• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan Bentuk Pertukaran Sosial pada Setiap Pelaku Usaha

Resiprositas Redistribusi Pertukaran Pasar

mencapai angka 39%. Prinsip dari bentuk pertukaran pasar ini adalah dengan menggunakan sistem ekonomi sebagai dasar dari pertukaran yang terjadi. Pasar (market) dilihat jika dilihat dari aspek sosiologi bertindak sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Motif yang mendasari pertukaran pasar ini sendiri adalah karena masyarakat melihat bahwa ganjaran yang akan didapatkan dari pertukaran adalah dalam bentuk uang. Sesuai dengan prinsipnya, masyarakat pelaku kerajinan bambu ini juga tidak membatasi dengan siapa dia melakukan pertukaran. Meskipun dengan anggota keluarga, masyarakat akan tetap mematok ukuran ekonomi sebagi dasar pertukaran. Akan tetapi, pada kenyataannya masyarakat melakukan sistem pertukaran pasar ini bukan dengan kapasitas sebagai pengrajin, akan tetapi sebagai penyedia bahan baku usaha yang berupa bambu.

Pertukaran pasar tersebut biasanya terjadi diantara pengrajin dengan penyedia bahan baku produksi. Dilingkungan pengrajin dikenal sebuah sistem dimana mereka akan membeli bahan baku kepada pemilik kebun bambu. Ada tiga jenis bambu yang sampai saat ini digunakan sebagai bahan baku, yaitu bambu andong, bambu tali, dan bambu mayan. Bambu andong dibeli oleh para pengrajin dengan harga Rp. 9.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- / batang. Sedangkan untuk bambu tali dan bambu mayan dibeli dengan harga Rp. 4.000,- sampai dengan Rp. 6.000,-/batang. Perbedaan harga tersebut didasarkan pada diameter bambu dan kemampuan yang akan dihasilkan dari setiap bambu. Dimana bambu andong yang berdiameter besar dapat menjadi 4 lembar bilik bambu yang jika dijual akan menghasilkan sekitar Rp. 60.000,- sedangkan untuk satu batang bambu mayan atau bambu tali hanya akan menjadi 2 lembar bilik bambu yang jika dijual akan menghasilkan Rp. 30.000,-.

Bentuk pertukaran pasar juga terjadi diantara pengrajin dan tengkulak/pengumpul bilik bambu. Pertukaran yang terjadi adalah tengkulak akan meminjamkan modal kepada pengrajin senilai dengan harga jual tiap lembar bilik bambu yang dihasilkan para pengrajin. Untuk satu lembar bilik bambu tengkulak akan meminjamkan uang sebesar Rp. 15.000,- yang pembayarannya akan dilakukan dengan memberikan hasil kerajinan yang telah dibuat. Padahal jika para pengrajin melakukan penjualan secara sendiri melalui sistem keliling atau yang biasa disebut dengan ngider maka satu lembar bilik bambu jenis pasar dapat dihargai sekitar Rp. 30.000,-. Akan tetapi, pengrajin pada umumnya lebih menjual kepada pengumpul/tengkulak tadi dikarenakan beberapa prinsip dasar. Yaitu: 1. Prinsip pemenuhan kebutuhan, yaitu pengrajin lebih mempercayai tengkulak

dikarenakan tengkulak tersebut dapat memberikan pinjaman uang yang dapat dipergunakan terlebih dahulu oleh para pengrajin baik untuk membeli bahan baku, atau pun untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

“Kalau saya sih jang lebih terbantu dengan adanya tengkulak itu, soalnya kalau saya pinjam uang untuk modal ke tengkulak kan bisa dipakai dulu uangnya untuk keperluan sehari-hari. Kalau jual bilik sendiri (red: ngider) kan lama, nah untuk makan sehari-hari dari mana atuh kalau bukan pinjam dulu mah ke tengkulak.” YT (50).

2. Prinsip kepastian pasar, yaitu pengrajin melakukan pertukaran dengan tengkulak karena tengkulak telah memiliki pasar yang jelas. Selain itu, pengrajin juga merasa diuntungkan karena mereka tidak harus memasarkan secara langsung hasil kerajinan yang telah dibuat. Meskipun perbedaan harga jual relatif jauh yaitu mencapai angka 100%, pengrajin merasa bahwa meskipun hasil kerajinan mereka dijual dengan harga yang rendah mereka tetap masih diuntungkan.

“Kan prinsip kalau berusaha itu seperti ini, kalau kita sudah tau jelas pasarnya kan lebih baik seperti itu. Meskipun harganya rendah tapi kalau bilik kita terjual kan sudah pasti kita tetap punya keuntungan. Dari pada ngider dalam satu hari belum tentu bisa terjual semua bilik yang kita bawa.” JL (30).

3. Prinsip produktifitas, yaitu pengrajin merasa dengan tidak menjual hasil kerajinan secara langsung dengan berkeliling atau ngider yang bisa menyita waktu satu hari penuh untuk memasarkan enam lembar bilik bambu yang harganya bisa mencapai Rp.180.000,-, maka pengrajin dapat diuntungkan karena dengan hilangnya waktu untuk memasarkan tersebut maka pengrajin dapat membuat kerajinan lebih banyak dan langsung menjualnya meskipun dengan harga yang rendah.

“Ya kalau ibu mah pinjam ke tengkulak itu merasa lebih enak saja. Toh bilik yang ibu buat sudah pasti terjual. Kan kalau bapak harus ngider mah pasti seharian. Padahal sehari itu kalau buat bilik lagi pasti bisa dapat dua lembar. Belum lagi kalau ngider itu kan jaraknya jauh, bisa mencapai 12 Km dengan berjalan kaki.” IN (30)

Resiprositas

Bentuk pertukaran kedua yang dominan adalah resiprositas yang mempunyai presentase sebesar 33%. Reprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antara kelompok yang bersifat simetris. Tanpa adanya syarat hubungan yang simetris pada kenyataannya individu atau kelompok tersebut tidak akan melakukan pertukaran barang dan jasa yang mereka miliki. Hubungan simetris ini merupakan hubungan sosial dimana masing-masing pelaku menempatkan diri mereka dalam suatu peranan yang sama. Selain itu, konsep reprositas juga memerlukan adanya hubungan personal diantara pihak yang terkait. Pentingnya syarat adanya hubungan personal tersebut berkaitan dengan motif dari orang untuk melakukan reprositas yang berbentuk penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Pada umunya, bentuk resiprositas yang terjadi pada masyarakat pelaku kerajinan bambu tidak dilakukan dengan cara membantu pengrajin lain, hal ini dikarenakan masing- masing pengrajin memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannnya masing- masing, sehingga mereka tidak membantu dalam bentuk bentuan pekerjaan. Bantuan yang biasa diberikan biasanya berbentuk pelimpahan pesanan yang tidak bisa tercukupi oleh pengrajin.

“Kalau diantara pengrajin disini sih kita prinsipnya kerja masing- masing, jangankan untuk membantu pengrajin lain, untuk pekerjaan sendiri saja kita kadang tidak bisa selesai semua. Ya paling kalau kita saling membantu itu saat ada pesanan banyak tapi tidak bisa dilaksanakan baru kita minta pinjam produk orang lain dulu untuk memenuhi kebutuhan pesanan itu.” HS (28).

Pelimpahan pesanan yang terjadi merupakan sebuah bentuk interaksi yang terjadi diantara pengrajin dengan perjanjian yang tidak tertulis dan tidak ditentukan batas waktu pengembaliannya. Disaat pengrajin memberikan pelimpahan pesanan tersebut maka secara tersirat telah terjadi sebuah perjanjian dimana pihak yang diberikan pelimpahan pesanan harus melakukan hal serupa jika pengrajin tersebut mendapatkan pesanan dan tidak mampu memenuhi pesanan tersebut.

Redistribusi

Bentuk terakhir yang dilakukan oleh masyarakat pelaku industri kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I adalah redistribusi yang mempunyai presentase sebesar 28%. Redistribusi adalah pemindahan barang atau jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggota- anggota suatu kelompok melalui pusat kepada dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut. Syarat dari redistribusi ini yaitu hubungan yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut.

Alasan rendahnya bentuk redistribusi ini dikarenakan belum meratanya pengetahuan para pengrajin tentang pentingnya kelompok pengrajin. Sampai saat ini, kelompok pengrajin bilik bambu tidak diikuti oleh seluruh pengrajin. Hanya 20 orang saja yang sudah tergabung kedalam kelompok pengrajin. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari tokoh masyarakat ER bahwa masyarakat cenderung ingin melihat kesuksesan kelompok terlebih dahulu sebelum bergabung dengan kelompok pengrajin.

“Yah kalau masyarakat disini sih pengen lihat kesuksesan kelompok dulu baru mau gabung ke kelompok. Soalnya kan emang pendidikan disini mah rendah yah, jadi pengennya liat hasil dulu gitu baru mau kerja.” ER (43)

Bentuk redistribusi yang dilakukan adalah peminjaman modal usaha yang pengembaliannya berdasarkan prinsip cicilan tiap bulan dengan sistem bagi hasil. Dikarenakan kelompok pengrajin tersebut baru berjalan beberapa bulan terakhir, maka efektifitas kelompok pun belum dapat dilihat. Akan tetapi pada umumnya pengrajin tertarik untuk bergabung dengan kelompok pengrajin dikarenakan beberapa hal. Yaitu:

1. Peminjaman modal, merupakan alasan utama pengrajin untuk bergabung dengan kelompok tani. Hal tersebut karena pengrajin mengaku bahwa pengrajin di Desa Gunung Bunder I pada umumnya mengalami kesulitan modal untuk melanjutkan usaha.

“Yang pastimah untuk minjem modal atuh, pan memang rada sulit modal gitu kalau pengrajin disini mah.” AJ (40).

2. Cicilan ringan dan berdasar bagi hasil, denga cicilan yang ringan pengrajin pada umumnya merasakan sangat terbantu dengan adanya pinjaman modal dari kelompok pengrajin. Dengan meminjam modal pada kelompok maka pengrajin dapat menyicil pengembalian pinjama tersebut dengan cara menyisihkan penghasilan yang mereka dapat setiap minggunya.

“Ya kalau pinjem ke kelompok kan lebih gampang lah bayarnya, bisa nyicil seribu dua ribu tiap harinya. Itung-itung ngasih uang jajan anak aja atuh de.” AT (45).

3. Mengihindari sistem ijon, dengan danya pemusatan peminjaman modal pada kelompok pengrajin maka secara tidak langsung akan meminimalisasi peminjaman pada tengkulak atau bank keliling. Menurut pengakuan tokoh masyarakat yaitu bapak ER, dengan banyaknya pengrajin yang meminjam pada kelompok maka semakin sedikit masyarakat yang meminjam pada bank keliling.

“Dulu sebelum ada kelompok sih semua rata-rata minjemnya ke bank keliling, tapi dengan adanya kelompok ini perlahan masyarakat mulai ngerti kalau minjem ke bank keliling itu malah bikin rugi bukan untung.” ER (42)

4. Harapan untuk kepastian pasar, dengan adanya kelompok pengrajin, maka pengrajin diringankan untuk kepastian pasar, hal ini dikarenakan kelompok dengan sendirinya membentuk ikatan diantara pengrajinnya dan membentuk jaringan informasi pemasaran diantara para anggotanya.

“Kalau ada kelompok mah mudah-mudahan aja gampang masarin bilik. Ya gak usah ngider lah. Tapi kita bisa tetep bikin gitu.” OC (50).

Ikhtisar

Polanyi (1968) membedakan pertukaran menjadi tiga pola, yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Klasifikasi tersebut didasarkan pada harapan atau motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transisi. Menurutnya, motif yang mendasari pertukaran, resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk mendapatkan prestise serta kebutuhan ekonomi akan tetapi kebutuhan ekonomi tersebut tidak bersifat komersil. 37

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan data bahwa bentuk pertukaran yang lebih dominan terjadi di kalangan pengrajin di Desa Gunung Bunder I adalah bentuk pertukaran pasar. Bentuk resiprositas yang terjadi pada masyarakat pelaku kerajinan bambu tidak dilakukan dengan cara membantu pengrajin lain, hal ini dikarenakan masing-masing pengrajin memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannnya masing-masing, sehingga mereka tidak membantu dalam bentuk bentuan pekerjaan. Bantuan yang biasa diberikan biasanya berbentuk pelimpahan pesanan yang tidak bisa tercukupi oleh pengrajin. Sedangkan rendahnya nilai untuk redistribusi dikarenakan rendahnya pengrajin yang bergabung dengan kelompok pengrajin.

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU

Bab ini menguraikan mengenai hasil analisis tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai tingkat keberlanjutan usaha, subbab kedua membahas mengenai kapasitas pengrajin, subbab ketiga membahas mengenai keadilan berusaha, dan subbab ke empat membahas mengenai kemandirian pengrajin. Pada akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.

Dokumen terkait