• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Kepengurusan Kumiai

BAB II LANDASAN TEORI

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Pembentukan Kumiai

2. Struktur dan Kepengurusan Kumiai

Sebelum kantor Jawatan urusan ekonomi rakyat terbentuk pengawasan

Kumiai berada dibawah Syomin Kumiai Tyoo Dzimuso yang kantornya terletak di

Jakarta. Banyaknya Kumiai yang berada di daerah-daerah menyebabkan banyak permasalahan yang timbul, sehingga untuk mengatasi masalah koperasi di daerah-daerah tersebut, maka kantor pusat mempunyai kantor cabang di setiap daerah-daerah. Kantor cabang yang mengurusi masalah kebutuhan makanan dibagi dalam tiga daerah yaitu Jakarta, Semarang, dan Surabaya antara lain:

a) Seibu DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan

perdagangan dalam negeri daerah Jawa Barat)

b) Tyubi DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan

perdagangan dalam negeri daerah Jawa Tengah)

c) Toobu DJawa Syomin Kumiai Sodandyo (kantor penerangan koperasi dan

Kantor-kantor cabang ini mengurus keperluannya masing-masing dan diberi kuasa penuh untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dan kontrol atas perekonomian kususnya koperasi di daerah masing-masing, sehingga orang-orang yang ingin mendirikan koperasi atau hal-hal yang berkaitan dengan koperasi tidak perlu datang ke kantor pusat yang berada di Jakarta, mereka bisa ke kantor cabang. Hal itu dilakukan selain untuk menghemat ongkos dan biaya perjalanan juga karena di berbagai daerah penerangan dan kebijakan perkoperasian yang berbeda satu dengan yang lain (Tjahaya, 25 juni 1942).

Setiap daerah punya perwakilan sehingga pemerintah Jepang lebih mudah untuk mengontrol dan mengawasi seluruh proses produksi serta peredaran tanaman dan komoditi yang penting bagi Jepang. Dalam perkembangannya banyak perlakuan staf kantor pusat dan daerah yang banyak merugikan rakyat sehingga perekonomian di daerah menjadi terganggu, karena Syomin Kumiai Tyoo

Sodandyo dan Syomin Kumiai Sodandyo sangat merugikan perekonomian rakyat

maka kepercayaan rakyat pada mereka mulai pudar dan hasilnya pada tanggal 1 agustus 1944, didirikan Zumin Keizaikyoku (kantor perekonomian rakyat) dan bertugas mengurus seluruh perekonomian rakyat. Sebagai tindakan untuk memperbesar kegiatan perekonomian maka pemerintah pemerintah Jepang membentuk badan perekonomian baru yang disebut Zumin Keizaikyoku (kantor perekonomian rakyat) yang terdiri dari 3 bagian yaitu:

a) Soomuka (bagian urusan umum) bertugas mengatur dan mengurus perhubungan dan berbagai kantor gunseikanbu yang lain tentang soal ekonomi rakyat.

b) Kigyooka (bagian urusan perusahaan) memberi pimpinan kepada rakyat di berbagai lapangan pekerjaan serta mendidik ahli tehnik di samping menjalankan pemeriksaan, penyelidikan dan pimpinan yang berhubungan dengan usaha membantu serta memlihara perusahaan rakyat di lapangan pertanian, perindustrian, perniagaan, peternakan dan lain-lain.

c) Kumaika (bagian urusan koperasi) menyelenggarakan penyelidikan, pemeliharaan, pimpinan serta pengawasan atas koperasi-koperasi yang di usahakan oleh rakyat (Kanpo No 48 tahun 1944).

Untuk mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan koperasi di bogor shu telah didirikan kantor penerangan dan perdagangan Syomin Kumiai Chuo Zimusho

yang dipimpin oleh R.P.S Permana yang dibantu oleh Usman. Koperasi yang belum memperoleh surat pengesahan harus melapor pada pimpinan cabang di Bogor. Untuk mengetahui keterangan tentang koperasi bisa diperoleh dari pimpinan koperasi dan perdagangan, koperasi harus mempunyai anggaran dasar yang baik dan menunjukan pada yang berwajib bahwa itu baik. Dalam kegiatannya koperasi tidak boleh berhubungan dengan urusan politik dan mengusahakan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan politik. Jika syarat-syarat telah terpenuhi, maka kantor pusat akan segera melakukan pengesahan terhadap koperasi (Sinar baroe 12 juli 1942).

Gambaran mengenai susunan pengurus dalam sebuah Kumiai diambil contoh dalam Nosanbutu Sukka Kumiai (koperasi usaha hasil bumi) di Priangan shu yang anggotanya adalah petani dan diwajibkan untuk menggabungkan dirinya pada kantor setempat. Adapun kedudukan kantor Nosanbutu Sukka Kumiai antara lain:

a) Kantor besar pusat di Bandung shi b) Kantor cabang di Bandung ken c) Kantor cabang di Sumedang ken d) Kantor cabang di Garut ken e) Kantor cabang di Tasikmalaya ken f) Kantor cabang di Ciamis ken

Semua pengurus diangkat oleh Priangan Shucokan, yang terdiri dari: 1. Penasehat : terdiri dari beberapa orang

Terdiri dari kepala Keizabu, Priangan Shucokan, kepala gudang bala tentara di Bandung dan beberapa orang ahli Indonesia di pertanian.

2. Pemimpin: 1 orang

Mewakili koperasi dan mengatur segala pekerjaan. 3. Wakil: 1 orang

Wakil ini bertugas membantu pemimpin 4. Kepala komisaris: 1 orang

Bertanggung jawab pada semua produksi koperasi. 5. Komisaris: 1 orang

Membantu kepala komisaris

6. Pengurus dan penilik: terdiri dari beberapa orang

Masing-masing cabang Notasanbutu Sukka Kumiai mempunyai kepala cabang untuk mengerjakan perintah dari kepala komisaris. Penasehat, pemimpin, kepala komisaris masuk dalam pemimpin kehormatan. keperluan dari Kumiai ini dibayar dari pendapatan pungutan komisi uang, komisi tersebut besarnya 5% dari keuntungan kotor penjualan, urusan keuangan koperasi ini dikumpulkan dalam buku dan diadakan rapat tahunan. Sebulan sekali koperasi ini harus mengirimkan laporan kepada Priangan Shu. Dibawah ini adalah pengurus Notasanbutu Sukka

Kumiai di Priangan:

a) Penasehat: Hayashi keizabutyo Priangan shu, Pr butatyo dari yasenko bandung seibu, tuan Kencho dari masing-masing ken di Priangan shu. b) Penilik: tuan Soejoed dari dinas pertanian Priangan shi, tuan Rohiyat dari

dinas perkebunan Priangan, tuan mr Tayeb dari Shomin Kumiai Sodandyo

Bandung sisyo.

c) Pelaksana: Ketua dipimpin oleh Azuni sedang wakilnya adalah

Kartasasmita

d) Pegawai : diambil dari pusat Nosanbutu Sukka Kumiai dan masing-masing

ken diambil pegawai seperlunya (Kanpo Bulan 1 Tahun 1943).

Jepang membentuk Kumiai disetiap kecamatan dan dikepalai oleh seorang

soncho. Setiap unit mempunyai cabang pada tingkat desa yang diawasi oleh

Kucho. Setiap cabang Kumiai di sebuah desa biasanya mempunyai beberapa

anggota staf. Mereka ditunjuk dan diangkat oleh Kucho atau kepala desa sesuka hati. Ada beberapa staf yang ditunjuk yang berasal dari kalangan keluarga sendiri atau anak buahnya sendiri, karena sulitnya menemukan orang-orang yang mampu dan berpengalaman. Namun ada juga staf yang diambil dari luar kepemimpinan desa yang ada. Mereka yang diambil dari luar biasanya adalah orang yang masih muda dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar atau yang bepengalaman dalam bidang administratif, beberapa diambil dari pemuda yang sudah lulus

