• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK

E. Kedudukan Anak Angkat Menurut Yurisprudensi

Terdapat bermacam-macam ketentuan yang mengatur mengenai anak angkat, sehingga bagaimana hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua yang mengangkatnya belum ada terdapat keseragaman. Sebelum melihat kedudukan anak angkat dalam beberapa yurisprudensi, terlebih dahulu dilihat beberapa pendapat sarjana yang mengemukakan tentang kedudukan anakangkat.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa :

“anak angkat mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dari kedudukan hukum anak keturunannya sendiri juga perihal hak anak itu untuk mewarisi kekayaan yang kemudian ditinggalkan oleh orang yang mengangkat anak itu pada waktu mereka meninggal dunia”.30

“Anak angkat dipelihara seperti halnya anak sendiri, tetapi di samping itu haruslah dibedakan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat dan dengan orang tua kandungnya dan juga dengan keluarga orang tua angkatnya, oleh orang tua angkat diperlukan sebagai anak kandung sendiri, terhadap harta dari orang tua angkat, anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian, terhadap harta asal, anak tidak berhak”.

Ter Haar berpendapat bahwa :

31

30R. Wirjono Prodjodikoro, Warisan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1983), hal 78.

31Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1974), hal 184.

Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa:

“Di daerah Lampung anak angkat tegak tegi yang merupakan penerus keturunan bapak angkatnya merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya, dan ia tidak mewaris lagi dari orang tua kandungnya, sedangkan di daerah Jawa anak angkat itu Ngangsu Sumur Loro artinya mempunyai dua sumber warisan, karena ia mendapat warisan dari orang tua angkatnya dan juga mendapat warisan dari orang tua kandungnya”.32

1. Keputusan MA No. 82 K/Sip/1957 dalam perkara di Bandung diputuskan bahwa anak angkat hanya berhak atas harta gono-gini orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka (barang asal) kembali kepada waris keturunan darah, jadi tidak jatuh kepada anak angkat atau anak pungut;

Selain dari pendapat-pendapat di atas, juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung R.I yang memuat hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Dalam hal ini Mahkamah Agung tidak seragam dalam memberi putusan tentang hak-hak anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya:

2. Keputusan MA No. 416 K/Sip/ 1958, mengalami perubahan di mana perkara hukum terjadi di Sumatera Timur, Keputusan tersebut berpedoman kepada hak adat Sumatera Timur, yaitu anak angkat tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, hanya dibenarkan menerima hibah, selama hidup anak angkat.

Pertimbangan MA:

Hukum Islam tidak mengenal anak angkat, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam

32Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal.80

mengenal anak angkat yaitu Pasal 171 bagian h. Undang-Undang Peradilan Agama: No. 7 Tahun 1989.

3. Keputusan MA No. 997 K/Sip/ 1972, menegaskan bahwa: anak angkat berhak atas harta gono-gini dan harta bawaan orang tua angkatnya;

4. Keputusan MA No. 1002 K/Sip/1976, mengatakan bahwa janda dan anak angkat berhak atas harta gono-gini, sedangkan barang asal (bawaan) anak angkat tidak berhak.

5. Keputusan MA No. 3832 K/Sip/1985, MA memutuskan:

a. Prinsip tentang anak angkat:

MA memutuskan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan janda dan anak kandung yaitu ahli waris.

b. Jika anak angkat bersekutu dengan janda, anak kandung berhak atas harta gono-goni, kesannya bagian anak anagkat adalah sama dengan bagian anak kandung atau janda.

c. Anak angkat mewarisi seluruh harta gono-gini, bila tidak ada anak kandung dan janda .

6. Keputusan MA No. 246 K/Sip/1980 menegaskan bahwa di Nganjuk seorang anak angkat dilihat dari kenyataan yaitu apabila anak angkat dipelihara sejak ia bayi, dikhitankan, dikawinkan, disahkan oleh orang tua angkatnya, maka ia berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dan atas harta bersama.

7. Keputusan MA No. 210 K/Sip/1973, menyatakan bahwa keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada acara adat, tanpa menilai secara obyektif, realita, dan keberadaan anak angkat dalam kehidupan orang tua angkatnya;

8. Keputusan MA No. 912 K/Sip/1995, bahwa tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak meskipun anak itu sejak kecil dipelihara, dikawinkan oleh orang tua angkatnya;

9. Keputusan MA No. 281 K/Sip/1993, bahwa pengangkatan anak sah mana kala dipengaruhi beberapa syarat, dan harus dibarengi upacara “Widi Widina”

(upacara peras) dihadiri oleh pendeta, disaksikan klan adat, klan suku, kepala desa serta diumumkan di depan ulama.

10. Keputusan MA No. 849 K/Sip/1979 menyatakan bahwa:

Pengangkatan anak salah satu syarat upacara tidak lagi dipedomani, sejak tahun 1976, ditegaskan bahwa anak yang diambil sejak bayi dilahirkan dan pemeliharaannya dilakukan secara terus menerus sampai besar dan dikawinkan, sah sebagai anak angkat, meskipun tidak melalui upacara adat.

Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh wilayah/daerah Indonesia. Menurut hukum adat Indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan.

Dalam hal kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat di dalam masyarakat yang sifat susunan kekerabatannya parental seperti di Jawa, berbeda dengan kedudukan anak angkat dalam masyarakat yang susunan kekerabatan patrilineal seperti Bali. Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya

diambil dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orang tua angkat, di samping itu berhak pula mewarisi harta warisan dari orang tua kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat dari keluarganya masuk ke dalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua angkatnya.

Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan didalam hukum adat sedangkan didalam hukum barat disebut adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie (Bahasa Belanda) atau adoption(Bahasa Inggris). Menurut kamus Inggris–Indonesia, adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adopsi, dan sebutan pengangkatan anak disebut adoption of child.33

Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak karena pengangkatan anak menimbulkan akibat–akibat hukum, sebagaimana yang dikatakan Soepomo, diseluruh wilayah hukum (Jawa Barat) bilamana dikatakan manupu, mulung atau mungut anak yang dimaksud ialah mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri.

33Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, (Bandung: Pionir Jaya, 1992), hal. 24

BAB III

PROSEDUR PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

A. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia (Domestic Adoption)

1. Pengangkatan Anak Berdasarkan Adat Kebiasaan

Pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia yang berdasarkan adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kepala Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak yang berdasarkan adat kebiasaan dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke Departemen Sosial, Instansi Sosial dan Instansi terkait.34

2. Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan a. Pengangkatan Anak Secara Langsung

Dalam pelaksanaan Pengangkatan anak antar Warga Indonesia yang dilakukan secara langsung, Calon Anak Angkat (selanjutnya disebut CAA) harus berada dalam pengasuhan orang tua kandung atau wali.

Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia secara langsung hanya dapat dilakukan oleh Calon Orang Tua Angkat (selanjutnya disebut COTA) baik suami maupun isteri berkewarganegaraan

34Permensos No.:110/HUK/2009

Indonesia.35 Prosedur pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption) yang dilakukan secara langsung ialah sebagai berikut36

1. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi Sosial Propinsi diatas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA ;

:

2. Kepala Instansi Sosial Propinsi/Kabupaten/Kota menugaskan Pekerja Propinsi/Kabupaten/Kota untuk melakukan penilaian kelayakan COTA ; 3. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Kepala Instansi Sosial

Propinsi melalui Instansi Sosial Kabupaten/Kota ;

4. Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi untuk dapat diproses lanjut ke propinsi ;

5. Kepala Instansi Sosial Propinsi mengeluarkan Surat Keputusan tentang Izin Pengangkatan Anak untuk dapat diproses lebih lanjut di Pengadilan.

Pengajuan pengangkatan anak ke Pengadilan dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan ;

6. Setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial dan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota ; dan 7. Instansi sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan

pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.

b. Pengangkatan Anak Melalui Lembaga Pengasuhan Anak

35Ibid., Pasal 18

36Ibid,. Pasal 22

Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak, CAA harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak. Pada pengangkatan anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak, CAA harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal Permensos No. 110/HUK/2009.37 Prosedur pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption) melalui Lembaga Pengasuhan Anak ialah sebagai berikut38

1. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi Sosial Propinsi diatas kertas bermaterai cukup COTA melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA ;

;

2. Kepala Instansi Sosial Propinsi menugaskan Pekerja sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA ;

3. Kepala Instansi Sosial Propinsi mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan Sementara ;

4. Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara ;

5. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala Instansi Sosial Provinsi di atas kertas bermaterai cukup ;

6. Pekerja sosial dari Instansi Sosial Propinsi dan Pekerja sosial Lembaga Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA ;

37Ibid., Pasal 23

38Ibid., Pasal 27

7. Kepala Instansi Sosial Propinsi membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Propinsi ;

8. Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat untuk izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di pengadilan. Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan ;

9. Dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak akan dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak ;

10. Setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial dan ke Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten/Kota ;

11. Kepala Instansi Sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.

B. Prosedur Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing (Intercountry Adoption)

1. Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing

CAA pada pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA Warga Negara Asing, harus berada dalam Lembaga Pengasuhan Anak.

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh COTA Warga Negara

Asing, CAA harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Permensos No. l 10/HUK/2009. Pengajuan permohonan pengangkatan anak, selain harus memenuhi persyaratan yang ditentukan juga melampirkan penetapan pengadilan yang menetapkan bahwa CAA terlantar.39

Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Di Indonesia ialah sebagai berikut40

a. COTA mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif CAA dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 45 ayat (1) ;

:

b. Menteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA ;

c. Direktur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial cq Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak ;

d. Penyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA ; e. Bimbingan dan pengawasan dari Pekerja sosial selama pengasuhan

sementara ;

39Ibid., Pasal 42

40Ibid., Pasal 46

f. COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup ;

g. Kunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Departemen Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA ;

h. Direktur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA ;

i. Diterbitkannya Surat rekomendasi dari TIM PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak ;

j. Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan pengadilan. Pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan dilakukan oleh COTA atau kuasanya dengan mendaftarakan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan ;

k. Apabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/ wali yang sah/kerabat, Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak;

l. Setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan Departernen Sosial ; dan

m. Departemen Sosial mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut.

2. Pengangkatan Anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia

Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia harus dilaporkan dan dicatat di instansi yang berwenang dengan tembusan pemberitahuan ke Departemen Sosial.41 Tata cara pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia, tunduk kepada tata cara dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara asal anak. Pemerintah Indonesia dapat memberikan rekomendasi sesuai dengan permintaan Negara yang bersangkutan.42

C. Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Yang Dilahirkan Di Luar Wilayah Indonesia

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia yang berada di luar Negeri, harus dilaksanakan di Negara Republik Indonesia. Pengangkatan anak yang dilahirkan di luarwilayah Indonesia yang memerlukan perlindungan khusus dapat dilakukan pengangkatan anak oleh COTA Warga Negara Asing.43

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Indonesia atau warga Negara Asing yang berada di luar Negeri harus memenuhi persyaratan dan tata cara pengangkatan anak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan ini, yaitu44

41Ibid., Pasal 48 ayat (2)

42Ibid., Pasal 49

43Ibid., Pasal 51

44Ibid., Pasal 52

:

a. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah RI melalui Perwakilan RI di Negara COTA dan CAA berada ;

b. Adanya pengesahan atas dokumen pengangkatan anak di Negara asal COTA melalui Departemen Luar Negeri Negara setempat, untuk kemudian dilihat/diketahui oleh Perwakilan RI di Negara tersebut dan kemudian disahkan di Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Negara asal COTA di Jakarta serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ;

c. Menyampaikan laporan sosial CAA secara tertulis dan berkala minimal 1 (satu)tahun sekali ke Perwakilan RI dimana COTA dan CAA berada dan COTA mengijinkan bilamana Tim berkunjung untuk melihat perkembangan CAA ;

d. CAA sementara ditempatkan di Lembaga Sosial setempat yang memperoleh izin dari Pemerintah Negara setempat hingga COTA memperoleh penetapan atau putusan pengangkatan anak dari Pengadilan.

Dalam hal ibu kandung CAA berkewarganegaraan Indonesia dan ayah kandung berkewarganegaraan asing pelaksanaan pengangkatan anak dapat diproses di Negara Republik Indonesia atau di Negara asal ayah kandung CAA.45

1. Pengangkatan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama

D . Pelaksanaan Proses Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama

45Ibid., Pasal 50

Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di tanah air, akan tetapi di satu sisi sebagaimana diakui Mahkamah Agung aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai saat ini belum memadai. Di sisi yang lain, pengesahan pengangkatan anak tersebut telah diklaim sebagai lembaga hukum yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri. Sedangkan pada saat yang sama sejak diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), Pengadilan Agama merasa berkepentingan pula untuk menangani pengesahan pengangkatan anak ini. Alasannya adalah Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) telah secara eksplisit istilah anak angkat menurut versinya.46

Pengadilan Agama hanya berwenang mengurusi pengangkatan anak di kalangan umat Islam dan pengangkatan anak antar Negara ( Intercountry adoption ) yang beragama Islam. Di luar pengangakatan anak menurut

perspektif hukum Islam, kewenangan ada di tangan Pengadilan Negeri, termasuk pengangkatan anak antar Negara ( Intercountry adoption ) yang beragama non Islam. Kewenangan Pengadilan Agama menetapkan asal usul anak malah sudah disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sejak tahun 1991. Pasal 103 kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menyebutkan bahwa asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lain. Jika akta kelahiran atau bukti lain tidak ada, maka yang berwenang menetapkan asal usul anak adalah Pengadilan Agama.47

46Hasil Wawancara dengan Bapak M. Yusafrihardi Girsang, Ketua Pengadilan Agama Tebing Tinggi Pada Tanggal 17 November 2016

47Hasil Wawancara dengan Bapak M. Yusafrihardi Girsang, Ketua Pengadilan Agama Tebing Tinggi Pada Tanggal 17 November 2016

Mahkamah Agung juga memberikan tiga arahan yang harus diperhatikan hakim sebelum memutus penetapan pengangkatan anak. Arahan itu juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :48

1. Pengangkatan anak bisa dilakukan demi kepentingan terbaik anak.

2. Calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat, bila asal usul anak tidak diketahui maka disesuaikan dengan mayoritas penduduk setempat. Menurut pendapat penulis, aturan ini mencegah terjadinya pengangkatan anak yang berbeda agama dengan orang tua angkat, sehingga pembenturan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri tidak akan terjadi.

3. Pengangkatan anak oleh orang asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Menurut pendapat penulis, aturan ini wajib ditaati karena apabila hal ini terjadi maka, mencederai bunyi dari Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dimana fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh Negara. Kalaupun pengangkatan anak oleh orang asing tersebut terjadi, maka diahruskan mentaati bunyi Pasal 40 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu mewajibkan orang tua angkat memberitahukan asal usul anak dan orang tua kandung kepada si anak kelak dan dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Menurut SEMA bentuk keputusan pengangkatan anak ada dua macam, yaitu penetapan dan putusan. Berbentuk penetapan jika pengangkatan anak terjadi

48Hasil Wawancara dengan Bapak M. Yusafrihardi Girsang, Ketua Pengadilan Agama Tebing Tinggi Pada Tanggal 17 November 2016

antar WNI dan berbentuk putusan jika terjadi antara WNI dengan WNA atau WNA dengan WNI. Oleh karena dalam pembahasan ini hanya membahas pengangkatan anak antar WNI maka, sudah barang tentu keputusan Pengadilan Agama yang menjadi produk adalah berupa penetapan. Oleh karena berupa penetapan maka sistematikanya seperti sistematika penetapan perkara voluntair pada umumnya.

2. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Permohonan Pengangkatan Anak

Prosedur menerima, memeriksa dan mengadili perkara permhonan pengangkatan anak anatar Warga Negara Indoesia, harus diperhatikan tahapan-tahapan dan persyaratan sebagai berikut :49

1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.

A. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan

2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undangnya.

3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditanda tangani oleh pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.

5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan dan di alamatkan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili calon anak angkat. Kesalahan alamat sesuai dengan kompetensi

49Hasil Wawancara dengan Bapak M. Yusafrihardi Girsang, Ketua Pengadilan Agama Tebing Tinggi Pada Tanggal 17 November 2016

relative mengakibatkan permohonan tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard ) karena alasan pengadilan tidak berwenang

mengadili. Mahkamah Agung menegaskan dalam lampiran SEMA Nomor 6 Tahun 1983 bahwa permohonan pengangkatan anak yang tidak diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum anak tersebut bertempat tinggal atau bertempat kediaman, dinyatakan tidak dapat diterima atau pemohon dianjurkan untuk mencabut permohonannya dan mengajukan kembali pada pengadilan yang berwenang.

Perkara pengangkatan anak kewenangan Pengadilan Agama yang bersifat voluntair dapat berkembang ke arah perkara yang bersifat contentiosa antara orang-orang beragama Islam maupun antara orang yang beragama Islam dengan orang yang beragama selain Islam. Contoh perkara yang demikian, misalnya dalam perkara pencabutan kekuasaan orang tua angkat karena alasan sesuatu hal yang sangat merugikan kepentingan anak angkat atau karena orang tua angkat murtad. Pada waktu yang lalu, pengangkatan anak yang telah terjadi dalam perkara itu dilakukan antara orang-orang yang beragama Islam di pengadilan agama. Perkara pengangkatan anak yang demikian tetap menjadi wewenang pengadilan agama, karena yang dijadikan pedoman “ antara orang-orang yang beragama Islam “ adalah ketika hubungan hukum itu terjadi, yakni

Perkara pengangkatan anak kewenangan Pengadilan Agama yang bersifat voluntair dapat berkembang ke arah perkara yang bersifat contentiosa antara orang-orang beragama Islam maupun antara orang yang beragama Islam dengan orang yang beragama selain Islam. Contoh perkara yang demikian, misalnya dalam perkara pencabutan kekuasaan orang tua angkat karena alasan sesuatu hal yang sangat merugikan kepentingan anak angkat atau karena orang tua angkat murtad. Pada waktu yang lalu, pengangkatan anak yang telah terjadi dalam perkara itu dilakukan antara orang-orang yang beragama Islam di pengadilan agama. Perkara pengangkatan anak yang demikian tetap menjadi wewenang pengadilan agama, karena yang dijadikan pedoman “ antara orang-orang yang beragama Islam “ adalah ketika hubungan hukum itu terjadi, yakni

Dokumen terkait