• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI PANTURA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Kabupaten Brebes)

Oleh :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Drs. Soebandriyo

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

2018

(2)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI PANTURA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Kabupaten Brebes)

Oleh :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Drs. Soebandriyo

Laporan Penelitian Ini Disusun Sebagai Bahan Masukan Perumusan Kebijakan Perencanaan Pembangunan

Provinsi Jawa Tengah

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

2018

(3)

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI PANTURA JAWA TENGAH

(Studi Kasus di Kabupaten Brebes)

Penulis :

Drs. Mursid Zuhri, M.Si Drs. Soebandriyo

Editor :

Ir. Dwiyanto JS, MS

Tahun : 2018

Penerbit :

Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Jl. Pemuda No. 127 - 133 Semarang

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul : Alih Fungsi Lahan Pertanian di Pantura Jawa Tengah (Studi Kasus di Kabupaten Brebes) 2. Metode Penelitian : Swakelola.

3. Lembaga Pelaksana :

Nama : Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah Alamat : Jl. Pemuda No. 127-133, Semarang

Telp./Fax/Email : 0243515591/0243546802/

[email protected]

4. Pelaksanaan :

Waktu : Bulan Maret – November 2018

Lokasi : Kabupaten Brebes

Peneliti : Drs. Mursid Zuhri, M.Si Drs. Soebandriyo

5. Anggaran : APBD Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2018

Mengetahui,

Kepala Bidang Kelitbangan Iptekin Selaku

Kuasa Pengguna Anggaran

TRI YUNI ATMOJO, ST, M.Si Pembina Tingkat I

NIP. 19720103 199803 1 010

Peneliti,

Drs. MURSID ZUHRI, M.Si Pembina Utama

NIP. 19670818 199603 2 001

Mengesahkan,

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

Ir. SUJARWANTO DWIATMOKO, M.Si Pembina Utama Madya

NIP. 19651204 199203 1 012

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya laporan penelitian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Pantura Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi permasalahan alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah; (2) menganalisis pola spasialnya dan faktor- faktor yang mempengaruhi; (3) menganalisis kebijakan yang terkait, baik kebijakan yang mendorong dan memacu terjadinya alih fungsi lahan sawah maupun kebijakan pengendaliannya serta kebijakan pemecahannya.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi mengenai kebijakan pengembangan wilayah dan antisipasi dalam upaya pengembangan ekonomi akibat alih fungsi lahan di sepanjang wilayah pantura Brebes yaitu kebijakan pengendaliannya.

Di samping itu hasil studi ini diharapkan dapat berguna bagi pembijak di tingkat Provinsi dan Kabupaten Brebes serta kabupaten/kota yang mempunyai kasus alih fungsi lahan terutama di wilayah pantura Jawa Tengah.

Disadari bahwa penulisan buku ini masih banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati untuk perbaikan.

Semoga bermanfaat.

Semarang, Desember 2018

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

Ir. SUJARWANTO DWIATMOKO, M.Si Pembina Utama Madya

NIP. 19651204 199203 1 012

(6)

ABSTRAK

Alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi permasalahan alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah (2) menganalisis pola spasialnya dan faktor- faktor yang mempengaruhi, serta (3) menganalisis kebijakan yang terkait dengan alih fungsi lahan pertanian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data mengunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian sangat dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat, baik dilihat dari aspek demografis, ekonomi maupun fisik; 2) Pola spasial alih fungsi lahan sawah dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi, meliputi pertumbuhan penduduk perkotaan, pertumbuhan dan pergeseran struktur ekonomi, pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan dan perubahan luas penguasaan lahan; 3) Kebijakan yang terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan pertanian adalah konsistensi pelaksanaan RTRW Provinsi maupun Kabupaten sebagai kunci pencegahan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian.

Kata kunci : alih fungsi, lahan pertanian, transformasi, kebijakan pengendalian.

(7)

ABSTRACT

Land use change generally involves transformation in allocating land resources from one to another use. The purpose of this study is (1) to identify the problem of conversion of agricultural land, especially paddy fields (2) to analyze spatial patterns and influencing factors, and (3) to analyze policies related to conversion of agricultural land. This study uses a qualitative approach, data collection using interview techniques, observation, and documentation. The data analysis technique used is qualitative descriptive. The study was conducted in Brebes Regency, Central Java. The conclusion of this study is 1) the conversion of agricultural land to non-agricultural use is strongly influenced by the dynamics of very rapid urban growth, both seen from demographic, economic and physical aspects; 2) The spatial pattern of conversion of paddy fields is influenced by socio-economic factors, including urban population growth, growth and shifts in economic structure, growth of land-use agricultural households and changes in land tenure; 3) The policy related to controlling the conversion of agricultural land is the consistency of the implementation of the RTRW as a key to preventing the conversion of agricultural land to non-agriculture.

Keywords : function transfer, agricultural land, transformation, control policy.

(8)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN HAK CIPTA ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Rumusan Masalah ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Hasil yang diharapkan ... 9

1.6. Manfaat ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Alih fungsi lahan ... 10

2.2. Kecenderungan alih fungsi lahan sawah ... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Wilayah Brebes Jawa Tengah sebagai Kasus Studi ... 16

3.2. Pendekatan ... 18

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 18

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian... 19

3.5. Instrumen Survey ... 19

3.6. Ruang Lingkup ... 21

3.7. Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 21

3.8. Definisi Konsep ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

4.1. Hasil ... 22

4.2. Potensi Kabupaten Brebes ... 22

4.3. Pembahasan ... 26

4.4. Kecenderungan Alih Fungsi Lahan ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 52

4.5. Kesimpulan ... 52

(9)

4.6. Rekomendasi ... 54 DAFTAR PUSTAKA ... 55 LAMPIRAN ... 56

(10)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1.1. Luas Panen Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah Tahun

2011-2015 ... 2

Tabel 1.2. Jumlah lahan persawahan di Kabupaten Brebes Tahun 2012- 2016 ... 3

Tabel 1.3. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Brebes Tahun 2005, 2010 dan 2015 ... 5

Tabel 1.4. Lahan Irigasi ... 7

Tabel 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kecamatan Di Kabupaten Brebes Akhir Tahun 2016 (ha) ... 28

Tabel 4.2. Luas Penggunaan Lahan untuk Jalan Tol Menurut Desa, Kecamatan Di Kabupaten Brebes Akhir Tahun 2016 (ha) ... 28

Tabel 4.3. Kegiatan peningkatan infrastruktur irigasi tingkat usaha tani tahun 2016 dan 2017 ... 35

Tabel 4.4. Efisensi Pengulahan Tanah (Padi)... 36

Tabel 4.5. Efisiensi Pengolahan Tanah (Bawang Merah) hanya tahap penggemburan ... 36

Tabel 4.6. Efisiensi Penanam Padi ... 36

Tabel 4.7. Efisiensi Pemanenan Padi ... 37

Tabel 4.8. Daftar Bantuan Alsintan ... 37

Tabel 4.9. Daftar Alsintan 2018 ... 37

Tabel 4.10. Sebaran Alsintan pada tingkat Kelompok ... 38

Tabel 4.11. Sebaran Alsintan di Kabupaten Brebes ... 39

Tabel 4.12. Jumlah Alsintan ... 39

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 3.1. Wilayah Pantura Jawa Tengah ... 17