sekolah namun belum mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Beberapa lainnya adalah mereka yang mempunyai pengalaman praktis seperti mandor dan perkebunan atau pemborong atau tengkulak. Orang-orang seperti itu sangat berguna sebagai staf Kumiai karena cukup banyak kegiatan Kumiai yang berkaitan dengan peredaran komoditi. Secara khusus adalah peran tengkulak yang kehilangan pekerjaan pokok mereka karena perekonomian yang dikontrol Jepang tidak memperbolehkan adanya pengumpulan padi oleh tengkulak tradisional ini (Aiko Kurasawa, 1993 : 215).

Untuk mendapat tenaga koperasi yang cerdas maka Gunseikanbu membuka tempat pendidikan calon pengurus koperasi yaitu Kyodo Kumiai Yooin

Yoesisyo (tempat pendidikan untuk menjadi pengurus koperasi). Zumin

Kezaikyoku telah mengadakan kursus selama 2 bulan untuk medidik 170 orang

dari pulau Jawa. Kursus yang dilakukan akan menjadi dasar untuk mengadakan kursus sekanjutnya. Kursus-kursus itu meliputi antara lain:

1. Pendidikan rohani;

2. Cita-cita perekonomian baru;

3. Pengetahuan umum tentang koperasi; 4. Undang-undang mengenai koperasi; 5. Urusan koperasi yang praktis;

6. Memegang buku koperasi;

7. Pengetahuan umum dalam ekonomi;

8. Sejarah dan bahasa nipon.

Bagi peserta yang ingin ikut kursus untuk menjadi pengurus koperasi hendaknya mengajukan surat permintaan kepada pengurus koperasi atas persetujuan dari Shucokan dan kemudian pengurus koperasi akan menerima mereka menjadi pelajar sesudah lebih dulu lulus dari dalam ujian umum dan pemeriksaan badan. Selama menempuh pendidikan pelajar tinggal di asrama dan lama pendidikan sementara menempuh 2-3 bulan. Bagi pemerintah Jepang tempat dan hasil pendidikan ini sangatlah penting karena yoseisyo atau tempat kursus ini memberikan pengetahuan dalam perekonomian kepada rakyat yang belum mengerti tentang Kumiai (Kanpo No 68 Tahun 1945).

C. Peran Kumiai Pada Masa Penjajahan Jepang di Jawa 1. Peran Kumiai dalam Pengumpulan Padi

Jawa dibawah pemerintahan Jepang ditetapkan sebagai pemasok beras bagi pulau-pulau di luar Jawa, Malaya-Inggris, dan Singapura serta untuk medan pertempuran di pasifik selatan. Meskipun kapasitas produksi Jawa tidak sebesar Siam atau Burma dan Chococina, yang mengekspor jutaan ton beras, Jawa merupakan salah satu dari sedikit daerah penghasil beras di daerah kepulauan Indonesia. Pada masa perang ketika angkutan jarak jauh sangat sulit karena langkanya perkapalan mermburuknya keamanan dilaut, arti beras dari Jawa untuk Asia Tenggara tersebut semakin meningkat bahkan beras Jawa dikenal bermutu tinggi dan rasanya enak yang lebih disukai oleh orang Jepang dibandingkan beras berbutir panjang yang dihasilkan di daratan Asia Tenggara. Oleh karena itu Jepang berkeinginan memperoleh beras Jawa dan kebijakan mereka ditujukan untuk memaksimumkan produksi dan mengumpulkan beras dan komoditi penting lainnya (Aiko Kurasawa, 1993 : 3).

Pada mulanya orang Jepang sangat sibuk dalam usaha memulihkan keamanan dan ketentraman sehingga tidak ada kesempatan untuk mulai dengan politik beras. Jepang hanya meneruskan politik Belanda yang memperbolehkan pemasaran bebas dengan memberlakukan pengawasan harga. Para petani masih dapat menyalurkan hasil mereka dan orang Jepang membeli beras yang dibutuhkan melalui Rijst Verkoop Centraal pusat pembelian beras yang ada. Karena kebutuhan beras yang besar dan banyak untuk keperluan perang di pasifik maka Jepang kemudian mengganti Rijst Verkoop Centraal atau RVC menjadi

Beikoku Tosei Kai (BTK). Padi yang berada di bawah pengawasan Negara dan

hanya pemerintah yang diizinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyaluran padi. Untuk tujuan itu didirikan sebuah badan pengelola pangan yang dinamakan Shokuryo Kanri Zimusyo disingkat SKZ, yang berada dibawah

Gunseikanbu. SKZ bertanggung jawab menguasai proses pembelian dan

penyaluran padi di bawah monopoli negara serta menentukan jumlah padi yang akan dibeli pemerintah. Badan ini juga bertanggung jawab menentukan harga

resmi padi. Badan ini kemudian membuat rencana terinci mengenai penyaluran padi untuk penduduk perkotaan (Akira nagazumi, 1988 : 88).

Dalam Osamu Sirei No. 14 Tahun 1943, SKZ pada bulan September 1943 disatukan ke dalam Zyuuyo Bussi Koodan (badan pengawasan barang-barang penting) yang baru saja dibentuk, tetapi pada bulan April seksi pangannya di dipisah dan sebuah organisasi independen bernama Shokuryoo Kanri Kyoku (Biro Pengelolaan Pangan) dibentuk dengan cabang di Semarang, Surabaya serta sebuah agen di Bandung (Abdoel Karim, 1942 : 147). Pengusaha penggilingan maupun pedagang tidak diizinkan beroperasi dengan prakarsa sendiri. Penggilingan padi dapat beroperasi hanya sebagai wakil SKZ serta menggiling padi dengan komisi

tertentu, tapi tidak boleh ikut membeli dan menjual padi (Kanpo No 32 Tahun 1943).

Seluruh penggilingan beras dan pedagang beras yang ada

direorganisasikan ke dalam persekutuan bergaya Jepang yaitu Kumiai yang ada disetiap karesidenan, keanggotaan mereka bersifat wajib dan mereka tidak diizinkan beroperasi kecuali jika bergabung didalamnya. Kumiai disetiap karesidenan diawasi oleh tiga federasi, masing-masing untuk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan penggati Riijst Verkoop Centraal atau

Beikoku Tosei Kai atau Persatuan Kontrol Beras. Persatuan penggilingan beras

mula-mula disebut dengan nama Beisho Kumiai namun kemudian berubah nama menjadi Seimagyo Kumiai yang fungsinya sama dengan Rijst Verkoop Centraal

atau Beikoku Tosei Kai. Pedagang beras bahkan juga disatukan kedalam sebuah organisasi semi pemerintah yang disebut Beikoku Oshuri Kumiai atau BOK (Koperasi Pedagang Beras) yang dibentuk disetiap karesidenan. Anggota persatuan ini menerima beras melalui persatuan penggiling beras dikaresidenan

mereka dan mendistribusikannya pada toko-toko eceran

(Aiko Kurasawa, 1993 : 71-72).

Beikoku Oshuri Kumiai membeli beras dari Seimagyo Kumiai beras yang

dijual merupakan beras yang dibeli oleh badan pengawas makanan sebanyak 5 % dari hasil panen yang ada dari petani-petani di desa. Beikoku Oshuri Kumiai

Haikyu Kumiai dan Beikoku Kouri Kumiai yang diambil di daerah dalam gun. Orang-orang yang memainkan peran penting dalam BOK dan BKK sebagian besar adalah orang-orang cina, namun pemerintah militer Jepang juga mendorong agar rakyat pribumi juga mengatur pengelolaaan agar kelihatan bahwa orang pribumi tidak diasingkan di pasar beras. SKZ menentukan jumlah padi dan beras yang diperlukan oleh pasukan Jepang, serta untuk Konsumsi Lokal. SKZ menentukan jumlah permintaan tiap Shu berdasarkan kemampuan atau kapasitas daerah itu, dengan cara yang sama maka shu menentukan permintaan pada ken,

ken pada gun, gun pada son dan son pada ku. Kucho berdasarkan pemberitahuan dari soncho kemudian menentukan kuota dengan caranya yaitu mengalokasikan sejumlah tertentu dari hasil per hektar terlepas dari kualitas tanah dan ukuran kepemilikannya. Ia membagi kuota yang telah ditetapkan dengan seluruh areal sawah yang ada didesanya untuk memperoleh angka berapa kuintal yang harus dikumpulkan oleh petani.

Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk susunan Pemerintahan Jawa baru yang diberlakukan April 1943 maka dilakukan politik penyerahan paksa padi. Jepang menetapkan aturan bahwa pasar bebas sama sekali dilarang, dan petani diharuskan utntuk menyerahkan sejumlah padi dari hasil panen mereka kepada pemerintah. Padi yang diserahkan akan digiling dan didistribusikan melalui tangan pemerintah. Penggiling dan pedagang beras yang ada tidak lagi diizinkan untuk beroperasi atas prakarsa mereka sendiri tetapi hanya boleh beroperasi sebagai agen-agen teknis SKZ yang diizinkan mengolah atau menangani beras dengan imbalan tertentu. (Cahyo Budi Utomo, 1987 : 185)

Pada sidang Chuo Sangi In pada bulan april tahun 1944 yang digelar

Gunseikanbu hasilnya adalah pada tingkat desa dibentuk lembaga sosial yaitu

Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian). Lembaga ini diharapkan dapat

memaksimalkan hasil pertanian. Dalam sidang itu juga diusulkan cara penyerahan padi secara bijaksana yaitu dengan memberikan penjelasan pentingnya melipat gandakan hasil bumi. Pemerintah Jepang memberikan janji kepada para petani jika dapat memberikan padi sebanyak-banyaknya maka petani akan diberi hadiah (Kanpo No 44 tahun 1944). Penetapan padi yang belum teratur diajukan usulan

bahwa tiap ken hendaknya membentuk koperasi pertanian. Pangreh praja bertanggung jawab di ken, gun, son dan ku. Padi milik petani yang disimpan di lumbung padi diatur seadil-adilnya oleh Nogyo Kumiai. Dengan pengendalian harga yang dilakukan oleh pemerintah Jepang diusahakan petani tetap dapat

membeli padi dengan harga yang terjangkau dan murah oleh petani (Kanpo No 55 tahun 1944). Inilah saran yang diberikan Badan Penasehat Pusat

pada pemerintah di Jakarta.

b. Peran Kumiai dalam Distribusi Padi

Dalam usahanya untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan pokok diantaranya komoditi beras, tahu, tempe, minyak kelapa, garam, gula, kopi, teh, rokok dan bahan sandang untuk rakyat maka dibentuk sebuah organisasi yang disebut Haikyu Kumiai sebagai organisasi distribusi yang ada di tiap desa. Namun menjelang akhir pendudukan Jepang sebuah koperasi baru yang dibentuk langsung berurusan dengan sandang pangan yang di sebut Shokuryo Haikyu

Kumiai (Koperasi Distribusi Makanan) (Tjahaya, 1 Juni 1945).

Mengenai masalah beras seluruh Kumiai daerah baik Haikyu Kumiai

maupun Beikoku Kouri Kumiai menerima beras dari Beikoku Oshuri Kumiai di dalam kawedanan mereka. Orang-orang yang memainkan peran penting dalam

Beikoku Oshuri Kumiai dan Beikoku Kauri Kumiai kebanyakan pada pada tingkat

karesidenan adalah pedagang beras cina (Aiko Kurasawa, 1993 : 212). Adapun untuk kecamatan lebih dikontrol oleh pribumi Indonesia. Orang yang bertanggung jawab atas Haikyu Kumiai dan Beikoku Kauri Kumiai pada tingkat kecamatan adalah orang-orang pensiunan pejabat pemerintah dan kaum terpelajar setempat yang berpengalaman. Tetapi, dibeberapa kecamatan orang cina lah yang memiliki peran tersebut. Penduduk tidak diperkenankan untuk membeli beras diluar daerah kecuali warung yang sudah di tunjuk oleh pemeritah Jepang sebagai distributor. Biasanya warung yang sudah ada ditunjuk oleh distributor namun ada juga warung yang baru dibangun untuk pendistribusian pemerintah dalam hal ini mereka yang bertanggung jawab atas warung bukanlah orang yang berpengalaman namun biasanya orang yang berpengaruh dalam masyarakat seperti pemimpin

agama atau guru (Aiko Kurasawa, 1993 : 212-213). Warung-warung seperti inilah yang disebut warung Kumiai.

Penyempurnaan terhadap pembagian beras pada masyarakat telah dilakukan di mangkungara dengan jalan membubarkan Kochi Beikoku Kaouri

Kumiai dan kemudian diganti dengan 150 warung Kumiai yang ditempatkan di 10

Ku jadi ada 15 tempat pembagian beras untuk rakyat (Asia Raya 5 Juli 1945). Di beberapa daerah distributor resmi beras ini diberi ukuran standart 625 g mangkuk pengukur kayu model jepan, dengan tulisan resmi ken-etsu atau sudah diperiksa. Hanya distributor resmi yang memiliki mangkuk pengukur kusus inilah yang berhak menangani masalah beras (Aiko Kurasawa, 1993 : 213).

Hasil-hasil non pertanian biasanya didistribusikan dari agen pabrik atau grosir ke toko yang ditunjuk di setiap daerah misalnya minyak tanah disediakan oleh kantor distribusi pemerintah atau Sekiyu Haikyu Zimusho di setiap karesidenan. Minyak tanah di setiap KK di jatah 2,4 liter minyak tanah per bulan. Mengenai tekstil yang sangat langka pencatuan dimulai pada tahun 1943 dan di

tangani oleh Kigyo Tosekai (Pengurus Pabrik Tenun)

(Aiko Kurasawa, 1993 : 214). Distribusi dari distributor kepada penduduk setempat dibantu oleh ketua rukun tetangga yang disebut kumicho. Pemberian catu kepada para penduduk dengan menggunakan kartu dengan kumicho sebagai penanggung jawab di setiap rukun tetangga. Setiap KK diberi nomor rumah dan kartu distribusi untuk setiap bulan oleh kumicho. Jumlah kartu yang diberikan oleh pemerintah Jepang terbatas dan tidak merata disetiap desa sehingga tidak cukup dibagi rata oleh seluruh penduduk (Kanpo, No.2 Tahun 1942).

Penyerahan padi distribusi

Persediaan untuk militer Persediaan untuk sipil

Perintah penyerahan Perintah distribusi Soncho Petani Penggiling Beras Organisasi pengumpul padi (Kumiai, dll) Beikoku Oshuri Kumiai (B.O.K)

Beikoku Kouri Kumiai atau Shokuryo Haikyu Kumiai

Distributor beras desa/kota Pasukan Depot pengangkutan Tonarigumi Konsumen Guncho Kencho Beikoku Tosei Kai

B.T.K

Cabang B.T.K

Cabang SKZ Surabaya dan Jakarta Shokuryo Kanri Zimusho (kemudian Shokuryo Kanri Kyoku) Mekanisme Penyerahan

D. Dampak Kebijakan Kumiai bagi Petani di Jawa 1. Dampak Ekonomi

Untuk memperlancar kepentingan ekonomi maka pemerintah Jepang membentuk Kumiai secara paksa tidak hanya untuk distribusi tapi juga mengumpulkan makanan dengan harga yang rendah. Dengan adanya tindakan pemerintah Jepang yang represif dan melarang pendirian perkumpulan-perkumpulan dan koperasi maka koperasi-koperasi yang yang sudah ada dan berkembang dengan baik seperti koperasi karet di Bogor, koperasi batik di Pekalongan, surakarta dan yogyakarta dan koperasi peikanan yang terdapat di

pantai utara pulau Jawa semua di bubarkan oleh pemerintah Jepang (Sri Edi Swasono, 1987 : 28).

