• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosi (Emotional Quotient) pertama kali dilontarkan

pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Intelligence (EI) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan

kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat.

Keterampilan EI bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan koqnitif, namun kedua berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun didunia nyata. Menurut Gardner (2010) dalam bukunya yang berjudul “Frame of Mind”, mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan monolitik yang

penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestik, musik, interpersonal dan intrapersonal.

Menurut Robbins S. (2015) Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengelola

petunjuk-petunjuk dan informasi emosional. Menurut Suharsono (2016) kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk melihat, mengamati, mengenali, bahkan mempertanyakan diri sendiri. Kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri, tetapi lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam mengelola ide, konsep, karya atau produk, sehingga hal itu

menjadi minat orang banyak.

Kecerdasan Emosional menurut Goleman (2015) adalah kemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, mengelola emosi baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain dengan tindakan konstruktif yang mempromosikan kerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktifitas dan bukan pada konflik.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan yang menuntut diri sendiri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan emosi dengan efektif dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari serta merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan (kerja sama) dengan responden lain.

2.3.2 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2015) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu :

1. Pengalaman

Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia. Sepanjang perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional cenderung bertambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi yang menyulitkan, sehingga semakin cerdas dalam hal emosi dan dalam berhubungan dengan responden lain. Menurut Goleman (2015) menyatakan

pendapat yang sama bahwa kecerdasan emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak- kanak hingga dewasa.

2. Usia

Responden yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan orang yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.

3. Jenis kelamin

Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional.tetapi rata-rata wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi, walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut.

4. Jabatan

Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin penting ketrampilan antar pribadinya dalam membuatnya menonjol dibanding mereka yang berprestasi biasa-biasa atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi jabatan, maka semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimilikinya.

2.3.3 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah

Menurut Goleman (2015) karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:

1. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif,

mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

2. Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.

2.3.4 Dimensi dan Indikator Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2015) kecerdasan emosional dibagi menjadi 5 dimensi yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

1. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Goleman (2015) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu

prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu lebih mudah menguasai emosi.

2. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2015). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3. Memotivasi diri sendiri

Setiap individu harus memiliki motivasi dalam dirinya, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap Kecerdasan Emosional dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

4. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2015) kemampuan seseorang untuk mengenali responden lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang dimana mengisyaratkan apa-apa saja yang dibutuhkan

orang lain, sehingga ia lebih mampu menerima sudut padang orang lain.

5. Membina hubungan dengan orang lain

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2015). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Individu yang memiliki keterampilan membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun.

Individu berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.

2.4 Kinerja

2.4.1 Pengertian Kinerja

Menurut Sinambela (2018) kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu dalam melasksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Menurut Mangkunegara (2014) kinerja adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu (lazimnya per jam).

Menurut Sinambela (2018) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja yang optimal perlu ditetapkan standar yang jelas yang dapat menjadi acuan bagi seluruh pegawai. Kinerja pegawai akan tercipta jika pegawai dapat

melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Untuk memperoleh kinerja yang baik harus diperhatikan tiga elemen pokok berikut ini.

1. Deskripsi jabatan yang akan menguraikan tugas dan tanggung jawab suatu jabatan sehingga pejabat diposisi tersebut tahu secara pasti apa yang harus dilakukannya. Untuk meningkatkan kinerja seresponden guru, tentu saja guru tersebut perlu tahu apa yang harus dilakukannya dan bagaimana melakukannya.

2. Bidang hasil dengan indikator kinerja haruslah jelas. Artinya seorang guru haruslah mengetahui indikator keberhasilan tugas-tugasnya.

3. Standar kinerja berguna untuk menunjukkan berhasil atau tidaknya tugas yang dilaksanakannya.

Penilaian kinerja karyawan memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar-standar kinerja serta memotivasi karyawan di waktu berikutnya. Penilaian kinerja karyawan memberikan dasar bagi keputusan-keputusan yang mempengaruhi gaji, promosi, pemberhentian, pelatihan, transfer, dan kondisi-kondisi kepegawaian lainnya.

2.4.2 Manfaat dari Penilaian kinerja

Menurut Wibowo (2015) penilaian kinerja dapat dipergunakan untuk:

1. Memperkenalkan perubahan, termasuk perubahan dalam budaya organisasi.

2. Mendefinisikan tujuan, target dan sasaran untuk periode yang akan datang.

3. Memberi responden target yang tidak mungkin dapat dicapai, sebagai alat untuk memecat dikemudian hari.

4. Memberikan gambaran bahwa organisasi dalam menantang pekerja untuk memberikan kinerja tinggi.

5. Meninjau kembali kinerja yang lalu dengan maksud untuk mengevaluasi dan mengaitkan dengan pengupahan.

6. Melobi penilai untuk kepentingan politis dan bahkan akhir yang meragukan.

7. Mendapatkan kesenangan khusus.

8. Menyepakati tujuan pembelajaran.

9. Mengidentifikasi dan merencanakan membangun kekuatan.

10. Mengidentifikasi dan merencanakan menghilangkan kelemahan.

11. Membangun dialog konstruktif tentang kinerja yang dapat dilanjutkan setelah diskusi penilaian.

12. Membangun dialog yang sudah ada antara manajer dengan anak buahnya, dan 13. Menjaga perusahaan atau pemegang saham utama senang tetapi tanpa

maksud menggunakan penilaian menjalankan perusahaan.

2.4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Widodo (2015) kinerja dipengaruhi oleh:

1. Kualitas dan kemampuan pegawai, hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental, dan kondisi fisik pegawai.

2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja)

3. Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah:

1. Faktor kemampuan (ability) , secara psikologis kemampuan (ability) dan kemampuan reality (knowledge dan skill) artinya pegawai dengan IQ di atas rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja diharapkan. Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

2. Faktor motivasi, motivasi berbentuk sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja.

2.4.4 Indikator – Indikator Kinerja

Indikator-Indikator Kinerja Menurut Mangkunegara (2014) menyebutkan indikator dari kinerja karyawan adalah sebagai berikut:

1. Kualitas Kerja, seberapa baik seorang karyawan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan.

2. Kuantitas Kerja, seberapa lama seorang pegawai bekerja dalam satu harinya dan seberapa banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan seorang pegawai setiap harinya. Kuantitas kerja ini dapat dilihat dari kecepatan kerja, jumlah pekerjaan dan target kerja setiap pegawai itu masing-masing.

3. Pelaksanaan Tugas, seberapa jauh karyawan mampu melakukan pekerjaannya dengan akurat atau tidak ada kesalahan.

4. Tanggung Jawab, kesadaran akan kewajiban melakukan pekerjaan dengan

akurat atau tidak ada kesalahan.

Dokumen terkait