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah Perda No 6 Tahun 2010 terdapat perwilayahan di pantai utara Jawa Tengah mulai Kabupaten Brebes sampai dengan Kabupaten Rembang. Perwilayahan tersebut adalah : Brebes - Kota Tegal - Slawi - Pemalang (Bregasmalang), Kabupaten Pekalongan - Kabupaten Batang - Kota Pekalongan (Petanglong) (Kendal - Ungaran - Kota Semarang - Salatiga - Purwodadi (Kedungsepur), Juwana - Jepara - Kudus - Pati (Wanarakuti) dan Rembang - Blora (Banglor). Bregasmalang berbasis agropolitan dan industri pengolahan, Petanglong diarahkan berbasis industri pengolahan kreatif dan pertanian, Kedungsepur berbasis perdagangan jasa, industri pengolahan sinergis pertanian dan pariwisata terpadu Wanarakuti berbasis industri pengolahan dan pariwisata yang didukung sektor agropolitan pertanian dan pariwisata dan Banglor berbasis industri dan agroforestri yang didukung pariwisata terpadu. Semuanya berlandaskan prinsip pembangunan berkelanjutan. Melihat potensi kewilayahan tersebut maka basis pertanian dan industri dijadikan sumber perekonomian.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian yang berlangsung pesat di pantura Jawa Tengah dalam dasa warsa terakhir ini mendapat perhatian banyak pihak karena terkait dengan dimensi persoalan yang luas, baik dalam skala makro maupun skala mikro. Dalam konteks makro, sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan termasuk transportasi) yang pada gilirannya menuntut pula adanya transformasi alokasi sumber daya lahan dari pertanian ke nonpertanian. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa alih fungsi lahan tersebut terjadi pada lahan sawah di wilayah yang selama ini berperan sebagai sentra produksi padi utama ke tiga di Jawa Tengah, yaitu Kabupeten Brebes yang mempunyai produktivitas relatif tinggi karena didukung oleh prasarana irigasi teknis.

(13)

Alih fungsi lahan ini dinilai sudah amat mencemaskan dan menganggu. Di satu pihak mengingat pantura Jawa Tengah merupakan sentra produksi beras dan di pihak lain hal itu akan mengubah struktur ketenagakerjaan masyarakat setempat maupun terdapat dampak lainnya.

Selain itu alih fungsi lahan sawah terkait juga dengan dampak sosial- ekonominya dalam skala mikro rumah tangga pertanian, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian di perdesaan.

Produksi komoditas tanaman pangan yang dicapai Jawa Tengah merupakan keberhasilan intensifikasi pertanian pada areal pertanian tanaman pangan, yang ditunjukkan dengan peningkatan luas panen tanaman pangan setiap tahunnya. Secara rinci luas panen tanaman pangan dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1.

Luas Panen Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2015

No

. Komoditas Luas Panen (Ha)

2011 2012 2013 2014 2015

1 Padi 1.724.246 1.773.558 1.836.181 1.800.908 1.875.793 2 Jagung 520.149 553.372 532.061 538.102 542.804 3 Kedelai 81.988 97.112 65.278 72.235 70.629 Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Prov. Jateng, 2016

Demikian pula di Kabupaten Brebes pembangunan pangan pada dasarnya merupakan bagian dari ketahanan bangsa. Sesuai dengan kesepakatan global yang dituangkan dalam Sustainable Development Goals dengan 17 tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlunya mengoptimalkan bahan pangan lokal yang memenuhi kebutuhan gizi penduduk setempat dengan mempertimbangkan keseimbangan gizi didukung oleh cita rasa daya cerna, daya terima masyarakat, kualitas dan daya beli. Untuk menjaga ketersediaan pangan telah dilakukan upaya untuk mempertahankan luas lahan sawah sebagaimana tabel 1.2. berikut :

(14)

Tabel 1.2.

Jumlah lahan persawahan di Kabupaten Brebes Tahun 2012 – 2016

No. Lahan Persawahan Tahun

2012 2013 2014 2015 2016 1 Sawah irigasi 48.101 48.954 48.953 47.482 46.837 2 Sawah Tadah hujan non irigasi 14.599 13.746 13.740 15.900 16.217

3 Sawah pasang surut - - - - -

4 Sawah lainnya 148 - 65 65 406

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, 2016

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa sawah irigasi di Kabupaten Brebes dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Penurunan itu disebabkan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian.

Perubahan luas penggunaan lahan sawah menjadi sarana prasarana transportasi (tol) menjadi yang tertinggi pada tahun 2017 seluas 190 ha di antara perubahan lahan sawah menjadi industri maupun perusahaan/

perkantoran. Pada tahun 2012 luas perubahan menjadi perumahan seluas 10,47 ha dan pada semester 1 (satu) tahun 2016 seluas 2,59 ha. Akan tetapi sempat mengalami kenaikan pada tahun 2014 yaitu 16,47 ha dan tahun 2015 11,28 ha. Sedangkan untuk perubahan lahan sawah menjadi industri terjadi pada tahun 2014 seluas 15,97 ha, dan perubahan lahan sawah menjadi perusahaan/perkantoran tertinggi pada tahun 2015 yaitu 1,91 ha.

Kabupaten Brebes merupakan salah satu penghasil beras utama ke tiga di provinsi Jawa Tengah. Akhir-akhir ini, sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja yang ditandai oleh banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, semakin meningkat kebutuhan akan lahan.

Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya realokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi lainnya. Korban ekonomi dan sosial alih fungsi lahan pertanian dinilai sangat besar mengingat tingginya biaya investasi dan lamanya waktu yang dibutuhkan sejak awal waktu

(15)

pembentukan sawah sampai terbentuknya lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang cukup tinggi. Beban alih fungsi lahan bagi pembangunan pertanian dirasa semakin berat karena menyangkut pemanfaatan lahan pertanian produktif serta terjadi di daerah dengan aksesibilitas fisik dan ekonomi yang baik. Alih fungsi lahan pertanian telah menjadi isu global tidak hanya di negara berkembang yang masih bertumpu pada sektor pertanian, namun juga di negara maju untuk menghindari ketergantungan terhadap impor produk pertanian. Dalam prosesnya, alih fungsi lahan pertanian senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan. Pertambahan penduduk memerlukan lahan yang semakin luas, tidak saja guna perluasan pemukiman namun juga sebagai ruang perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara lebih baik. Permasalahan timbul ketika penduduk membangun tempat pemukiman serta prasarana pendukungnya pada region pertanian yang subur. Lahan pertanian produktif merupakan aset penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini didasarkan atas dua hal yaitu besarnya biaya investasi dalam bentuk sarana dan prasarana irigasi dan pencetakan sawah baru serta lamanya waktu yang dibutuhkan sejak awal pencetakan sawah sampai terbentuknya lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pada kondisi adanya pilihan terbuka bagi para investor untuk menanamkan modalnya maka alih fungsi lahan pertanian pada daerah dengan infrastruktur yang baik dan sekaligus sebagai pusat pasar yang besar tidak dapat dihindarkan. Persoalan sumber daya lahan yang dinilai cukup serius belakangan ini adalah alih fungsi lahan produktif yang cukup besar.

Alih fungsi lahan berlangsung secara terus menerus sejalan dengan peningkatan pembangunan yaitu untuk keperluan bidang industri, pariwisata, pemukiman dan sebagainya. Transformasi ekonomi yang ditandai pergeseran peran antar sektor menuntut alih fungsi lahan pertanian dalam jumlah yang tidak sedikit. Kasus alih fungsi lahan pertanian di daerah dengan produktivitas rendah tidaklah terlalu mengancam produksi pangan.

Namun ketika alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non pertanian terjadi di lahan beririgasi dengan produktivitas tinggi maka hal ini

(16)

merupakan ancaman bagi ketersediaan pangan khususnya bahan makanan pokok penduduk (beras). Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan alih fungsi lahan pertanian serta dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap ketersediaan beras di Kabupaten Brebes dan dampak yang lain seperti alih fungsi ke industri. Klasifikasi di daerah penelitian terdapat 8 kelas penggunaan lahan.

Tabel 1.3.

Luas Penggunaan lahan Kabupaten Brebes Tahun 2005, 2010 dan 2015

Jenis Penggunaan

Lahan

Tahun 2005 (ha)

Tahun 2010 (Ha)

Tahun 2015 (Ha)

Perubahan 2005-2010

Perubahan 2010-2015

Perubahan 2005-2015

Ha % Ha % Ha %

Hutan 3.266,22 3.266,22 3.266,22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kebun/kebun

campuran

54.975,20 54.904,26 54.790,32 -70,94 -0,13 -113,94 -0,21 -184,88 -0,34 Permukiman 16.004,14 16.424,96 17.032,08 420,82 2,63 607,12 3,70 1.027,94 6,42 Sawah 73.461,35 73.021,13 72.504,08 -440,22 -0,60 -517,05 -0,71 -957,27 -1,30 Semak belukar 275,80 275,80 275,80 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Tambak 12.354,66 12.442,14 12.497,17 87,48 0,71 55,03 0,44 142,51 1,15 Tegalan 13.755,10 13.757,96 13.726,80 2,86 0,02 -31,16 -0,23 -28,29 -0,21 Tubuh Air 2.629,69 2.629,69 2.629,69 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar dari tahun 2005 sampai tahun 2015 adalah permukiman dan tranportasi (tol) di samping untuk industri. Permukiman terus meningkat luasannya karena memiliki nilai economic land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Penggunaan lahan hutan dan tubuh air tidak mengalami perubahan di Kabupaten Brebes. Jenis penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luasan terbesar adalah penggunaan lahan sawah.

Terjadinya alih fungsi lahan sawah dapat dilihat dari terus berkurangnya luas lahan sawah dari tahun ke tahun. Laju pengurangan sawah dari tahun 2005 sampai tahun 2015 di Kabupaten Brebes -1,30% atau berkurang seluas 957,27 ha.

Dinamika alih fungsi lahan sawah serta arah perubahannya diperoleh dari hasil klasifikasi silang (cross classification). Teknik ini pada dasarnya membandingkan atribut penggunaan lahan antar titik tahun sehingga bisa diketahui wilayah yang tetap dan wilayah yang mengalami perubahan (Trisasongko et al., 2009). Hasil klasifikasi silang menunjukkan pola arah perubahan lahan sawah yaitu : a) sawah - permukiman; b) sawah - transportasi, c) sawah - tegalan/ladang; d) sawah - industri e) sawah -

(17)

industri, f) sawah-tegalan ladang-transportasi-permukiman dan g) sawah- tambak.

Perubahan lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Brebes merupakan faktor utama dalam proses usahatani yaitu sebagai tempat pelaksanaan usahatani. Jika faktor lain dianggap konstan, maka penurunan luas tanam akan menurunkan tingkat produksi padi sawah.

Tingkat ketersediaan beras tingkat swasembada pangan dianalisis dengan metode NPKt yaitu selisih produksi netto dengan total konsumsi. Produksi netto merupakan total produksi padi sawah dan padi tegal selama satu tahun.

Sedangkan total konsumsi mencakup konsumsi masyarakat Brebes terhadap beras lokal dan beras ketan. Dengan asumsi tingkat alih fungsi padi menjadi beras 63,2% dan tingkat konsumsi rata-rata 0,2 kg/jiwa/hari, tingkat ketersediaan beras. Tampak bahwa nilai rata-rata NPKt Kabupaten Brebes bernilai positif sepanjang tahun. Hal ini menunjukkan selama 10 tahun terakhir Kabupaten Brebes mampu mencukupi kebutuhan beras tanpa harus melakukan impor dari wilayah lain.

Alih fungsi lahan ke penggunaan non pertanian yang berlangsung pesat di wilayah pantura Jawa Tengah dalam dasawarsa terakhir ini mendapat perhatian banyak pihak karena terkait dengan dimensi persoalan yang luas, baik dalam skala makro maupun skala mikro. Dalam konteks makro sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari pedesaan ke permukiman) (dari pedesan ke perkotaan termasuk transportasi) yang pada gilirannya menuntut pula adanya transformasi alokasi sumber daya lahan dari pertanian ke nonpertanian.

Namun yang menjadi masalah adalah bahwa alih fungsi tersebut terjadi pada lahan sawah di wilayah yang selama ini berperan sebagai sentra produksi padi utama yaitu wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah yang mempunyai produktivitas tinggi karena didukung oleh prasarana irigasi teknis. Dalam konteks inilah konservasi lahan sawah dianggap dapat menjadi ancaman terhadap upaya mempertahankan produksi beras regional maupun nasional. Selain itu alih fungsi lahan sawah terkait juga dengan

(18)

dampak sosial-ekonominya dalam skala mikro rumah tangga pertanian, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian di pedesaan.

Tabel 1.4.

Lahan Irigasi

1.2. PERMASALAHAN

Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, lahan pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung terdapat alih fungsi lahan pertanian. Ini bisa dilihat pada tabel tersebut diatas, terutama lahan sawah beririgasi yang menjadi andalan bagi daerah tertentu karena sawah beririgasi mendapatkan perlakuan khusus seperti teknologi sarana prasarana. Dari tabel tersebut juga terlihat menurunnya produksi pangan regional. Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru semakin berkurang. Berdasarkan data Dinas Pertanian Pangan dan BPS Kabupaten Brebes terdapat kecenderungan penurunan produksi pangan. Di samping itu terdapatkan

NO KECAMATAN JENIS IRIGASIPANJANG

(KM) NO KECAMATAN JENIS IRIGASIPANJANG

(KM) NO KECAMATAN JENIS IRIGASIPANJANG (KM)

PRIMER 25,29 JATIBARANG PRIMER 1,43 PRIMER 2,77

SEDERHANA 3,91 SEKUNDER 19,42 SEKUNDER 158,26

SEKUNDER 20,71 TERISER 72,24 TERSIER 53,42

TERSIER 57,52 93,08 (blank) 24,66

KWARTER 3,08 PRIMER 0,41 239,10

(blank) 4,07 SEKUNDER 0,45 PRIMER 20,76

114,58

TERSIER 46,32 SEKUNDER 60,11

PRIMER 1,39 47,19 TERSIER 73,06

SEKUNDER 24,09 PRIMER 6,91 153,94

TERSIER 72,50 SEKUNDER 6,76 PRIMER 7,50

23,72

TERSIER 74,35 SEKUNDER 15,12

SEKUNDER 121,70 88,02 TERSIER 103,69

TERSIER 110,42 PRIMER 9,74 126,32

232,13

SEKUNDER 35,62 SEKUNDER 31,45

PRIMER 4,47 TERSIER 107,13 TERSIER 118,50

SEKUNDER 39,87 KUARTER 1,91 149,94

TERSIER 154,04 154,41 PRIMER 1,74

KWARTER 0,52 SEKUNDER 18,41 SEKUNDER 55,72

198,91

TERSIER 164,49 TERSIER 80,90

PRIMER 13,43 182,90 138,35

SEKUNDER 52,06 PAGUYANGAN TERSIER 134,70 SEKUNDER 26,20

TERSIER 106,37 (blank) 0,34 TERSIER 134,41

171,85

135,04 160,61

14 SONGGOM

15 TANJUNG

11

TOTAL 6

TOTAL 7 KERSANA

TOTAL 8 KETANGGUNGAN

TOTAL

SALEM

13 SIRAMPOG

10 LOSARI

12

16

17 9 LARANGAN

4 BULAKAMBA

5 BUMIAYU 1 BANJARHARJO

2 BANTARKAWUNG

3 BREBES

TOTAL

TOTAL

TOTAL

TOTAL

TOTAL

TOTAL TONJONG

WANASARI TOTAL

TOTAL TOTAL

TOTAL

TOTAL

TOTAL

TOTAL

(19)

ancaman ekosistem, dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahan-lahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang. Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat musim penghujan. Ini terbukti bahwa banyak saluran irigasi yang tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan banjir ketika hujan deras, karena saluran itu diurug tanah untuk jalan tol. Di Kabupaten Brebes mengalami perubahan dari alat-alat pertanian manual/tradisional ke sarana prasarana yang modern, untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian. Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek berbagai jenis jenis irigasi dari pemerintah, mulai dari membangun bendungan, membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian. Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, bisa jadi sarana dan prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi. Demikian pula bagi pekerja (buruh tani), buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan mata pencaharian mereka. Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga pangan tersebut menjadi mahal. Di Kabupaten Brebes banyak tenaga kerja yang migrasi ke wilayah lain terutama masyarakat pedesaan, sehingga ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong

(20)

pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena persaingan semakin ketat.

1.3. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah, pola spasialnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi;

2. Apa kebijakan yang mendorong dan memacu terjadinya alih fungsi lahan sawah;

3. Bagaimana kebijakan pengedalian dan upaya mengambil manfaat dengan adanya alih fungsi lahan.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengidentifikasi permasalahan alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah;

2. Menganalisis pola spasialnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi, serta

3. Menganalisis kebijakan yang terkait, baik kebijakan yang mendorong dan memacu terjadinya alih fungsi lahan sawah maupun kebijakan pengendaliannya serta kebijakan pemecahannya.

1.5. HASIL YANG DIHARAPKAN

Diperoleh rekomendasi kebijakan guna pengembangan wilayah dan antisipasi dalam upaya pengembangan ekonomi akibat alih fungsi lahan di sepanjang di wilayah pantura Brebes dan kebijakan pengendaliannya.

1.6. MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada Kabupaten-Kota dan masyarakat yang terkena dampak alih fungsi lahan terutama kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan dalam mengambil manfaat yang positif dengan adanya alih fungsi lahan akibat pembangunan tol serta lainnya.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ALIH FUNGSI LAHAN

Pengertian alih fungsi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun sebagai suatu terminologi dalam kajian Land Economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan nonpertanian atau perkotaan. Proses alih fungsi lahan ini melibatkan baik reorganisiasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah luar.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan yang menempatkan sumberdaya lahan sebagai faktor produksi, dimana berkembang pandangan bahwa lahan atau tanah diperlakukan sebagai komoditas strategis. Berbeda dengan komoditas lain, lahan mempunyai karakteristik yang kompleks yaitu: (1) penyediannya bersifat tetap; (2) tidak ada biaya penyediaan; (3) bersifat unik atau irreplaceable; (4) tak dapat dipindahkan; dan (5) permanen. Karena faktor-faktor itu memiliki karakteristik tertentu, maka secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas. Dalam kondisi inilah akan terjadi perubahan dalam penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas yang mempunyai land rent yang paling tinggi. Secara teoritis dikenal 5 jenis rent lahan, yaitu rent recardian, rent lokasi, rent lingkungan, rent sosial dan rent politik. Dalam kondisi pasar lahan sempurna, harga lahan haruslah mencakup kelima jenis rent tersebut Lutfi Nasution, “Beberapa masalah pertanahan nasional dan alternatif kebijaksanaan untuk menanggulanginya”

(Analisis No. 2 Tahun 2001). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa persediaan lahan bersifat tetap sedangkan permintaannya terus tumbuh dengan cepat terutama di kawasan perkotaan. Pertumbuhan kebutuhan lahan tersebut di dorong oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang menyertainya. Interaksi antara permintaan dan penawaran lahan ini

(22)

akan menghasilkan pola penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas paling menguntungkan. Dalam konteks inilah fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian terjadi. Alih fungsi lahan pertanian dewasa ini telah menjadi isu global, tidak saja di negara berkembang yang pertaniannya masih menjadi sektor dominan, tetapi juga di negara-negara maju. Di negara maju, perhatian terhadap semakin berkurangnya lahan pedesaan yang subur untuk pengembangan perkotaan didasarkan pada dua anggapan, pertama adalah lahan pertanian yang subur di wilayah yang secara kronologis baik, secara cepat diambil alih oleh pertumbuhan perkotaan. Hal ini berarti akan memperbesar ketergantungan terhadap impor produk pertanian. Kedua, perhatian ini timbul dari kepercayaan bahwa di masa datang teknologi pertanian secara intensif yang bertumpu pada faktor kimiawi dan irigasi akan kembali beralih pada teknologi yang ketergantungannya pada kimiawi berkurang namun lebih banyak menggunakan organik. Bruce Pond dan Maurice Yeates “Rural/Urban Land Conversion I : Estimating the Direct and indirect Impact, “Urban Geography No. 14 2009. Dalam prosesnya, alih fungsi lahan pertanian senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan sebagai wujud fisik dari proses urbanisasi. Kivell (1993) menggambarkan bagaimana lahan menjadi faktor kunci dalam kaitannya dengan pola dan proses perubahan kota. Hal ini karena terdapat kaitan yang erat antara penggunaan lahan dan perubahan demografis di kawasan perkotaan, yang dapat ditunjukkan dalam ukuran konsumsi lahan perkotaan marjinal per- peningkatan rumah tangga. Ekspansi kawasan perkotaan akan mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap wilayah perdesaan sekitarnya, yaitu dalam bentuk alih fungsi lahan pertanian dan peningkatan penduduk nonpertanian atau akibat sekunder berkurangnya lahan pertanian W. Lockeretz “Scondary Effects on Midwestern Agriculture of metropolitan Development and Midwestern Agriculture of metropolitan Development and Decreases in farmland (Land Economic Vol. 65 No. 3 Agustus 2003.

Dampak sekunder yang bersifat tak langsung justru lebih penting dari sekedar berkurangnya lahan pertanian, karena akan mengakibatkan

(23)

pengembangan yang terjadi terutama pada lahan yang berkualitas lebih baik, pengurangan efisiensi dan peningkatan biaya produksi terjadinya impermanence syndrome, yakni membiarakan lahan menganggur sebelum dijual untuk pengembangan.

Di negara-negara Asia yang pertaniannya masih menjadi sektor dominan, alih fungsi lahan pertanian manjadi salah satu isu penting dalam dekade terakhir, terutama dalam kaitanya dengan pembangunan pertanian/perdesaan.

Di negera-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, terjadi alih fungsi masif dari pertanian subur ke penggunaan nonpertanian terutama dalam wilayah yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pusat-pusat perkotaan yang sangat pesat. Dalam perspektif makro, di negara-negara yang sedang berkembang, fenomena alih fungsi lahan pertanian terjadi dalam konteks transformasi struktural perekonomian dan demografis.

Transformasi struktural dalam perekonomiabn, dari semula yang bertumpu pada pertanian ke arah yang leboh bersifat industri, serta pertmbuhan penduduk perkotaan yang pesat akan mengakibatkan alih fungsi dari penggunaan perdesaan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang luar biasa.

Karena itu, selain masalah yang bersifat global (deforestation dan desertification), dalam proses pembangunan negara-negara Asia muncul masalah yang berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu perluasan kawasan perkotaan, berkurangnya lahan pertanian subur, lahan sebagai obyek spekulasi yang penggunaannya disalahgunakan (T. Kitamura dan S.

Kobayashi, Rural and Use in the Asian Region II Towards Sustainable land Use, Report of an APO Symposiumn, Tokyo, 2002). Karena terjadi di wilayah perdesaan, maka masalah alih fungsi lahan pertanian akan terkait erat dengan pembangunan perdesaan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian secara makro menurut Pierce (2001), konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi.

(24)

Selain dua kekuatan ini memberikan dorongan terhadap alih fungsi lahan, sejumlah faktor lain juga memberikan pengaruhnya. Dari banyak faktor yang mungkin, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu (1) perubahan penduduk, (2) fungsi ekonomi yang dominan, (3) ukuran kota, (4) rata-rata nilai lahan residensial, (5) kepadatan penduduk, (6) wilayah geografis, dan (7) kemampuan lahan untuk pertanian.

Dalam perspektif lain, menurut Lyon, terdapat 3 faktor eksternal yang mempengaruhi proses alih fungsi lahan yaitu (1) tingkat urbanisasi, (2) situasi perekonomian makro, (3) kebijakan dan program pembangunan pemerintah.

2.2. KECENDERUNGAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

Selama ini lahan sawah di pulau Jawa mempunyai peranan yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan pangan (beras) secara nasional karena produktivitas yang tinggi dengan dukungan prasarana irigasi dan sosiostruktur yang paling maju. Hal ini telah mengantarkan Indonesia pada swasembada beras pada tahun 1984 yang hingga kini diupayakan untuk tetap dipertahankan. Namun upaya tersebut tidak mudah dilakukan karena dinamika pertumbuhan perkotaan yang pesat akibat pacuan industrialisasi, permukiman dan transportasi. Dalam kurun 2013-2017 lahan sawah di Pulau Jawa mengalami penyusutan, yang sebagian besar (35,58%), atau sekitar 4.300 Ha per tahun di antaranya terjadi di wilayah Pantura.

Penyusutan luas lahan sawah yang mencolok terjadi pada kurun waktu 2013-2017 yakni seluas 34.374 ha, atau 733% dari luas penyusutan di Pulau Jawa. Penyusutan luas lahan sawah yang besar ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian (transportasi, industri, permukiman dan prasarana lainnya) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perluasan lahan sawah baru.

Jika diamati lebih jauh, kecenderungan alih fungsi lahan sawah sebagian besar terjadi di Kabupaten Brebes. Didasarkan pada data yang lebih rinci menurut kabupaten, pada kurun 2013-2017 di wilayah Kabupaten Brebes terjadi alih fungsi dari lahan sawah ke penggunaan non pertanian

(25)

seluas 32.036 ha atau rata-rata 10.679 ha per tahun, atau sekitar 19,5% dari luas alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Brebes. Sebagian besar lahan sawah tersebut berubah menjadi perumahan (39%) industri (35%) dan transportasi 40%.

Adanya alih fungsi lahan sawah mengakibatkan penyusutan luas lahan sawah secara netto. Dalam kurun waktu 2013-2017 penyusutan lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Brebes sebesar 416,10 ha atau sekitar 138,70 ha per tahun. Ditinjau dari lokasinya, sebagian besar penyusutan luas lahan sawah ini terjadi di desa-desa atau kecamatan di wilayah pantura Brebes.

Penyusutan luas lahan sawah terbesar terjadi dalam kurun 2014 - 2017 yaitu sebesar 190,98 ha. Ditinjau dari jenis pengairannya, luas lahan sawah beririgasi teknis dan setengah teknis sesungguhnya secara keseluruhan tidak mengalami penyusutan. Namun di Brebes mulai tampak penyusutan luas lahan sawah, yang berarti luas lahan sawah beririgasi teknis yang terkonvesi tidak dapat diimbangi lagi dengan perluasan sawah beririgasi teknis baru.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian di kabupaten Brebes selama kurun waktu 2014-2017, lahan sawah berubah menjadi perumahan 351,40; industri 2,40; perkantoran 2,30; lainnya 60,00;

transportasi 190,9; luas alih fungsi lahan 607,08; alih fungsi lahan per tahun 121,416. Diamati dalam kurun 2008 - 2017, dengan unit analisis Kabupaten/

Kota. Studi descriptive-explanatory ini menggunakan data sekunder di Badan Statistik dalam berbagai publikasi. Publikasi BPS tersebut antara lain luas lahan menurut penggunaannya serta produksi tanaman padi (survei pertanian 2008-20017; hasil sensus penduduk 2010, PDRB tiap kabupaten serta provinsi dalam angka)

Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian secara makro? Menurut Pierce (1981), konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi.

Selain kedua kekuatan ini memberikan dorongan terhadap alih fungsi lahan, sejumlah faktor lain juga memberikan pengaruhnya. Dari banyak faktor yang mungkin, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu perubahan penduduk, fungsi ekonomi yang dominan,

(26)

ukuran kota, rata-rata nilai layanan residential, kepadatan penduduk, wilayah geografis, dan kemampuan lahan untuk pertanian. Dalam perspektif lain, menurut Lyon, terdapat tiga faktor eksternal yang mempengaruhi proses konservasi lahan, yaitu (1) tingkat urbanisasi; (2) situasi perekonomian makro; dan (3) kebijakan dan program pembangunan pemerintah.

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode dasar deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara otomatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1983). Penelitian dilakukan di 17 kecamatan di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan salah satu produsen beras di Provinsi Jawa Tengah dengan perkembangan ekonomi yang cukup pesat. Data yang dipergunakan adalah kombinasi antara time series data dan cross section data (pooling data) dengan periode pengamatan tahun 2013-2017.

3.1. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN WILAYAH BREBES JAWA TENGAH SEBAGAI KASUS STUDI

Proses alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian pada dasarnya, menarik dikaji pada tingkat makro (secara spasial pada skala wilayah) atau pada tingkat mikro (secara sosial ekonomi pada skala rumah tangga). Tanpa mengabaikan pentingnya kajian yang bersifat mikro dengan berbagai kelebihannya, penelitian yang dilakukan dalam hal ini masih berada pada tingkat makro spasial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian komprehensif tentang alih fungsi lahan dewasa ini masih sangat kurang.

Karena itu pemahaman secara makro terhadap fenomena konservasi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian masih sangat diperlukan terutama untuk menjadi masukan kebijakan pengendaliannya.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menelaah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di wilayah (Pantura Jawa Tengah studi kasus di Kabupaten Brebes) terutama wilayah-wilayah yang terkena pembangunan jalan tol industrialisasi, dan permukiman.

(28)

Gambar 3.1.

Wilayah Pantura Jawa Tengah

Wilayah Pantura Jawa Tengah secara keseluruhan terdapat 13 Kabupaten 3 Kota :

1. Kabupaten Rembang 2. Kabupaten Pati 3. Kabupaten Kudus 4. Kabupaten Jepara 5. Kabupaten Demak 6. Kabupaten Semarang 7. Kota Semarang 8. Kabupaten Kendal 9. Kabupaten Batang 10. Kabupaten Pekalongan 11. Kota Pekalongan 12. Kabupaten Pemalang 13. Kabupaten Tegal 14. Kabupaten Kota Tegal 15. Kabupaten Brebes.

Penelitian alih fungsi lahan di wilayah Pantura Jawa Tengah ini menetapkan studi kasus di Kabupaten Brebes karena Kabupaten Brebes merupakan penghasil pangan terbesar ketiga di Jawa Tengah.

(29)

3.2. PENDEKATAN

Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif. Untuk mendapatkan informan yang tepat dan sesuai tujuan, teknik pengambilan sampel informan menggunakan teknik purposive sampling.

3.3. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Sumber data, menggunakan data primer kepada pihak-pihak terkait terutama OPD Badan Pertanahan Nasional, Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup/

Permukiman, Dinas Perindustrian, Penanaman Modal, Bina Marga, Bappeda, Camat, Kepala Desa dan Data sekunder dari BPS tentang kecenderungan alih fungsi lahan sawah diamati dalam kurun waktu 10 tahun terakhir : luas lahan menurun penggunaannya, produksi tanaman padi (survei pertanian), Pendaftaran Rumah Tangga dan Statistik potensi desa sensus pertanian dan hasil sensus penduduk, PDRB tiap kabupaten/kota dan provinvi.

2. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumentasi serta FGD.

3. Teknik analisis data menggunakan langkah-langkah analisis menurut Creswell (2010 : 276) yang mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, lebih detail dengan meng-coding data, menerapkan coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis, menunjukkan deskripsi dan tema-tema disajikan kembali dalam narasi/laporan kualitatif, dan mengintepretasikan atau memaknai data.

4. Data primer. Data primer diperoleh dari lapangan dengan cara melakukan wawancara secara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan terbuka dengan informan mengenai alih fungsi yang meliputi : faktor sosial ekonomi, lingkungan, pertanian, dan industri dan transportasi lahan terutama dengan adanya pembuatan jalan bebas

(30)

hambatan (tol), hubungan sosial di desa (Kades, Usaha UMKM, Petani dll yang relevan.

5. Data sekunder, data sekuder diperoleh dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait (Bappeda, Dinas Pertanian, BPN, BPS, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaaan Umum, Industri Dan Perdagangan, Dinas Penanaman Modal, Bagian Perekonomian, Tim Pembebasan Lahan, Kecamatan dan desa), di Kabupaten Brebes yang berupa hasil laporan tentang pengaruh pembuatan jalan tol, selayang pandang, dan lain-lain.

3.4. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini meliputi Kabupaten, Kecamatan- kecamatan, Desa-desa yang ada di Kabupaten Brebes yang terjadi alih fungsi lahan. Sedangkan sampel penelitian diambil secara purposive (anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya). Jumlah sampel 1 kabupaten, 2 kecamatan dan setiap kecamatan diambil desa-desa yang terdapat alih fungsi lahan. Untuk Kabupaten Brebes Kecamatan Losari Desa Bojongsari, Desa Babakan, Desa Kalibuntu dan Desa Dukuhsalam. Kecamatan Bulakamba Desa Banjaratna, Desa Rancawuluh, Desa Kluwut dan Desa Dukuhlo.

3.5. INSTRUMEN SURVEY 3.5.1. Daftar data yang diperlukan

Data sekunder di BPS atau Dinas Pertanian tentang kecenderungan alih fungsi lahan sawah diamati dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir : luas lahan menurun penggunaannya, produksi tanaman padi (survei pertanian), Pendaftaran Rumah Tangga dan Statistik Potensi Desa Sensus Pertanian dan hasil sensus penduduk, PDRB tiap kabupaten/kota dan provinsi.

3.5.2.Daftar sumber data/narasumber/responden

Para pihak terkait pejabat BPN, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Industri Dan Perdagangan, Dinas Penanaman

(31)

Modal, Dinas Sosial, dan Bagian Perekonomian, Camat dan Kepala Desa dalam bentuk FGD.

3.5.3.Pedoman Wawancara 1. Dampak Negatif

a. Berkurangnya lahan pertanian

b. Menurunnya produksi pangan regional c. Ancaman Keseimbangan ekosistem d. Pemanfatan sarana prasarana pertanian e. Pekerja Kehilangan Pekerjaan (Buruh Tani) f. Harga Pangan semakin naik

g. Tingginya Angka urbaniisasi h. Kebijakan pengendalian

i. Pola Spasial dan Faktor-faktor yang mempengaruhi j. Menurunnya Aset UMKM

k. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian tiap kabupaten Brebes

l. Alih fungsi lahan tegalan/ladang/kebun di kabupaten Brebes selama 5 tahun terakhir(dalam Ha).

m. Perkembangan Luas Lahan sawah di Kabupaten Brebes selama 5 tahun terakhir

n. Pola Spasial Alih fungsi Lahan Sawah dan Faktor-faktor yang berpengaruh

o. Faktor eksternal : dinamika pertumbuhan perkotaan p. Faktor Internal

q. Faktor Kebijakan

r. Implikasi Kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah 2. Dampak Positif

a. Kemungkinan meningkatnya investasi di Wilayah Tertentu b. Penyerapan Tenaga Kerja

c. Upaya antisipasi ke depan 3. Pertanyaan

(32)

Daftar Pertanyaan terstruktur

4. Alat dalam proses pengumpulan data

Peralatan yang diperlukan selama proses pengumpulan dan pengolahan data.

3.6. RUANG LINGKUP 1. Lokus

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Brebes 2 Kecamatan dan desa-desa yang terdapat alih fungsi lahan pertanian.

2. Fokus

Fokus dalam pelaksanaan penelitian ini pengaruh alih fungsi lahan (pembuatan jalan tol, industri, permukiman dan lainnya yang meliputi : mengidentifikasi permasalahan alih fungsi lahan pertanian, khususnya lahan sawah, menganalisis pola spasial dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi, menganalisis kebijakan yang mendorong dan memacu terjadinya alih fungsi alih fungsi lahan sawah dan kebijakan pengedaliannya.

3.7. METODE PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Prosedur analisa data mencakup penyuntingan data dan informasi yang dikumpulkan dengan kuesioner, FGD, input data/entry data, validasi data, input data hasil validasi sesuai dengan variabel yang dianalisis.

3.8. DEFINISI KONSEP

Alih fungsi lahan adalah proses transformasi pengalihan sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

(33)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL

Brebes merupakan salah satu kabupaten yang terluas di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap. Sebagian besar wilayah Kabupaten Brebes adalah dataran rendah, bagian barat daya adalah dataran tinggi (dengan puncaknya Gunung Kumbang dan Gunung Pojoktiga), sedangkan untuk bagian tenggaranya sendiri terdapat pegunungan yang merupakan bagian dari Gunung Slamet.

Penduduk di Kabupaten Brebes mayoritas menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, yang memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh daerah yang lainnya, biasanya disebut dengan nama Bahasa Jawa Brebes.

Akan tetapi terdapat pula kenyataan bahwa sebagian dari penduduk Kabupaten Brebes juga bertutur kata dalam Bahasa Sunda serta banyak pula nama tempat yang dinamai dengan menggunakan Bahasa Sunda. Hal ini menunjukan bahwa pada masa lalu wilayah kabupaten ini adalah bagian dari wilayah Sunda.

4.2. POTENSI KABUPATEN BREBES 4.2.1. Pertanian dan perkebunan

Sektor pertanian adalah sektor yang paling dominan di Kabupaten Brebes. Potensi yang besar ini membuat sekitar 70 persennya dari sekitar 1,7 juta jumlah penduduk di Kabupaten Brebes bekerja pada sektor pertanian. Sektor pertanian ini menyumbang hingga 53 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Brebes, yang 50 persennya dari pertanian bawang merah. Budidaya bawang merah sendiri diperkirakan mulai berkembang di wilayah Kabupaten Brebes sekitar tahun 1950, diperkenalkan oleh warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Kabupaten Brebes. Dan hingga kini budidaya bawang merah ini menjadi napas kehidupan mayoritas masyarakat di Kabupaten Brebes.

Bawang merah sendiri bagi Kabupaten Brebes merupakan trade mark, mengingat posisinya sebagai penghasil terbesar komoditi di tataran nasional.

(34)

Pusat bawang merah ini tersebar di 11 kecamatan (dari 17 kecamatan) dengan luas panen per tahun 20.000 - 25.000 hektare. Sentra bawang merah tersebar di Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tonjong, Losari, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Songgom, Jatibarang, dan sebagian Banjarharjo.

4.2.2. Peternakan

Di luar dari sektor pertanian dan perkebunan yang telah disebutkan di atas, Kabupaten Brebes juga mempunyai potensi makanan ternak yang begitu melimpah dan tersebar rata hampir di setiap kecamatan. Kondisi seperti ini menjadikan Kabupaten Brebes ini berkembang, berbagai jenis usaha peternakan baik jenis ternak besar ataupun kecil antara lain : ternak sapi (jenis lokal sapi jabres), domba, kerbau, ayam petelur, kelinci rex, ayam potong, itik dan ayam kampung. Dan lagi yang paling khas dari kabupaten adalah telur hasil ternak itik yang diolah oleh masyarakat setempat menjadi produk telur asin yang popularitas. Atas kualitasnya sangat dikenal dan tidak diragukan lagi, banyak yang menyebut Brebes sebagai Kota Telur Asin.

4.2.3. Kehutanan

Komoditas yang menjadi unggulan di sektor ini adalah pinus, jati, sonokeling dan mahoni yang produksinya cukup mengalami peningkatan.

Sektor ini tersebar di wilayah bagian selatan Kabupaten Brebes.

4.2.4. Pertambangan dan bahan galian

Memiliki potensi sumber daya mineral yang cukup potensial untuk dapat dieksploitasi, seperti trass, batu kapur, batu bata, dan batu splite, serta potensi sumber panas bumi dan minyak bumi.

4.2.5. Cadangan batu bara muda

Di wilayah Kabupaten Brebes yang terletak di bagian selatan, telah ditemukan oleh Kementerian ESDM pada tahun 2008 potensi dari cadangan

(35)

batu bara muda di desa Bentarsari sebanyak 24,24 juta ton dengan memiliki kandungan minyak mencapai 5,30 liter per ton.

4.2.6. Perikanan

Sebagai salah satu daerah yang juga terletak dalam wilayah PANTURA atau pantai utara Pulau Jawa, Kabupaten Brebes sendiri memiliki 5 wilayah kecamatan yang sangat cocok untuk mengembangkan produksi perikanan yakni seperti Kecamatan Brebes, Kecamatan Wanasari, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Tanjung dan Kecamatan Losari. Hasil produksi perikanan yang menonjol sendiri meliputi : udang windu, bandeng, rajungan, kepiting, mujair, teri nasi dan berbagai jenis ikan laut yang lain.

Hasil produk perikanan kini oleh masyarakat setempat telah dikembangkan lagi menjadi usaha pembuatan Bandeng Presto Duri Lunak dan juga terasi.

4.2.7. Pariwisata

Berikutnya kita akan mengenal beberapa objek pariwisata yang ada di Kabupaten Brebes. Baiklah langsung saja kita bahas satu per satu.

4.2.8. Waduk Malahayu

Fungsi waduk yang di samping sebagai sarana irigasi dari lahan pertanian di wilayah Kecamatan Banjarharjo, Kersana, Ketanggungan, Losari, Tanjung dan Bulakamba juga digunakan sebagai pengontrol banjir serta dimanfaatkan pula sebagai sarana rekreasi. Di obyek wisata Waduk Malahayu ini dapat ditemukan panorama alam dari pegunungan yang indah, dikelilingi oleh hutan jati yang luas dan sekarang telah dijadikan bumi perkemahan dan wana wisata.

4.2.9. Waduk Penjalin

Waduk yang dibangun pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial Belanda bersamaan dengan Waduk Malahayu ini, dipersiapkan untuk menyuplai irigasi dari Sungai Pemali bawah dan juga areal persawahan.

Penjalin sendiri dalam Bahasa Jawa berati rotan. Warga sekitar memanfaatkan kekayaan alam yang ada di sekitar waduk sebagai tempat

(36)

untuk mencari nafkah, antara lain untuk mencari ikan, memelihara keramba apung, dan juga pada saat Lebaran warga menyewakan perahu untuk sarana rekreasi air keliling waduk. Pada waktu sekarang ini, waduk tersebut banyak dimanfaatkan warga kota untuk berlibur dan juga bersantai seperti contohnya pengunjung dari Purwokerto, Cilacap, dan Purbalingga.

Di samping waduk penjalin juga terdapat mata air sungai Pemali.

4.2.10. Pantai Randusanga

Pantai Randusanga atau yang lebih dikenal dengan nama Pantai Randusanga Indah (Parin) berlokasi di Randusanga Kulon, sekitar 7 KM ke arah utara dari jalan raya Pantura kota Brebes. Dibangun sekitar tahun 2001, obyek wisata Pantai Randusanga ini sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Brebes dan pada saat ini keberadaannya telah dikelola oleh Kantor Pariwisata Kabupaten Brebes. Di sepanjang jalan menuju Parin akan banyak ditemui hamparan perkebunan bawang merah yang sangat luas, sedangkan pada saat mendekati lokasi pantai, akan banyak ditemui tambak- tambak yang pada umumnya digunakan masyarakat sekitar untuk budidaya bandeng dan juga rumput laut. Di samping itu terdapat Pemandian Air Panas Cipanas Bantarkawung dan Pemandian Air Panas Cipanas Kedungoleng

4.2.11. Cagar Alam Telaga Ranjeng

Cagar alam ini memiliki luas empat puluh delapan setengah hektare, yang terdiri dari hutan damar dan pinus yang mengelilingi telaga.

Sebelumnya Telaga ini merupakan tempat mandi para tokoh dari kerajaan di Jawa. Daya tarik dari Telaga Ranjeng sendiri adalah udara pegunungan yang sangat sejuk, cagar alam, hutan lindung, serta terdapat beribu-ribu ikan lele yang jinak dan juga dianggap keramat serta dianggap sebagai penghuni telaga.

Telaga Ranjeng yang memiliki kedalaman tiga meter, konon ikan lele penunggu hanya dapat diajak bermain-main dan tidak diperkenankan untuk diambil oleh siapapun meski hanya satu ekor. Penunggu telaga bercerita

(37)

bahwa pernah ada seorang wisatawan yang mencoba untuk mengambilnya namun ketika sampai di rumah orang tersebut kemudian sakit-sakitan, dan baru sembuh setelah mengembalikan ikan lele tersebut ke Telaga Ranjeng lagi. Benar atau tidaknya cerita tersebut, yang jelas Telaga Ranjeng adalah aset wisata yang memiliki daya tarik tersendiri sehingga sangat dibutuhkan peran serta dari masyarakat sekitar dan pemerintah untuk mengembangkan potensi dari tempat tersebut. Beberapa potensi lain seperti Mata Air Cibentar, Bentarsari, Salem, Air Terjun Waru Doyong, Mata Air Dua Suhu dan Ciblon Waterboom Brebes.

4.2.12. Agrowisata Kaligua

Argowisata ini berada pada ketinggian 1.200 - 2.050 meter dari permukaan laut. Kondisi udara termasuk sangat dingin, berkisar 8-22°C pada musim penghujan dan mencapai 4-12°C pada musim kemarau.

Wilayah perkebunan teh ini hampir setiap saat diselimuti oleh kabut tebal.

Perkebunan ini terletak di lereng barat Gunung Slamet (3.432 m dpl), yang merupakan gunung tertinggi kedua di pulau Jawa setelah Gunung Semeru.

Keindahan salah satu dari puncak gunung Slamet, yakni puncak Sakub, hal tersebut dapat dinikmati dari perkebunan teh Kaligua ini. Dari tempat ini, jika udara sedang cerah, juga terlihat keindahan dari Gunung Ceremai, wilayah Tegal, serta Cilacap. Beberapa tempat wisata lainnya seperti : Agrowisata Sepoor Teboe PG Jatibarang, Kebun Durian Antap Sari di desa Rajawetan, Tonjong dan Cipanas Jalatunda di desa Ciseureuh

4.3. PEMBAHASAN

Di Pantura Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Brebes terjadi alih fungsi masif dari pertanian subur ke penggunaan nonpertanian terutama dalam wilayah yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pusat-pusat perkotaan yang sangat pesat. Dalam perspektif makro, di negara-negara yang sedang berkembang fenomena alih fungsi lahan pertanian terjadi dalam konteks transformasi struktural perekonomian dan demografis. Transformasi struktural dalam perekonomian, dari yang semula bertumpu pada pertanian

(38)

ke arah yang lebih bersifat industri dan transportasi, serta pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat akan mengakibatkan alih fungsi dari penggunaan pedesaan-pertanian ke penggunaan nonpertanian yang luar biasa.

Karena itu, selain masalah yang bersifat global (deforestation dan desertification), dalam pembangunan negara-negara Asia muncul masalah berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu perluasan kawasan perkotaan.

berkurangnya lahan petanian subur; lahan sebagai obyek spekulasi yang penggunaannya disalahgunakan. Karena terjadi di wilayah perdesaan, maka masalah alih fungsi lahan pertanian terkait erat dengan pembangunan perdesaan. Seiring berkembangnya sistem perekonomian serta meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain pertanian semakin meningkat pula. Pembangunan jalan tol Brebes-Semarang sebagai salah satu contoh kepentingan dalam bidang selain pertanian. Pembangunan, jalan tol tersebut telah dimulai tahun 2014.

Data Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah menunjukkan pembangunan jalan tol Brebes - Semarang sepanjang 148 km melewati 6 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal dan Kota Semarang sepanjang 148 km. Sementara itu jalan tol konstruksi trans Jawa terdiri dari Pejagan - Pemalang, Pemalang - Batang, Batang - Semarang, Semarang - Solo dan Solo - Ngawi. Sedangkan tahap persiapan Non Trans Jawa yaitu : Semarang - Demak, Yogyakarta - Bawen dan Solo - Yogyakarta - Kulonprogo. Dengan demikian tol konstruksi terdiri dari 38 ruas dan persiapan terdiri 23 ruas. Konstruksi 9 ruas Trans Jawa terdiri Pejagan – Pemalang 57,5 km, Pemalang - Batang 39,2 km, Batang - Semarang 75 km, Semarang - Solo 72,64 km, Solo - Ngawi 90,1 km, Ngawi Kertosono 87,02 km, Relokasi Surabaya - Gempol (Porong - Gempol) 10,6 km, Gempol Pasuruan 34,15 km dan Pasuruan - Probolinggo 31,3 km.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan menganalisis kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah kepada terjadinya alih fungsi lahan sawah

Penelitian bertujuan untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi alih

Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi

Untuk menganalisis bagaimana laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten

Faktor-faktor pembentuk persepsi secara serentak berpengaruh signifikan terhadap persepsi pemuda tani terhadap dampak negatif alih fungsi lahan pertanian padi sawah

Pendugaan adanya alih fungsi lahan dituangkan Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian dalam Peta Observasi Indikasi Alih Fungsi Lahan Sawah Tahun 2012-2014, Peta ini

Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor

Diharapannya didapatkan pola penggelolaan lingkungan khususnya strategi penggelolaan air tanah yang tepat bagi wilayah alih fungsi konversi lahan pertanian sawah menjadi lahan