Dari berbagai jenis Kumiai yang ada yang paling berdampak keras adalah

NogyoKumiai atau koperasi pertanian. Pada tahun 1944 Jepang mulai kekurangan

pasokan bahan makanan bagi tentaranya untuk berperang sehingga pemerintah Jepang memerintahkan penyerahan barang dan menambah bahan pangan dilakukan oleh Jawa Hokokai dan Nogyo Kumiai (Kanpo, No 20 tahun 3 April 1944 halaman 17). Dari semua jumlah hasil panen yang dikumpulkan. Rakyat memperoleh bagian 40%, pemerintah dapat 30% dan 30% lagi untuk pemerintahan yang diserahkan ke lumbung desa (Sinar Matahari, 15 mei 1944).

Pada tingkat desa petani tidak diijinkan membawa hasil panen ke rumah. Petani hanya diperbolehkan membawa barang seperlunya saja yaitu untuk kebutuhan rumah tangga dan untuk makan dan hasil lainnya diserahkan ke

Kumiai. Proses sesungguhnya dari pemungutan padi ini adalah sebelum panen

para petani harus melapor kepada balai desa, sehingga Kucho dapat mengirim orang untuk mengawasi pelaksanaan panen di sawah. Misalnya, di Karang ampel son, sesudah bawon atau para pemotong padi di bayar upahnya semua padi basah yang dihasilkan dibawa ke tempat yang disebut lamporan untuk ditimbang. Kuota tetap per hektar diambil oleh pejabat desa pada saat itu juga. Jika panen kurang dari kuota yang telah ditentukan, petani harus menambah kekurangannya dari persediaan rumah tangganya yang biasanya diperoleh sebagai bawon ketika menolong sawah milik orang lain (Akira Nagazumi, 1988: 91). Pungutan padi

tidak selalu dijalankan dengan adil. Ada laporan-laporan yang mengatakan bahwa pejabat para pejabat desa dan staf Kumiai tidak melaporkan atau menyerahkan kuota mereka dan kekurangannya dipenuhi dari panen para petani yang lain. Orang-orang yang bekerja di lamporan juga sering menipu para petani dengan cara menaksir kelembaban padi lebih tinggi dari kedaan sebenarnya dan mengurangi beratnya sesuai dengan taksiran tersebut. Mereka yang telah menyerahkan padi kepada pemerintah diberi sejumlah uang, tetapi pada tahun pertama uang ini dipotong untuk pajak tanah dan hanya sisanya yang dibayarkan pada para petani. Uang yang diberikan pemerintah sangat sedikit dan sangat kecil artinya bagi para petani. Hal itu dikarenakan harga diri pemerintah yang terlalu rendah dan karena inflasi yang tinggi maka nilei uang tersebut segera berkurang. Lagipula pemerintah juga menganjurkan agar penduduk menabungkan uangnya di kantor pos sebanyak mungkin dan sekali uang itu di tabung sulit sekali untuk di tarik kembali (Akira Nagazumi, 1988: 92).

Semua setoran harus wajib disetorkan dalam bentuk padi dan harus diserahkan pada Seimagyo Kumiai. Setelah diambil untuk kebutuhan militer dan sipil tentara Jepang, barulah sisanya didistribusikan pada melalui koperasi pertanian Nogyo Kumiai. Dengan adanya penggilingan padi setoran oleh pabrik-pabrik ini berarti bahwa hasil sampingan seperti meniran, dedak, dan sekam yang berharga bagi petani jika dihitung jumlahnya hampir 33% dari hasil panen para petani lenyap, sehingga petani terpaksa harus membeli kembali dari pabrik

penggilingan guna memberi makan ternak dan unggasnya

(Anton Lucas, 1989 : 44). Mekanisme melalui tengkulak dipatahkan tengkulak dilarang beroperasi dan masyarakat dilarang menjual padi secara bebas sehingga

Dokumen terkait