• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP

KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SARAH NUR AMALIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

SARAH NUR AMALIA. Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Searah dengan peningkatan jumlah penduduk juga terjadi peningkatan kebutuhan pangan. Selain itu, yang terjadi sekarang ini adalah perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri, yang menyebabkan permintaan akan lahan bangunan yang semakin meningkat pula. Pemenuhan kebutuhan pemukiman dan lahan terbangun untuk industri dan manufaktur mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor, menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor dan dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor, serta untuk menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari tahun 2002-2011 sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah anggota keluarga, dan jumlah tanggungan. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan mengalami perubahan sebesar Rp 52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun, sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu sebesar Rp 7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp 8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras di Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak tahun 2002 hingga tahun 2011.

(6)

ABSTRACT

SARAH NUR AMALIA. Analysis The Economic Effect of Agricultural Land Conversion in Bogor Regency. Supervised by RIZAL BAHTIAR.

Population growth in Bogor Regency increasing year by year. Along with population growth, there is also increasing food needs that related to agricultural sector. Currently, changes to the transformation of the economic development towards the direction of industrial development and manufacturing. In addition, increasing population growth requires residential development. This case, indicated agricultural land conversion. The aims of the study were to know the rate of agricultural land conversion in Bogor Regency, to find out the factors which affect, and to analyze the economic effect and an appropriate policy in the control of agricultural land conversion. Agricultural land conversion in Bogor Regency has been fluctuated year by year. The average of land conversion in Bogor Regency was 0,01 percent per year or 7,1 hectar per year. On this study showed that the increasing density of society and the paddy productivity were affected to the agricultural land conversion. Meanwhile, the agricultural land

conversion will affect change of the farmer‟s total income before and after land

conversion amount of Rp 52.176 in month. The average income before the conversion amount of Rp 1.931.157 and the average income amount of Rp 2.878,96. Beside the farmer‟s total income, the agricultural land conversion also caused the reducing of paddy production. The average loss of paddy production per hectare converted land was 2.878,96 tons per year, while the average loss production value was Rp 7.771.656.534,60 in paddy forms and Rp 8.518.512.570,00 in rice forms. The estimation result of food security in Bogor Regency showed that rice production has not adequated the needs of rice in 2002-2011.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan

ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP

KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SARAH NUR AMALIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.

Nama : Sarah Nur Amalia

NIM : H44090043

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Nindyantoro, M.Sp dan Ibu Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku dosen penguji atas saran dan masukannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Catatan Sipil Kabupaten Bogor serta dinas terkait lainnya dan kepada Bapak Agus, Bapak Asep, Bapak Mustar serta para kelompok tani di Kecamatan Ciampea yang telah membantu dalam pengumpulan data dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada nenek buyut (Siti Romlah), ayah (Maliyanto), ibu (Salbiah), adik (Siska Nur Hidayah dan Maulana Syahreza Pahlevi) serta seluruh pihak keluarga yang selalu memberi semangat, doa dan mendampingi dalam pembuatan karya ilmiah ini serta teman-teman BOS 46, Keluarga Wisma Ayu, Keluarga BEM TPB 46, BEM FEM Sinergi, BEM FEM Progresif, BEM KM KUN, ESL 46, ODOJ 570, Edukasi Gizi dan para Relawan Turun Tangan atas doa dan dukungannya serta tak terlupa terima kasih pula kepada Korean Exchange Bank, BUMN, serta Dikti selaku pihak yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama proses belajar di IPB ini. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman agar karya ilmiah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian ... 9

