• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Sumber Daya untuk Mendukung Perang

BAB II LANDASAN TEORI

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Pembentukan Kumiai

2. Kebutuhan Sumber Daya untuk Mendukung Perang

Asia Tenggara adalah salah satu wilayah yang dianggap penting bagi Jepang khususnya untuk mendapatkan sumber bahan mentah dan bahan industri perang. Wilayah Asia Tenggara perlu dikuasai Jepang dan salah satunya Indonesia. Indonesia memiliki barang tambang seperti minyak bumi, bauksit, timah dan juga karet serta bahan bahan tambang srtategis lainnya yang penting bagi Jepang untuk mendorong atau mensuplai kebutuhan perang Jepang. Minyak bumi merupakan salah satu faktor pendorong yang penting bagi Jepang untuk membantu kelancaran perang Jepang dalam melawan sekutu di pasifik. Indonesia juga kaya akan bahan makanan, selain barang tambang yang banyak Indonesia juga terkenal dengan daerah yang subur banyak bahan makanan yang dapat diperoleh juga untuk membantu Jepang seperti jagung, kacang, dan bahan-bahan makanan lain yang penting dan berguna untuk keperluan perang Jepang. Indonesia juga mempunyai tenaga kerja manusia. Sumber daya manusia sangat penting bagi Jepang untuk membangun benteng-benteng pemerintahan serta digunakan sebagai pekerja. Jepang mengatur seluruh sumber daya manusia dan sumber daya alam dengan sistem perekonomian dengan mengeksploitasi seluruh sumber daya yang ada. Prioritas utama Jepang adalah eksploitasi untuk kebutuhan perang dan bahan baku industri perang.

Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga manusia yang melimpah. Tujuan pokok penyerbuan Jepang ke Jawa sebagaimana ke bagian-bagian lain di wilayah Hindia Belanda adalah untuk mengekspoitasi sumber daya ekonomi di wilayah ini. Pedesaan di Jawa yang tanahnya subur dan memiliki jumlah penduduk yang banyak membuat Jepang tertarik untuk melakukan eksploitasi ekonomi dan tenaga manusia di Jawa (Aiko Kurasawa, 1993 : 3).

Tujuan Jepang adalah memperoleh sumber bahan pangan supaya dapat meneruskan operasi militer mereka. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat

penghasil beras yang setiap tahunnya menghasilkan 8,5 juta ton beras (Akira Nagazumi, 1988: 86). Hal ini sangat penting bagi Jepang sebagai pensuplai

makanan bagi militer, sehingga Jepang berusaha mengeksploitasinya seefisien mungkin dengan cara kontrol intensif atas pulau Jawa.

Setelah Jepang menduduki Jawa kebijakan ekonomi mulai dibuat. Jawa merupakan salah satu pulau Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan sumber tenaga kerja yang yang luar biasa. Kebijakan ekonomi yang dijalankan tentara Jepang yang secara ketat memperlakukan keharusan memenuhi kebutuhan pangan sendiri oleh setiap karesidenan membuat penderitaan yang sangat parah. Kebijakan itu sebagian besar didorong oleh kurangnya sarana pengangkutan baik di dalam maupun ke luar Jawa, tetapi hal itu dimaksudkan juga untuk memungkinkan perlawanan setempat yang mampu membiayai diri sendiri kalau nanti menghadapi serangan sekutu di daerah masing-masing. Dengan kebijakan

ekonomi diatas semua kebijakan ekspor dibatasi

(Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 135). Kegiatan ekonomi seperti produksi pengumpulan padi dan lain-lain dikontrol langsung secara ketat oleh pemerintah. Hasil-hasil pertanian terutama padi tidak boleh dijual keluar daerah masing-masing dan penduduk hanya boleh membeli dari tempat yang sudah disediakan pemerintah Jepang (Kanpo No.32 Tahun 1943).

Petani diperintahkan untuk menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah. Para petani terpaksa menjual panen padinya dengan jumlah yang besar di instansi-instansi milik pemerintah dengan harga yang sangat rendah (Ben Anderson, 1988 : 31). Selain itu untuk mengatasi langkanya komoditi maka distribusi dan sirkulasi tanaman harus dibatasi dengan sistem penjatahan. Untuk memperlancar kebijaksanaan tersebut maka dibuat lembaga ekonomi dibawah tanggung jawab pangreh praja yang bernama Kumiai atau koperasi gaya Jepang yang dibentuk di desa-desa.

Kumiai atau koperasi gaya Jepang sebenarnya sudah berdiri di Jepang

pada tahun 1900 atau tepatnya 33 tahun setelah pembaharuan oleh Kaisar Meiji, bersamaan waktunya dengan pelaksanaan undang-undang koperasi industri kerajinan. Walaupun dibawah nama industri kerajinan, koperasi ini pada hakekatnya bergerak juga di lapangan pertanian. Dengan dimulainya kegiatan pembelian dan pemasaran bersama hasil pertanian, koperasi terus tumbuh dan

berkembang terlebih-lebih dalam tahun 1920-an ketika Jepang sedang mengembangkan industrinya maka koperasi menjadi tulang punggung bagi pembangunan pertanian yang menunjang industrialisasi. Gerakan koperasi pertanian mengalami kemajuan yang pesat sejak tahun 1930 an dan dalam menghadapi akibat krisis ekonomi yang melanda dunia sekitar tahun 1933-1940. rencana pembangunan koperasi 5 tahun diikuti dengan rencana pembangunan 3 tahun telah menghasilkan pembangunan koperasi ditiap kota dan desa di Jepang dan mempersatukan semua petani dalam satu gerakan koperasi-koperasi (Pengetahuan Perkoperasian, 1981 : 20).

Koperasi di promosikan Jepang di bawah rencana 5 tahun untuk perluasan wilayah koperasi industri 1933-1937, dan menjelang tahun 1938 terdapat 276.157 koperasi pertanian ukuran kecil yang diorganisasikan di seluruh Jepang (Aiko Kurasawa, 1993: 223). Koperasi bukan hal yang baru bagi orang Jawa. Sudah ada beberapa koperasi pada zaman Belanda, hanya saja koperasi-koperasi tersebut tidak berkembang dengan baik. Pada tahun 1939 di Jawa terdapat 516 koperasi lokal yang terdiri dari koperasi kredit, koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi lumbung. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, pemerintah Jepang mualai melakukan usaha reorganisasi koperasi yang ada serta membentuk koperasi yang baru. Pada bulan agustus 1943 jumlah koperasi di karesidenan Priangan telah meninkat sampai 39, padahal tahun 1941 total koperasi di Jawa Barat hanya 311, sehingga ada peningkatan yang mengesankan hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Upaya-upaya diperkuat dengan membuat program baru yang disebut susunan perekonmian baru untuk rakyat Jawa atau yang disebut

Jawa Zumin Keizei Shintasei. Tatanan ekonomi baru ini berdasarkan pada gagasan

tentang perekonomian terkendali sebagai lawan perekonomian laissez-faire. Para pemimpin Jepang masa itu menyatakan bahwa perekonomian laissez faire

merupakan produk liberalisme Inggris dan Amerika yang harus dihancurkan, yaitu dengan berdasar semangat gotong royong. Salah satu dari lima program ekonomi

baru ini adalah pembentukan koperasi ekonomi rakyat

B. Pembentukan Kumiai 1. Dasar Pendirian Kumiai

Pada masa penjajahan Jepang ruang gerak koperasi terbatas, karena kegiatan rapat anggota koperasi tahunan tidak boleh mengambil keputusan. Semua keputusan diambil oleh pemerintah Jepang. Pembatasan-pembatasan lainnya adalah dalam hal mendirikan koperasi. Koperasi yang didirikan harus berdasar izin dari pemerintah Jepang. Pada awalnya pengaturan koperasi diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh pemerintah Belanda yaitu UU No.91 tahun 1927, setelah Jepang menyadari potensi yang dimiliki koperasi untuk mempengaruhi rakyat maka Jepang mengeluarkan undang-undang No.23 Tahun 1942 dan peraturan koperasi No.91 Tahun 1927 tidak berlaku lagi. Berdasarkan undang-undang No.23 pasal 2 yang isinya barang siapa hendak mendirikan perkumpulan harus mendapat izin dari pembesar-pembesar yang ada ditempatnya. Dengan sendirinya koperasi yang sudah didirikan dan akan didirikan harus mendapat izin dari pembesar setempat (Arifinal Chaniago,1984 : 117). Semua organisasi Kumiai sama-sama disebut penduduk sebagai Kumiai. Istilah Kumiai

dalam bahasa Jepang secara harafiah disebut koperasi. Tetapi banyak penduduk yang tidak mengerti bahwa istilah Kumiai adalah koperasi. Dalam bahasa Jepang. Mereka tidak bisa memahami bahwa sifat dari Kumiai adalah koperasi. Kumiai

yang mereka rasakan di masyarakat desa tidak sesuai dengan bayangan mereka tentang koperasi yang asli. Dalam pemahaman mereka, koperasi adalah sebuah organisasi dengan anggota yang memiliki sejumlah andil tertentu. Penduduk tidak tahu bahwa Kumiai adalah koperasi yang dibentuk pasukan Jepang untuk mengatur perekonomiain di desa-desa seperti yang dikutip dari buku Aiko Kurasawa (1993:211) menyatakan:

