• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan Alih Fungsi Lahan

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 41-0)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Kecenderungan Alih Fungsi Lahan

4.4.1. Kecenderungan Alih fungsi Lahan Sawah di Wilayah Pantura Jawa Tengah

Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Di bidang pertanian, lahan merupakan sumber daya yang sangat penting, baik bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Indonesia kegiatan pertanian masih bertumpu pada lahan (land based agricultuAre activities).

Urusan pertanian mencakup sektor pertanian tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan, dan peternakan. Produksi padi di Provinsi Jawa Tengah meningkat pada periode 2011-2015 yaitu 9,391 juta ton menjadi 11,301 juta ton pada tahun 2015, produksi jagung dari 2,772 juta ton menjadi 3,212 juta ton;

produksi kedelai dari 112 ribu ton menjadi 129 ribu ton. Secara rinci produksi tanaman pangan dapat dilihat pada tabel.

Selama ini lahan sawah di Pantura Jawa Tengah bahkan pulau Jawa mempunyai peranan yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan pangan (beras) secara nasional karena produktivitas yang tinggi dengan dukungan prasarana irigasi dan sosio-struktur maju. Hal ini telah mengantarkan Indonesia pada swasembada pangan tigawarsa yang lalu yang membuat hingga kini ingin kembali berswasembada pangan. Namun keinginan tersebut tidak mudah dilakukan karena dinamika pertumbuhan perkotaan yang pesat akibat pacuan industrialisasi dan kebutuhan fisik prasarana.

Penyusutan luas lahan sawah yang besar ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian (perumahan, industri, prasarana) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perluasan lahan sawah baru.

4.4.2. Pola Spasial alih fungsi lahan sawah dan faktor-faktor yang berpengaruh

Ditinjau dari sebarannya secara spasial, kecenderungan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan di Kabupaten Brebes tidak merata di semua

kecamatan. Demikian pula kecenderungan penyusutan luas lahan sawah yang diakibatkannya, baik ditinjau berdasarkan luasan maupun laju penyusutannya. Dalam hal ini ada pola spasial bahwa alih fungsi lahan sawah hanya terjadi pada wilayah Kecamatan tertentu seperti Kecamatan Wanasari Desa Sidamulya untuk jalan tol seluas 22,7 ha, Kecamatan Bulakamba desa Rancawuluh seluas 15,3 ha untuk industri peralihan dari Bekasi, Jakarata dan Kecamatan Kersana Desa Limbangan untuk tol dan permukiman 11,8 ha.

Adanya kecenderungan alih fungsi lahan sawah tersebut mengakibatkan penyusutan luas lahan sawah. Dalam hal ini terdapat gambaran yang hampir sama pola spasialnya dengan kecenderungan alih fungsi. Kabupaten Brebes termasuk mempunyai penyusutan luas lahan sawah tergolong besar dan laju penyusutan yang juga tinggi (> dari rata-rata di wilayah Pantura Jawa). Laju penyusutan lahan sawah 0,31% mencakup 15 kabupaten/kota; antara lain Kabupaten : Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Semarang, Kota Pekalongan dan Kota Tegal. Dari sebaran lokasinya, tampak bahwa penyusutan yang tinggi terkonsentrasi di sekitar kota metropolitan yang dewasa ini pertumbuhannya sangat pesat (Jakarta, Semarang, Surabaya).

4.4.3. Faktor-faktor yang berpengaruh

Dalam upaya mengkaji permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan perkotaan di wilayah Pantura telah diidentifikasi faktor yang dianggap berpengaruh yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal pada dasarnya adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, baik secara fisik spasial, demografis maupun ekonomi, yang mendorong atau memacu terjadinya alih fungsi lahan sawah (di wilayah yang semula merupakan perdesaan) ke penggunaan non pertanian. Dengan kata lain, faktor eksternal ini merupakan implikasi langsung dari terjadinya transformasi ekonomi (dari pertanian ke industri dan transportasi) dan demografis (dari pedesaan ke perkotaan) sedangkan faktor yang bersifat

internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan pemilikan atau penguasaan lahannya terhadap lahan sawah sehingga potensial mengubah penggunaannya.