2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 10

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 11

2.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ... 13

2.5. Produktivitas Lahan ... 14

2.6. Reforma Agraria (Landreform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan ... 14

2.7. Ketahanan Pangan ... 17

2.8. Penelitian Terdahulu ... 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

IV. METODE PENELITIAN ... 27

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 27

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 28

4.4. Analisis Data... 28

4.4.1. Analisis Deskriptif ... 29

4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan ... 29

4.4.3. Analisis Faktor ... 30

4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda ... 30

4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik ... 35

4.4.4. Analisis Hilangnya Penerimaan Petani ... 37

4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi ... 38

V. GAMBARAN UMUM ... 41

5.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor ... 41

5.2. Kependudukan Kabupaten Bogor ... 42

5.3. Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor ... 43

5.4. Pertanian di Kabupaten Bogor ... 44

5.5. Gambaran Umum Kecamatan Ciampea ... 45

(14)

5.2.2. Pendidikan Formal Responden ... 48

5.2.3. Lama Menetap di lokasi ... 48

5.2.4. Luas Lahan yang dimiliki ... 49

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

6.1. Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor ... 51

6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor ... 54

6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ... 58

6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor ... 61

6.5. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor ... 62

6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Produksi dan Nilai Produksi Padi di Kabupaten Bogor ... 66

6.7. Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor ... 68

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 73

7.1. Simpulan ... 73

7.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 79

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2009–2011 Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 ... 1

2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2008-2012 ... 3

3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010 ... 4

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor ... 4

5. Penelitian Terdahulu ... 19

6. Matriks Metode Analisis Data ... 28

7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011 ... 42

8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Bogor Tahun 2012 ... .. 43

9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor ... 44

10. Rata-rata Hasil per ahektar Tananaman padi Sawah di Masing-Masing Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ... 45

11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea ... 46

12. Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012 ... 47

13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-rata Luas Lahan ... 49

14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ... 53

15. Rata-rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut jenis Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Selama Periode 2002-2011 (dalam Hektar) ... 54

16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor ... 55

17. Hasil Estimasi Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk menjual Lahan Sawah ... 59

18. Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan ... 61

19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Hektar) ... 63

20. Produksi Padi Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ... 64

21. Produksi Beras Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ... 65

(16)

23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun

2002-2011 ... 67

24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ... 68

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Skema Kerangka Pemikiran ... 25

2. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Usia pada Tahun 2013 ... 48

3. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Tahun 2013 ... 48

4. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama Menetap pada Tahun 2013 ... 49

5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ... 49

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kuesioner Penelitian ... 80

2. Peta Tata ruang Wilayah Kabupaten Bogor ... 83

3. Peta Kecamatan Ciampea ... 84

4. Hasil Regresi Linear Berganda ... 85

5. Hasil Regresi Logistik ... 87

6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2011 ... 89

(17)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia memperlihatkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya. Sejalan dengan pertambahan penduduk, terjadi pula peningkatan kebutuhan pangan. Saat ini yang menjadi salah satu agenda global ialah ketahanan pangan dan kemiskinan. Kegagalan riil pencapaian ketahanan pangan akan diidentikkan dengan kemiskinan dan kondisi rawan pangan. Hal ini menyebabkan ketersediaan pangan sangat memerlukan penanganan yang serius dan terencana.

Masalah yang paling pokok dalam menangani ketersediaan pangan akan sangat tergantung pada bagaimana kebijakan nasional di sektor pertanian. Sektor pertanian telah memberikan sumbangsih besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), perolehan devisa melaui ekspor–impor, dan penekanan inflasi. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua setelah industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDRB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.

Lapangan Usaha

Pertanian, peternakan, kehutanan, dan

perikanan 985,40 1.093,5 304,7 313,7

Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2

Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5 597,1 634,2

Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9

Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1

Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2

Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3

Keuangan, persewaaan, jasa perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1

Jasa – jasa 654,7 783,3 217,8 232,5

Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313,8 2.463,2

PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4 2.171 2.321,8

(18)

2

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat besaran kontribusi yang diberikan oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan PDRB Indonesia. Berdasarkan harga berlaku sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp 985,40 triliun dan meningkat sebesar Rp 54,10 triliun menjadi Rp 1.039,50 triliun di tahun 2011. Sedangkan berdasarkan harga konstan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp 304,70 triliun dan meningkat sebesar Rp 9,00 triliun menjadi Rp 313,70 triliun di tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih menyumbangkan PDRB terbesar dibandingkan sektor lain terhadap pembangunan di Indonesia.

Sektor pertanian juga masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sektor–sektor lain di Indonesia dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan data penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2008-2012. Terlihat penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan masih terbesar dibandingkan dengan sektor–sektor lain.

(19)

3 pertanian, perkebunan, dan kehutanan menjadi berkurang, terlebih lagi semakin banyaknya pertambahan penduduk maka alih fungsi lahan pertanian untuk pemukiman akan semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2010), dalam waktu 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun menjadi lahan non pertanian seperti industri dan perumahan, sehingga menyebabkan adanya pengurangan terhadap lahan pertanian.

Besaran kontribusi terhadap lapangan pekerjaan yang diberikan oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan PDRB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2008-2012 (dalam Jiwa)

41.331.706 41.611.840 41.494.941 39.328.915 38.882.134

2. Pertambangan

dan Penggalian 1.070.540 1.155.233 1.254.501 1.465.376 1.601.019

3. Industri 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.542.081 15.367.242

4. Listrik, Gas dan

Air 201.114 223.054 234.070 239.636 248.927

5. Konstruksi 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.811 6.791.662

6. Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa

21.221.744 21.947.823 22.492.176 23.396.537 23.155.798 7. Transportasi,

Pergudangan dan Komunikasi

6.179.503 6.177.985 5.619.022 5.078.822 4.998.260

8. Lembaga

Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan

1.459.985 1.486.596 1.739.486 2.633.362 2.662.216

9. Jasa

Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan

13.099.817 14.001.515 15.956.423 16.645.859 17.100.896

10. Lainnya - - - - -

Total 102.552.750 104.870.663 108.207.767 109.670.399 110.808.154 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2012)

(20)

4

pengadaan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian saat ini, sering terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa, yang merupakan kota–kota pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Semakin besarnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan tingginya sikap kompetitif untuk penggunaan lahan. Salah satu daerah dengan aktivitas perekonomian yang terus berkembang adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Daerah Kabupaten Bogor, saat ini masih banyak didominasi oleh lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan perkebunan. Namun perkembangan ekonomi ini diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4, berikut ini.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)

2004 3.438.055

2005 3.700.207

2006 4.215.436

2007 4.251.838

2008 4.340.520

2009 4.477.344

2010 4.345.915

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan

Tabel 3 tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk secara keseluruhan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2004-2010. Terlihat peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2010. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari yang akan meningkat. Sehingga lahan yang sifatnya relatif tetap dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hal tersebut mengakibatkan, jumlah lahan pertanian akan mengalami penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun.

(21)

5 Kehutanan (RPPK) adalah dimunculkannya wacana pengadaan lahan pertanian abadi pada bulan juni 2005. Lahan pertanian pangan abadi adalah suatu kebijakan yang mengatur mengenai tata guna lahan, khususnya bertujuan untuk melindungi pengalihfungsian lahan pertanian untuk keperluan yang lainnya. Pemerintah menargetkan pencapaian 15 juta ha lahan sawah ditambah dengan 15 juta ha lahan tegalan, yang hanya diperbolehkan digunakan untuk lahan pertanian, dan tidak diijinkan dialihfungsikan untuk penggunaan yang lainnya. Memang tidak mudah untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, namun berbagai upaya konstruktif harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Target pencapaian luasan lahan pertanian pangan abadi seluas 15 juta hektar memerlukan upaya yang kuat. Semangat ini sebenarnya mecerminkan adanya aspek reformasi agraria (land reform). Sehingga pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat erat dengan reforma agraria ini.

1.2 Perumusan Masalah

(22)

6

petani. Kehilangannya lapangan pekerjaan pada petani, menyebabkan penurunan pendapatan bagi rumah tangga petani itu sendiri, sehingga terjadi kemiskinan dan penurunan kesejahteraan petani serta penurunan pada hasil produksi pertanian.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Seberapa besar laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor?

2. Faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi padi di Kabupaten Bogor?

4. Bagaimana langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pentingnya memproteksi aset dan mengendalikan alih fungsi lahan yang ada di Indonesia. Selain itu, dalam penelitian ini juga terdapat tujuan khusus sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian

di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.

4. Menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk kebijakan pemerintahan.

1.4 Manfaat Penelitian

(23)

7 2. Bagi pemerintah daerah maupun pusat, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pembangunan pertanian serta untuk mengendalikan alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bogor.

3. Bagi civitas akademi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul diperlukan batasan penelitian agar lebih fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan non sawah di Kabupaten Bogor.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor eksternal dan faktor internal di wilayah tersebut.

4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah.

(24)
(25)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian

Hampir seluruh sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Tanah berarti bumi, sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan umumnya ada pemiliknya. Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu. Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:

1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan, perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.

2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

Fungsi lahan bagi pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang dihasilkan untuk suatu luas tertentu, adapun fungsi lahan pertanian yang berpengaruh lebih luas adalah menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan serta mempertahankan nilai-nilai budaya. Fungsi lahan bagi para stakeholder memiliki arti penting masing-masing. Fungsi lahan bagi masyarakat, lahan sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan sebagai sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan ialah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyat.

(26)

10

dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use value. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use value, berbagai manfaat yang dapat tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari eksploitasi dari pemilik lahan pertanian.

2.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bagi petani, lahan juga mempunyai arti yang sangat penting. Dari lahan sawah lah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor - faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah maka dengan perubahan struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian ke sektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan demikian lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).

(27)

11 membangun sektor–sektor industri dan jasa. Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo, 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun–tahun yang akan datang dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.

Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah-wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana yang berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi dengan pemukiman sebagai tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah

Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertumbuhan ekonomi, maka laju penggunaan lahan akan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Pakpahan et al (1993), faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan.

(28)

12

dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu, penurunan jumlah luas lahan dan variabel bebas yaitu, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non pertanian.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :

1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan

terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong alih fungsi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian. 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan

yang ada.

(29)

13

2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Menurut Widjanarko et all (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain :

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian, apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka penygangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pegairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya.

Menurut Firman (2005) alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Sedangkan dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

(30)

14

lahan sawah yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang teralihfungsikan. Kerugiannya antara lain penurunan produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usahatani, kesempatan kerja pada kegiatan usahatani, kehilangan manfaat investasi dari lahan teralihfungsikan.

2.5 Produktivitas lahan

Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja, atau air selain terhadap satuan luas lahan (Hildebran, 1987).

Produktivitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari usahataninya. Semakin rendah produktivitas lahan sawah, maka produk yang dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah. Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktivitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengalihfungsikan lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat mengahasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktivitas rendah (Utama, 2006).

2.6 Reforma Agraria (Land Reform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih

Fungsi Lahan

Pengertian reformasi agraria secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :

(31)

15 pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.

2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).

3. Pengaturan hubungan pemilik‐penggarap (UU bagi hasil, dan lain‐lain).

4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada masyarakat.

5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.

6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain‐lain).

Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu :

1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah.

2. Industri berkembang.

3. Secara multiplier akan meningkatkan Gross National Product (GNP).

Hal‐hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya alih fungsi lahan.

Secara konseptual, agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda, yaitu

aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”.

Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam TAP MRP No. 9 tahun 2001 pasal 2, yang menyebutkan bahwa:

“pembaharuan agraria mencakup satu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan

(32)

16

dengan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Undang-Undang Peraturan Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dan amandemen UU tersebut yang sudah sejak tahun 2003 yang telah dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari pada aspek penggunaan.

Landasan hukum dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.

2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada kepala kantor wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya.

(33)

17 lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.

Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.

2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya. 3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket

Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan industri, pemukiman, maupun wisata.