Penduduk membedakan antara koperasi pada jaman Belanda yang merupakan koperasi “sesungguhnya” dan Kumiai pada jaman Jepang. Istilah koperasi tidak dipakai untuk Kumiai yang dipakai pada jaman Jepang. Ketika penulis bertanya kepada petani, “apakah Kumiai itu?”, penduduk memberi jawaban yang berbeda-beda banyak yang menjawab toko “milik pemerintah”. Sementara lainnya menyatakan “agen penggilingan beras yang mengumpulkan padi”. Beberapa mengatakan “bagian dari Hokokaki” karena Hokokai terlibat dalam distribusi barang dibeberapa daerah. Beberapa lainnya menyatakan, “seperti Koperasi”.

Kumiai sebagai sebuah organisasi yang dibentuk atas peraturan pemerintah dan melibatkan seluruh desa, menurut pengertian petani tidak bisa disamakan dengan koperasi namun lebih seperti kantor pemerintah dibawah pengawasan pangreh praja. Penduduk desa baru menyadari bahwa Kumiai pada zaman Jepang mirip dengan KUD Koperasi Unit Desa yang ada sekarang ini. Kemiripan Kumiai

dan KUD terletak pada tugas atau fungsi dari kedua organisasi tersebut. Kumiai

atau KUD mempunyai tugas antara lain

a) KUD dan Kumiai sama-sama menyediakan alat-alat produksi, bahan-bahan dan hasil hasil pertanian yang ada untuk dijual kembali pada anggotanya.

b) KUD dan Kumiai sama-sama bertugas untuk memasarkan atau

mendistribusikan hasil-hasil pertanian yang sudah dihasilkan oleh anggotanya.

c) KUD dan Kumiai sama-sama memberikan pendidikan dan penyuluhan terutama masalah teknologi baru dan pendidikan administrasi serta berorganisasi (Sri Edi Swasono,1987:262).

Jepang menganggap koperasi yang ada mempuyai peran yang penting dalam perekonomian dan dapat digunakan oleh Jepang untuk mengatur dan memonopoli kegiatan perekonomian. Jepang kemudian memberi mandat kekuasaan kepada para Syucokan atau pembesar Karesidenan untuk mendirikan

Kumiai di setiap karesidenan yang mereka pimpin. Setiap Karesidenan berhak

mendirikan dan membuat aturan sesuai dengan keadaan yang ada pada karesidenan mereka. Sehingga pendirian dan aturan setiap Kumiai berbeda antara satu karesidenan dengan karesidenan yang lain. Jepang juga memerintahkan para Syucokan supaya setiap kelompok kejuruan harus menyelenggarakan satu koperasi atau Kumiai, sehingga seluruh wiraswasta yang ada besar atau kecil dapat dikontrol dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Para wiraswasta tersebut dipaksa untuk masuk koperasi atau pabrik mereka tidak akan mendapat pasokan barang atau penyaluran produk-produk mereka. Koperasi ini diselenggarakan hampir di semua bidang industri, pertanian, dan perdagangan di Jawa (Tjahaya, 6 juli 1943).

Kumiai kemudian memiliki peran yang sangat penting bagi Jepang untuk mengontrol perekonomian sejak keluarnya Susunan Perekonomian Jawa Baru yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang 2 April tahun 1944. Kumiai tidak lagi menjadi alat pengumpul makanan namun juga sebagi alat distribusi dan penjatahan pangan kepada rakyat di pedesaan maupun perkotaan. Untuk menyusun kembali koperasi sebagai badan gotong royong serta sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Susunan Perekonomian Jawa Baru maka dibentuklah komite untuk mengembangkan kebijakan koperasi tersebut. Komite itu mempunyai anggota yang terdiri dari orang Indonesia dan Jepang seperti Margono Djoyohadikusumo, Mohamad Hatta, Nakamura, Nazaki dan perwakilan lainnya. Komite ini bertugas untuk merancang asas dan mencari cara supaya koperasi yang ada agar dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan pemerintah Jepang. Pemerintah bermaksud untuk mengatur koperasi yang bergerak di bidang pertanian, Industri dan perdagangan dan niaga menjadi mitra Jepang di masa perang (Asia Raya, 6 september 1944). Keterlibatan orang-orang Indonesia sangat penting dalam Kumiai karena sebagai propaganda, oleh karena itu Jepang perlu memasukan orang-orang Indonesia seperti Mohamad Hatta, Margono Djoyohadikusumo dan lain-lain yang secara tidak langsung mempropagandakan pentingnya Kumiai bagi masyarakat.

Koperasi ini bertujuan untuk mendukung perang yang sedang dilakukan Jepang dalam usahanya untuk mencapai Asia Timur Raya. Pembentukan koperasi ini adalah untuk melindungi kepentingan ekonomi pribumi Indonesia dari golongan cina serta membantu pengembangan industri nasional namun pada kenyataannya koperasi ini adalah untuk memperkuat pengaruh dan kontrol atas

kegiatan ekonomi pribumi bahkan juga dengan orang cina (Aiko Kurasawa, 1993: 210). Tujuan utama adalah untuk mengontrol seluruh

komoditi barang dan makanan sesuai dengan ekonomi perang. Di daerah pedesaan sebagai penghasil bahan makanan Kumiai bertugas untuk mengumpulkan hasil-hasil panen dari para petani yang ada untuk pemerintah Jepang sedangkan di perkotaan Kumiai menjadi bahan penyalur atau pembagi jatah keperluan rumah

tangga pada konsumen atau penduduk. Kumiai ini biasanya disebut Haikyu

Kumiai (Wahyu Sukotco, 1978 : 32).

Dalam sidang Bunkakai ke IV komite yang sudah terbentuk berhasil merancang asas koperasi. Komite membagi asas koperasi ke dalam tiga lapangan ekonomi penting. Tiga lapangan penting itu adalah pertanian, industri, perniagaan. Pada lapangan pertanian koperasi ini bertugas mengatur pembagian dan pengumpulan serta menghasilkan bahan-bahan makanan yang penting pada masa perang. Tujuan koperasi pertanian adalah memajukan perekonomian orang pribumi, mempercepat produksi serta mendistribusikan hasil-hasil panen secara adil pada rakyat. Pada sektor industri adalah untuk menumbuhkan industri rakyat, memperluas tenaga produksi dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan guna mendukung pertempuran tentara Jepang. Pada sektor perdagangan, yaitu untuk menormalisasikan kegiatan perdagangan dan meningkatkan manajemen dalam hal perdagangan komoditi barang dan makanan dengan menyesuaikan struktur pedagangan kaum pribumi pada masa perang. Khusus koperasi perdagangan ini hanya ada di kota-kota saja

Untuk mengefektifkan kerja koperasi maka pemerintah mengaktifkan propaganda-propaganda yang dilakukan oleh lembaga propagandanya yaitu

Sedenbu, untuk lebih meningkatkan pengabdiannya pada pemerintah Jepang.

Koperasi yang terbentuk ditiap desa berada dibawah pengawasan Jepang. Keputusan-keputusan yang diambil oleh rapat anggota harus sesuai dengan keinginan Jepang sehingga koperasi-koperasi yang seharusnya merupakan suatu lembaga yang bergotong royong seperti dalam asasnya namun pada masa Jepang kontrol berada pada pemerintah. Untuk sektor lapangan lainnya misalnya perikanan, kelautan, jasa pengangkutan dan lain-lain, dibentuk pula perkumpulan koperasi yang diambil dari jenis dan dasar yang sama dan sesuai dengan tujuan yang telah tercantum dalam asas koperasi yang telah dibuat oleh koperasi dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ekonomi yang telah dibuat. Untuk menjalankan koperasi yang telah dibuat, pemerintah membentuk kantor Jawatan

urusan ekonomi rakyat atau Jumin Keizaikyoku

Jepang memerintahkan supaya setiap kelompok kejuruan harus menyelenggarakan satu koperasi, sehingga seluruh wiraswasta yang ada besar atau kecil dapat dikontrol dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Para wiraswasta tersebut dipaksa untuk masuk koperasi atau pabrik mereka tidak akan mendapat pasokan barang atau penyaluran produk-produk mereka. Koperasi ini diselenggarakan hampir di semua bidang pepabrikan, pertanian, dan perdagangan di Jawa. Koperasi tersebut antara lain: koperasi produsen tapioka, koperasi pembuat batik, koperasi produsen benang karet, koperasi pabrik tenun, koperasi pengemudi dokar, koperasi penggilingan beras, koperasi pedagang besar, koperasi penjual sayur, koperasi nelayan, koperasi pembuat bata dan lain-lain semua tercatat oleh pemerintah Jepang (Aiko Kurasawa, 1993: 210).

Dari berbagai jenis koperasi yang ada hanya koperasi bidang pertanian saja yang mempunyai dampak penting dalam kehidupan masyarakat serta dalam hal mengumpulkan hasil bumi. Jepang membuat persis koperasi pertanian di Jepang sama dengan koperasi pertanian di Jawa.

Dokumen terkait