4.4.3.1. Faktor Eksternal : Dinamika pertumbuhan perkotaan

Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan perkotaan, yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan PDRB. Semakin besar laju perkembangangan kawasan terbangun sebagai manifestasi perkembangan fisik-spasial, yang terjadi di tiap kabupaten/kota mengakibatkan laju penyusutan luas lahan sawah yang terjadi. Semakin besar laju pertumbuhan PDRB (dalam persentase per-tahun, bernilai positif) akan menyebabkan perubahan luas sawah secara negatif (penyusutan luas).

4.4.3.2. Faktor Internal

Faktor internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian.

Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan menyebabkan semakin besarnya penyusutan luas lahan sawah. Semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, semakin besar pengaruhnya terhadap laju penyusutan luas lahan sawah.

Secara umum gambaran kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian di wilayah pantura ditandai dengan beberapa perubahan. Pertama, terjadinya penurunan jumlah rumah tangga pertanian, meskipun tidak terlalu besar (0,18 persen). Ditinjau dari proporsinya, rumah tangga pertanian mengalami menurun yang sangat berarti yaitu 42 persen menjadi 31,5 persen, yang sebaliknya diikuti pertambahan rumah tangga nonpertanian dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 57,5 persen. Sementara itu jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan juga masih mengalami pertambahan (1,7 persen), meskipun lebih kecil daripada pertambahan di

Pulau Jawa secara keseluruhan (4,3 persen). Kedua, luas lahan yang dikuasai.

Gambaran mengenai kuatnya pengaruh dinamika pertumbuhan perkotaan ini dapat dilihat dari data berikut ini. Pertama wilayah pantura mempunyai laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,48 persen per tahun, lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan penduduk di pulau Jawa.

4.4.3.3. Faktor Kebijakan

Selain faktor-faktor sosial ekonomi, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola spasial alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian di wilayah Kabupaten Brebes adalah faktor kebijakan pemerintah. Dalam hal ini dapat diidentifikasi tiga kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai faktor pemacu munculnya alih fungsi lahan pertanian, yaitu privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan permukiman skala besar dan kota baru; serta deregulasi investasi dan perijinan.

Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri yang tertuang dalam keputusan presiden No. 53/1989 telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai dengan mekanisme pasar.

Dengan adanya keleluasaan pembangunan kawasan industri oleh swasta, maka dampaknya adalah lonjakan pada kebutuhan lahan. Pihak swasta bagaimanapun senantiasa berorientasi kepada keuntungan sehingga dalam mengalokasikan kegiatannya akan berorientasi pada lokasi yang menguntungkan. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Brebes jauh lebih luas dibandingkan dengan kurun sebelumnya.

Kebijakan pemerintah kedua yang dianggap berpengaruh terhadap kecenderungan alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Brebes adalah kebijakan pembangunan permukiman. Implementasi kebijakan pemerintah dalam pembangunan pembangunan permukiman skala besar ini dapat dilihat dari indikator izin lokasi yang telah dikeluarkan. Kecenderungan alih fungsi

lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang tidak dapat dihindari, apalagi pada implementasi pembangunan permukiman ini kerapkali ditemui banyak masalah, misalnya, spekulasi lahan dan percaloan. Hal itulah yang kemudian memacu peningkatan harga lahan secara cepat, yang pada gilirannya justru menjadi penarik bagi pemilik lahan pertanian menjual atau melepaskan pemilikan lahannya untuk penggunaan nonpertanian.

Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri dan pembangunan permukiman diperkuat oleh kebijakan deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan.

Dengan adanya penyederhanaan atau kemudian dalam pemrosesan perizinan maka terjadi lonjakan besar dalam permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman maupun kawasan pariwisata.

