• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tahap I Biofermentasi Ampas Sagu dengan Jamur Tiram

4.3.1 Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan dan

”Konsumsi bahan kering” berkisar antara 2.58-3.06% dari bobot badan. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Anggraeny dan Umiyasih (2004) pada sapi potong yaitu 2-2.1%. Sapi yang mendapat ransum dengan kandungan ampas sagu fermentasi sebanyak 30% (R2) nyata (P<0.05) lebih tinggi konsumsinya dibandingkan dengan sapi yang mendapat perlakuan R0, R1 dan R3 tetapi tidak berbeda dengan R4 (Tabel 16).

Nilai rataan konsumsi bahan organik sapi yang diberi ransum perlakuan R2 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari sapi yang mendapat R0, R1dan R3 tetapi sama dengan R4. Tidak adanya perbedaan konsumsi bahan kering dan bahan organik perlakuan R2 dan R4 menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi dan amoniasi sampai 50% menggantikan rumput atau 30% dalam ransum tidak mengganggu palatabilitas dan faktor lain yang tidak mempengaruhi konsumsi. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat fisik dan kimia ampas sagu terolah lebih baik sehingga lebih disukai oleh ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan pakan antara lain sifat fisik dan kimia pakan.

Pakan produk fermentasi memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding bahan asalnya karena mikroba telah memecah komponen kompleks menjadi zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Proses fermentasi juga akan menyebabkan perubahan komposisi kimia seperti kandungan lemak, karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin sebagai akibat aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992). Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum cenderung meningkatkan BETN menurunkan serat kasar, NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga meningkatkan konsumsi ransum.

Perlakuan amoniasi dapat meningkatkan konsumsi bahan organik dan bahan kering (Weiss & Underwood 2002). Peningkatan konsumsi diduga karena perlakuan amoniasi merusak ikatan kimia antara lignin dengan hemiselulosa dan selulosa. Lignin menghambat pencernaan serat oleh karena itu rusaknya ikatan tersebut menyebabkan hemiselulosa dan selulosa menjadi lebih mudah dicerna. Tingginya konsumsi bahan kering dan bahan organik juga dapat disebabkan oleh perlakuan fermentasi dan amoniasi penyebab kondisi rumen lebih kondusif, ditandai dengan VFA total yang berada dalam kisaran normal. Kondisi tersebut memacu pertumbuhan mikroba sehingga pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi cepat dan ternak terangsang untuk mengkonsumsi lebih banyak. Leng (1991) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status fisiologis ternak.

Produksi ternak sapi pedaging yang direfleksikan pada pertambahan bobot badan merupakan tujuan utama dalam pengujian suatu ransum, dimana perubahan yang terjadi pada bobot badan adalah akibat dari perlakuan tersebut. ”Pertambahan bobot badan” sapi perlakuan berkisar antara 0.456-0.655 kg/ekor/hari. Nilai ini lebih tinggi dari hasil penelitian Mathius et al. (2005), pada sapi Bali yang diberi bungkil inti sawit fermentasi, dimana pertambahan bobot badan harian berkisar antara 0.310-0.582 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan sapi yang diberi perlakuan R2 nyata berbeda (P<0.05) dengan R0, R1 dan R3 tetapi tidak berbeda dengan R4, sedangkan R0 tidak berbeda dengan

Tabel 16 Rataan konsumsi bahan kering, bahan organik, bobot badan awal, akhir, pertambahan bobot badan dan konversi ransum

Ransum Perlakuan

Peubah R0 R1 R2 R3 R4

Konsumsi bahan kering (%BB) 2.58 ± 0.1a 2.69 ± 0.3ab 3.06 ± 0.1c 2.67 ± 0.1ab 2.85 ± 0.3bc

Konsumsi bahan organik (%BB) 2.42 ± 0.1a 2.45 ± 0.03a 2.68 ± 0.1b 2.44 ± 0.01a 2.64 ± 0.1b

Bobot badan awal (kg/ekor) 142 ± 2.0 133 ± 2.3 132 ± 2.1 136 ± 2.0 124 ± 2.5

Bobot badan akhir (kg/ekor) 171 ± 1.8 162 ± 5.1 171 ± 2.0 163 ± 4.7 161 ± 3.6

Pertambahan bobot badan (kg/ekor) 29.20 ± 1.8 29.7 ± 5.1 39.30 ± 1.5 27.3 ± 3.5 36.70 ± 5.1

Pertambahan bobot badan harian (kg/ekor/hari) 0.486 ± 0.1ab 0.495 ± 0.1ab 0.655 ± 0.1c 0.456 ± 0.1a 0.611 ± 0.1bc

Konversi ransum 7.96 ± 0.4b 7.47 ± 1.4ab 5.96 ± 0.3a 8.05 ± 0.9b 6.07 ± 1.1a

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05); R0= ransum kontrol; R1= 45% rumput lapangan + 15% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R2 = 30% rumput lapangan + 30% ampas sagu fermentasi + 40% konsentrat; R3= 45% rumput lapangan +

R1 dan R3. Adanya pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada sapi yang diberi ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi maupun amoniasi 30%, menunjukkan bahwa ada respon positif ternak terhadap ransum perlakuan tersebut. Pertambahan bobot badan merupakan akumulasi respon ternak terhadap konsumsi ransum, kecernaan zat-zat makanan, fermentasi, metabolisme dan penyerapan nutrien. Tingginya pertambahan bobot badan pada sapi yang diberi perlakuan 30% ampas sagu pengolahan disebabkan tingginya konsumsi bahan kering dan bahan organik pada sapi yang diberi perlakuan tersebut.

”Konversi ransum” terendah adalah pada sapi yang diberi perlakuan ampas sagu fermentasi sebanyak 30% (R2) yaitu sebesar 5.96 dan tertinggi pada sapi yang diberi perlakuan ampas sagu amoniasi 15% yaitu sebesar 8.05. Penelitian yang dilakukan oleh Adamovic et al. (1998) terhadap sapi potong yang diberi jerami padi hasil biodegradasi jamur tiram menunjukkan hasil yang lebih tinggi yaitu 7.41-9.14. Pada Tabel 16 terlihat bahwa konversi ransum pada sapi yang diberi ransum R2 berbeda nyata (P<0.05) dengan R0 dan R3, tetapi sama dengan R1 dan R4.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa substitusi rumput oleh ampas sagu fermentasi dan amoniasi sampai 50% cenderung memperbaiki konversi ransum secara nyata. Terlihat bahwa rataan pertambahan bobot badan harian R2 dan R4 lebih baik dibandingkan R0, R1 dan R3. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan yang menggunakan ampas sagu fermentasi dan amoniasi 30% mampu meningkatkan perubahan bahan kering pakan menjadi bobot hidup, dimana untuk pembentukan 1 kg bobot hidup hanya dibutuhkan 5.96 dan 6.07 kg bahan kering pakan.

”Analisis pendapatan usaha ternak” sangat diperlukan untuk mengetahui keuntungan suatu usaha ternak. Income Over Feed Cost (IOFC) seperti tergambar pada Tabel 17, merupakan analisis ekonomi sederhana yang digunakan untuk melihat keuntungan dari usaha ternak sapi. Keuntungan yang diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan. Nilai tersebut dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, harga bahan pakan dan besarnya pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan. Income Over Feed Cost pada sapi yang diberi perlakuan

R2 sangat nyata lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan R3 dan nyata lebih tinggi (P<0.05) dari R0, R1, R4, sedangkan R0 sama dengan R1, R3 dan R4.

Tabel 17 Rataan perhitungan ekonomis pakan terhadap pertambahan bobot badan sapi

Uraian Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4

Biaya Pakan (Rp/e/h) 5 759.7 7 377.5 10 133.4 5 779.7 6 099.0

Nilai PBB (Rp/e/h) 10 685.7 10 057.1 14 457.1 9 219.0 13 409.5

Nilai Jamur (Rp/e/h) 0.0 4 033.2 8 738.6 0.0 0.0

IOFC (Rp/e/h) 4 926.1ab 6 712.8ab 13 062.4C 3 439.4a 7 310.6b

Keterangan: 1) Harga rumput lapangan Rp100/kg,;ampas sagu fermentasi Rp3 715/kg; ampas sagu amoniasi Rp1 000/kg; konsentrat Rp2 570/kg,; harga sapi hidup Rp22 000/kg; harga jamur tiram Rp12 000/kg; 2) superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Perbedaan IOFC ini disebabkan karena adanya tambahan harga jamur tiram pada perlakuan yang mengandung ampas sagu fermentasi. Income Over Feed Cost semakin tinggi seiring dengan makin bertambahnya penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum. Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang mengandung ampas sagu fermentasi lebih efisien untuk digunakan sebagai pakan sapi sehingga menguntungkan peternak. Penggunaan ampas sagu amoniasi akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari sapi yang diberi perlakuan kontrol apabila digunakan sampai 30% dalam ransum (Tabel 17).

Dokumen terkait