• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pemakaian pelepah sawit fermentasi menggunakan P. crhysosoporium pengganti rumput gajah dalam ransum sapi potong. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan. Perlakuan terdiri ransum 1 (R1) 60% rumput gajah, ransum 2 (R2) 40% rumput gajah 20% pelepah sawit fermentasi, ransum 3 (R3) 20% rumput gajah 40% pelepah sawit fermentasi dan ransum 4 (R4) 60 % pelepah sawit fermentasi. Setiap ransum ditambah 40% konsentrat. Parameter yang diukur adalah kecernaan in vitro dari bahan kering, bahan organik, NDF, ADF, serat kasar, konsentrasi N-NH3,TVFA, jumlah bakteri selulolitik, protozoa dan aktivitas antioksidan. hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi sampai 60% dalam ransum menggantikan rumput gajah menurunkan kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF, ADF, serat kasar, konsentrasi N-NH3, TVFA dan jumlah bakteri selulolitik, namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Aktivitas antioksidan yang dihasilkan menunjukkan peningkatan dengan semakin meningkatnya pemakaian pelepah sawit fermentasi pada inkubasi awal (0 jam) namun pada 72 jam inkubasi in vitro terjadi penurunan aktivitas dan konsentrasi antioksidan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelepah sawit fermentasi bisa digunakan sebagai pengganti rumput gajah sampai taraf 20% dalam ransum ruminansia

Kata kunci : fermentasi, phanerochaete chrysosporium, pelepah kelapa sawit, ransum ruminansia, in vitro

ABSTRACT

The experiment was carried out to increase the use of palm oil fronds as a substitute material for Napier grass through biodegradation process with

Phanerochaete chrysosporium. A randomized completely block design with four

treatments and four replications was used. The treatments were ration 1 (R1) containing 60% Napier grass, ration 2 (R2) containing 40% Napier grass and 20% fermented palm oil frond, ration 3 (R3) containing 20% Napier grass and 40% fermented palm oil frond, ration 4 (R4) containing 60 % fermented palm oil frond. Forty percent concentrate was included in all treatment rations. Parameters measured were in vitro digestibilities of dry matter, organic matter, crude fiber, NDF, and ADF. N-NH3 and TVFA concentration, number of celllulolitic bacteria and protozoa rumen and antioxidant activity in the rumen. Results showed that

incresing level of fermented palm oil frond in the ration reduced (P<0.05) digestibility of dry matter, organic matter, crude fiber, NDF, ADF, N-NH3, TVFA concentration and number of ruminal cellulolytic bacteria, antioxidant activity but unsignificantly for number of ruminal protozoa. As the conclusion, Fermented palm oil frond up to 20% could be used as a substitute for napier grass for ruminant rations.

Key words: fermented, Phanerochaete chrysosporium, Palm oil frond, in vitro, ruminant ration

PENDAHULUAN

Intensifikasi dan perluasan pemanfaatan limbah perkebunan serta limbah industri pengolahan hasil perkebunan berserat tinggi merupakan kemungkinan yang potensial untuk mengatasi krisis pakan ternak, khususnya ternak ruminansia di masa depan. Salah satu limbah pertanian yang cukup potensial untuk dijadikan pakan ternak ruminansia adalah pelepah sawit. Pelepah sawit merupakan produk perkebunan kelapa sawit yang dapat diperoleh sepanjang tahun bersamaan dengan panen tandan buah segar. Ditinjau dari potensi pengembangan kelapa sawit, jumLah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2000 diperkirakan mencapai 2118,8 ribu hektar dengan jumLah produksi 4,094 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2003), sedangkan luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan pada saat ini 488.693,00 hektar dengan produksi 1.459.723,00 ton (Dinas Perkebunan, 2004).

Setiap pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk pakan), sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9 ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering (Diwyanto et al.

2003). Angka ini menunjukkan tingkat potensi yang besar dari pelepah sawit sebagai pakan ternak, namun pemanfaatannya terkendala dengan rendahnya tingkat kecernaan karena kadar NDF (Neutral Detergent Fiber) dan lignin yang tinggi. Lignin dengan serat kasar (selulosa dan hemiselulosa) akan membentuk ikatan lignoselulosa. Ikatan lignoselulosa yang tinggi dalam bahan pakan ternak akan menyebabkan enzim selulase dan hemiselulase yang dihasilkan oleh mikroba rumen tidak mampu menghidrolisis selulosa dan hemiselulosa untuk menghasilkan VFA.

Komposisi kimia pelepah sawit adalah sebagai berikut Bahan Kering (BK) 21.68%, Protein Kasar (PK) 5.28%, Neutral Detergent Fiber (NDF) 65.59%, Acid Detergent Fiber (ADF) 52.72%, Hemiselulosa 12.87%, Selulosa 27.79%, dan Lignin 25.42% (Laboratorium Ilmu dan Tekhnologi Fapet IPB, 2012 dan Laboratorium Nutrisi Ruminansia dan Kimia Pakan Ternak UNPAD, 2012). Setelah dilakukan fermentasi dengan kapang Phanerochaetae chrysosporium

dengan dosis inokulan 107cfu/mL dan lama inkubasi 10 hari memberikan hasil penurunan kandungan lignin yang cukup tinggi. Komposisi kimia pelepah sawit yang sudah difermentasi yaitu BK 24.44%, PK 12.39%, NDF 39.25%, ADF 31.14%, selulosa 17.87%, hemiselulosa 8.12% dan lignin 13.27% (Laboratorium

Ilmu dan Tekhnologi Fapet IPB, 2012 dan Laboratorium Nutrisi Ruminansia dan Kimia Pakan Ternak UNPAD, 2012).

Pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan pakan ternak telah banyak diteliti. Syarif (2010) menyatakan bahwa pelepah sawit dalam pakan ternak ruminansia dapat menggantikan 50% rumput lapang dengan peningkatan pada kecernaan protein dan serat kasar yang baik. Sementara Suryadi et al. (2009) menyatakan bahwa pelepah sawit sebagai pengganti hijauan dalam ransum taraf 25% menghasilkan nilai kecernaan dan fermentabilitas yang terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Namun pemanfaatan pelepah sawit yang sudah difermentasi dengan kapang P.chrysosporium sebagai bahan pakan ternak belum banyak diteliti. Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk melihat pemakaian pelepah sawit fermentasi sebagai bahan pakan ternak ditinjau dari tingat kecernaan fraksi serat dan karakteristik kondisi rumen secara in vitro.

METODE PENELITIAN

Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini adalah pelepah sawit yang dikering udarakan dan dicacah sepanjang 2cm kemudian digiling dengan ukuran 5mm. Inokulan yang digunakan adalah P.chrysosporium yang dibiakan dalam media PDA pada suhu 30oC selama 4 hari sebelum digunakan sebagai substrat dan media Potatos Dextrose Broth (PDB).

Tabel 17. Komposisi bahan pakan dan kimia ransum penelitian (%) Bahan pakan

Perlakuan

R1 R2 R3 R4

Rumput Gajah 60.00 40.00 20.00 0.00

Pelepah Sawit Fermentasi 0.00 20.00 40.00 60.00

Dedak Halus 16.00 16.00 16.00 16.00 Jagung 13.52 13.52 13.52 13.52 Ampas Tahu 5.63 5.63 5.63 5.63 Bungkil Kedelai 0.75 0.75 0.75 0.75 Onggok 4.10 4.10 4.10 4.10 Total 100.00 100.00 100.00 100.00

Komposisi kimia ransum penelitian

Bahan Kering 42.70 42.90 43.10 43.30

Protein Kasar 10.90 11.90 12.90 13.90

Serat Kasar 18.60 19.70 20.80 21.90

Lignin 8.90 9.30 9.60 10.00

TDN 65.10 64.70 64.30 63.90

Metode yang digunakan adalah eksperimental, rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 jenis ransum perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa tingkat pemakaian pelepah

sawit fermentasi yaitu Ransum 1 (R1) 60% Rumput Gajah , Ransum 2 (R2) 40 % Rumput Gajah + 20% pelepah sawit fermentasi, Ransum 3 (R3) 20% Rumput Gajah + 40% Pelepah sawit fermentasi, Ransum 4 (R4) 60% Pelepah sawit fermentasi dari bahan kering ransum. Ransum ditambah dengan konsentrat dimana bahan-bahan penyusun konsentrat berupa jagung giling, dedak, bungkil kedele dan ampas tahu dan onggok sehingga diperoleh 100% ransum. Perbandingan hijauan dan konsentrat adalah 60 : 40.

Parameter yang diukur pada teknik in-vitro adalah kecernaan zat makanan ransum yang terdiri dari kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF, ADF dan serat kasar. Karakteristik media in-vitro yang diukur adalah konsentrasi NH3-N dan VFA total, total bakteri selulolitik, jumLah protozoa dan aktivitas antioksidan secara in-vitro.

Pelaksanaaan penelitian

Proses Fermentasi. Kapang P.chrysosporium 107cfu/mL dimasukkan ke dalam media PDB sebanyak 25mL dan dishaker selama 3 hari, substrat yang telah diinkubasi kemudian difermentasikan ke dalam 15 g pelepah sawit yang sudah digiling dengan ukuran 5mm, proses fermentasi dilakukan selama 10 hari.

Prosedur untuk menentukan kecernaan zat-zat makanan dan karakteristik kondisi rumen adalah sebagai berikut :

Pembuatan larutan McDougall (saliva buatan)

Untuk membuat larutan 6 liter, sebanyak 5 liter air destilasi dimasukkan ke dalam labu takar yang bervolume 6 liter lalu dimasukkan bahan-bahan sebagai berikut :NaHCO3 (58.8g), Na2HPO47H2O (42g), KCL (3.42g), NaCl (2.82g),

MgSO47H2O (0.72g) dan CaCl2 (0.24g). CaCl2 ditambahkan paling akhir setelah

bahan lain larut sempurna. Kemudian leher labu dicuci dengan air destilasi hingga permukaan air mencapai tanda tera. Campuran dikocok dengan gas CO2 secara

perlahan-lahan dengan cara melewatkannya dengan tujuan menurunkan pH hingga mencapai 6.8

Pembuatan larutan Pepsin 0.2%

Pepsin 2.86 gram dilarutkan dalam 850 mL air bebas ion. Kemudian ditambahkan 17.8 mL HCl pekat. Campuran dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambahkan aquadest hingga permukaannya mencapai tanda tera (1 liter)

Pembuatan Asam Borat Berindikator

Pembuatan larutan A: empat gram asam borat (H3BO3) dilarutkan dalam aquades

70mL dan dipanaskan diatas penangas air sehingga semua kristal H3BO3 terlarut.

Setelah dingin, larutkan dimasukkan ke dalam takar 100 mL

Pembuatan Larutan B. Sebanyak 66 Brom Cresol Green (BCG) dan 33 mg

Methyl Red (MR) dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Kemudian ditambahkan alkohol 95% sedikit demi sedikit sehingga semua bahan terlarut sempurna lalu ditambahkan alkohol 95% hingga tanda tera

Pembuatan Larutan A dan larutan B. Sebanyak 20 mL larutan B dimasukkan ke dalam larutan A yang sudah dingin dalam labu takar. Kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera. Teknik in vitro mengacu pada metode Tilley and Terry (1963). Cairan rumen diambil dari rumah pemotongan hewan dan disaring dengan empat lapis cheese cloth. Satu bagian cairan rumen (10mL) dicampur dengan empat bagian media (40mL) yang terdiri dari larutan buffer, larutan makro dan mikro mineral, resazurine dan larutan reduksi (Goering dan Van Soest, 1970). Satu gram sampel dimasukkan ke dalam tabung inkubasi 100mL kemudian ditambah dengan 50 mL larutan campuran, sebelum tabung ditutup dialirkan gas CO2 selama 30 detik dan diiknubasi selama 24, 48 dan 72 jam. Setiap waktu

inkubasi selesai ditambahkan dua tetes HgCL2. Sampel dan media inkubasi

disentrifugasi dalam tabung pada 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil untuk selanjutnya dianalisis konsentrasi VFA dan N-NH3 serta perhitungan

jumLah bakteri selulolitik dan protozoa. Residu kemudian ditambah dengan 50 mL pepsin-HCl 0.20% dan diinkubasi selama 48 jam. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no 41, lalu dikeringkan selama 48 jam pada suhu 60oC untuk analisa kadar zat makanannya.

Penentuan Masing-Masing Parameter 1. Penentuan kecernaan zat – zat makanan.

kecernaan zat – zat makanan ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut: Berat sampel x BK – (Berat residu x BK - Blanko) Kecernaan Bahan Kering (%) = ---x 100%

Berat sampel x BK

Cara yang sama digunakan untuk menghitung kecernaan BO, NDF, ADF dan serat kasar.

Penentuan Karakteristik Media in-vitro

Penentuan konsentrasi amonia nitrogen (NH3-N)

Konsentrasi NH3-N ditentukan dengan teknik Mikro Difusi Conway.

Sebanyak 1 mL supernatan diletakkan dalam satu sekat cawan Conway. Pada sisi yang lain diletakkan 1 mL larutan Na2CO3 jenuh. Pada cawan kecil di bagian

tengah diisi dengan asam borat berindikator merah dan brom kresol hijau sebanyak 1 mL. Kemudian cawan conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin lalu digoyang-goyang supaya bercampur dengan Na2CO3. Setelah itu dibiarkan

selama 24 jam pada suhu kamar, N yang terikat dengan asam borat dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai titik awal perubahan warna dari biru menjadi

kemerah-merahan. Konsentrasi NH3-N dihitung dengan menggunakan rumus :

Penentuan kadar VFA total.

Penentuan kadar VFA dilakukan dengan metoda destilasi uap. Sebanyak 5 mL supernatan media in-vitro dimasukkan ke dalam tabung Markhams, kemudian ditambahkan 1mL H2SO4 15%, tabung destilasi segera ditutup. Tabung

dihubungkan dengan labu erlemeyer yang berisi 5 mL NaOH 0,5 N. Proses destilasi berakhir sampai destilat yang ditampung mencapai volume lebih kurang 200 mL. Kemudian ditambahkan 1-2 tetes indikator phenoptalen dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna.

Konsentrasi VFA total dihitung dengan menggunakan rumus: VFA = (a – b) x N HCl x (1.000)/5 mM Keterangan

a= mL titran blanko b= mL titran sampel

Menghitung Populasi Protozoa dan Bakteri Selulolitik Perhitungan Populasi Protozoa

Perhitungan populasi protozoa dilakukan pada counting chamber dengan larutan garam formalin (formal saline). Larutan tryphan blue formal saline dibuat dari campuran formalin 4% 100 mL, trypan blue 0,6 gr ditambah dengan NaCl 8 gr dalam 900 mL larutan. Sampel cairan rumen yang baru diambil dicampur dengan larutan formal saline dengan perbandingan 1:1 atau sebanyak 1 mL sampel cairan rumen ditambah 1 mL larutan tryphan blue formal saline. Kemudian sebanyak 2 tetes campuran tersebut ditempatkan pada counting

chamber dengan ketebalan 0,1 mm, luas kotak terkecil 0,0625 mm2 yang terdapat

16 kotak dan jumLah kotak yang dibaca sebanyak 5 kotak. Perhitungan populasi protozoa dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 40 kali. Populasi protozoa dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :

C = JumLah protozoa terhitung dalam counting chamber

FP = Faktor pengenceran

Perhitungan Populasi Bakteri Selulolitik

Populasi bakteri dihitung dengan metode Hungate (Ogimoto dan Imai, 1981). Media tumbuh yang digunakan untuk menghitung populasi bakteri adalah media BHI yaitu dengan cara mencampur bahan-bahan seperti BHI bubuk dengan bahan sumber nutrisi mikroba lainnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah dioutoklaf. Campuran tersebut dipanaskan perlahan-lahan sambil dialiri gas CO

berubah lagi menjadi coklat muda, lalu didinginkan. Selanjutnya media dimasukkan ke dalam tabung Hungate masing-masing sebanyak 5 mL yang sebelumnya telah diisi bacto agar sebanyak 0,15 g, kemudian media disterilkan dalam outoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 1,2 Kgf/cm3. Setelah siap digunakan untuk pembiakan bakteri, media agar dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 470C.

Perhitungan populasi bakteri selulolitik menggunakan medium tumbuh banteri berupa Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Cairan yang dikulturkan diencerkan terlebih dahulu, dengan media pengenceran. Pengenceran dilakukan sebagai berikut : 0,05 mL cairan rumen dimasukkan ke dalam 4,95 mL media pengencer. Selanjutnya diambil kembali 0,05 mL lalu dimasukkan ke dalam 4,95 mL media pengencer berikutnya, perlakuan tersebut dilakukan sampai 4 kali (4 seri tabung). Selanjutnya dari masing-masing seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0,1 mL lalu ditransfer ke media agar lalu diputar sambil dialiri air, sehingga media dapat memadat secara merata pada dinding tabung dalam. Tabung selanjutnya diinkubasi selama 2-3 hari. Populasi bakteri dapat dihitung dengan rumus :

Populasi Bakteri = n x 10x/0,05 x 0,1 cfu/mL Keterangan :

n = jumLah koloni yang terdapat pada tabung seri pengenceran ke Penentuan Aktivitas Antioksidan

Aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan metode DPPH sesuai dengan metode pada tahap penelitian I. Evaluasi untuk aktivitas antioksidan dilakukan pada sampel yang diinkubasi 0 jam dan sampel yang telah diinkubasi pada tahapan waktu 72 jam secara in vitro,

Analisa Data. Data hasil penelitian dianalisa statistik sesuai dengan rancangan yang digunakan, untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s Multi Range Test (Steel dan Torrie, 2002)

HASIL DAN PEMBAHASAN