Dalam kaitan dengan permasalahan alih fungsi lahan pertanian, khususnya sawah beririgasi teknis, yang cenderung tak terkendali itulah kebijakan pengendaliannya menjadi sangat penting. Kebijakan yang mencegah alih fungsi lahan pertanian yang subur menjadi penggunaan nonpertanian sesungguhnya telah dalam Tata ruang Wilayah. Dalam implementasinya kebijakan tersebut menghadapi kendala untuk diterapkan sepenuhnya, karena tetap saja terjadi alih fungsi lahan pertanian produktif atau sawah beririgasi ke penggunaan nonpertanian, bahkan menunjukkan kecenderungan tidak terkendali. Dalam hal ini banyak pemerintah daerah menghadapi dilema antara kepentingan memacu pertumbuhan ekonomi dan upaya tetap mempertahankan keberadaan lahan pertanian (sawah). Dalam situasi menghadapi kecenderungan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, kemudian pemerintah menetapkan kebijakan yang lebih operasional untuk dapat mencegah dan/atau mengendalikan alih fungsi lahan pertanian sawah, khususnya yang beririgasi teknis. Pencegahan dan/atau pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sesungguhnya dapat dilakukan dengan mekansme izin lokasi. Pada tahap pemberian izin lokasi inilah sebenarnya secara dini alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis dapat dicegah. Namun dalam implementasinya seringkali sulit dilakukan dengan semestinya karena dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain

menyangkut belum didukung rencana tata ruang wilayah yang memadai;

adanya kepentingan yang lebih besar menarik investasi untuk memacu pertumbuhan; serta ketidaksiapan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan serta mekanisme koordinasi antar instansi.

4.4.3.4. Kebijakan Bidang pertanian akibat alih fungsi Lahan

Pemerintah Kabupaten Brebes dalam menyikapi adanya alih fungsi/alih fungsi lahan yang cukup masif itu, maka pada tahun 2016 dan 2017 telah dilakukan kegiatan peningkatan infrastruktur irigasi tingkat usaha tani berupa :

Tabel 4.3.

Kegiatan peningkatan infrastruktur irigasi tingkat usaha tani tahun 2016 dan 2017 1 Pengembangan Irigasi Air Tanah

Dangkal (PIATD)

2016 68 1.962

2017 18 585

JUMLAH 1 86 2.547

2 Pengembangan Irigasi Air Permukaan (PIAP)

2016 31 1.378

2017 5 200

JUMLAH 2 36 1.578 TOTAL (JUMLAH 1+2) 122 4.125

1. Kebijakan Mekanisasi Pertanian

Latar belakang adanya mekanisasi pertanian didasarkan pada semakin meningkatnya kebutuhan pangan, semakin terbatasnya sumberdaya alam (lahan dan air), semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian dan semakin meningkatnya persaingan dengan negara lain seperti berlakunya MEA.

Tujuan menyelenggarakan fasilitas penyediaan alsintan adalah mengoptimalkan pemanfaatan alsintan, menumbuhkembangkan kelembagaan usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) dan bengkel alsintan sesuai karakter dan potensi wilayah setempat dan meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dalam pengembangan, peningkatan peran kelembagaan alsintan.

Adapun kegiatannya dalam bentuk sosialisasi/demo/bimbingan/

pelatihan pengoperasian alsintan, sosialisasi penumbuhan dan pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), koordinasi peningkatan pemanfaatan alsintan dan pengembangan UPJA, pendampingan dan pembinaan kepada kelompok tani/UPJA dan fasilitasi penyediaan alsintan dari dana APBN dan APBD.

Perbandingan-perbandingan efisiensi pemanfaatan alsintan, efisiensi pengolahan tanah, penanaman padi dan efisiensi pemanenan padi.

Tabel 4.4.

Efisensi Pengulahan Tanah (Padi)

Parameter Manual Traktor Roda 2 Traktor Roda 4 Jumlah Tenaga Kerja

Efisiensi Pengolahan Tanah (Bawang Merah) hanya tahap penggemburan

Parameter Manual Cultivator

Jumlah Tenaga Kerja

3. Efisiensi Penanam Padi

Tabel 4.6.

Efisiensi Penanam Padi

Parameter Manual Rice Transplanter

Jumlah Tenaga Kerja

Jumlah Biaya 1.700.000 1.200.000

4. Efisiensi Pemanenan Padi

Tabel 4.7.

Efisiensi Pemanenan Padi

Parameter Manual Combine Harvester

Jumlah Tenaga Kerja

5. Daftar Bantuan Alsintan

Tabel 4.8.

*) Jumlah pompa air 3 inch; 4 inch dan 6 inch hanya bantuan yang berupa unit pompa (tidak termasuk pompa dari kegiatan IAP dan IATD)

**) Cultivator & kendaraan roda tiga sudah termasuk bantuan yg ditangani bidang

No. Kecamatan

Sebaran Alsintan pada tingkat Kelompok

No. Kecamatan Desa Nama UPJA CHB CHK CHS PA3 PA4 RT TR2 Exca JUMLAH

1 Banjarharjo Sukareja Mekar Jaya - - - 2 - 1 3 - 6

2 Bantarkawung Pangebatan Bina

Makmur - - - - - - 6 - 6 15 Larangan Larangan Sukses

Mandiri - - - 4 - 1 3 - 8

16 Losari Bojongsari Ameera Tani

Makmur - - - 5 2 2 3 - 12

17 Losari Randusari Nusa Indah - - 1 2 4 - 2 - 9

18 Paguyangan Taraban Gotong

Royong - - - 2 - - 11 - 13

27 Wanasari Dumeling Sumber

Hasil - - - 4 2 - 3 - 9

CHB Combine Harvester Besar

No. Kecamatan Desa Nama UPJA CHB CHK CHS PA3 PA4 RT TR2 Exca JUMLAH CHK Combine Harvester Kecil

CHS Combine Harvester Sedang

PA3 Pompa Air 3 Inch

Sebaran Alsintan di Kabupaten Brebes

1

No. Jenis Alat Jumlah Keterangan

1 Cultivator 52 Baru selesai pemeriksaan barang oleh provinsi tanggal 11/12/2018

2 Traktor Roda

Dua 41 Masih proses perakitan

3 Rice Transplanter 8 Baru selesai pemeriksaan barang oleh provinsi tanggal 11/12/2018

4 Pompa Air 3 Inch 10 Baru diterima 6/12/2018

4.4.4. Dampak Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Brebes 4.4.4.1. Dampak Negatif

1. Berkurangnya lahan pertanian

Luas lahan baku sawah berdasarkan data statistik pertanian pada tahun 2017 mencapai 63.321 Hektar. Sedangkan data inventarisir BIG tahun 2018, luas lahan baku sawah di Brebes mencapai 65.166 Hektar dan

setelah dilakukan updating data terakhir bulan Oktober, bahwa luasan lahan baku tersebut berkurang seluas 633 Hektar atau menjadi 64.532 Hektar. Alih fungsi lahan tersebut mayoritas untuk keperluan industri dan pemukiman. Data BPN menyebutkan bahwa di Kabupaten Brebes terdapat alih fungsi lahan sebanyak 190 untuk transportasi (Tol)

2. Menurunnya produksi pangan regional

Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru semakin berkurang. Berdasarkan data dinas pertanian pangan dan BPS Kabupaten Brebes terdapat kecenderungan penurunan produksi pangan.

3. Mengancam keseimbangan ekosistem

Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat musim penghujan. Ini terbukti bahwa banyak saluran irigasi yang tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan banjir ketika hujan deras, karena saluran itu diurug tanah untuk jalan tol.

4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai

Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak

terpakai lagi tetapi semua itu diantisipasi dengan penggunaan alsintan yang dimodernisasi.

5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan

Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka.

6. Harga pangan semakin mahal

Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal.

7. Tingginya angka urbanisasi

Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan.

Sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.

8. Menurunnya akses untuk UMKM, terutama dengan adanya jalan bebas hambatan produk-produk yang ada di Brebes berkurangnya pembeli.

Secara teknis dampak alih fungsi lahan dalam bidang pertanian, apabila dilihat dari objeknya, terbagi atas 2, yaitu:

a. Terdampak Langsung

Pemilik Lahan, Petani Penggarap, Buruh Tani b. Terdampak Tidak Langsung

Usaha Rice Mill, pengolahan produk pertanian lainnya

Alih fungsi lahan pertanian bisa dikatakan dilatarbelakangi oleh semakin menurunnya daya dukung lahan pertanian untuk dapat memberikan manfaat ekonomi secara maksimal. Dengan rata-rata luasan lahan 0,25 ha/petani, dirasakan sudah tidak mampu mencapai angka BEP/usaha pertanian. Biaya/cost usaha pertanian semakin hari semakin tinggi, misal dari variabel upah tenaga kerja manual yang mahal (karena susahnya mencari buruh tani), harga pasar yang tidak menentu, masih belum optimalnya kemanfaatan air irigasi dan menurunnya tingkat produktivitas pertanian. Dalam rangka menyikapi situasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk

“meyakinkan” petani untuk lebih optimis untuk berbudidaya, antara lain beberapa hal sebagai berikut :

1. Mengontrol Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan mau tidak mau tidak dapat terhindari seperti proyek nasional jalan bebas hambatan (TOL), mengingat adanya pola ruang yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah pada Perda RTRW demi proses Pembangunan di Brebes. Dinas Pertanian termasuk dalam tim teknis/pokja rencana perizinan untuk lokasi-lokasi yang akan mengalihfungsikan lahan pertanian, keterlibatan Dinas Pertanian dalam tim tersebut bersifat mengontrol, apabila tidak sesuai dengan tata ruang tentu akan ditolak.

2. Bantuan Alat Mesin Pertanian

Bantuan alat mesin pertanian baik dari Pusat maupun pengadaan daerah (provinsi/kabupaten). Nampak bahwa sudah banyak sekali bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah kepada kelompok tani, atau UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan) untuk alsintan mulai dari pra (pompa air, traktor roda dua, traktor roda 4, rice transplanter, alat penyiang gulma) sampai dengan pasca panen (mesin panen padi, perontok jagung/kedelai).

Bantuan alsintan ke UPJA sebetulnya adalah model bantuan yang tepat untuk pemanfaatan alsintan, karena UPJA tersebut merupakan

entitas bisnis yang berorientasi profit. Hal ini dimaksudkan supaya kinerja alat mesin pertanian yang ada akan optimal.

Selain itu, banyak sekali bantuan-bantuan alsintan yang berasal dari aspirasi Dewan (Daerah, Provinsi, Pusat) yang langsung diserahkan ke kelompok.

Titik kritis dari begitu banyaknya alsin, utamanya traktor roda dua, traktor roda 4, combine harvester, rice transplanter adalah pada saat ketersediaan sumber daya manusia yang mengoperasionalkan alat-alat tersebut. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab. Brebes sudah melakukan pelatihan-pelatihan bagi calon operator alsin dari masing-masing jenis tersebut.

3. Akses terhadap Pembiayaan

Dinas sering melakukan sosialisasi kepada petani dalam hal akses terhadap pembiayaan KUR bunga rendah dari Bank mitra, diharapkan KUR tersebut dapat dipakai sebagai modal berusaha pertanian

4. Sarana dan Prasarana Pertanian

Berbagai bantuan telah diberikan di bidang sarana dan prasarana pertanian, antara lain Pembangunan Irigasi Air Permukaan, Irigasi Perpipaan, Rehabilitasi Jaringan Irigasi, Dam Parit, Jalan usaha Tani, Irigasi Air tanah Dangkal (lihat lampiran).

Sarana prasarana tersebut adalah dalam rangka mengoptimalkan sumber daya lahan dan air yang ada untuk proses berbudidaya pertanian. Misal, Jalan usaha tani dibangun untuk akses mobilisasi angkut panen hasil pertanian, Irigasi Air Permukaan dibangun untuk supply air ke lahan-lahan yang tidak mendapatkan supply air irigasi teknis, Irigasi Air Tanah Dangkal dipakai untuk irigasi bawang merah ketika musim kemarau.

5. Akses Pupuk

Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Jenis dan Tepat Mutu, prinsip tersebut wajib dipahami sebagai jaminan supaya petani mendapatkan alokasi pupuk yang sesuai. Untuk itu, pemerintah telah melakukan terobosan dengan penerapan kartu tani dengan harapan petani

mendapatkan pupuk bersubsidi pemerintah dan tepat sasaran (tidak ada penyelewengan pupuk). Saat ini Brebes telah mengcover hampir 90%

dari jumlah petani yang ada untuk akses kartu tani 6. Akses Asuransi

Saat ini pemerintah telah mengenalkan Asuransi Usaha Tanaman Padi (AUTP) sebagai garansi untuk budidaya tanaman padi, apabila terjadi puso, maka akan mendapatkan ganti rugi. Hal ini bermanfaat untuk menarik minat petani untuk bertani padi, ke depan sedang disusun asuransi untuk tanaman bawang.

Pelayanan AUTP tersebut sudah banyak dilaksanakan oleh petani padi, dan ada beberapa kasus puso (kekeringan, banjir, serangan hama) yang telah mendapatkan klaim asuransi.

7. Sertifikasi Lahan Pertanian

Sertifikasi lahan pertanian diselenggarakan dalam rangka pengakuan secara hukum terkait status lahan sawah petani dan mereka dapat nantinya menggunakan produk sertifikat tanah tersebut untuk keperluan perbankan.

Dari sedikit beberapa kebijakan pemerintah di atas sebagai bentuk keberpihakan terhadap petani diharapkan : petani mau berbudidaya (optimis) dan di kalangan muda mau berkecimpung.

8. Dampak di Bidang Industri

Terbukanya lapangan kerja baru karena terdapat industri baru.

4.4.4.2. Implikasi kebijakan Pengendalian Alih fungsi Lahan Sawah

Perlunya pencegahan dan/atau pengendalian terhadap kecenderungan konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah beririgasi teknis di wilayah Brebes dan Pantura Jawa Tengah pada umumnya, hal ini didasarkan pada tiga alasan utama, yaitu (a) kecenderungan tesebut dipandang sebagai ancaman terhadap upaya mempertahankan swasembada pangan (beras) regional maupun nasional, menginta wilayah tersebut sebagai sentra produksi padi; (b) besarnya biaya investasi pembangunan prasarana irigasi selama ini yang akan hilang begitu saja jika alih fungsi sawah terus

berlanjut tanpa pengendalian; (c) pencetakan sawah baru membutuhkan biaya besar untuk mengimbangi penyusutan sawah produktif di Brebes dan pantura Jawa Tengah di samping memerlukan waktu yang lama dalam pengembangannya.

Dalam konteks itulah kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah beririgasi teknis, menjadi sangat mendesak sehingga berbagai dampak negatif dapat dihindarkan. Namun kebijakan pengendalian ini akan mempunyai implikasi luas, baik secara makro-spasial maupun secara mikro dalam kaitannya dengan keberadaan dan sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

Dalam konteks kebijakan makro spasial, pengendalian alih fungsi lahan pertanian mempunyai implikasi perlunya meninjau kembali kedudukan dan peranan yang dibebankan wilayah pantura dalam hal ini Kabupaten Brebes sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi telah mengarahkan bahwa di wilayah itu termasuk diprioritaskan pengembangannya, termasuk di dalamnya sektor industri menjadi salah satu sektor unggulan. Selain itu,

Dalam konteks kebijakan makro spasial, pengendalian alih fungsi lahan pertanian mempunyai implikasi perlunya meninjau kembali kedudukan dan peranan yang dibebankan wilayah pantura dalam hal ini Kabupaten Brebes sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi telah mengarahkan bahwa di wilayah itu termasuk diprioritaskan pengembangannya, termasuk di dalamnya sektor industri menjadi salah satu sektor unggulan. Selain itu,

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR PENELITIAN (Halaman 41-0)

Dokumen terkait