• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat keberlanjutan usaha adalah ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana sebuah usaha dapat berlanjut dimasa yang akan datang. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha adalah Kapasitas Pengrajin, Keadilan Berusaha, dan Kemandirian Pengrajin. Tingkat keberlanjutan usaha dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu: rendah, sedang, dan tinggi. pembagian ketiga kategori tersebut berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan skala likert yang berupa pembagian tiga kuadran hasil skor kuisioner.

Berdasarkan data yang telah diperoleh, tingkat keberlanjutan usaha kerajinan bambu masyarakat lebih dominan berada pada tingkat rendah yaitu mencapai angka 54%, sedang 37%, dan tinggi yang hanya mempunyai presentase sebesar 9%. Pengukuran tersebut mencerminkan bagaimana masing-masing indikator mempunyai dampak pada tingi atau rendahnya tingkat keberlanjutan usaha.

Gambar 8. Presentase Tingkat Keberlanjutan Usaha

Rendah 54% Sedang 37% Tinggi 9%

Tingkat Keberlanjutan Usaha

Tabel 9. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keberlanjutan Usaha Tingkat Keberlanjutan Usaha Frekuensi Presentase (%) Rendah (skor 71 – 80) Sedang (skor 81 – 90) Tinggi ( skor 91 – 100) 19 13 3 54 37 9 Total 35 100 Kapasitas Pengrajin

Kapasitas pengrajin adalah penilaian pada individu pengrajin yang dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu kreativitas, inovasi, kerjasama, pengambilan resiko, dan evaluasi usaha. Kapasitas pengrajin di Desa Gunung Bunder I sendiri terdiri dari tiga kategori yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kategori tersebut berdasarkan skor kemampuan responden yang diukur berdasarkan kuisioner penelitian.

Hasil analisis data menunjukan bahwa 13 orang atau 37% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang rendah, hal ini menunjukan bahwa pengrajin di Desa Gunung Bunder I cenderung memiliki nilai yang rendah pada masing-masing variabel kapasitas pengrajin. 14 orang atau 40% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang sedang, dan 8 orang atau 23% responden mempunyai kapasitas sebagai pengrajin yang tinggi. Perbedaan yang signifikan antara persentase tingkat keberlanjutan usaha dan persentase tingkat kapasitas pengrajin menunjukan bahwa dalam kapasitas pengrajin terdapat variabel yang memiliki skor rendah, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan usaha.

Gambar 9. Presentase Tingkat Kapasitas Pengrajin

Rendah 37% Sedang 40% Tinggi 23%

Kapasitas Pengrajin

Tabel 10. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kapasitas Pengrajin Kapasitas Pengrajin Frekuensi Persentase (%) Rendah (skor 31 – 38) Sedang (skor 39 – 46) Tinggi (skor 47 – 55) 13 14 8 37 40 23 Total 35 100

Perbedaan dari masing-masing responden pada tingkat kapasitas pengrajin ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya:

1. Kreatifitas pengrajin di Desa Gunung Bunder I cenderung tidak berkembang. Kreatifitas adalah menghubungkan dan merangkai ulang pengetahuan di dalam pikiran-pikiran manusia yang membiarkan dirinya untuk berfikir secara lebih bebas dalam membangkitkan hal-hal baru. Rendahnya kreatifitas dari pengrajin tersebut dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya informasi yang didapatkan oleh pengrajin. Rendahnya informasi tersebut berpengaruh pada kemampuan untuk mendapatkan ide dan gagasan dari luar untuk di ubah menjadi hal baru untuk menambah nilai guna produk kerajinan yang dihasilkan.

“Ya saya mah pendidikan juga cuma SD, jadi kalau buat pola atau motif yang lain ya susah. Belum lagi disini susah dapat informasinya. Jangankan untuk buat produk baru, untuk tau model yang sedang disuka konsumen aja belum tau.” DR (38).

2. Inovasi adalah perubahan ide dalam sekumpulan informasi yangberhubungan diantara masukan dan luaran. Inovasi di tingkat pengrajin dapat dikatakan sangat rendah. Hal ini dikarenakan pengrajin pada umumnya merasa sudah berada di zona aman dalam berusaha. Hal ini terbukti dari bentuk kerajinan bilik bambu yang masih memiliki bentuk yang sama dari awal hingga kini.

“Kalau untuk buat model yang baru sih agak susah. Soalnya dari dulu juga motif ini yang sering dicari pelanggan. Pernah sih dulu coba mambuat kerajinan lain, tapi gak berlanjut karena bingung harus jual kemana, sementara kalau motif bilik yang sekarang kan itu sudah dikenal dan pasarnya jelas.” JL (30).

3. Kerjasama yang terjalin diantara pengrajin. Kerjasama adalah bentuk interaksi antar individu dimana individu tersebut saling membantu untuk mewujudkan tujuan yang sama. Bentuk kerjasama yang terjalin adalah kerjasama pengrajin dengan anggota keluarga, dimana masing-masing pengrajin cenderung akan membagi pekerjaannya dengan anggota keluarga. Seorang kepala keluarga biasanya bertindak sebagai pencari bahan baku produksi dan menghaluskan bambu hingga siap untuk dianyam, sedangkan istri biasanya bertindak sebagai penganyam bahan yang telah disiapkan sebelumnya oleh kepala keluarga. Pembagian kerja juga biasanya dilakukan dengan anggota keluarga lain yaitu dengan anak. Anak-anak mulai diajarkan membuat kerajinan bambu semenjak berumur 12 tahun. Tugas yang diberikan kepada anak biasanya hanya berkisar 41

sebagai pembantu untuk tugas menganyam. Pembagian tugas dengan anak tersebut bisa dikatakan sebagai upaya pengrajin untuk melatih anak mereka dalam pembuat kerajinan bilik bambu. Tugas yang diberikan biasanya akan berangsur untuk ke tingkat kesulitan selanjutnya sesuai dengan kemampuan anak tersebut. Hingga pada akhirnya mereka mampu mandiri dan menjalankan usaha kerajinan tersebut sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pengalaman responden JL dan HS yang merupakan anak dari responden ZK.

“Saya mulai belajar untuk membuat bilik ini dari usia 12 tahun. Dulu sih bapak nyuruh saya untuk nganyam. Ya hasilnya sih emang masih jelek, bahkan gak layak lah untuk dijual. Tapi setelah mulai dewasa dan nganyam sudah lancar sih saya belajar untuk „ngahua‟. Nah pas sudah lancar semua baru di usia 17 tahun saya mulai membuat sendiri dari awal sampai akhir.” JL (30)

4. Pengambilan resiko yang rendah. Pengambilan resiko adalah bentuk perilaku individu yang dapat mengambil sebuah keputusan untuk melakukan satu tindakan dengan mengetahui dampak yang akan timbul apabila tindakan tersebut gagal dilakukan. Pengambilan resiko yang dilakukan oleh pengrajin bambu di Desa Gunung Bunder I cenderung sangat rendah. Hal ini berkaitan dengan prinsip pengrajin yang merasa enggan untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat karena prinsip safety first yang biasa ditemui juga dimasyarakat pedesaan pada umumnya. Adanya ketidakpastian pasar juga menjadi penyebab pengrajin anggan untuk mengambil resiko karena kekawatiran yang tinggi terhadap kegagalan.

5. Evaluasi usaha yang rendah. Evaluasi usaha adalah penilaian yang dilakukan terhadap usaha yang telah dilaksanakan. Pengukuran evaluasi usaha ini dengan melihat evaluasi usaha yang dilakukan pengrajin dengan tolak ukur catatan perencanaan usaha dan catatan keuangan usaha. berdasarkan penelitian yang dilakukan responden pada umumnya tidak memiliki catatan keuangan selama berusaha, sehingga tidak ada catatan pengeluaran maupun pemasukan dari usaha yang telah dilakukan.

“Boro-boro buat nyatet jang. Kalau ada pemasukan ya syukur pasti langsung dibelanjain lagi buat keperluan makan. Ya intinya mah gak sempet kalau bikin catetan gitu. Kan bapak mah atuh gak sekolah juga jadi karagok mau nulis-nulis gitu mah. Mending di inget-inget aja lah”. JS (38)

Keadilan Berusaha

Keadilan berusaha adalah variabel terkait dengan kewajaran dalam melakukan usaha, dimana usaha tersebut harus dapat memberikan keuntungan untuk setiap pelaku yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal tersebut dapat diukur dengan melihat pembagian kerja dan keuntungan yang didapatkan pelaku usaha.

berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 6 responden (17%) termasuk kedalam kategori rendah, 15 responden (43%) termasuk kedalam kategori sedang, dan 14 responden (40%) termasuk kedalam kategori tinggi. Dengan melihat hasil tersebut maka dapat dikatakan tingkat keadilan berusaha pada masyarakat pengrajin bilik bambu di Desa Gunung Bunder I sudah dikatakan baik.

Gambar 10. Presentase Tingkat Keadilan Berusaha

Tabel 11. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Keadilan Berusaha Tingkat Keadilan Berusaha Frekuensi Presentase (%) Rendah (skor 12 – 14) Sedang (skor 15 – 17) Tinggi (skor 18 – 20) 6 15 14 17 43 40 Total 35 100

Beberapa hal yang mempengaruhi tingkat keadilan berusaha adalah sebagai berikut:

1. Pembagian kerja, adalah posisi yang didapatkan seorang untuk mengerjakan suatu tugas tertentu dalam suatu pekerjaan. Dalam lingkup kerajinan bambu pembagian kerja ini dibagi kedalam dua jenis pekerjaan, yaitu sebagai pengrajin (produksi) dan bagian pemasaran. Proses produksi sendiri terbagi kedalam beberapa bagian yaitu persiapan bahan baku, penipisan bambu, penjemuran bambu, dan penganyaman. Pembagian kerja yang terjadi pada masing-masing rumah tangga responden dilakukan dengan melihat kemampuan dari responden tersebut. Seorang kepala keluarga biasanya bertindak dalam semua pekerjaan mulai dari produksi hingga pemasaran. Sedangkan anggota keluarga lainnya bertindak sebagai pembantu dalam beberapa bagian produksi, misalkan seorang anak yang bertugas untuk

Rendah 17% Sedang 43% Tinggi 40%

Keadilan Berusaha

Rendah Sedang Tinggi

menjemur bambu, dan seorang istri yang bertugas untuk menganyam bahan yang telah disiapkan oleh kepala keluarga.

“Kalau pembagian kerja sih biasanya tergantung kemampuan dari anggota keluarga. Kalau saya biasanya ya nyari bahan dan „ngahua‟ nanti istri saya yang bantu buat nganyam. Nah kalau untuk pemasaran sih biasanya kalau saya sedang sempat ya saya yang ngider. Tapi kalau tidak sempat ya paling saya jual ke tengkulak.” DR (38).

2. Keuntungan usaha, adalah total penerimaan dikurangi dengan modal yang telah dikeluarkan dalam melakukan usaha kerajinan bambu. Keuntungan dalam usaha kerajinan bilik bambu ini berkaitan dengan distribusi pendapatan dari hasil usaha. pada rumah tangga responden biasanya pembagian pendapatan tersebut tidak memiliki patokan untuk setiap pekerjaan, dalam arti tidak terjadi pendistribusian keuntungan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Setiap individu yang terlibat dalam usaha kerajinan ini akan mendapatkan keuntungan yang diatur dalam pembiayaan rumah tangga pengrajin.

“Kalau di masyarakat disini mah tida ada yang namanya ngebantu terus digaji. Jadi kalau membantu itu ya semacam kewajiban. Kalau ada untung ya nanti paling dikasihnya dalam bentuk makanan seperti itu. Kalau dibagi-bagi mah atuh ya susah juga bagaimana ngaturnya.” JL (30).

Kemandirian Pengrajin

Kemandirian pengrajin adalah sikap dan prilaku pengrajin yang mampu memenuhi segala keperluannya dalam melakukan usaha. Kemandirian pengrajin dilihat dari pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, dan mempertahankan usaha responden. Berdasarkan data 15 responden (43%) berada pada kategori rendah, 13 responden (37%) berada pada kategori sedang, dan 7 responden (20%) berada pada kategori tinggi.

Gambar 11. Presentase Tingkat Kemandirian Pengrajin

Tabel 12. Tabel Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat Kemandirian Pengrajin

Dokumen terkait