2.7 Ketahanan Pangan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut, ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang memadai dalam setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat 2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari

(34)

18

kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau kepercayaan masing-masing.

3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman dan berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah kalori setiap rumah tangga di Indonesia.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman dan berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat Indonesia.

2.8 Penelitian Terdahulu

(35)

19 Tabel 5. Penelitian Terdahulu

No. Pengarang, Tahun dan

Judul Tujuan Metode Hasilnya

1. Neneng Solihah, 2002,

1. Mengkaji besar alih fungsi lahan sawah dan pola alih fungsi yang terjadi di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis pola alih fungsi lahan sawah di tingkat petani dan aktivitas petani setelah melakukan alih fungsi lahan.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah dan tingkat petani. 4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan

sawah terhadap pendapatan petani.

1. Tabulasi deskriptif 2. Analisis regresi Linier

Berganda.

3. Analisis faktor logit

1. Perubahan lahan sawah di Kabupaten Bogor 1996-2001, secara keseluruhan menurun 2.946 ha atau 491 ha per tahun.

2. Konversi lahan yang terjadi di kabupaten Bogor selama 1998-2001 adalah 19,61% atau 22,9% per tahun sedang non sawah 8,39% atau 2,1% per tahun, dengan kehilangan lahan sawah seluas 76,45 ha untuk non pertanian dan 82,68% untuk perumahan.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah jumlah penduduk, jumlah sarana pendidikan, panjang jalan aspal dan produktivitas lahan sawah. 4. Secara empirik, alih fungsi lahan

sawah menurunkan pendapatan petani.

1. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1994-2003 sebesar 5.407 ha dengan laju sebesar 2,44% per tahun. 2. Rata-rata lahan sawah yang

(36)

20

3. Desi Irnalia Astuti. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan Pertanian Di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor

1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua.

1. Analisis Keterkaitan Harga Lahan terhadap Laju 2. Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Konversi Lahan

1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan Cisarua tahun 2001-2010 terus mengalami peningkatan. Konversi lahan tertinggi terjadi pada tahun 2006, karena ada pertambahan jumlah

(37)

21 perbandingan nilai Land Rent sebelum

dan sesuadah dibangunnya perumahan Pakuan Regency.

4. Menjelaskan pengaruh dari faktor-faktor Land Rent terhadap nilai ekonomi lahan (land rent) pada lahan pertanian dan lahan pemukiman perumahan Pakuan Regency.

mempengaruhi Land Rent sebesar 392 ton Gabah Kering Giling (GKG) dan lahan yang terganggu aliran air irigasinya sebesar 22,4 ton GKG dengan jumlah pendapatan yang hilang Rp 1.141.760.000,00 per tahun. Land Rent pemukiman lebih besar 71,68 kali dibandingkan dengan Land Rent pertanian.

3. Variabel luas lahan dan biaya operasional berpengaruh negatif terhadap land rent pertanian dan variabel penerimaan berpengaruh secara negatif oleh variabel luas lahan, biaya operasional dan pajak,

1. Mengetahui pola konversi lahan sawah yang terjadi dan mengetahui dampak

3. Faktor–faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Dati II Bogor.

1. Pada tahun 1991-2000 jumlah lahan yang terkonversi seluas 19.262 ha. Rata–rata luas lahan yang terkonversi adalah 1.926,2 ha per tahun.

2. Pola konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten bogor terjadi pada jenis lahan sawah irigasi sederhana yaitu 44% dari luas lahan yang terkonversi.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah produktivitas lahan sawah,

1. Mengetahui besaran dan laju konversi lahaan sawah ke penggunaan non sawah di Kabupaten Cirebon.

2. Mengetahui pola konversi lahan sawah yang terjadi dan mengetahui dampak

1. Konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-2004 sebesar 5.872 ha atau sekitar 391,47 ha per tahun.

(38)

22

di Kabupaten Cirebon ekonomi konversi lahan sawah. 3. Menganalisis faktor–faktor yang

berpengaruh terhadap konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di kabupaten Cirebon.

4. Analisis Operasional mengakibatkan kehilangan peluang produksi padi sebesar 42.209,08 ton dengan nilai sebesar Rp

78.086.798.000 jika diasumsikan harga 1 ton gabah kering giling sebesar Rp 1.850.000.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi adalah kepadatan penduduk,

(39)

23

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Permasalahan pembangunan sektor ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang terjadi sangat mempengaruhi ketersediaan lahan pertanian yang ada. Pembangunan sektor ekonomi yang ada dalam suatu wilayah, sangat berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan salah satunya terjadi pada sektor industri. Pertumbuhan sektor industri yang sangat cepat menyebabkan, permintaan akan kebutuhan lahan akan semakin meningkat. Sehingga, lahan yang awalnya berupa lahan pertanian, khususnya sawah kini menjadi lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari akan meningkat pula. Sehingga, lahan yang sifatnya relatif tetap, dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Semakin sempitnya luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah, akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap hilangnya jumlah produksi dan nilai produksi padi dan hilangnya nilai pendapatan rumah tangga petani. Dampak yang dirasakan petani akibat terjadinya alih fungsi lahan yaitu, petani yang pada awalnya merupakan petani pemilik lahan, perlahan mereka mulai berubah kedudukkan menjadi petani penggarap dilahan orang lain, buruh tani, penggarap ataupun beralih ke pekerjaan lain, sehingga nilai pendapatan rumah tangga mereka dapat mengalami peningkatan, penurunan atau bahkan lenyap. Hal tersebut menunjukkan adanya transformasi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan secara fisik. Seperti banjir, kekurangan air, pencemaran air yang akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan masyarakat.

(40)

24

mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk yang akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Secara umum, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi lahan sawah secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang, sedangkan alih fungsi lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan pertanian.

Pengendalian alih fungsi lahan merupakan langkah tinjauan ulang kebijakan pemerintah terkait reforma agraria. Sehingga dari gambaran alih fungsi lahan yang terjadi, pemerintah akan dapat memperhitungkan kompensasi yang harus diberikan untuk mempertahankan lahan pertanian yang ada di Indonesia.

(41)

25

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Analisis Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian

Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non

Pertanian Analisis Pendapatan

Petani dan Alih Kerja

Analisis Produksi Pangan

Penurunan Kondisi Lingkungan Perubahan

Pendapatan Petani

Penurunan Produksi Pangan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Dampak Alih Fungsi Lahan

Pertanian

Peningkatan Kebutuhan Pemukiman Peningkatan Kebutuhan

Lahan Industri Pembangunan

Sektor Ekonomi

Pertumbuhan Penduduk

Peningkatan Usaha Keluarga Non

(42)
(43)

27

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari Juli 2013. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan perkembangan ekonomi yang paling cepat, sehingga memberikan implikasi adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciampea yang dipilih karena pada daerah tersebut produktivitas padi per hektarnya dari tahun 2009-2011 terus mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada gambaran umum mengenai Kecamatan Ciampea di bab selanjutnya.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor. ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan dampak alih fungsi lahan terhadap produksi pangan.

(44)

28

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan kepada petani pemilik lahan yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode sampling non-probability disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui secara pasti.

4.4 Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk tabel yang mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode analisis data yang akan dilakukan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6. Matriks Metode Analisis Data

No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

(45)

29 Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program microsoft office excel 2007, Eviews 7 dan SPSS 18.

4.4.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena (Withney, 1960). Data yang diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penulisan data dan informasi diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan yang terjadi selama pengamatan.

2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data.

3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Dengan menggunakan analisis deskriptif akan diperoleh gambaran mengenai faktor-faktor lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dampaknya terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.

4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih fungsi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009) dalam Astuti (2011). Laju alih fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut :

� = − −1

−1 × 100% ...(4.1)

Dimana :

V = Laju Alih Fungsi lahan (%)

Lt = Luas lahan sawah saat ini/ tahun ke-t (ha)

(46)

30

Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi dengan luas lahan tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Hal ini dapat dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat diperoleh hasil laju alih fungsi setiap tahun.

4.4.3 Analisis Faktor

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian digunakan dua analisis yaitu analisis regresi linier berganda dan analisis regeresi logistik. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal di tingkat wilayah yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal di tingkat petani yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah yang ada.

4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linier berganda. Analisis regresi adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel peubah bebas atau independent (X) dengan variabel peubah tak bebas atau dependent (Y). Hipotesis faktor-faktor dari tingkat wilayah yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

1. Laju pertumbuhan penduduk (persen)

Laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi permintaan terhadap lahan, seperti untuk pemukiman, sarana dan prasarana serta fasilitas umum lainnya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatan permintaan terhadap lahan sehingga mendorong penurunan luas lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian yang semakin tinggi.

2. Luas lahan bangunan dan jumlah industri (unit)

(47)

31 lahan bangunan dan jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.

3. Produktivitas lahan pertanian (ton/ha)

Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka akan meningkatkan penurunan luas lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan karena lahan dianggap memilik opportunity cost.

Persamaan model regresi linier berganda antara peubah-peubah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = α + β1X1+ β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε ...(4.2)

Tanda yang diharapkan :

β i > 0

Dimana :

Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan

α = Intersep

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan β i = Koefisien regresi

ε = Erorr Term

Metode Analisis Linier Berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada Metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode Least Square adalah menduga koefisisen regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Ordinary Least Square (OLS) memiliki beberapa sifat : (1) tidak bias dengan penaksiran varian yang minimum baik linear maupun bukan, (2) konsisten yaitu dengan meningkatnya ukuran sample secara tidak terbatas,

penaksir mengarah ke nilai populasi sebenarnya, dan (3) β0 dan β1 terdistribusi

secara normal (Gujarati 2002).

Langkah awal yang dapat dilakukan dalam pengujian ini adalah dengan pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi diperlukan dalam penelitian ini. Terdapat tiga pengujian, yaitu uji koefisien determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t.

1. Uji Koefisien Determinasi (R-square)

(48)

32

menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersamaan dalam menjelaskan variasi dari peubah tak bebas. Nilai R-squared memiliki besaran yang positif yaitu 0< R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). Rumus R-squared dapat dilihat sebagai berikut.

2 = ...(4.4)

Dimana :

ESS = Explained of Sum Squared TSS = Total Sum of Squared 2. Uji t

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya. Prosedur dalam pengujian Uji t oleh Gujarati (2002) :

H0: β1 = 0

H0: β1 ≠ 0

= �− ...(4.5) Dimana :

b = Parameter dugaan

β1 = Parameter hipotesis

Seβ = Standar error parameter β

Jika t hitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak

berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak,

artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).

3. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau tidak bebas (Y).

Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002): H0= β1 = β2= β3= ... = βi = 0

(49)

33 ℎ = /(/(�−−1)) ...(4.6) Dimana :

JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKG = Jumlah Kuadrat Galat

k = Jumlah variabel terhadap intersep n = Jumlah pengamatan/sampel

Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti

bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas

(Y). Apabila F hitung > F tabel maka H0 diterima dan H1 diterima yang berarti bahwa

variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y).

Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik, sehingga harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik. Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat model tersebut baik atau tidak. Model yang baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.

Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut : H0 : Error term terdistribusi normal

H1 : Error term tidak terdistribusi normal

Dengan kriteria uji :

Jika P-value < α maka tolak H0

Jika P-value > α maka terima H0

Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji Kolmogrov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang di uji dengan data baku.

b. Uji Autokorelasi

(50)

34

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi. Salah satunya adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Besarnya nilai statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):

= �=2( − −1)2 2 �

−1 ...(4.7)

Dimana :

d = Statistik Durbin-Watson ut dan ut-1 = Gangguan estimasi

Pengambilan keputusannya :

- Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autkorelasi positif. - Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lowne bound (dl), maka

koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih

kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.

- Jika nilai DW lebih kecil daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

- Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan. c. Uji Multikolinearitas

(51)

35 d. Uji Heteroskedastisitas

Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi yang biasanya terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dengan tujuan untuk menjadikan ragam homogeni pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser yang dilakukan dengan meregresikan varibel-variabel bebas terhadap nilai residualnya (Gujarati 2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejster lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.

4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik

Analisis regresi logistik digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam pengalihfungsian lahan sawah. Menurut Nachrowi et all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009) :

= � = + � = 1

1+ −� = 1

1+ −( + � ) ...(4.8)

Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718). Dengan aljabar biasa, persamaan dapat di tunjukkan menjadi :

=

1− ...(4.9)

Peubah Pi / 1 - Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yaitu rasio

peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). Dengan persamaan logaritma natural, maka :

� = ln

1− →ln1− =� = + �...(4.10)

Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :

ln

1− =� = + 1�1+ 2�2+ 3�3+ 4�4+ 5�5+ 6�6+� ..(4.11)

Dimana:

(52)

36

α = Intersep

Xi = Faktor –faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan βi = Koefisien regresi

ε = Error Term

Hipotesis faktor-faktor internal yang mempengaruhi tingkat alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan

Semakin kecil pendapatan yang diperoleh petani, maka semakin tinggi keinginan petani untuk melakukan alih fungsi lahan.

2. Jumlah Keluarga (Orang)

Semakin banyak jumlah tanggungan anggota keluarga, maka akan semakin banyak pula kebutuhan yang harus ditanggapi, sehingga tekanan untuk melakukan alih fungsi lahan akan meningkat.

3. Hasil Panen (ton/ha)

Semakin tinggi hasil panen akan memberikan tingkat pengembalian yang besar, sehingga akan mendorong petani untuk mempertahankan lahannya. Alih fungsi lahan yang terjadi akan menurun.

4. Harga Pupuk (Rp/kg)

Semakin meningkat harga pupuk, maka petani akan lebih memilih melakukan alih fungsi lahan daripada mempertahankan lahannya dengan harga pupuk yang tinggi.

5. Harga Benih (Rp/kg)

Harga benih yang tinggi, akan mengakibatkan petani lebih memilih untuk menngalifungsikan lahannya, sehingga alih fungsi lahan akan mengalami peningkatan.

6. Harga Tanah di Sekitar (Rp/ha)

Harga lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan. Semakin tinggi harga lahan, semakin tinggi tingkat alih fungsi lahan di wilayah tersebut.

7. Ketersediaan Irigasi (Dummy)

Gambar

Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha
Tabel 2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Sukoharjo dan kendala-kendala yang dialami dalam

Dampak alih fungsi lahan pertanian pada pendapatan petani tidak selalu buruk hal ini tergantung dari lahan dialih fungsikan menjadi bentuk apa, dari hasil penelitian

Proses alih fungsi lahan sawah menjadi lahan tegal atau dialihfungsikan ke sektor non pertanian menyebabkan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten semakin menyusut (tingkat

Simpulan dari hasil penelitian yang berjudul percepatan alih fungsi (konversi) lahan pertanian ke non pertanian di kecamatan galis kabupaten pamekasan yakni

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan adalah: (a) kondisi lahan dan faktor pertanian

Pengendalian alih fungsi lahan pertanian berbasis kondisi sosial dapat dilakukan melalui upaya: Pemeliharaan Prasarana/Sarana Lahan Usahatani; Mendorong terwujudnya

Simpulan dari hasil penelitian yang berjudul percepatan alih fungsi (konversi) lahan pertanian ke non pertanian di kecamatan galis kabupaten pamekasan yakni

Hasil analisis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan teridiri dari faktor internal dan eksternal, faktor internal lebih melihat sisi yang