• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecerdasan Emosional 1.Pengertian Emosi 1.Pengertian Emosi

Emosi berasal dari kata “movere” (kata kerja bahasa Latin) yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman, 2006). Huffman, M. Vernoy, dan J. Vernoy (1997) memandang emosi sebagai perasaan dan reaksi afektif, menurut mereka emosi memiliki tiga komponen dasar yaitu:

a. Komponen kognitif: pikiran-pikiran, kepercayaan, dan harapan-harapan yang menentukan tipe dan intensitas terhadap respon emosi, contohnya pengalaman yang dirasakan oleh seorang individu menyenangkan tetapi untuk beberapa orang membosankan.

b. Komponen fisik: meliputi perubahan fisik pada tubuh, contohnya ketika tubuh dibangkitkan oleh emosi (seperti rasa takut atau marah) maka detak jantung akan meningkat, pupil membesar, dan kecepatan nafas meningkat.

c. Komponen behavioral: lebih pada berbagai macam bentuk-bentuk ekspresi emosi, seperti ekspresi muka, gerakan tubuh , gesture dan sebagainya.

Sementara itu, De Preez (dalam Martin, 2006) memandang emosi sebagai suatu reaksi tubuh menghadapi reaksi tertentu. Sifat dan intensitas emosi terkait dengan aktifitas kognitif manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Menurut Martin intisari dari definisi De Preez tersebut adalah.

a. Emosi adalah reaksi tubuh mengahadapi situasi spesifik, contohnya jika sedih kita menangis, jika lucu kita tertawa.

b. Emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi, contohnya jika mempersepsikan kondisi jalan macet akibat supir ugal-ugalan maka kita akan mudah marah, tetapi jika kita menerima macet sebagai hal yang lumrah kita menjadi lebih tenang.

c. Emosi adalah hasil reaksi kognitif, contohnya jika ujian sudah dekat kita takut gagal, kemudian kita rajin belajar.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, diketahui bahwa munculnya emosi didasari oleh proses berpikir, persepsi, pengalaman, dan kepercayaan subjektif. Emosi muncul dari sesuatu yang dirasakan, dan didasari oleh proses berpikir dan pengalaman. Akibat terjadinya emosi menimbulkan perubahan fisik dan perilaku. Jadi dapat disimpulkan emosi dibentuk oleh tiga komponen yang saling terkait, yaitu afektif (meliputi apa yang dirasakan), kognitif (proses berpikir dan pengalaman menjadi penentunya), dan konatif (hasilnya ditampakkan dalam perilaku atau sikap).

2. Teori-teori Emosi a. Teori James-Lange

Teori James-Lange menyatakan bahwa pengalaman emosional muncul dari kesadaran akan perubahan kondisi internal tubuh (Koentjoro, 1997; Martin 2006). Strongman (2003) menjelaskan munculnya emosi menurut teori James-Lange akibat adanya perubahan kondisi tubuh berdasarkan persepsi, kenyataan dan perasaan pada saat kejadian. Matsumoto (2004) menambahkan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis serta perilaku tampaknya sendiri, contohnya ketika kita melihat beruang di hutan kemudian berlari, interpretasi kita atas perilaku lari (pernafasan, detak jantung, dsb) itulah yang menghasilkan pengalaman emosional takut.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa teori James-Lange memandang kemunculan emosi melibatkan kesadaran akan perubahan sistem fisiologis tubuh yang direspon menjadi perilaku dan perubahan pada sistem fisiologis diinterpretasikan menjadi pengalaman emosional.

b. Teori Cannon-Bard

Teori Cannon-Bard memandang emosi sebagai reaksi-reaksi darurat yang menggerakkan organisme untuk menghadapi situasi-situasi krisis (Chaplin, 2000). Martin (2006) menjelaskan terjadinya emosi menurut teori Cannon-Bard karena suatu stimulus akan mengaktifkan

thalamus untuk langsung membuat reaksi pada perubahan tubuh atau dibawa langsung menuju korteks untuk mencari pengalaman emosi yang relevan. Contohnya jika melihat anjing galak mendekat, thalamus akan terpicu (sebagai pengontrol stimulus) maka akan menggerakkan fisik untuk berlari. Thalamus akan menyentuh korteks yang berisi pengalaman sehingga membuat takut. Martin menambahkan, dalam perkembangannya teori ini banyak dianut tetapi masih dikritisi karena pemicu emosi tidak terletak dikorteks melainkan di amigdala

Berdasarkan pemaparan diatas, terjadinya pengalaman emosional menurut teori Cannon-Bard karena adanya kerja pusat-pusat otak, seperti thalamus dan korteks. Thalamus berfungsi sebagai pembuat reaksi emosi, sedangkan korteks merupakan tempat penyimpan pengalaman emosional. c. Teori dua faktor Schachter

Menurut Huffman, M. Vernoy dan J. Vernoy (1997) terjadinya emosi berdasarkan teori dua faktor Schachter disebabkan oleh dua faktor, yaitu.

1. Psysical Aurosal (perubahan fisiologis yang tinggi), dan

2. Pelabellan kognitif pada aurosal (interpretasi emosional terhadap perubahan tersebut).

Schachter dan Singer (dalam Eysenck, 2000) memandang bahwa dua faktor di atas menyebabkan emosi dapat dipelajari, serta tingkatan emosi tidak akan terjadi apabila salah satu dari dua faktor di atas ada yang hilang. Mereka juga menjelaskan bahwa proses kognitif penting untuk

menentukan apakah suatu emosi akan dipelajari atau tidak dan emosi seperti apa yang dipelajari. Sementara itu, Martin (2006) melihat bahwa terjadinya emosi pada teori dua faktor karena awalnya ada stimulus yang menggerakkan perubahan fisik pada diri seseorang sehingga terjadi proses penamaan. Akan tetapi, penamaan tersebut tergantung dari proses belajar. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori dua faktor Schachter memandang terjadinya emosi sebagai akibat dari adanya stimulus dari perubahan fisik yang dilabelli (dinamai) berdasarkan proses kognitif atau pengalaman belajar.

3. Anatomi Syaraf Emosi

Berdasarkan penemuan Joseph Le Doux mengenai area otak yang berhubungan dengan emosi, Goleman (2006) melalui studinya memaparkan ada bagian-bagian di dalam otak yang berpengaruh terhadap mekanisme terjadinya emosi secara terinci. Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai berikut:

a. Korteks

Korteks adalah pusat emosi yang disebut juga “otak berpikir”. Korteks merupakan bagian otak yang merencanakan, memahami apa yang diindera dan mengatur gerakan. Di dalam korteks ada lapisan baru yang disebut neokorteks yang merupakan pusat intelektualitas, pikiran, mengumpulkan dan memahami apa yang dicerap oleh indera.

b. Sistem Limbik

Sistem limbik atau “otak emosional” terdiri dari amigdala, septum, hipothalamus, thalamus, dan hipokampus adalah bagian otak yang berperan dalam pembentukan tingkah laku emosi, seperti marah, takut, dan dorongan seksual. Sistem limbik merupakan bagian penting dari kecerdasan emosional karena terjadinya ledakan emosional menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu pusat sistem limbik sedang aktif merespon.

c. Amigdala

Amigdala adalah struktur yang saling terkoneksi berbentuk buah badam yang bertumpu pada batang otak. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional. Percobaan Joseph Le Doux pada binatang yang amigdalanya dipotong / dibuang menjadi tidak memiliki rasa takut, marah, dan kehilangan dorongan. Percobaan tersebut merupakan langkah revolusioner dalam memahami kehidupan emosional.

d. Hippokampus

Hipokampus adalah bagian dari sistem limbik yang lebih berkaitan dengan perekaman dan pemaknaan pola-pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Hippokampus berfungsi dalam mengenali perbedaan makna. Sumbangan utama dari hipokampus adalah dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan korteks, hal yang amat penting bagi pemaknaan emosional.

Menurut Le Doux (dalam Martin, 2006) mekanisme terjadinya emosi adalah sebagai berikut: suatu peristiwa diterima melalui panca indera, kemudian diteruskan ke thalamus. Secara umum thalamus adalah bagian yang berperan seperti “lampu lalu-lintas dalam otak ”. Thalamus akan mengarahkan ke dua alternatif, yaitu korteks atau limbik (didalamnya ada amigdala). Jika stimulus melalui korteks terlebih dahulu baru kemudian ke limbik, maka terjadi proses penalaran terlebih dahulu dikorteks. Akan tetapi, jika stimulus langsung menuju ke amigdala, maka tidak ada proses nalar sehingga bisa muncul tindakan yang diluar nalar. Inilah yang oleh Goleman disebut pembajakan amigdala (hijacking amigdala).

4. Pengertian Kecerdasan Emosional

Berdasarkan penjelasan tentang pembajakan amigdala kita bisa mengetahui bahwa mengendalikan emosi dilakukan melalui korteks terlebih dahulu baru kemudian amigdala. Proses nalar berperan besar dalam pegendalian emosi, inilah yang disebut “kecerdasan emosional” atau

“emotional intelligence”, yang berarti munculnya emosi yang cerdas atau terkendali melalui kecerdasan manusia (Martin, 2006). Sementara itu, Goleman (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kombinasi kompetensi-kompetensi emosional. Keterampilan kecerdasan emosional akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan seseorang dalam mengatur dan mengawasi emosinya sendiri.

Patton (1998) memaparkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif, dan meraih keberhasilan di tempat kerja. Ia juga menemukan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional akan lebih mampu menghadapi kemalangan dan mempertahankan semangat hidup karena kecerdasan emosional menentukan kualitas bagaimana memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian. Kecerdasan emosional juga diperlukan untuk mengatasi tuntutan lingkungan dan menjadi dasar manusia lebih bertanggung jawab, penuh perhatian, cinta kasih, produktif, dan optimis.

Penjelasan-penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa kecerdasan emosional merupakan kompetensi-kompetensi emosional yang menentukan keterampilan dalam mengelola emosi secara efektif dan membangun hubungan yang produktif dengan orang lain. Jadi keterampilan kecerdasan emosional menentukan kualitas seseorang dalam mengelola emosinya secara pribadi dan membangun hubungan dengan orang lain dalam situasi yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

5. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2006) mendasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional pada pemikiran Salovey yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kerangka yang dibutuhkan manusia untuk sukses, yang didasarkan pada lima wilayah utama, yaitu kesadaran diri, mengelola diri, memotivasi diri, mengenali orang lain dan membina hubungan.

Dalam buku terbarunya yang berjudul “The Emotionally Intelligent Workplace, tahun 2001”, Goleman mempertegas sekaligus menyederhanakan framework kompetensi kecerdasan emosional. Goleman menyebut ada 4 aspek pokok kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri, mengelola diri, kesadaran sosial dan mengelola hubungan. Di dalam empat aspek tersebut terdapat 20 kompetensi emosional yang dibagi ke dalam 2 kompetensi utama, yaitu kompetensi pribadi dan sosial (Atmadi, 2006; Martin, 2006). Berikut ini akan dijelaskan aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2006).

a. Kesadaran diri

Kesadaran diri mengacu pada introspeksi diri akan pengalamannya. Hal ini dimulai dengan mengenali dan merasakan emosi diri sendiri, kemudian memahami penyebab perasaan yang timbul, dan pada akhirnya mampu mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan. Kesadaran diri juga akan membawa pada penilaian diri secara objektif sehingga mampu menghargai diri sendiri.

b. Mengelola diri

Mengelola diri atau menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat tergantung pada kesadaran diri. Keterampilan mengelola diri meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Orang yang memiliki keterampilan mengelola diri akan terus-menerus bertarung melawan perasaan cemas, murung, dan selalu berpikiran positif. Keterampilan mengelola diri juga menetukan kemampuan untuk bangkit dari kemerosotan atau kejatuhan hidup.

c. Kesadaran sosial

Kesadaran sosial atau empati merupakan kemampuan dalam bergaul yang bergantung pada kesadaran diri. Orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Empati mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami prespektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang.

d. Mengelola hubungan

Mengelola hubungan merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang memiliki keterampilan mengelola hubungan

akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan relasi dengan orang lain. Orang yang memiliki keterampilan ini mampu berinteraksi, menjalin hubungan, dan menempatkan diri secara tepat dalam suatu kelompok.

Kesadaran Diri

Dokumen terkait