• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh sistem pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha kerajinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh sistem pertukaran sosial pada tingkat keberlanjutan usaha kerajinan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SISTEM PERTUKARAN SOSIAL PADA

TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU

ZAMALUDIN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulPengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Zamaludin

(4)
(5)

ABSTRAK

ZAMALUDIN. Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu. Di bawah bimbingan SAHARUDDIN.

Industri kerajinan merupakan industri yang mempunyai peranan luar biasa terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Penelitian ini membahas mengenai pengaruh sistem pertukaran sosial terhadap tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Hasil Penelitian menunjukan bahwa sitem pertukaran sosial memiliki pengaruh sebesar 29,9%, sedangkan bentuk pertukaran sosial yang paling berpengaruh adalah bentuk redistribusi.

Kata Kunci: Sistem Pertukaran Sosial, Kerajinan Bambu, Keberlanjutan Usaha ABSTRACT

ZAMALUDIN. The Effect of Social Exchange System of the Continuity Bamboo Craft Business. Supervised by SAHARUDDIN.

Craft industry is an industry that has a tremendous role in the Indonesian economy. Based on the data obtained from the Department of Commerce (2007), the average GDP of the craft industry in the period 2002-2006 to reach Rp 29 trillion. This means that the craft industry contributes GDP by 1.76 percent of total national GDP in that period. In the same period, the contribution of the craft industry for employment also produced large, reaching 1.8 million workers. Labor productivity at an average of 16.1 million dollars per worker per year. In addition to GDP and employment, the craft industry has also contributed to export. This research discusses the influence of social exchange on the level of system sustainability bamboo handicraft business in Desa Bunder I. Outcomes Research shows that social exchange has influence sitem of 29.9%, while the form of the most influential social exchange is a form of redistribution.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PENGARUH SISTEM PERTUKARAN SOSIAL PADA

TINGKAT KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU

ZAMALUDIN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu

Nama : Zamaludin

NIM : I34100084

Disetujui oleh

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian berjudul “Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu” dengan baik. Proposal penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan penelitian pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada:

1. Ibunda Enjun, Ayahanda Suhandi, beserta seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk keberhasilan penulis.

2. Dr. Ir. Saharuddin, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.

3. Megawati Simanjuntak S.P M.Si, yang selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

4. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran kuliah serta atas semangat dan motivasi untuk berprestasi.

5. Teman-teman seperjuangan Tuti Artianingsih, Suhartini, Laras Lestari, Agus Harianto, Fingki Ardiansyah, Audi Agung Permadi, dan Muhammad Demmy Bustomi yang selalu menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan keceriaan. 6. Keluarga Bapak Erik dan segenap warga Kampung Legok Nyenang yang

telah membantu selama proses penelitian.

7.

Teman-teman satu bimbingan, Eva Masrifah dan Muhammad Sadri Sugra yang saling menyemangati satu sama lain.

8. Teman-teman seperjuangan SKPM 47 atas semangat dan kebersamaan selama ini.

9. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga terselesaikannya studi pustaka ini

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang sistem pertukaran sosial.

Bogor, Juni 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Teknik Pengumpulan Data 16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELIIAN 19

Kondisi Geografis 19

Kondisi Sosial Budaya 20

Kondisi Ekonomi 21

Ikhtisar 22

KARAKTERISTIK USAHA KERAJINAN BAMBU DI DESA

GUNUNG BUNDER I 23

Potensi Kerajinan Bambu Desa Gunung Bunder I 23

Siklus Produksi Kerajinan Bambu 24

Lama Berusaha dalam Sektor Kerajinan Bambu 25

Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi 25

Ikhtisar 26

KARAKTERISTIK RESPONDEN 29

Jenis Kelamin dan Usia Responden 29

Tingkat Pendidikan Responden 30

Modal Usaha 30

Tingkat Pendapatan Responden 31

Ikhtisar 32

BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA MASYARAKAT PELAKU KERAJINAN BAMBU 33

Pertukaran Pasar 33

Resiprositas 35

Redistribusi 36

(14)

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU 39

Tingkat Keberlanjutan Usaha 39

Kapasitas Pengrajin 40

Keadilan Berusaha 42

Kemandirian Pengrajin 44

Ikhtisar 47

PENGARUH BENTUK PERTUKARAN SOSIAL PADA TINGKAT

KEBERLANJUTAN USAHA KERAJINAN BAMBU 49

Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha 49 Perbandingan Pengaruh Tiap Bentuk Pertukaran Sosial pada

Keberlanjutan Usaha 50

Ikhtisar 51

SIMPULAN DAN SARAN 53

Simpulan 53

Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 57

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1 Jadwal Rencana Pelaksanaan Penelitian Periode Tahun 2013/2014 15

2 Metode Pengumpulan Data 16

3 Tabel Frekuensi Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Gunung

Bunder I 21

4 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kerajinan Bambu

yang Diproduksi 26

5 Skema Kebutuhan Produksi dan Keuntungan Kerajinan Bambu 26 6 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin 29 7 Tabel Frekuensi Jenis Kelamin Responden berdasarkan Kategori

Usia 29

8 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan

Tahun 2014 31

9 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keberlanjutan

Usaha 40

10 Tabel Frekuensi Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat

Kapasitas Pengrajin 41

11 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keadilan

Berusaha 43

12 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kemandirian

Pengrajin 45

13 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan

Kebutuhan Pangan 46

14 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pemenuhan

Kebutuhan Pendidikan 46

15 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Responden 46

16 Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kepercayaan Diri 47 17 Hasil analisis SPSS Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial terhadap

Tingkat Keberlanjutan Usaha 49

18 Hasil analisis SPSS Uji Korelasi Sistem Pertukaran Sosial dan

Tingkat Keberlanjutan Usaha 50

20 Perbandingan Pengaruh Tiap Bentuk Pertukaran Sosial pada

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Kerangka Pemikiran 11

2 Luas Wilayah Menurut Penggunaan 19

3 Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin 20

4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I 21

5 Tingkat Pendidikan Responden 30

6 Tingkat Pendapatan Responden 31

7 Kecenderungan Bentuk Pertukaran Sosial pada Setiap Pelaku

Usaha 33

8 Presentase Tingkat Keberlanjutan Usaha 39

9 Presentase Tingkat Kapasitas Pengrajin 40

10 Presentase Tingkat Keadilan Berusaha 42

11 Presentase Tingkat Kemandirian Pengrajin 45

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Peta Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat 57

2 Hasil Analisis SPSS Penelitian 58

3 Daftar Responden 60

4 Dokumentasi Penelitian 61

5 Kuisioner Penelitian 62

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri kerajinan merupakan sebuah sektor ekonomi yang memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Nilai ekspor dalam industri ini mencapai rata-rata 24,18 triliun rupiah, yaitu menyumbang 3,72 persen dari seluruh ekspor yang dilakukan Indonesia dalam periode tersebut. Hal ini berarti bahwa kinerja yang optimal dari industri kerajinan dapat memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.

(18)

dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja para pengrajin. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal), berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata.

Berlakunya sistem pertukaran tersebut sesuai dengan penyataan Zulaikha (2008) bahwa dalam pengembangan industri kerajinan masyarakat diperlukan upaya merger antar IKM yang berkaitan atau yang sejenis agar terjalin suatu kerja tim. Pada satu tim pengrajin dapat dibagi beberapa kelompok tugas khusus dan saling bersinergi satu sama lain, misalnya bagian bahan baku/peralatan, bagian desain merangkap penjamin mutu, bagian teknik dan bagian pemasaran. Dalam penelitiannya Zulaikha juga mengungkapkan terdapat dua faktor yang menyebabkan industri kerajinan mengalami penurunan kinerja. Faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang perlu dibenahi adalah kualitas dan mentalitas SDM kerajinan tradisional, kegagapan terhadap perkembangan teknologi, kurangnya wawasan tentang pemasaran serta desain. Faktor eksternal yang menghambat perkembangan industri kerajinan tradisional antara lain adalah tingginya tingkat persaingan dengan komoditi sejenis dari wilayah lain, kenaikan ongkos produksi akibat kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan BBM, bahan baku yang semakin menipis, maraknya penyelundupan produk impor dan bencana alam.

Menurut Ndara (1990) dalam Nurlina (2009) Pengembangan sumber daya manusia akan tampak dari banyaknya manusia pembangunan yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan masa depan, yang mengandung implikasi: memiliki kemampuan (capacity), keadilan berusaha (equity), keberdayaan/kekuasaan (empowerment), ketahanan atau kemandirian

(sustainability), dan kesalingtergatungan (interdependence). Dengan kata lain, dengan pembangunan sumber daya manusia yang baik, maka keberlanjutan usaha dari kerajinan dapat terus berjalan.

Salah satu wilayah yang memiliki potensi kerajinan yang sangat tinggi adalah Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa ini merupakan sebuah desa dengan potensi hutan bambu yang juga dijadikan sumber bahan baku kerajinan masyarakat. Kerajinan bambu yang diproduksi diantaranya bilik bambu, kerajinan kandang ternak, dan beberapa kerajinan lain yang sudah menjadi kebudayaan turun temurun masyarakat. Diketahui berdasarkan suurvey awal yang telah dilakukan bahwa kerajinan bambu ini sudah ada sejak tahun 1960-an dan masih bertahan hingga kini.

Perumusan Masalah

(19)

pemasaran hasil produksi. Berdasarkan teori pertukaran sosial, pertukaran tersebut terbagi menjadi tiga bentuk yaitu resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Untuk itu, apa bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial yang terjadi pada masyarakat pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu?

Bertahannnya usaha kerajinan tersebut tentu sangat berkaitan dengan keberlanjutan usaha pengrajin. Pengukuran mengenai keberlanjutan usaha, menggunakan tiga hal pokok, yaitu: Kapasitas pelaku usaha (pengrajin), keadilan berusaha, dan kemandirian pelaku usaha (pengrajin). Untuk itu, bagaimanakah keberlanjutan usaha pengrajin bilik bambu?

Pertukaran yang berlangsung diantara pengrajin tersebut akan berpengaruh pada tiga variabel tingkat keberlanjutan usaha pengrajin bambu di Desa Gunung Bunder I. Untuk itu, Bagaimana pengaruh bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial pada keberlanjutan usaha pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu?

Tujuan Penelitian

Penelitian dengan judul “Pengaruh Sistem Pertukaran Sosial pada Tingkat Keberlanjutan Usaha Kerajinan Bambu” ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk pertukaran sosial pada masyarakat pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu.

2. Mengidentifikasi keberlanjutan usaha pengrajin bilik bambu.

3. Menganalisa pengaruh bentuk-bentuk sistem pertukaran sosial pada keberlanjutan usaha pelaku ekonomi kerajinan bilik bambu.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk pertukaran sosial pada masyarakat pengrajin di Kabupaten Bogor. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian terkait sistem pertukaran sosial.

2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai karakteristik rumah tangga pengrajin dan strategi nafkah yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

3. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut kerajinan tradisional.

(20)
(21)

PENDEKATAN TEORETIS

Tinjauan Pustaka

Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi. Tidak sedikit pengertian mengenai kewirausahaan yang saat ini muncul seiring dengan perkembangan ekonomi dengan semakin meluasnya bidang dan garapan. Kewirausahaan sering dikaitkan dengan proses, pembentukan atau pertumbuhan suatu bisnis baru yang berorientasi memperoleh keuntungan, penciptaan nilai dan pembentukan produk atau jasa baru yang unik dan inovatif. Kewirausahaan juga merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses (Sya'roni 2012).

Konsep usaha sendiri memiliki beberapa komponen penting, yaitu :

1. Konsep Pasar: Pasar dimana produsen menawarkan produknya kepada konsumen potensialnya tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. Oleh karena itu, para produsen hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menentukan pasar produsen yang diinginkan.

2. Konsep Perusahaan: Konsep perusahaan disebut juga sebagai konsep lingkungan internal perusahaan. Elemen-elemen lingkungan internal perusahaaan dibagi atas elemen fungsional dan tingkatan manajemennya. Secara fungsional, lingkungan internal perusahaan terdiri atas fungsional pemasaran, SDM, keuangan, produksi/operasi dan manajemen. Sementara itu, berdasarkan tingkatan manajemennya, lingkungan internal perusahaan terdiri atas tingkat atas, menengah dan tingkat bawah.

3. Konsep Persaingan dan Lingkungan Eksternal: Selain konsep lingkungan internal, konsep bisnis juga memiliki lingkungan eksternal, yaitu kondisi-kondisi yang berada di luar perusahaan dan tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. Kondisi-kondisi ini meliputi; kondisi politik, sosial, kemajuan teknologi, legal/hukum, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

4. Konsep Perubahan: Kondisi kehidupan dan dinamisasi dunia akan terus mengalami perubahan setiap saat, begitu juga dengan dunia bisnis. Lingkungan eksternal bisnis, seperti situasi politik, ekonomi dan lainnya juga akan terus berubah. Demikian pula situasi pasar, sikap konsumen, perilaku konsumen serta daur hidup produk juga akan mengalami dinamisasi dan perubahan.

(22)

manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru, atau menghasilkan gagasan-gagasan yang mengejutkan pihak lain dalam menghasilkan hal yang bermanfaat.

Sya'roni (2012) juga menyebutkan inovasi dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan ide dalam sekumpulan informasi yang berhubungan diantara masukan dan luaran. Dari hal tersebut terdapat dua hal yaitu inovasi produk dan inovasi proses yang merupakan suatu perubahan yang terkait dengan upaya meningkatkan atau memperbaiki sumber daya yang ada, memodifikasi untuk menjadikan sesuatu bernilai, menciptakan hal-hal baru yang berbeda, merubah suatu bahan menjadi sumber daya dan menggabungkan setiap sumberdaya menjadi suatu konfigurasi baru yang lebih produktif baik langsung atau pun tidak langsung. Dalam prakteknya inovasi didasari atas tahapan pengenalan, persuasi, pengambilan keputusan, implementasi, dan konfirmasi yang sesuai dengan kemampuan mengadopsi baik aktif (innovator, early adopter, dan early majority)

dan pasif (late majority dan laggard) (Hubeis 2005) dalam Sya'roni (2012). Industri Kerajinan

Menurut Afiff (2012) kerajinan (craft) adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu dan besi), kaca, porselen, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal).

Berdasarkan data yang didapatkan dari Departemen Perdagangan (2007), rata-rata nilai PDB industri kerajinan dalam periode 2002-2006 mencapai Rp 29 triliun. Ini berarti bahwa industri kerajinan memberi kontribusi PDB sebesar 1,76 persen terhadap total PDB nasional pada periode tersebut. Dalam periode yang sama, sumbangan industri kerajinan untuk lapangan pekerjaan yang dihasilkan juga besar yakni mencapai 1,8 juta pekerja. Produkivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 16,1 juta rupiah per pekerja pertahun. Selain PDB dan penyerapan tenaga kerja, industri kerajinan juga memiliki kontribusi terhadap ekspor. Nilai ekspor dalam industri ini mencapai rata-rata 24,18 triliun rupiah, yaitu menyumbang 3,72 persen dari seluruh ekspor yang dilakukan Indonesia dalam periode tersebut. Hal ini berarti bahwa kinerja yang optimal dari industri kerajinan dapat memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.

Pertukaran Sosial

(23)

sosial, mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan pelaku, terakhir ada dimensi waktu yang akan menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung.

Mustafa (2011) menjelaskan bahwa tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial (Sosial Exchange Theory) antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, seseorang melakukan hubungan pertukaran dengan orang lain dilatarbelakangi oleh adanya imbalan yang didapatkan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi

(reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan. Perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.

Mustafa (2011) juga menjelaskan berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya ”Elementary Forms of Sosial Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi”. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : ”Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah ”distributive justice” aturan yang

mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tinggi pengorbanan, makin tinggi imbalannya dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.

(24)

oleh proposisi tentang individu sebagai individu, bahwa perilaku yang terjadi adalah untuk berinteraksi.Homans mendefinisikan pertukaran sosial sebagai pertukaran aktivitas, berwujud atau tidak berwujud, dan lebih atau kurang menguntungkan atau rugi, yang dilakukan paling sedikit dua orang. Homans menjelaskan perilaku sosial dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dihasilkan oleh interaksi sosial dengan menunjukkan bagaimana perilaku A diperkuat perilaku B (dalam hubungan dua pihak antara aktor A dan B), dan bagaimana perilaku B diperkuat perilaku A dengan imbalan. Ini adalah dasar yang jelas untuk interaksi sosial melanjutkan menjelaskan pada "sub-kelembagaan" tingkat.Kondisi historis dan struktural yang ada diambil seperti yang diberikan.Nilai ditentukan oleh sejarah aktor penguatan yang menjadi awal dalam hubungan pertukaran. Fokus utama Homans 'adalah perilaku sosial yang muncul sebagai akibat dari proses sosial saling memperkuat (reinforcement). Hubungan juga bisa berakhir atas dasar kegagalan penguatan.

Struktur pertukaran sosial dijelaskan oleh Blau (1964) dalam Cook dan Rice (2003) yang mengembangkan formulasi teoritis yang bisa membentuk dasar untuk teori struktur makro-sosial. Yaitu Usahanya untuk membangun hubungan antara teori mikro-sosiologis perilaku dan teori makro-sosial struktur sosial. Selain upaya untuk membangun sebuah teori makro-sosial struktur atas dasar teori mikro-sosial perilaku, Blau mengidentifikasi proses sosial generik dan mekanisme bahwa dia dipandang sebagai operasi di berbagai tingkatan organisasi sosial. Ini termasuk tindakan kolektif, legitimasi, oposisi, konflik, dan kerjasama. Karya ini menetapkan panggung untuk sejumlah perkembangan dalam teori pertukaran lama kemudian pada tindakan kolektif, pembentukan koalisi, keadilan dan status.

Inti dari teori pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Pelaku pertukaran sosial sendiri akan melakukan pertukaran tersebut secara berulang apabila mendapatkan ganjaran (reward) dan tidak akan melakukan pertukaran tersebut apabila mereka mendapatkan kerugian (cost) yang tinggi akibat pertukaran tersebut.

Polanyi (1968) dalam Hudayana (1991) membedakan pertukaran menjadi tiga pola, yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Klasifikasi tersebut didasarkan pada harapan atau motif-motif yang ingin diperoleh para partisipan dalam melakukan transisi. Menurutnya, motif yang mendasari pertukaran, resiprositas dan redistribusi adalah kebutuhan untuk mendapatkan prestise serta kebutuhan ekonomi akan tetapi kebutuhan ekonomi tersebut tidak bersifat komersil.

(25)

hubungan personal tersebut berkaitan dengan motif dari orang untuk melakukan reprositas yang berbentuk penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Ada tiga macam reprositas yang kita kenal, yaitu: reprositas umum, reprositas sebanding, dan reprositas negatif. Akan tetapi selain tiga jenis reprositas tersebut swartz dan Jordan (1976) dalam Hudayana (1991) juga menambahkan reprositas simbolik. Dalam reprositas umum, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lainnya tanpa menentukan batas waktu mengembalikan. Dalam hal ini, masing-masing pihak percaya pihak bersangkutan akan memberikan balasan meskipun tidak jelas waktunya. Reprositas simbolik merupakan salah satu bentuk dari reprositas umum ini, suatu adat kebiasaan memberi dan menerima sebagai media untuk menjalin hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi.

Reprositas sebanding menekankan pada barang dan jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Dalam pertukaran ini, masing-masing pihak pihak membutuhkan barang atau jasa dari partnernya namun masing-masing tidak menghendaki untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang diterima. Dengan kata lain pada reprositas ini diberlakukan dengan jelas aturan dan norma yang mengatur berlangsungnya reprositas. Sedangkan jenis yang terakhir yaitu reprositas negatif yang merupakan reprositas yang menggunakan sistem jual beli dalam pelaksanaannya atau lebih dikenal juga dengan pertukaran pasar.

Redistribusi yaitu pemindahan barang atau jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggota-anggota suatu kelompok melalui pusat kepada dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut. Syarat dari redistribusi ini yaitu hubungan yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut. Di zaman modern ini redistribusi dapat berupa pajak, fiskal, retribusi, dan sejenisnya yang dilakukan pemerintah yang selanjutnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk subsidi, bantuan, pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, dan lainnnya.Pertukaran pasar yaitu distribusi yang dilakukan atau terjadi melalui pasar. Dalam kajian sosiologi, pasar dibedakan menjadi pasar sebagai tempat pasar (market place) dan pasar (market). Pasar sebagai tempat pasar merupakan bentuk fisik dimana barang dan jasa dibawa untuk dijual dan dimana pembeli bersedia membeli barang dan jasa tersebut. Sedangkan pasar (market) dilihat oleh sosiologi sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Selain itu, kajian sosiologi pada aspek distribusi dapat dilihat dari beberapa hal lain, yaitu transportasi, perdagangan, kewirausahaan, uang, pemberian, perusahaan, ritel, dan lain-lain.

Dengan penjabaran mengenai pola atau jenis pertukaran sosial tersebut, maka pertukaran sosial dapat terjadi dalam tiga bentuk. Yaitu: reprositas, redistribusi, dan pertukaran pasar. Reprositas sendiri dibagi kedalam tiga jenis yaitu reprositas umum, reprositas sebanding, dan reprositas negatif.

(26)

Keberlanjutan Usaha

Prinsip keberlanjutan usaha (going concern principle) adalah asumsi bahwa suatu entitas akan tetap berada dalam bisnis di masa mendatang. Entitas tidak akan terpaksa untuk menghentikan operasi dan melikuidasi aset dalam waktu dekat. Dengan asumsi ini, akuntan dibenarkan untuk menunda pengakuan beban tertentu sampai waktu kemudian, ketika entitas masih akan berada dalam bisnis dan menggunakan asetnya dengan cara yang paling efektif.

Prinsip ini berlaku sepanjang tidak ada informasi penting yang bertentangan dengannya. Contoh informasi yang bertentangan tersebut adalah ketidakmampuan entitas untuk memenuhi kewajibannya tanpa terpaksa harus menjual aset secara obral untuk mendapatkan dana cepat atau merestrukturisasi utang. Jika situasi ini terjadi, maka nilai aset-aset itu harus dicatat dengan nilai likuidasi mereka.

Umumnya, asumsi keberlanjutan usaha tidak diterapkan bila auditor menilai bahwa kelangsungan hidup entitas tidak lebih dari satu tahun setelah tanggal laporan keuangan yang diaudit. Penilaian itu dilakukan auditor dengan mempertimbangkan hal-hal seperti tren negatif hasil operasi, kredit macet, penolakan piutang dagang dari pemasok dan proses hukum kepailitan. Perusahaan dapat memperbaiki pendapat auditor mengenai status keberlanjutan usaha dengan mendapatkan jaminan hutang dari pihak ketiga atau injeksi dana tambahan yang diperlukan (kamusbisnis.com).

Sebuah usaha dikatakan akan berlanjut jika dapat memenuhi komponen konsep usaha yaitu konsep pasar, konsep perusahaan, konsep persaingan dan lingkungan eksternal, dan konsep perubahan. Dengan kata lain jika sebuah perusahaan dapat memenuhi komponen konsep usaha secara baik, maka usahanya akan terus berlanjut. Beberapa identifikasi menunjukan bahwa terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menjadi penyebab berkesinambungannya sebuah perusahaan (De Geus 1997 dalam Burhan 2004) yaitu :

1. Perusahaan yang berumur panjang (berkesinambungan) adalah perusahaan yang memiliki sensitivitas terhadap lingkungan. Meskipun perusahaan yang bersangkutan melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi, atau memiliki sumberdaya alam yang banyak mereka akan tetap menjaga harmonisasi dan kestabilan lingkungan.

2. Perusahaan yang berkesinambungan adalah perusahaan yang menjaga nama besar serta memiliki kohesivitas/keterikatan yang kuat terhadap identitasnya. Tidak peduli berapa luasnya diversifikasi usaha yang dijalankan perusahaan, manajemen, karyawan bahkan mitra bisnisnya merasakan berada dalam satu entitas.

3. Perusahaan yang berkesinambungan memiliki toleransi dan menghindari suatu kontrol yang terpusat, ditangan satu orang entah itu eksekutif maupun owner, melainkan selalu berusaha mengembangkan desentralisasi dan pembagian wewenang sesuai konsep bisnis yang dikembangkannya.

(27)

Berdasarkan konsep Chambers dan Conway (1992) dalam Nurlina (2012) menjelaskan bahwa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha ada tiga, yaitu: Kapasitas pelaku usaha, keadilan berusaha, dan kemandirian pelaku usaha. Dalam penelitiannya Nurlina melakukan penelitian terhadap hubungan partisipasi dengan keberlanjutan usaha anggota koperasi. Dari penelitan tersebut didapatkan hasil bahwa tingkat keberlanjutan usaha seluruh responden dikatakan cukup. Dan tingkat partisipasi anggota berhubungan positif dengan tingkat keberlanjutan usaha anggota koperasi, dengan nilai korelasi rank Spearman (rs) sebesar 0,489, dan jika diinterpretasikan ke dalam aturan Guilford termasuk hubungan yang cukup berarti.

Kerangka Pemikiran

Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, pengrajin tradisional masih dapat dikatakan sebagai sektor ekonomi yang dapat bertahan seperti kerajinan bilik bambu tradisional yang terdapat di Desa Gunung Bunder I. Beberapa hal yang menyebabkan pengrajin tradisional masih bertahan adalah karena kelembagaan yang menjadi hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana pengrajin tradisonal dalam bertindak. Salah satu bentuk kelambagaan yang terjadi dalam masyarakat pengrajin adalah sistem pertukaran sosial diantara para pengrajin. Secara umum, interkasi yang terjalin diantara para pengrajin akan menciptakan sebuah pola hubungan yang juga akan menentukan bagaimana bentuk sistem pertukaran yang terjadi. Ketiga bentuk pertukaran pasti ditemui pada setiap individu pengrajin, yang membedakan adalah waktu dan situasi saat bentuk pertukaran tersebut terjadi. Perbedaan bentuk ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dari pengrajin tersebut. Salah satunya adalah sebagai upaya untuk melanjutkan usaha yang telah dilakukan. Keberlanjutan usaha yang dapat diukur dari tiga aspek yaitu: kapasitas pengrajin, keadilan berusaha, dan kemandirian pengrajin ini secara garis besar akan dipengaruhi oleh bentuk pertukaran yang telah terjadi. Untuk itu kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: Mempengaruhi

(28)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Setiap bentuk pertukaran mempengaruhi variabel tertentu dalam keberlanjutan usaha.

Definisi Operasional

Definisi operasional dan peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sistem pertukaran sosial adalah suatu pola interaksi antar individu dengan individu lain yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan

(cost) dan keuntungan (profit). Pengukuran dari bentuk sistem pertukaran sosial ini adalah dengan menggunakan skala likert dengan pemberian skor 4 untuk setuju (S), 3 untuk ragu-ragu (R), 2 untuk tidak setuju (TS) dan 1 untuk tidak tahu atau tidak menjawab (TT). Pertukaran sosial dapat dibedakan kedalam tiga bentuk. Yaitu: resiprositas, redistribusi, dan pertukaran ekonomi. Total skor dari setiap bentuk akan menentukan bentuk pertukaran yang dominan pada setiap individu.

a. Resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antara kelompok yang bersifat simetris. Syarat dari resiprositas ini adalah hubungan simetris antar pelaku dan menekankan pada barang dan jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Dalam kasus resiprositas yang terjalin di kalangan pengrajin adalah bentuk pertukaran satu orang pengrajin dengan individu lain yang dalam hal ini barang/jasa yang dipertukarkan adalah barang/jasa yang bersifat sederhana dan sebanding. Misalnya rasa saling tolong menolong antar pengrajin yang tidak jelas perjanjian kapan barang/jasa tersebut harus dikembalikan. Pengukuran dari resiprositas ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai resiprositas. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat resiprositas dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdsarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian.

(29)

yang asimetris yang ditandai oleh adanya peranan individu tertentu dengan wewenang yang dimiliki didalam kelompok untuk mengorganisir pengumpulan barang dari anggota kelompok untuk di distribusikan kembali ke seluruh anggota kelompok tersebut. Dalam kasus redistribusi yang terjadi di kalangan pengrajin adalah pengumpulan asset melalui kelompok yang hasilnya aan digunakan pula untuk kepentingan kelompok. Pengukuran dari redistribusi ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai redsitribusi. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat redistribusi dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian.

c. Pertukaran ekonomi yaitu distribusi yang dilakukan atau terjadi melalui pasar. Dalam kajian sosiologi, pasar dibedakan menjadi pasar sebagai tempat pasar (market place) dan pasar (market). Pasar sebagai tempat pasar merupakan bentuk fisik dimana barang dan jasa dibawa untuk dijual dan dimana pembeli bersedia membeli barang dan jasa tersebut. Sedangkan pasar (market) dilihat oleh sosiologi sebagai suatu institusi sosial, yaitu suatu struktur sosial yang memberikan tatanan siap pakai bagi pemecahan persoalan kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan dasar ekonomi dalam distribusi barang dan jasa. Pengukuran dari pertukaran pasar ini dengan menggunakan skala likert yang berisi tentang pernyataan mengenai rpertukaran pasar. Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat pertukaran pasar dalam masyarakat pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian.

2. Tingkat keberlanjutan usaha adalah ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha dapat berlanjut dimasa yang akan datang. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha adalah Kapasitas Pengrajin, Keadilan Berusaha, dan Kemandirian Pengrajin. Pengukuran dari tingkat keberlanjutan usaha adalah dengan menggunakan skala likert dengan pemberian skor 4 untuk setuju (S), 3 untuk ragu-ragu (R), 2 untuk tidak setuju (TS) dan 1 untuk sangat tidak tahu atau tidak menjawab (TT). Hasil skor yang didapatkan akan menentukan tingkat keberlanjutan usaha pengrajin yang dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian tersebut dilakukan dengan sistem emik atau membagi kategori berdasarkan nilai yang didapatkan dalam penelitian.

a. Kapasitas pengrajin adalah penilaian pada individu pengrajin yang dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu kreativitas, inovasi, kerjasama, pengambilan resiko, dan evaluasi usaha.

(30)

i. Kreativitas adalah menghubungkan dan merangkai ulang pengetahuan di dalam pikiran-pikiran manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru, atau menghasilkan gagasan-gagasan yang mengejutkan pihak lain dalam menghasilkan hal yang bermanfaat.

ii. Inovasi adalah perubahan ide dalam sekumpulan informasi yangberhubungan diantara masukan dan luaran.

iii. Kerjasama adalah bentuk interaksi antar individu dimana individu tersebut saling membantu untuk mewujudkan tujuan yang sama.

iv. Pengambilan resiko adalah bentuk perilaku individu yang dapat mengambil sebuah keputusan untuk melakukan satu tindakan dengan mengetahui dampak yang akan timbul apabila tindakan tersebut gagal dilakukan.

v. Evaluasi usaha adalah penilaian yang dilakukan terhadap usaha yang telah dilaksanakan.

b. Keadilan Berusaha adalah variabel terkait dengan kewajaran dalam melakukan usaha, dimana usaha tersebut harus dapat memberikan keuntungan untuk setiap pelaku yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal tersebut dapat diukur dengan melihat pembagian kerja dan keuntungan yang didapatkan pelaku usaha.

i. Pembagian kerja adalah posisi yang didapatkan seorang untuk mengerjakan suatu tugas tertentu dalam suatu pekerjaan. Dalam lingkup kerajinan bambu pembagian kerja ini dibagi kedalam dua jenis pekerjaan, yaitu sebagai pengrajin (produksi) dan bagian pemasaran. ii. Keuntungan usaha adalah total penerimaan dikurangi dengan modal

yang telah dikeluarkan dalam melakukan usaha kerajinan bambu c. Kemandirian pengrajin adalah sikap dan prilaku pengrajin yang mampu

memenuhi segala keperluannya dalam melakukan usaha. Hal ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, dan mempertahankan usaha. i. Pemenuhan kebutuhan adalah tingkat dimana keinginan manusia

terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan kepuasan jasmani maupun rohani dapat terpenuhi.

ii. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang menunjukan bahwa dirinya mampu mengembangkan penilaian positif, baik untuk dirinya, lingkungan, maupun situasi yang sedang dihadapinya.

(31)

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi Dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Gunung Buder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor memiliki potensi kerajinan tradisional yang tinggi dan tepat untuk dijadikan objek penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penelusuran hasil penelitian dari beberapa peneliti terdahulu. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar empat bulan dan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 1. Jadwal Rencana Pelaksanaan Penelitian Periode Tahun 2013/2014 Aktivitas Maret April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal

skripsi Kolokium

Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data

Penulisan draft skripsi Sidang skripsi

Perbaikan skripsi

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan skunder. Data primer diperoleh melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan, sementara data skunder diperoleh dari data data berupa dokumen kependudukan Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan pamijahan, Kabupaten Bogor dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait sistem pertukaran sosial.

Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh pengrajin yang tersebar di Desa Gunung Bunder 1, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu pengrajin yang berjumlah 35 orang. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan.

(32)

secara purposive atau sengaja. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari kepala aparat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat pengrajin. Adapun panduan wawancara mendalam bisa dilihat pada Lampiran 6. Selain itu data kualitatif juga diperoleh melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena faktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data kependudukan.

Tabel 2. Metode Pengumpulan Data

No. Jenis Data Teknik Pengumpulan Data

Kuisioner a.Responden

e. Motivasi dalam melakukan pertukaran sosial

Wawancara mendalam a.Responden b.Informan

Analisis Dokumen a. Data

pemerintahan desa

Teknik Pengolahan Dan Analisis Data

(33)

hasil kuisioner diuji dengan menggunakan Uji Korelasi dan Analisis Regresi Linear dengan menggunakan SPSS for Windows version 20.0. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Berikut adalah formula dalam uji t analisis regresi linear:

(34)
(35)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi kedalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai gambaran Desa Gunung Bunder I, subbab kedua membahas tentang kondisi demografi penduduk Desa Gunung Bunder I, subbab ketiga membahas tentang potensi kerajinan bambu Desa Gunung Bunder I, dan bab terakhir membahas tentang ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.

Kondisi Geografis

Desa Gunung Bunder I merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa Gunung Bunder I terbagi kedalam 8 RW, dan 34 RT. Adapun batas-batas wilayah Desa Gunung Bunder I sendiri sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Desa Cibening - Sebelah Timur : Desa Kali Ciampea - Sebelah Selatan : Desa Gunung Bunder - Sebelah Barat : Desa Gunung Picung

Desa Gunung Bunder I memiliki luas wilayah 328,67 Ha2, dimana setengah dari luas wilayahnya berupa lahan sawah seluas 155,22 Ha2, luas pemukiman 88 Ha2, dan luas perkebunan mencapai 55 Ha2, dan selebihnya digunakan untuk prasarana umum. Secara umum wilayah Desa Gunung Bunder I memiliki bentuk wilayah berbukit dan dialiri oleh sungai-sungai kecil di sebagian wilayahnya. Sungai ini lah yang biasanya menjadi pembatas diantara satu kampung dengan kampung lainnya.

Gambar 2. Luas Wilayah Menurut Penggunaan.

88

Pemukiman Persawahan Perkebunan Kuburan Pekarangan Perkantoran Prasarana umum lainnya

Ha2

luas wilayah menurut penggunaan

(36)

Kondisi Sosial Budaya

Jumlah penduduk di Desa Gunung Bunder I berdasarkan data pemerintahan Desa tahun 2012 mencapai angka 8640 jiwa dengan jumlah kepala keluarga mencapai angka 2195 KK, penduduk laki-laki di Desa Gunung bunder I berjumlah 4408 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 4232 jiwa. Kepadatan penduduk sendiri mencapai 729 jiwa/Km2.

Kondisi pendidikan di Desa Gunung Bunder I sendiri dapat dikatakan tergolong rendah. Dari total seluruh penduduk, didapatkan data bahwa 7669 jiwa penduduk termasuk kedalah kategori belum/tidak bersekolah. Semantara, pendidikan SD ditempuh oleh 622 jiwa, SMP berjumlah 208 jiwa, SMA berjumlah 131 jiwa, dan pendidikan S1 hanya ditempuh oleh 10 jiwa.

Gambar 3. Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin

Jika dilihat dari tingkat pendidikan menurut jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, kesenjangan diantara masyarakat yang mengenyam bangku pendidikan dan masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan sangat tinggi. Yaitu tercatat masyarakat yang tidak bersekolah mencapai angka 7669 jiwa yang berarti 88,8% masyarakat di Desa Gunung Bunder I tidak bersekolah, sementara hanya 971 jiwa atau 11,2% yang dapat mengenyam bangku pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan di Desa Gunung Bunder I dikarenakan akses masyarakat yang tergolong sulit terhadap pendidikan. Tidak jarang masyarakat harus menempuh jarak 2 Km dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah. Hal tersebut karena bentuk wilayah yang berbukit dan banyak masyarakat yang tinggal di pelosok. Selain itu, dikarenakan jarak yang jauh maka kesadaran akan pentingnya pendidikan pun sangat minim. Hal ini terlihat dari banyaknya anak yang putus sekolah di wilayah ini. Alasan utama mereka putus sekolah diantaranya adalah karena jarak dan keharusan membantu ekonomi keluarga.

3920

Tidak Sekolah SD SMP SMA S1

Tingkat Pendidikan Menurut Jenis Kelamin

(37)

Tabel 3. Tabel Frekuensi Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Gunung Bunder I Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

Tidak Sekolah memanfaatkan potensi alam yang tersedia. Luas persawahan yang mencapai 155Ha menjadi sebuah potensi masyarakat dalam usaha pertanian. Selain itu, potensi perkebunan juga nampak di desa ini, dengan kondisi udara dan kesuburan tanah yang mendukung, maka desa ini juga sangat cocok untuk wilayah perkebunan sayuran.

Berdasarkan data kependudukan Desa Gunung Bunder I, Mata pencaharian utama dari masyarakat dibagi kedalam sembilan sektor. Dimana mata pencaharian utama dari masyarakat Desa Gunung Bunder I adalah sebagai buruh tani yaitu mencapai angka 1258 jiwa usia produktif, disusul dengan mata pencaharian sebagai petani sebesar 788 jiwa usia produktif. Sementara, untuk jumlah pengrajin industri rumah tangga sendiri sebesar 96 jiwa yang tersebar kedalam beberapa sektor industri rumah tangga seperti kerajinan bambu dan kerajinan kue tradisional.

Jenis tanaman yang ditanam oleh petani di Desa Gunung Bunder cukup beragam, mulai dari padi, singkong, ubi, talas, dan sayuran yang berupa mentimun, kacang panjang, buncis, terong, dan lain-lain. Selain itu potensi perkebunan yang sangat dominan adalah kebun bambu, jambu merah, dan pepaya.

Gambar 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I

788

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Petani

Mata Pencaharian Penduduk Desa Gunung Bunder I

Mata Pencaharian

(38)

Ikhtisar

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk pertukaran sosial dan pengaruhnya pada tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I. Pertukaran sosial yang terdiri dari tiga bentuk yaitu resirositas, redistribusi, dan pertukaran pasar (ekonomi) ini berlaku secara bersamaan di masyarakat. Akan tetapi, terdapat dominasi suatu bentuk pertukaran yang terjadi. Pertukaran yang berupa interaksi antar pengrajin ini sedikit banyaknya akan mempengaruhi keberlanjutan usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I.

(39)

KARAKTERISTIK USAHA KERAJINAN BAMBU DI DESA GUNUNG BUNDER I

Bab ini menguraikan mengenai karakteristik usaha kerajinan di Desa Gunung Bunder I yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai potensi kerajinan bambu Desa Gunung Bunder I, subbab kedua membahas mengenai lama berusaha dalam sektor kerajinan bambu, subbab ketiga membahas mengenai jenis kerajinan bambu yang diproduksi, dan di subbab akhir diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.

Potensi Kerajinan Bambu Desa Gunung Bunder I

Wilayah Desa Gunung Bunder I yang kaya akan potensi alam merupakan modal utama kehidupan masyarakat. Salah satu potensi alam tersebut adalah potensi hutan bambu yang menyebar di seluruh kawasan Desa Gunung Bunder I. Potensi bambu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di lingkungan RW 08 sebagai modal utama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi atau menjadi mata pencaharian masyarakat dengan maraknya profesi sebagai pengrajin bilik bambu.

Mata pencaharian sebagai pengrajin bilik bambu sudah dilakukan oleh masyarakat di wilayah RW 08 Desa Gunung Bunder I dari generasi ke generasi. Berdasarkan penelusuran jejak sejarah kerajinan bambu ini diketahui bahwa usaha ini sudah ada sejak tahun 1960an, dimana masyarakat menganggap profesi sebagai pengrajin bilik bambu adalah salah satu profesi yang menjadi identitas RW 08 atau Kampung Legok Nyenang. Terdapat tiga jenis bambu utama yang digunakan oleh masyarakat dalam membuat bilik bambu. Yaitu:

1. Bambu andong (Gigantochloa verticillata), Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) dalam Dirga (2012), bambu andong atau bambu gombong memiliki sinonim antara lain Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja, Bambusa pseudoarundinaceae Steudel dan Gigantochloa 13 maxima Kurtz, dan memiliki nama daerah berupa Pring Sunda, Awi Andong (Sunda), Buluh Batuang Danto (Padang, Sumatera). Karakteristik dari bambu ini adalah buluh yang berwarna hijau kekuningan dab terdapat garis sejajar disepanjang buluhnya.

2. Bambu mayan (Gigantochloa robusta), Bambu Mayan disebut juga awi mayan (Sunda) atau pring serit (Jawa) merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di daerah tropis yang lembab dan kering. Bambu mayan mempunyai rumpun yang simpodial, padat dan tegak (Dirga 2012).

(40)

Siklus Produksi Kerajinan Bambu

Produksi kerajinan bambu sendiri masih menggunakan teknik yang sangat sederhana, baik dari alat yang digunakan maupun dari segi pengolahan bahan baku dari pasca panen, produksi, sampai metode penjualan. Dalam satu siklus produksi rata-rata memakan waktu tiga hari. Secara umum proses dari pembuatan kerajinan bilik bambu terdiri dari beberapa proses. Yaitu:

1. Proses persiapan bahan baku. Bahan baku produksi biasanya didapatkan dari daerah sekitar desa. Satu kali proses penebangan pengrajin rata-rata menggunakan dua sampai empat batang bambu. Selanjutnya bambu akan dibersihkan dari daun hingga siap ke proses berikutnya.

2. Proses ngahua atau proses penipisan bambu. Pada proses ini bambu yang sudah dibersihkan akan di belah secara vertikal mengikuti serat bambu menjadi empat bagian. Selanjutnya bambu diratakan dan ditipiskan dengan menggunakan pisau kecil atau golok, biasanya satu batang bambu dapat menghasilkan 40 hingga 50 lembar bambu tipis dengen ketebalan 0,5mm. 3. Proses penjemuran bambu. Penjemuran bambu hasil penipisan biasanya

dilakukan sampai satu hari di bawah sinar matahari. Proses penjemuran ini lah yang biasanya memakan waktu yang paling lama. Biasanya pengrajin menyiasatinya dengan menganyam bahan yang sudah disiapkan di hari sebelumnya sehingga pengrajin dapat produktif.

4. Proses penganyaman. Pada proses ini satu lembar bilik biasanya dianyam dengan waktu empat sampai enam jam sesuai dengan jenis bilik yang akan dibuat. Untuk bilik pasar rata-rata dibutuhkan waktu menganyam sekitar tiga jam, sedangkan untuk bilik motif dibutuhkan waktu sekitar empat jam untuk menganyam satu lembar bambu.

Pemasaran hasil kerajinan sendiri dilakukan oleh kepala keluarga. Pemasaran hasil kerajinan bambu ini dibedakan menjadi dua cara yaitu:

1. Sistem ngider atau berkeliling. Dalam sistem pemasaran berkeliling pengrajin akan memikul kerajinan bilik bambu yang telah di produksi dengan berjalan kaki. Jarak yang ditempuh oleh pengrajin selama berkeliling adalah 7 – 15Km. Dengan menggunakan sistem berkeliling ini pengrajin akan mendapat keuntungan lebih dibanding dengan sistem lain, karena pada sistem ini produk dijual langsung kepada konsumen sehingga tidak melalui perantara dan harga yang di sepakati nilainya lebih tinggi.

2. Menjual ke tengkulak atau pengepul. Dalam sistem ini pengrajin akan menjual produk kerajinan bambu pada pengepul yang ada disetiap kampung. Sistem ini mempunyai keunggulan yaitu sudah jelasnya pasar yang akan dicapai, akan tetapi, harga yang disepakati nilainya akan lebih rendah.

(41)

Lama Berusaha dalam Sektor Kerajinan Bambu

Industri kerajinan rumah tangga bilik bambu merupakan kerajinan yang sudah menjadi identitas di Desa Gunung Bunder I. Pengrajin pada umumnya sudah menggeluti usaha ini sejak usia remaja. Berdasarkan data hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata pengrajin sudah menggeluti usaha ini selama 25 tahun. Dengan lama usaha terendah yaitu selama 8 tahun dan pengrajin yang paling lama menggeluti usaha ini selama 45 tahun.

Selain bekerja sebagai pengrajin, beberapa responde juga melakukan pola nafkah ganda yaitu dengan bekerja disektor lain. Berdasarkan data yang diperoleh, 9 responden juga berprofesi sebagai buruh tani. Akan tetapi, profesi sebagai buruh tani tersebut hanya berlangsung disaat masa tanam tiba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari responden KR.

“Kalau sedang ada kerjaan di sawah ya pasti dikerjain atuh. Pan lumayan nambah-nambah buat makan.” KR (40)

Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi

Jenis kerajinan bambu yang terdapat di Desa Gunung Bunder I berupa kerajinan bilik bambu. Pada perkembangannya, produk kerajinan bilik bambu di Desa Gunung Bunder I ada tiga jenis. Yaitu:

1. Bilik pasar, yaitu merupakan jenis bilik bambu yang bahan utamanya adalah bagian dalam atau daging bambu sehingga untuk satu pohon bambu dapat menghasilkan 2 lembar bilik pasar. Ciri utama dari bilik pasar ini adalah lebar dari setiap bahan yang digunakan berkisar antara 4-5cm. Bilik jenis pasar yang berukuran 2 x 2 meter ini biasa dijual dengan harga yang rendah yaitu berkisar antara Rp.15.000,- untuk penjualan melalui tengkulak/pengepul dan Rp.30.000,- jika menjual langsung melalui sistem berkeliling atau ngider. berkisar antara Rp.90.000,- hingga Rp.100.000,-.

3. Bilik motif atau bilik kembang, yaitu merupakan jenis bilik bambu yang bahan utamanya menggunakan kulit bambu dan kulit pohon kirai dengan ukuran 4 x 2 meter. Bilik bambu jenis kembang ini mempunyai keunikan dalam produksinya, yaitu kulit pohon kirai yang pada awalnya berwarna hijau akan direndam dalam lumpur selama 2 minggu hingga kulit tersebut berubah warna menjadi hitam. Warna tersebut lah yang kemudian dianyam bersama kulit bambu hingga membentuk suatu motif tertentu. Harga jual dari satu bilik motif ini berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.120.000,-.

(42)

Berdasarkan data yang diperoleh, 19 responden (54%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar. 3 orang (9%) bertindak sebagai pengrajin bilik motif, dan 13 orang (37%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar dan bilik motif.

Tabel 4. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kerajinan Bambu yang Diproduksi

Jenis Kerajinan Bilik Frekuensi Persentase (%) Bilik Pasar

Bilik Motif

Bilik Pasar + Bilik Motif

19

Perbedaan pola produksi tersebut berdasarkan pada perbedaan keahlian pengrajin dan akses sumberdaya informasi pengraji terkait dengan tempat mendapatkan bahan baku tambahan bilik berupa kulit kirai. Banyak responden mengakui bahwa alasan utama mereka tidak menggeluti usaha kerajinan bilik motif dikarenakan sulitnya mendapatkan bahan baku. Untuk skema kebutuhan produksi dan keuntungan kerajinan bambu ini dapat dilihat dalam tabel 6.

Tabel 5. Skema kebutuhan produksi dan keuntungan kerajinan bambu No. Jenis

Produk

Biaya Produksi / unit Total Biaya

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa biaya produksi kerajinan bambu pada umumnya hanya berupa biaya bahan baku saja, sedangkan untuk biaya tenaga kerja dan biaya produksi lainnya dianggap tidak ada. Hal ini dikarenakan pengrajin di Desa Gunung Bunder I pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar melainkan tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga pengrajin sendiri. Jika dilihat dari keuntungan, bilik kulit dan bilik motif memang memiliki keuntungan yang paling besar. Akna tetapi, meskipun keuntungan yang ditawarkan begitu besar, hanya beberapa pengrajin saja yang menggeluti bidang bilik motif tersebut.

(43)

ini selama 45 tahun. Untuk jenis kerajinan bambu yang diproduksi, 19 responden (54%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar. 3 orang (9%) bertindak sebagai pengrajin bilik motif, dan 13 orang (37%) bertindak sebagai pengrajin bilik pasar dan bilik motif.

(44)
(45)

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Bab ini menguraikan mengenai karakteristik responden penelitian di Desa Gunung Bunder I yang terbagi ke dalam beberapa subbab. Subbab pertama membahas mengenai jenis kelamin dan usia responden, subbab kedua membahas mengenai tingkat pendidikan responden, subbab ketiga membahas mengenai tingkat pendapatan responden, dan di subbab akhir diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.

Jenis Kelamin dan Usia Responden

Pada penelitian ini, responden adalah pengrajin bilik bambu di wilayah RW 08 Desa Gunung Bunder I yang terdiri dari 3 kampung, yaitu Kampung Legok Nyenang, Kampung Legok Indah, dan Kampung Pasir Salam. Responden terdiri dari 35 pengrajin dengan 30 responden berjenis kelamin laki-laki dan 5 responden berjenis kelamin perempuan. Responden berusia antara 25 tahun hingga 75 tahun.

Tabel 6. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Laki-laki

Usia responden diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan teori perkembangan Hurlock (1980) dalam Angelie (2014) yakni menjadi dewasa awal (18 – 40 tahun), usia madya atau dewasa akhir (41 – 60 tahun), dan usia tua atau usia lanjut (lebih dari 60 tahun). Pengkategorian responden berdasarkan tingkat usia dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 7. Tabel Frekuensi Jenis Kelamin Responden berdasarkan Kategori Usia Kategori Usia Laki-laki Perempuan

N % N %

Dewasa Awal (18-40 tahun) Dewasa Madya (41- 60 tahun) Usia Lanjut (>60 tahun)

10 33,3 4 80

17 56,7 1 20

3 10,0 0 0

Total 30 100 5 100

(46)

Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tidak bersekolah dan tamat sekolah dasar. Responden yang tidak bersekolah yaitu sebanyak 18 responden, sedangkan untuk responden yang tamat sekolah dasar sebanyak 17 responden. Rendahnya pendidikan responden dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Diantaranya adalah karena jarak yang jauh dari RW 08 ke akses pendidikan. Akses terdekat ke fasilitas pendidikan adalah 2 Km dengan berjalan kaki.

Pada umumnya responden mendapatkan pendidikan informal mengenai kerajinan bilik bambu dari lingkungan sekitarnya termasuk dari pembelajaran orang tua. Responden mengakui bahwa kemampuannya dalam membuat kerajinan bilik bambu didapatkan dari orang tua melalui cara membantu saat responden berhenti sekolah.

Gambar 5. Tingkat Pendidikan Responden Modal Usaha

Sumber modal utama pengrajin di Desa Gunung Bunder I terdiri dari dua sumber, yaitu modal pribadi (17 responden) dan modal dari tengkulak (18 responden). Modal pribadi terdiri dari modal uang dan kepemilikan kebun bambu. Dari 35 responden, 7 diantaranya memiliki modal berupa kebun bambu yang berarti bahwa responden tidak perlu membeli bahan baku bambu untuk produksi skala kecil dan hanya membeli bambu untuk keperluan tambahan saja.

Untuk responden yang mempunyai modal dari tengkulak sendiri terdapat 18 responden, dimana mereka meminjam sejumlah uang kepada tengkulak yang pengembaliannya berupa produk jadi yang siap dipasarkan. Besar pinjaman kepada tengkulak biasanya tergantung pada kebutuhan setiap responden. Akan tetapi rata-rata responden meminjam kepada tengkulak sebesar Rp. 150.000,- setiap minggunya yang akan mereka gunakan untuk membeli bahan baku dan memenuhi kebutuhan rumah tangga.

(47)

Tingkat Pendapatan Responden

Tingkat pendapatan responden dalam satuan tahun dibagi kedalam tiga kategori. Yaitu rendah, sedang dan tinggi. Untuk responden dengan kategori rendah berjumlah 19 responden (54%), kategori sedang berjumlah 11 responden (32%) dan kategori tinggi berjumlah 5 orang (14%). Berdasarkan data yang diperoleh, pendapatan rata-rata responden selama satu tahun adalah Rp. 8.108.571,- dengan pendapatan terkecil yang diperoleh responden adalah sebesar Rp. 3.600.000,- sedangkan untuk pendapatan tertinggi yaitu Rp. 36.000.000,-. Yang merupakan pencilan dari data pendapatan masyarakat yang diperolah. Perbedaan pendapatan yang begitu signifikan tersebut dikarenakan perbedaan jenis kerajinan bilik bambu yang diproduksi. Responden ES mengakui bahwa dengan memproduksi kerajinan bilik bambu jenis motif maka penghasilannya akan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi bilik pasar. Hal tersebut dikarenakan nilai jual dari bilik jenis motif lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya.

“ES (38) : Alhamdulilah saya sama bapak sih produksinya bilik motif terus. Soalnya kalau bilik pasar kan semuanya sudah pada bikin, nah kebetulan kalau saya fokusnya ke bilik ini (motif) aja. Kan harga jualnya juga lebih tinggi dibandingkan bilik pasar. Kalau bilik pasar mah Cuma Rp. 15.000,- tapi kalau bilik motif mah bisa sampai Rp. 100.000,- tiap lembarnya.”

Gambar 6. Tingkat Pendapatan Responden

Tabel 8. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Tahun 2014

Tingkat Pendapatan Frekuensi Persentase (%) Rendah ( < Rp.7.200.000 )

Sedang (Rp.7.200.001 – Rp. 10.800.000 ) Tinggi ( > Rp.10.800.000 )

(48)

Iktishar

Karakteristik usaha kerajinan bambu di Desa Gunung Bunder I terkait dengan karakteristik responden, tingkat pendidikan responden, tingkat pendapatan responden, lama berusaha disektor kerajinan bambu, dan jenis kerajinan bambu yang diproduksi. Berdasarkan karakteristik responden, responden terdiri dari 35 pengrajin dengan 30 responden berjenis kelamin laki-laki dan 5 responden berjenis kelamin perempuan. Responden berusia antara 25 tahun hingga 75 tahun.Responden yang tidak bersekolah yaitu sebanyak 18 responden, sedangkan untuk responden yang tamat sekolah dasar sebanyak 17 responden.

Gambar

Gambar Judul
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1.  Jadwal Rencana Pelaksanaan Penelitian Periode Tahun 2013/2014
Tabel 2.  Metode Pengumpulan Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rendahnya pencapaian skor TOEP tersebut juga diperkuat dengan penelitian awal di lapangan yang diperoleh dari Lembaga Pengembangan Ilmu- ilmu Dasar dan

Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran

[r]

Analisis pada kajian ini telah menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian tentang pendapat masyarakat terhadap penggunaan bahasa asing di ruang publik.Mereka kurang bangga

Lombok, Nusa Tenggara Barat sebagai strategi peningkatan investasi asing bidang kepariwisataan berupa insentif keringanan pajak sebesar 25 %, pemangkasan izin

Bakteri ini berbentuk filamen atau benang dan menyerang tubu bgian luar, terutama insang.Seluruh stadia hidup udang panaeid dapat terngsang oleh mikroorganisme ini

Aplikasi Katalog Online merupakan website yang dibangun untuk mempermudah mahsiswa dalam mencari buku yang tersedia di suatu perpustakaan, sehingga mahasiswa tersebut bisa

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, alasan Pencabutan 7 (Tujuh) Peraturan Daerah Kota Bogor Yang Mengatur Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, meliputi: