• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Kedalaman Air

Kedalaman perairan merupakan salah satu indikator untuk menilai kelayakan suatu lokasi budidaya. Metode penanaman rumput laut biasanya menyesuaikan kondisi kedalaman perairan.

Rata-rata kedalaman perairan di Stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 9,67±4,04 meter, 13-13,5 meter dan 7,00±4,36 meter. Umumnya kedalaman yang terukur di wilayah Kecamatan Poto Tano ini berkisar antara 2 hingga 14 meter. Umumnya, kedalaman yang diidentifikasi aman dari hempasan gelombang berkisar antara 6 hingga 14 meter. Tipe kedalaman seperti ini lebih cocok untuk metode budidaya rawai (long-line), rakit apung atau sistem jalur.

Perairan Desa Kertasari (Stasiun 4), Kecamatan Taliwang memiliki kedalaman yang lebih dangkal berkisar antara 1,5 hingga 6 meter dengan kedalaman rata-rata 3,00±2,60 meter. Umumnya kedalaman yang sesuai untuk budidaya dengan melihat kuatnya hempasan gelombang adalah pada kedalaman 1 hingga 3 meter. Desa kertasari memiliki keunggulan dalam hal keterlindungan dari gelombang dengan keberadaan pulau kecil yang terdapat di mulut teluk. Faktor keterlindungan suatu perairan dapat menurunkan kekuatan gelombang.

Di Desa Labu Lalar (Stasiun 5) Kecamatan Taliwang, kedalaman yang terukur adalah 5 hingga 7 meter dengan rata rata 6,17±0,76 meter. Pada Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh menunjukkan karakter dasar perairan dan kontur kedalaman yang mirip dengan Desa Kertasari. Memiliki kisaran kedalaman 2 hingga 3,5 meter yang cocok untuk budidaya rumput laut dengan rata-rata kedalaman 3 meter. Variasi kedalaman perairan pada masing masing stasiun selengkapnya dapat dilihat pada gambardibawah ini.

Gambar 9. Grafik rataan kedalaman pada masing-masing stasiun

13-13,5 2-3,5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun Kedalaman (m)

Sebagai perbandingan perairan pesisir selatan Kabupaten Sumbawa Barat di Kecamatan Sekongkang memiliki kedalaman yang ekstrem ketika surut yaitu hanya mencapai 30 cm, bahkan sebagian dasar perairan mudah terpapar udara dan matahari. Kondisi perairan ini tidak cocok untuk dilakukan budidaya rumput laut. Jika dilakukan modifikasi teknologi diduga yang masih memungkinkan adalah hanya untuk maintenance bibit.

Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 0,3 – 0,6 m pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang berarus kencang) untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, metode rawai (long-line) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

Untuk parameter kedalaman, Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut mensyaratkan kedalaman 5-40 m dengan kedalaman 7-15 m adalah kedalaman yang diinginkan. Aslan (1988) mengkategorikan kedalaman 2-15 m dalam skor sangat sesuai, 1-2 m dalam skor sesuai, dan kedalaman <2 atau >15 m dalam skor/kategori tidak sesuai. Bobot yang diberikan untuk parameter kedalaman 8% dengan total 11 paramater yang digunakan. Bakosurtanal (2005) mengkategorikan kedalaman 1-5 m ke dalam kelompok sangat sesuai, bobot yang diberikan pada parameter kedalaman adalah yang tertinggi yaitu 35% (dari 6 paramater yang digunakan).

Selanjutnya, Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot untuk variabel/parameter kedalaman sebesar 30% (total 4 parameter) dengan rincian ¾ m untuk kategori sangat sesuai, 1 m untuk sesuai, 1,5 m untuk sesuai bersyarat dan 3 m untuk kategori tidak sesuai. Model kesesuaian ini diperuntukkan bagi metode budidaya tancap dasar.

Radiarta et al. (2005) memberikan bobot untuk kedalaman 15% (total 11 parameter) dengan rincian; kedalaman 1-10 m untuk kategori sangat sesuai, 11-15 m untuk sesuai dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman <1 dan >15 m. Penggunaan kriteria ini didasarkan kepada metode budidaya sistem longline. Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 9% untuk variable/parameter kedalaman (dari 12 paramater yang digunakan) dengan dengan rincian; kedalaman 5-10 m untuk kategori sangat sesuai, 11-15 m untuk sesuai, 16-20 m untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman <5 dan >20 m.

E. Salinitas

Kisaran salinitas di perairan pesisir Kecamatan Poto Tano pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 yaitu 34±0,00 ppt, dan Stasiun 3 sebesar 33,67±0,58 ppt. Umumnya salinitas berkisar antara 33-34 ppt. Nilai salinitas tersebut berada dalam kisaran yang diinginkan untuk budidaya rumput laut. Untuk kadar salinitas di Desa Kertasari (Stasiun 4) berkisar antara 34-35 ppt dengan rata-rata 34,67±0,58 ppt.

Di daerah Labu Lalar, Kecamatan Taliwang kadar salinitas menunjukkan nilai yang sama dengan Desa Kertasari yaitu berkisar antara 34-35 ppt dengan rata-rata 34,67±0,58 ppt. Tetapi, untuk Labu Lalar (Stasiun 5) nilai salinitas dapat berfluktuasi secara ekstrem pada musim hujan (pengambilan sampel dilakukan pada musim kemarau). Hal ini dikarenakan keberadaan muara sungai yang memberi kontribusi masukan air tawar sehingga salinitas dapat turun secara

drastis. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) kadar salinitas berkisar 33-34 ppt. Nilai salinitas pada stasiun pengamatan berikut ditampilkan pada gambar berikut.

Gambar 10. Grafik nilai salinitas pada lokasi pengamatan

Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Spesies ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28 - 35 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.

Parameter salinitas menurut kriteria kesesuaian Aslan (1988) memiliki bobot 12% dari 11 parameter yang digunakan. Kisaran salinitas <28 atau >37 ppt termasuk kategori tidak sesuai, 34-37 ppt untuk sesuai, dan kisaran 28-34 ppt untuk kategori sangat sesuai.

Bakosurtanal (2005) memberikan bobot untuk salinitas 10% dari total 6 parameter yang digunakan. Rincian kriteria tersebut yaitu 28-36 ppt untuk kategori sangat sesuai, >20-28 ppt untuk sesuai, 20-<24 ppt untuk sesuai bersyarat dan <20 ppt untuk kategori tidak sesuai. Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) tidak menggunakan parameter salinitas dalam kriteria yang dibangun.

Bobot parameter salinitas oleh Radiarta et al. (2005) ditentukan sebesar 10% (dari total 11 parameter yang digunakan dengan rincian 28-31 ppt untuk kategori sangat sesuai, 32-34 ppt untuk kategori sesuai dan <28 dan >34 ppt untuk kategori tidak sesuai. Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 9% untuk parameter salinitas. Dimana, kisaran salinitas 31-35 ppt untuk kategori sangat sesuai, 28-30 ppt untuk sesuai, 25-27 ppt untuk sesuai bersyarat dan <25 dan >35 ppt untuk kategori tidak sesuai.

Efek dari nutrisi dan salinitas terhadap Kappaphycus belum diketahui secara pasti meskipun hal itu dapat diasumsikan bahwa kombinasi dari keduanya memiliki tingkat kepentingan yang kritis untuk pertumbuhan tanaman alga laut. Kappaphycus terlihat tumbuh dengan baik dalam kondisi "full salinity" pada perairan laut seawater. Sejumlah lokasi budidaya rumput laut yang sukses memperlihat kisaran salinitas 30-35 ppt.

Dawes (1979) dalam Neish 2003 menemukan jenis E. isiforme memiliki kisaran respirometric maksimum pada 30-40 ppt. Keduanya baik E. uncinatum dan E. denticulatum maksimal mendekati salinitas 30 ppt dan pengaruh daratan signifikan bagi alga laut secara positif dan negatif.

32 33 34 35 36 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun Salinitas (Ppt)

Kondisi air laut dipengaruhi oleh daratan. Perbedaan salinitas dan konten mikronutrien dari pristine open-ocean water mempengaruhi kelimpahan populasi populasi eucheuma seaplant di alam bebas.

F. Kecerahan

Kecerahan perairan di Kecamatan Poto Tano Stasiun 1 mencapai 8,47±3,63 m, Stasiun 2 diperoleh berkisar antara 10,44-10,80 m, dan pada Stasiun 3 nilai kecerahan sebesar 8,60±3,26 m pada titik tertentu seperti di pesisir Tua Nanga ditemukan kecerahan dapat mencapai 100% hal ini menunjukkan penetrasi cahaya matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan dengan baik. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang kecerahan juga dapat mencapai 100% penetrasi cahaya matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan. Rata-rata kecerahan di Stasiun 4 ini mencapai 3,90±1,91 m. Nilai kecerahan yang mencapai 100% menunjukkan kualitas yang baik untuk budidaya rumput laut.

Berbeda dengan kecerahan di Perairan Labu Lalar (Stasiun 5) Kecamatan Taliwang dengan nilai rata-rata 7,46±0,55 m pada beberapa titik kecerahan ada yang rendah yaitu setelah dikonversi sebesar 79%. Nilai kecerahan Labu Lalar tergolong rendah dibanding lokasi lain karena banyaknya masukan lumpur dari sungai sehingga kadar Total Suspended Solid (TSS) tinggi yang berkontribusi meningkatkan nilai kekeruhan. Di perairan pesisir Desa Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh nilai kecerahan rata-rata mencapai 2-3,5 m (persentase kecerahan mencapai 100%). Nilai kecerahan dipengaruhi kedalaman, dimana, semakin dalam suatu perairan semakin sulit diperoleh nilai kecerahan 100%. Nilai Kecerahan pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 11. Nilai kecerahan(%) pada masing-masing stasiun pengamatan Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis terganggu. Disamping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus,dan menyebabkan thallus tersebut

10,4-10,8 2,0-3,5 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun Kecerahan (m)

membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut.

Aslan (1988) memberikan bobot 12% untuk parameter kecerahan dari total 11 parameter yang digunakan. Nilai kecerahan <3 m dikategorikan dalam kelas tidak sesuai, 3-5 m untuk sesuai dan kategori sangat sesuai untuk kedalaman >5 m. Dalam Bakosurtanal (2005), kecerahan mendapatkan bobot 25% dan dibagi dalam empat level kesesuaian yaitu >75% untuk kategori sangat sesuai, 50-75% untuk sesuai, 25-<50% untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai dengan kecerahan <25%.

Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot 40% untuk parameter kecerahan dari total empat parameter yang digunakan. Nilai kecerahan 1 m dikategori dalam kelas sangat sesuai, 4/3 m untuk sesuai, 2 m untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman 4 meter. Radiarta et al. (2005) kecerahan diberi bobot 10% (dari total 11 parameter yang digunakan) dimana kecerahan >3 m untuk kategori sangat sesuai, 1-3 m untuk sesuai, dan kategori tidak sesuai untuk kecerahan <1 m.

Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 10% untuk kecerahan dari total 12 parameter yang digunakan. Tingkat kecerahan 80-100% masuk kelas sangat sesuai, 70-79% untuk sesuai, 60-69% untuk sesuai bersyarat dan kecerahan <60% untuk kelas tidak sesuai. Pada stasiun penelitian yang dikaji di Kabupaten Sumbawa Barat kelas kesesuaian umumnya berada dalam kelas sesuai hingga sangat sesuai.

Eksposur sejumlah panjang gelombang dari Photosynthetically Active Radiation (PAR) atau gelombang cahaya tampak merupakan kebutuhan esensial bagi eucheuma seaplants dan sejumlah tanaman lainnya. Mairh (1986) dalam Neish (2003) menemukan K. striatum memiliki pertumbuhan rata-rata yang maksimum pada 12:12 L:D cycle pada 6,000 lx. Tetapi, pertumbuhan rata-rata menurun pada sekitar 10,000 lx. Dawes (1979) dalam Neish (2003) melaporkan pertumbuha rata-rata meningkat pada 18,000 mW cm-2 dari cahaya tampak untuk jenis E. denticulatum, E. isiforme and E. uncinatum. Kappphycus memiliki ritme fotosintesis harian untuk fotosintesis dan respirasi, (Glenn & Doty 1981 dalam Neish 2003). Keluarga Eucheuma bersifat opportunis dalam merespon cahaya untuk aktivitas fotosintesis, Hasil yang sama juga diperoleh pada with Kappaphycus. Aktivitas fotosintesis menunjukkan sifat diurnal pattern dengan puncak pada pagi hari.

G. Kekeruhan

Tingkat kekeruhan di Kecamatan Poto Tano tergolong rendah. Kisaran nilai kekeruhan yaitu 0,16-0,45 NTU. Pada Stasiun 1 diperoleh nilai rata-rata kekeruhan 0,203±0,075 NTU dan masing masing 0,30-0,45 NTU dan 0,230±0,061 NTU pada Stasiun 2 dan Stasiun 3. Nilai kekeruhan yang paling tinggi diperoleh pada titik pengambilan sampel pesisir Tambak Sari (Sub Stasiun 2) sebesar 0,45 NTU. Diduga, keberadaan tambak (walaupun sudah tidak aktif) meningkatkan nilai kekeruhan perairan. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang nilai kekeruhan rata-rata diperoleh 0,270±0,165 NTU. Sementara itu, di Desa Labu Lalar (Stasiun 5) nilai kekeruhan rata-rata diperoleh 0,193±0,021 NTU. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh nilai kekeruhan berkisar

antara 0,15-0,25 NTU dengan rata-rata 0,15-0,25 NTU. Nilai NTU berkaitan erat dengan kandungan TSS pada badan perairan.

Gambar 12. Grafik nilai kekeruhan pada masing-masing stasiun pengamatan Nilai kekeruhan suatu perairan tidakdigunakan sebagai parameter dalam membangun matriks kesesuaian. Hal ini dikarenakan parameter kecerahan sudah digunakan. Pengukuran nilai kekeruhan dilakukan sebagai upaya cross-check terhadap nilai parameter lain seperti kecerahan atau TSS. Korelasi antara nilai TSS dan kekeruhan dapat dtentukan dengan menggunakan formula tertentu. Dalam aturan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut nilai TSS yang diinginkan adalah <25 mg/l dan masih diperbolehkan pada level 80 mg/l. Nilai kekeruhan yang terlalu tinggi akan menghalangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air.

H. pH

Rata-rata derajat keasaman (pH) di masing-masing stasiun perairan pesisir Kecamatan Poto Tano yaitu Stasiun 1 (8,15±0,02), Stasiun 2 (7,72-8,01), dan Stasiun 3 (8,18±0,19). Nilai pH ini berada dalam kisaran yang dperbolehkan untuk budidaya rumput laut.

Adapun pH di perairan Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang berkisar antara 8,10-8,28 dengan rata-rata 8,17±0,09. Di Labu Lalar (Stasiun 5), pH berkisar antara 7,96-8,3 dengan rata-rata 8,14±0,17. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh pH yang terukur yaitu 8,25-8,26. Sebagai perbandingan, pengukuran pH yang coba dilakukan di Muara Sungai Taliwang diperoleh pH 7,9. Nilai pH yang terukur pada ke enam stasiun ditunjukkan oleh gambar dibawah ini.

0,30-0,45 0,15-0,25 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun Kekeruhan (NTU)

Gambar 13. Grafik derajat keasaman pada masing-masing stasiun pengamatan Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987), pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990). Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi.

Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), Radiarta et al. (2005), Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) dan Aslan (1988) tidak memasukkan pH sebagai parameter dalam membangun matriks kesesuaian.

Dalam ketentuan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut menunjukkan bahwa kisaran pH yang diinginkan untuk aktivitas budidaya laut seperti rumput laut adalah 6,5-8,5 dan 6-9 untuk kisaran yang diperbolehkan. Bakosurtanal (2005) membagi kelas kesesuaian untuk pH dengan pH 7,5-8,5 untuk kategori sangat sesuai, kisaran >8,5-8,7 untuk sesuai, pH 6,5-<7 untuk sesuai bersyarat dan pH >8,8 untuk kategori tidak sesuai. Dari ke enam stasiun yang diamati kisaran salinitas rata-rata yang diamati adalah antara 7,72-8,30, jadi dapat disimpulkan bahwa dilihat dari aspek pH daerah kajian sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut.

I. Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan oksigen terlarut (DO) rata-rata yang diukur pada perairan pesisir Kecamatan Poto Tano untuk Stasiun 1 diperoleh 7,67±0,61 mg/l. Untuk Stasiun 2 dan Stasiun 3 kandungan DO rata-rata masing-masing sebesar 7,4-7,5 mg/l dan 7,63±0,15 mg/l. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang kandungan oksigen terlarut rata-rata diperoleh 7,43±0,23 mg/l. Perairan Labu Lalar diperoleh nilai DO dengan rata-rata 7,5±0,20 mg/l. Pengukuran DO di

7,72-8,01 8,25-8,26 7,8 7,9 8 8,1 8,2 8,3 8,4 0 1 2 3 4 5 6 Stasiun pH

Pantai Jelenga Kecamatan Jereweh diperoleh kisaran 7,2-7,4 mg/l. Sebagai pembanding, kandungan DO yang terukur di Muara Sungai Taliwang sebesar 7,6 mg/l.

Gambar 14. Grafik nilai kandungan DO yang terukur pada stasiun pengamatan Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (dissolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991).

Dari enam matriks kesesuaian yang dikaji pada penelitian kali ini hanya matriks kesesuaian yang digunakan oleh Bakosurtanal (2005) yang memasukkan parameter oksigen untuk membangun matriks kesesuaian. Kelas kesesuaian dibagi menjadi empat. Dimana, kandungan oksigen >6 mg/l terkategori sangat sesuai, >5-6 mg/l untuk sesuai, 4-5 mg/l untuk sesuai bersyarat dan <4 mg/l untuk kategori tidak sesuai. Kadar yang oksigen yang terukur pada enam stasiun pengamatan diatas 7,2 mg/l sehingga sangat sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut.

Dokumen terkait