana yang mengedepankan objektivitas. Penilaian terhadap perilaku narapidana dilakukan berdasarkan data-data akurat yang ada di lapangan dan tercatat, dengan menjunjung evidence-based correctional treatment atau pembinaan berdasarkan fakta.
Standar SPPN ini merupakan buku yang terbuka yang setiap waktu menjadi pelajaran dan pembelajaran. Harapannya Standar SPPN ini mampu menjadi acuan dan pedoman bagi seluruh petugas pemasyarakatan dalam menjalankan pembinaan terhadap narapidana dengan mengedepankan objektivitas penilaian. Akhirnya, saya haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat dan mendukung terwujudnya standar ini. Semoga standar ini dapat berguna sebaik-baiknya bagi kemajuan penyelenggaraan pemasyarakatan.
Jakarta, 10 Februari 2021 Direktur Jenderal Pemasyarakatan,
Reynhard Silitonga NRP 67090332
TIM PENYUSUN ... ii
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN ... iii
KATA PENGANTAR ... vii
SAMBUTAN ... viii
DAFTAR ISI ... x
A. Latar Belakang ... 1
B. Dasar Hukum ... 2
C. Definisi Global ... 3
D. Maksud dan Tujuan ... 5
E. Sistem, Mekanisme dan Prosedur ... 5
1. Sistem Penilaian dalam Revitalisasi ... 5
a. Tujuan... 6
b. Karakteristik setiap Klasifikasi Lapas ... 6
c. Penilaian Pembinaan ... 9
2. Mekanisme Penilaian Pembinaan Narapidana ... 14
a. Pengumpulan Data ... 14
b. Pengisian ... 34
c. Penghitungan Skor ... 40
d. Pelaporan ... 41
3. Prosedur Penilaian Pembinaan Narapidana ... 42
F. Jangka Waktu Penyelesaian ... 44
G. Kebutuhan Sarana dan Prasarana ... 44
H. Jumlah dan Kompetensi Pelaksana... 46
I. Kebutuhan Biaya Pelaksanaan ... 48
J. Instrumen Penilaian Kinerja ... 50
Lampiran I. Instrumen Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana ... 56
Lampiran II. Format Post-test Pengetahuan (Pelatihan Keterampilan) ... 57
Lampiran III. Lembar Penilaian Diri Self-Assessment ... 62
A. LEMBAR SELF-ASSESSMENT NARAPIDANA TERORIS ... 63
B. LEMBAR SELF-ASSESSMENT NARAPIDANA BANDAR NARKOTIKA... 67
Lampiran IV. Format Surat Pernyataan ... 71
1. Surat Pernyataan NKRI ... 71
2. Surat Pernyataan Tidak Terlibat Jaringan Narkoba ... 73
Lampiran V. Standar Operasional Prosedur ... 77
A. Prosedur Pengangkatan Wali Pemasyarakatan ... 77
B. Prosedur Penilaian Pembinaan Narapidana ... 79
A. Latar Belakang
Pemasyarakatan merupakan proses untuk memulihkan hubungan antara terpidana dengan masyarakat dengan cara membuat terpidana menyadari perbuatannya dan kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang sadar dan taat hukum. Sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa Pemasyarakatan bertujuan untuk membuat Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Narapidana diharapkan bisa kembali menjadi warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh narapidana serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sehubungan dengan usaha mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat dan sekaligus mencegah narapidana mengulangi kejahatannya, maka menjadi kewajiban petugas pemasyarakatan untuk memberikan pembinaan mental, sosial dan keterampilan kerja yang memadai untuk menjadi bekal kehidupannya kelak. Penyelenggaraan kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang membagi program pembinaan menjadi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Seiring dengan perkembangan zaman, program pembinaan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan semakin mengalami kemajuan. Melalui Permenkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan dinyatakan bahwa penyelenggaraan revitalisasi pembinaan dilaksanakan guna meningkatkan kualitas fungsi Pembinaan Narapidana dalam mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko Narapidana. Penyelenggaraan kegiatan pembinaan tersebut terwujud dalam klasifikasi lembaga pemasyarakatan berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan, yakni Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security dan Lapas Minimum Security. Pembagian klasifikasi ini merupakan langkah progresif pemasyarakatan dalam menerapkan perlakuan individual sebagai bagian dari evidence-based correctional treatment (pembinaan berbasis bukti atau data) untuk mendorong objektivitas dan akuntabilitas dari penilaian narapidana. Proses tersebut dimulai dengan
narapidana. Asesmen risiko dilakukan untuk memberikan rekomendasi penempatan atau pemindahan sedangkan asesmen kebutuhan digunakan untuk memberikan rekomendasi program pembinaan bagi narapidana. Selanjutnya, untuk mengetahui respon narapidana terhadap program pembinaan yang dilakukan maka perlu diselenggarakan kegiatan penilaian terkait perubahan perilaku dan perkembangan narapidana. Sehubungan dengan kebutuhan tersebut, disusunlah “Standar Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana” sebagai acuan petugas pemasyarakatan dalam melakukan penilaian pembinaan pada setiap klasifikasi lapas.
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK-04.10 tahun 2007 tentang Wali Pemasyarakatan;
6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-05.0T.01.01 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-01-PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan;
7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan; 8. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; 9. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara;
10. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara;
11. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2016 tentang Sistem Database Pemasyarakatan;
12. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan;
13. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2018 tentang Cetak Biru Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan Tahun 2019-2023;
14. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan;
15. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-02.PK.01.02.02 Tahun 2017 Tentang Pedoman Kerja Lembaga Pemasyarakatan Khusus Bagi Narapidana Resiko Tinggi (High Risk) Kategori Bandar Narkotika;
16. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-02.PK.01.02.02 Tahun 2017 Tentang Pedoman Kerja Lembaga Pemasyarakatan Khusus Bagi Narapidana Resiko Tinggi (High Risk) Kategori Teroris;
17. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PAS-24.OT.02.02 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembinaan bagi Narapidana Kategori Risiko Tinggi (High Risk) pada Lembaga Pemasyarakatan Khusus;
18. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PAS-15.PR.01.01 Tahun 2019 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Pilot Project Maximum Security, Medium Security, dan Minimum Security.
C. Definisi Global
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
mengoptimalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan sebagai bentuk perlakuan terhadap Tahanan, Narapidana dan Klien serta perlindungan atas hak kepemilikan terhadap barang bukti.
3. Petugas Pemasyarakatan adalah Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 4. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah
institusi untuk melaksanakan pembinaan warga binaan pemasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan.
5. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas.
6. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
7. Standar Pemasyarakatan adalah serangkaian peraturan dan instruksi tertulis yang dibakukan terkait berbagai proses penyelenggaraan pelayanan pemasyarakatan yang mengatur bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa harus dilakukan, apa dan bagaimana instrumen monitoringnya serta bagaimana evaluasi yang dilakukan, untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pelaksanaan standar pemasyarakatan.
8. Tim Pengamat Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut TPP adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan.
9. Penilaian pembinaan adalah kegiatan mengamati, mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan sikap dan perilaku narapidana untuk mengetahui perubahan dan perkembangan narapidana sebagai hasil dari program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
10. Perilaku adalah serangkaian tindakan yang dibuat oleh individu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri atau lingkungannya yang dapat diamati dan bahkan dipelajari.
11. Lapas Super Maximum Security menjalankan program Pembinaan bagi Narapidana tingkat risiko tinggi untuk mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko.
12. Lapas Maximum Security menjalankan program Pembinaan Narapidana untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku Narapidana yang sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta peningkatan disiplin.
13. Lapas Medium Security menjalankan program Pembinaan Narapidana untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku yang
sadar akan kesalahan, patuh terhadap hukum dan tata tertib serta meningkatkan kompetensi dan kemampuan diri Narapidana.
14. Lapas Minimum Security menjalankan program Pembinaan Narapidana untuk membentuk perubahan sikap dan perilaku, meningkatkan kemandirian dan produktivitas Narapidana.
D. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan standar sistem penilaian pembinaan narapidana ini adalah untuk memberikan petunjuk kepada petugas pemasyarakatan dalam melakukan penilaian terhadap perilaku narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Tujuan disusunnya standar sistem penilaian pembinaan narapidana antara lain:
1. Terselenggaranya penilaian pembinaan narapidana melalui pengamatan perilaku yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka pemenuhan hak narapidana; 2. Terselenggaranya pembinaan narapidana yang sesuai dengan
kebutuhan individual.
E. Sistem, Mekanisme dan Prosedur 1. Sistem Penilaian dalam Revitalisasi
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk membentuk warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam pasal 2 Permenkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemasyarakatan adalah meningkatkan objektivitas penilaian perubahan perilaku narapidana dalam pelaksanaan pembinaan. Secara lebih spesifik, dijelaskan pula tujuan dari revitalisasi pembinaan yaitu untuk meningkatkan kualitas fungsi Pembinaan Narapidana dalam mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko Narapidana. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan diselenggarakan di Lapas Super Maximum Security, Lapas Maximum Security, Lapas Medium Security dan Lapas Minimum Security. Setiap klasifikasi lapas
satu dengan yang lain:
a. Tujuan
Dalam setiap tingkatan klasifikasi Lapas terdapat tujuan yang menjadi fokus pembinaan untuk dicapai. Hal ini yang kemudian menjadi acuan bagi penyelenggaraan pembinaan serta penilaian pembinaan. Super Maximum Security Maximum Security Medium Security Minimum Security Perubahan sikap dan perilaku Perubahan sikap dan perilaku Perubahan sikap dan perilaku Perubahan sikap dan perilaku Penurunan tingkat risiko Sadar akan kesalahan Sadar akan kesalahan Peningkatan kemandirian dan produktivitas Patuh terhadap hukum dan tata tertib Patuh terhadap hukum dan tata tertib Peningkatan disiplin Peningkatan kompetensi dan kemampuan diri
b. Karakteristik setiap Klasifikasi Lapas
Setiap klasifikasi lapas mengampu narapidana yang telah diklasifikasikan berdasarkan karakteristik tingkat risiko, kebutuhan serta tingkat pengamanan dan pengawasan pada setiap klasifikasi lapas. Karakteristik ini yang menjadikan penempatan, penyelenggaraan pembinaan, dan metode penilaian pembinaan menjadi berbeda pada setiap kategori Lapas.
1) Lapas Super Maximum Security
a) Pembinaan diselenggarakan bagi narapidana tingkat risiko tinggi, yakni narapidana yang membahayakan keamanan negara dan/atau narapidana yang membahayakan keselamatan masyarakat;
b) Narapidana ditempatkan masing-masing dalam satu kamar hunian;
c) Penyelenggaraan program pembinaan narapidana dilaksanakan menggunakan metode pemisahan secara individual untuk mengetahui konsep kesadaran dirinya terhadap perilaku berisiko tinggi guna melindungi masyarakat dari pengaruh buruk;
d) Pemindahan narapidana ke Lapas Super Maximum Security harus seizin Direktorat Jenderal Pemasyarakatan;
e) Sikap dan perilaku narapidana pada Lapas Super Maximum Security diamati dan dicatat setiap hari melalui metode seperti observasi dari CCTV, studi dokumen dan wawancara dengan dengan pengamanan tinggi dan pembatasan interaksi antara narapidana dan petugas pemasyarakatan.
2) Lapas Maximum Security
a) Pembinaan diselenggarakan bagi narapidana dengan kategori:
i) terpidana yang ditempatkan pada Lapas Maximum Security berdasarkan hasil Litmas; dan
ii) Narapidana dari Lapas Super Maximum Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko sesuai dengan hasil penilaian dan Litmas yang direkomendasikan pada sidang tim pengamat pemasyarakatan;
iii) Narapidana yang dipindahkan karena menunjukkan peningkatan tingkat risiko dari Lapas Medium atau Minimum Security;
b) Narapidana ditempatkan secara berkelompok atau komunal terbatas pada blok hunian dengan memperhatikan jenis kelamin, risiko pengulangan tindak pidana, risiko keselamatan dan keamanan, dan bentuk kegiatan pembinaan narapidana;
dilaksanakan dengan metode observasi dalam lingkungan komunal yang terbatas;
d) Sikap dan perilaku narapidana pada Lapas Maximum Security diamati dan dicatat setiap hari melalui metode seperti observasi dari CCTV, studi dokumen dan wawancara dalam lingkungan komunal yang terbatas; e) Pemindahan narapidana ke Lapas Maximum Security
harus seizin Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setempat.
3) Lapas Medium Security
a) Pembinaan diselenggarakan bagi narapidana dengan kategori:
i) terpidana yang ditempatkan pada Lapas Medium Security berdasarkan hasil Litmas; dan
ii) Narapidana dari Lapas Maximum Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku serta penurunan tingkat risiko sesuai dengan hasil penilaian dan Litmas yang direkomendasikan pada sidang tim pengamat pemasyarakatan;
iii) Narapidana yang dipindahkan karena menunjukkan peningkatan tingkat risiko dari Lapas Minimum Security.
b) Narapidana ditempatkan secara berkelompok pada blok hunian dengan memperhatikan jenis kelamin, risiko pengulangan tindak pidana, risiko keselamatan dan keamanan, serta potensi minat bakat narapidana;
c) Penyelenggaraan program pembinaan narapidana dilaksanakan dengan metode pelatihan dan pendidikan; d) Sikap dan perilaku narapidana pada Lapas Medium
Security diamati dan dicatat setiap hari melalui metode observasi secara langsung maupun CCTV, studi dokumen, tes evaluasi dan wawancara;
e) Pemindahan narapidana ke Lapas Medium Security harus seizin Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setempat.
4) Lapas Minimum Security
a) Pembinaan diselenggarakan bagi Narapidana yang berasal dari Lapas Medium Security yang telah menunjukkan perubahan sikap dan perilaku, peningkatan kompetensi dan kemampuan diri;
b) Narapidana ditempatkan secara berkelompok pada blok hunian dengan memperhatikan jenis kelamin, risiko pengulangan tindak pidana, risiko keselamatan dan keamanan, serta kompetensi kemampuan dan keahlian narapidana;
c) Penyelenggaraan program pembinaan narapidana dilaksanakan dalam bentuk asimilasi dan pemberian program reintegrasi;
d) Sikap dan perilaku narapidana pada Lapas Medium Security diamati dan dicatat setiap hari melalui metode observasi secara langsung maupun CCTV, studi dokumen, tes evaluasi dan wawancara.
e) Pemindahan narapidana ke Lapas Minimum Security harus seizin Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setempat;
5) Lapas Multi-klasifikasi
a) Lapas yang belum ditetapkan dalam Kepdirjen Nomor: PAS-15.PR.01.01 Tahun 2019 tentang Penetapan lembaga Pemasyarakatan Pilot Project Maximum Security, Medium Security, dan Minimum Security berlaku standar ini;
b) Lapas yang belum ditetapkan memiliki lebih dari satu klasifikasi tingkat risiko pengamanan dan menyelenggarakan pembinaan yang disesuaikan dengan risiko masing-masing narapidana;
c) Pemindahan narapidana ke Lapas Super Maximum, Maximum, Medium, dan Minimum Security dilakukan berdasarkan hasil penilaian, Litmas dan sidang TPP.
c. Penilaian Pembinaan
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan pembinaan, maka perlu dilakukan penilaian perubahan perilaku yang objektif. Penilaian ini bertujuan untuk melihat respons narapidana dalam menerima program pembinaan yang ditunjukkan oleh perilakunya. Kesediaan narapidana untuk menerima program pembinaan menjadi tolok ukur perubahan perilaku narapidana tersebut. Hal ini merupakan langkah progresif pemasyarakatan dalam menerapkan perlakuan individual sebagai bagian dari evidence-based correctional practice (praktik berbasis bukti atau data). Evidence-based practice muncul pada awal abad ke-21 sebagai konsep yang telah diujikan dapat mengurangi residivisme secara signifikan
pada keresahan akan tingginya angka residivisme sebagai dampak dari pendekatan offender-based (berbasis pelaku). Konsep evidence-based practice merujuk pada praktek profesional berdasarkan data/bukti penelitian yang memiliki strategi intervensi ilmiah, dampak yang rasional, penelaahan sistematis, uji statistik dan klinis yang signifikan dan data pendukung lainnya. Pendekatan ini juga mencegah terjadinya bias dalam penilaian pembinaan narapidana sehingga praktek ini sejalan dengan tujuan dari Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan yang ingin meningkatkan objektivitas penilaian perubahan perilaku.
Terdapat beberapa prinsip dasar dari evidence-based practice yang berkaitan dengan pengurangan residivisme, tiga diantaranya adalah prinsip risiko, kebutuhan dan responsivitas. Ketiga prinsip ini juga dikenal sebagai model RNR (risk, need dan responsivity) yang merupakan salah satu model yang paling berpengaruh dalam asesmen dan perlakuan terhadap narapidana. Model ini pertama kali digunakan secara formal pada tahun 1990, dengan menguraikan teori kepribadian dan pembelajaran sosial kognitif dari perilaku kriminal. Prinsip risiko menekankan bahwa perilaku kriminal dapat diprediksi dan fokus perlakuan seharusnya pada pelaku yang memiliki risiko tinggi. Prinsip kebutuhan menyoroti pada pentingnya identifikasi kebutuhan kriminogenik dalam mendesain program intervensi. Sedangkan prinsip responsivity menegaskan bahwa program intervensi sebaiknya disesuaikan dengan gaya dan cara pembelajaran dari masing-masing pelaku. Dalam model RNR ini, penilaian perubahan perilaku masuk ke dalam prinsip responsivity untuk mengevaluasi dan menyesuaikan program intervensi berdasarkan respon narapidana.
Asumsi dasar dari prinsip responsivity ini menjelaskan bahwa setiap narapidana berbeda-beda. Meskipun telah terdapat berbagai upaya melakukan kategorisasi narapidana untuk memperkecil perbedaan, narapidana sebagai individu tetap dapat diidentifikasi dari intelijen, gaya komunikasi dan secara emosional. Karakter ini juga mempengaruhi bagaimana narapidana akan merespon upaya intervensi untuk mengubah perilaku, pemikiran dan sikapnya. Karakteristik personal sebagai bentuk perlakuan individual ini menjadi fokus utama
dari prinsip responsivity dalam melihat kemampuan dan motivasi narapidana dalam mengikuti program pembinaan. Adapun jenis pembinaan yang ada saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang