• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tahap I Biofermentasi Ampas Sagu dengan Jamur Tiram

4.3.2 Kecernaan Nutrien, Retensi Nitrogen dan

”Kecernaan” ransum dipengaruhi oleh komposisi pakan, kandungan nutrien serta proses pencernaan di dalam rumen dan saluran pascarumen (Beever & Mould, 2000). Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein dan NDF pada sapi Bali tidak dipengaruhi oleh jenis ransum. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu hasil yang diolah dalam ransum sapi Bali untuk menggantikan rumput memberikan efek yang sama dengan kontrol (R0). Sumber serat pada perlakuan R0 adalah rumput lapangan yang kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan ampas sagu. Berdasarkan data Tabel 18 ternyata ada indikasi bahwa perlakuan fermentasi dan amoniasi dapat meningkatkan kualitas serat ampas sagu, sehingga bisa menghasilkan respon kecernaan yang sama.

Tabel 18 Rataan kecernaan nutrien pada sapi Bali

Peubah Ransum perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

Kecernaan (%)

Bahan kering 76.5 ± 1.4 70.1 ± 4.9 72.6 ± 0.7 74.4 ± 0.7 72.6 ± 2.5

Bahan organik 73.4 ± 2.6 69.5 ± 3.8 70.3 ± 6.6 72.4 ± 1.1 71.7 ± 1.7

Protein 79.8 ± 2.3 75.4 ± 7.8 75.3 ± 0.7 79.5 ± 1.0 75.7 ± 3.8

Neutral detergent fibre 58.9 ± 1.1 55.1 ± 7.8 56.7 ± 0.9 59.1 ± 2.3 58.5 ± 2.7

Acid detergent fibre 54.4 ± 6.1ab 60.4 ± 3.7b 60.3 ± 1.5b 59.9 ± 3.3b 51.8 ± 2.3a

Selulosa 66.4 ± 2.2 63.4 ± 9.8 67.9 ± 10.4 69.5 ± 2.8 58.3 ± 1.2

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05); R0= ransum kontrol; R1=45% rumput lapangan + 15% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R2 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R3= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat; R4= 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat.

Putusnya ikatan lignin kristalin selulosa (dalam bentuk ikatan ester) dengan koniferil, sinapil dan p-kumaril alkohol pada perlakuan fermentasi maupun amoniasi memudahkan penetrasi selulase yang dihasilkan mikroba rumen. Terputusnya ikatan tersebut ditandai dengan meningkatnya kelarutan masing- masing komponen serat (hemiselulosa, selulosa, lignin). Hal ini menurunkan persentase kandungan komponen serat, sehingga kecernaan in vivo komponen serat pakan meningkat (Maynard et al. 1980).

Rataan kecernaan bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2001) pada sapi yang menggunakan kulit biji kapas hasil fermentasi jamur tiram yaitu 52.3%. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetiyono et al. (2007) terhadap sapi potong yang diberi pakan jerami padi dengan penambahan CASREA (Cassava urea) juga memperlihatkan hasil yang lebih rendah yaitu 50.42%.

Hasil uji beda nyata terhadap kecernaan ADF memperlihatkan adanya perbedaan antar perlakuan. Penggunaan ampas sagu amoniasi 30% dalam ransum memberikan efek yang sama dengan perlakuan kontrol terhadap kecernaan ADF, tetapi menurun kecernaannya secara signifikan dibandingkan penggunaan ampas sagu amoniasi 15%, maupun ampas sagu fermentasi 15% dan 30%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan kadar ADF ransum perlakuan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa kadar ADF cenderung meningkat dengan bertambahnya penggunaan ampas sagu amoniasi dalam ransum (0.8 – 1.5%).

Kecernaan nutrien semua perlakuan >50% (Tabel 18) mengindikasikan bahwa ransum perlakuan dan kondisi rumen sapi menunjang aktivitas bakteri rumen. Salah satu cara mengukur adanya aktivitas mikroba rumen adalah dari nilai kencernaan komponen nutrien dalam ransum. Meningkatnya aktivitas mikroba rumen ini dipacu oleh ketersediaan amonia dan VFA dalam rumen, dimana konsentrasi kedua senyawa tersebut berada dalam kisaran normal untuk menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen.

Retensi nitrogen cenderung meningkat pada penggunaan ampas sagu fermentasi 15% (R1) dan mencapai level tertinggi pada penggunaan ampas sagu fermentasi 30% (R2) walaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 19).

Tabel 19 Konsumsi nitrogen, nitrogen feses, nitrogen urine dan retensi nitrogen pada sapi Bali

Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 R4 ...(gram/ekor/hari)... Kons. nitrogen 70.5 ± 2.7 65.1 ± 8.0 68.4 ± 1.4 69.2 ± 4.2 64.1 ± 8.9 Nitrogen feses 16.2 ± 1.1 15.0 ± 4.5 14.9 ± 1.8 16.6 ± 2.4 15.5 ± 2.4 Nitrogen urine 11.4 ± 1.1 9.8 ± 3.3 10.1 ± 1.0 11.5 ± 1.6 10.1 ± 2.5 Retensi Nitrogen 42.9 ± 2.1 40.3 ± 10.3 43.4 ± 4.1 41.1 ± 6.3 38.6 ± 6.5

Keterangan: Kons. =konsumsi; R0= ransum kontrol; R1= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R2 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R3= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat; R4= 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat.

Demikian juga dengan penggunaan ampas sagu amoniasi sampai 30% tidak mempengaruhi retensi nitrogen. Tidak adanya perbedaan ini mungkin disebabkan kualitas protein pakan untuk semua perlakuan hampir sama. Walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya tetapi tingginya retensi nitrogen pada sapi yang diberi perlakuan ampas sagu fermentasi 30% (R2) cukup mengindikasikan bahwa kualitas protein pada perlakuan R2 lebih baik dari yang lain sehingga menyebabkan kenaikan bobot badan tertinggi pada sapi yang diberi perlakuan R2 (Tabel 16). Fenomena ini diduga karena jamur tiram dapat mengubah nitrogen bukan protein pada media tumbuh jamur menjadi protein dan asam amino. Sova dan Cibulka (1990) melaporkan bahwa jamur tiram dapat mensintesis protein dari nitrogen organik maupun anorganik dan dapat menyumbangkan asam-asam amino yang lengkap kecuali fenilalanin dan metionin yang agak rendah.

Kolesterol terdapat dalam jaringan dan lipoprotein plasma, yang bisa dalam bentuk kolesterol bebas atau gabungan dengan asam lemak rantai panjang sebagai ester kolesterol (Mayes et al. 2003). Kolesterol yang tidak diperlukan akan dikeluarkan bersama feses, dan lebih kurang setengahnya dalam bentuk garam-garam empedu dan sisanya dalam bentuk hormon-hormon steroid netral (Piliang & Djojosoebagio 2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa banyak penelitian membuktikan bahwa rendahnya kolesterol dalam darah ada hubungannya dengan tingginya kandungan serat pada makanan. Serat pangan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam serum dengan cara meningkatkan

ekskresi asam empedu yang merupakan produk metabolisme kolesterol. Serat pangan juga dapat mengurangi waktu transit makanan yang dicerna melalui saluran pencernaan, sehingga absorbsi kolesterol dan zat-zat lain juga akan menurun.

Kadar kolesterol feses sapi Bali pada penelitian berturut-turut adalah 1.32 g/e/h (R0), 1.12 g/e/h (R1), 1.03 g/e/h (R2), 0.87 g/e/h (R3) dan 0.79 g/e/h (R4). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar kolesterol feses pada sapi yang diberi perlakuan kontrol lebih tinggi walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan sapi yang diberi perlakun lain. Hasil tersebut didukung oleh kecernaan komponen serat terutama selulosa yang tidak berbeda antar perlakuan. Keadaan ini membuktikan bahwa pengolahan ampas sagu baik secara fermentasi maupun amoniasi berhasil menurunkan kadar serat, sehingga kolesterol yang keluar melalui feses sedikit. Kalau dihubungkan dengan kualitas daging, pengurangan kadar kolesterol daging melalui alur ini mungkin tidak dapat diharap. Grafik kolesterol feses dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Kadar kolesterol feses sapi Bali yang diberi ransum mengandung ampas sagu fermentasi dan amoniasi.

4.3.3 Karakteristik Fermentasi Mikroba dalam Rumen. 4.3.3.1Amonia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik fermentasi mikroba dalam rumen tidak dipengaruhi oleh perlakuan (Tabel 20). Tidak adanya perbedaan konsentrasi amonia antar perlakuan, menunjukkan bahwa semua

1.32 1.12 1.03 0.87 0.79 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 R0 R1 R2 R3 R4 Perlakuan g ram /e ko r/ h a ri

perlakuan memberikan efisiensi penggunaan amonia yang sama, walaupun jenis bakteri yang memanfaatkan amonia tersebut berbeda.

Produk utama degradasi protein oleh mikroba rumen adalah amonia, dimana sebagian besar mikroba menggunakannya untuk sintesis de novo protein. Oleh karena itu kemampuan menyediakan amonia yang cukup di dalam rumen sering dijadikan sebagai patokan pada evaluasi protein pakan untuk ternak ruminansia. Kadar amoniaberkisar antara 10.10-13.67 mM (Tabel 20), dan nilai tertinggi didapat pada sapi yang diberi perlakuan R4. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa konsentrasi amonia dalam rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 4-14 mM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi fermentasi dan amoniasi pada ampas sagu masih mampu menjamin kecukupan pasokan amonia di dalam rumen.

4.3.3.2 Asam Lemak Terbang (VFA)

Karbohidrat akan difermentasikan di dalam rumen oleh mikroba menjadi asam lemak terbang atau VFA. VFA tersebut akan diserap dan mengalami perombakan menjadi energi bagi ternak dan menjadi sumber kerangka karbon bagi bakteri. Konsentrasi asam lemak terbang (VFA) dalam media fermentasi menggambarkan tingkat efektifitas proses fermentasi. Secara umum semakin tinggi konsentrasi VFA mengindikasikan proses fermentasi semakin efektif, namun konsentrasi VFA yang terlalu tinggi akan mengganggu keseimbangan rumen.

Konsentrasi VFA yang tinggi pada cairan rumen sapi yang diberikan perlakuan R2 menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri rumen pada perlakuan tersebut lebih baik dibandingkan perlakuan lain. Hasil ini menunjukkan bahwa dergradasi karbohidrat ransum secara keseluruhan lebih tinggi pada ransum R2, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Ransum R2 yang mengandung ampas sagu hasil fermentasi 30% memungkinkan tersedianya karbohidrat yang mudah didegradasi, karena proses fermentasi telah memutuskan ikatan lignoselulosa dan menyebabkan bakteri pencerna serat bekerja lebih baik. Produksi VFA total pada penelitian ini masih dalam kisaran normal yaitu 106.8- 144 mM (Tabel 20).

Tabel 20 Rataan konsentrasi Amonia, VFA total dan parsial cairan rumen pada sapi Bali Ransum Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 R4 ...mM... Amonia 12.2 ± 2.7 10.1 ± 1.9 11.0 ± 2.1 11.3 ± 3.6 13.7 ± 2.1 VFA total 114 ± 5.0 120.3 ± 10.0 144 ± 9.4 106.8 ± 27.8 113.2 ± 31 Asam asetat 93.4 ± 3.1 74.4 ± 7.1 82.9 ± 7.8 68.5 ± 16.9 71.4 ± 17 Asam propionat 30.4 ± 3.3 23.8 ± 2.7 22.8 ± 2.1 22.7 ± 6.1 25.6 ± 9.9 Asam butirat 15.8 ± 2.3 12.8 ± 2.3 11.3 ± 0.5 11.5 ± 3.3 11.5 ± 4.4 Asam isobutirat 1.8 ± 0.2 1.3 ± 1.5 1.8 ± 0.6 1.6 ± 0.6 2.6 ± 1.2 Asam valerat 0.5 ± 0.4 0.5 ± 0.4 0.2 ± 0.3 0.6 ± 0.7 0 ± 0.0 Asam isovalerat 2.2 ± 0.4 1.8 ± 0.4 1.3 ± 0.1 1.9 ± 1.1 2.0 ± 1.0

Keterangan: VFA= volatile fatty acid ; R0= ransum kontrol; R1= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R2 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R3= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat; R4 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang didapatkan oleh Debora et al. (2005) pada penelitian yang menggunakan probiotik pada sapi Bali yaitu 130.33-158.67 mM.

Fermentabilitas karbohidrat suatu pakan diukur dari hasil VFA yang ditunjang oleh ketersediaan amonia yang cukup dalam rumen. Sebagian besar mikroba rumen menggunakan amonia untuk prolifikasi terutama untuk sintesa protein selnya (Suryahadi & Amrullah, 1984), sedangkan karbohidrat asal pakan akan dihidrolisis menjadi VFA sebagai sumber energi. Hal tersebut menunjukkan hubungan kedua senyawa tersebut (amonia dan VFA) dalam menunjang pertumbuhan yang optimum bagi mikroba rumen.

Produksi VFA parsial masih mengikuti proporsi yang normal. Penelitian ini menghasilkan proporsi asam asetat lebih tinggi yaitu 63.8-68.8%, kemudian diikuti oleh asam propionat 19.0-22.2%, asam butirat 9.4-10.9%, isobutirat 1.2- 1.7%, valerat 0.0-0.5% dan isovalerat 1.1-1.7% (Tabel 21). Nagaraja et al. (1997) menyatakan bahwa produksi VFA parsial dipengaruhi oleh imbangan antara hijauan dan konsentrat dalam ransum, semakin tinggi kandungan hijauan atau serat akan menghasilkan proporsi relatif asetat yang lebih tinggi dari propionat, butirat, sebaliknya jika kandungan konsentrat lebih tinggi dalam ransum maka proporsi propionat lebih tinggi.

Preston dan Leng (1987) melaporkan bahwa VFA yang dihasilkan dalam rumen akan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: jenis ternak, jenis pakan, kuantitas dan kualitas pakan. Tidak adanya perbedaan VFA antar perlakuan mungkin juga disebabkan kualitas pakan antar perlakuan yang hampir sama. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi maupun amoniasi dalam ransum tidak mempengaruhi karakteristik rumen. Hal ini berarti ampas sagu hasil pengolahan dapat digunakan sampai 30% dalam ransum sapi, karena tidak mengganggu aktivitas mikroba rumen.

Tabel 21 Rataan proporsi molar VFA parsial cairan rumen pada sapi Bali Ransum Perlakuan Peubah R0 R1 R2 R3 R4 ...%... Asam asetat 64.8 ± 0.2 65.3 ± 2.4 68.8 ± 1.2 64.2 ± 0.9 63.8 ± 5.6 Asam propionat 21.1 ± 1.7 20.9 ± 2.2 19.0 ± 0.4 21.2 ± 1.4 22.2 ± 3.4 Asam butirat 10.9 ± 1.6 11.2 ± 1.1 9.4 ± 0.5 10.8 ± 2.2 10.0 ± 1.3 Asam isobutirat 1.2 ± 0.2 1.2 ± 0.1 1.5 ± 0.7 1.5 ± 0.3 1.7 ± 0.3 Asam valerat 0.3 ± 0.3 0.4 ± 0.3 0.2 ± 0.3 0.5 ± 0.5 0 ± 0.0 Asam isovalerat 1.6 ± 0.3 1.1 ± 0.2 1.1 ± 0.1 1.7 ± 1.5 1.7 ± 0.4

Keterangan: R0= ransum kontrol; R1= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R2 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R3= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat; R4= 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu amoniasi + 40% konsentrat.

5.

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait