• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, permasalahan-permasalahan yang diangkat di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana pengaturan pengangkatan anak di Indonesia?

2. Bagaimana prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama?

3. Bagaimana akibat hukum atas pengangkatan anak yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan pengangkatan anak di Indonesia 2. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama 3. Untuk mengetahui akibat hukum atas pengangkatan anak yang telah

ditetapkan oleh Pengadilan Agama D. Manfaat Penulisan

Dalam suatu penelitian yang buat diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, demikian pula yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Secara teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan hukum khususnya yang berkaitan dengan Pengangkatan Anak.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran yuridis terhadap perkembangan hukum dan menambah referensi serta litelatur kepustakaan di bidang Hukum Perdata.

c. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman ilmiah baik secara khusus maupun secara umum berkenaan dengan Tata Cara Pengangkatan Anak.

2. Secara Praktis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan serta pola pikir yang kritis bagi penulis dan

pihak-pihak yang terkait seperti Pemerintah dalam pengaturan mengenai Prosedur Pengangkatan Anak.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman terhadap penelitian-penelitian sejenis berikutnya.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukum Terhadap Anak Setelah Diangkat” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisannya diperoleh berdasarkan litelatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli karya ilmiah penulis dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.

F. Metode Penelitian

Setiap penelitian ilmiah haruslah menggunakan metode penelitian yang sesuai agar dapat diperoleh hasil penelitian dengan data yang akurat. Metode penelitian adalah menggunakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam penelitian, dalam menarik suatu kesimpulan, jika telah disertai bukti yang meyakinkan dan bukti-bukti harus jelas.

Jadi suatu metode harus dipilih berdasarkan pada kesesuaian terhadap masalah yang akan diteliti, yang nantinya berhasil atau tidaknya suatu penelitian sangat tergantung pada metode yang dipakai, maka dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, maksudnya adalah penelitian yang menggungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta. Penelitian deskriptif analistis pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu daerah tertentu, mengenai sifat, karakteristik dan faktor-faktor tertentu.16

2. Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian hukum normatif dan hukum sosiologi. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yaitu untuk mengkaji asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Penelitian hukum sosiologi adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum dijalankan pada prateknya.

3. Jenis Data

a. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data , yaitu data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, yaitu dari bahan dokumentasi atau bahan yang ditulis berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan-laporan, dan sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

16Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jember : Rajawali Pers, 1996), hal. 35

b. Data primer yakni data langsung dan diperoleh dari informan penelitian melalui metode wawancara.

4. Sumber Data

a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari Norma atau kaidah dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Peraturan Dasar yaitu batang tubuh

UUD 1945, peraturan perundang-undangan yaitu UU atau Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah; bahan hukum ya ng tidak dikodifikasi misalnya hukum adat; yurisprudensi; traktat; serta bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku misalnya KUH Perdata.17

b. Bahan hukum sekunder, merupakan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (hasil) dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, merupakan data yang bersifat menunjang data primer dan sekunder atau biasa disebut bahan referensi (bahan acuan, bahan rujukan) misalnya kamus, ensiklopedia dll.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Lapangan

17Ibid., hal. 116

Teknik pengumpulan data studi lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung dengan sejumlah informan.

b. Studi Kepustakaan

Teknik pengumpulan data dengan melakukan studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan bahan dokumentasi berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan-laporan, literatur-literatur yang akan dikaitkan dengan masalah yang diteliti.

6. Analisa Data

Metode analisa data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif yaitu suatu metode dan taktik pengumpulan datanya memakai metode observasi. Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat yang kemudian disusun secara sistematis untuk mencapai kejelasan masalah yang akan di bahas dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi atas 5 bab yang saling berangkai satu dengan yang lainnya dan setiap bab di bagi lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pengantar yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

Merupakan gambaran umum tentang pengangkatan anak, dimana pada bab ini diuraikan tentang pengertian anak dan pengangkatan anak, sejarah lahirnya pengangkatan anak, dasar hukum pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, dan kedudukan anak angkat menurut yurisprudensi.

BAB III : PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA Pada bab ini diuraikan tentang prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama, yaitu dimulai dari membahas tugas pokok dan fungsi Pengadilan Agama Tebing Tinggi, tata cara pengangkatan anak di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dan mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak, serta membahas proses pengangkatan anak sampai dikeluarkannya penetapan hakim.

BAB VI : AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK OLEH PENGADILAN AGAMA

Merupakan bab yang membahas secara detail mengenai akibat hukum pengangkatan anak oleh pengadilan agama yang di lihat dari tiga sisi yaitu : akibat hukum pengangkatan anak terhadap anak setelah diangkat, akibat hukum pengangkatan anak terhadap orang tua kandung dan orang tua angkat.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan saran-saran yang merupakan hasil pikiran penulis yang timbul saat penulis menguraikan permasalahan dalam skripsi ini.

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak

Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’

merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini merujuk pada perkembangan mental seseorang walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja di asosiasikan dengan istilah

“anak”.

Beberapa ketentuan yang mengatur tentang pengertian anak ialah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU No.35 Tahun 2014) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa batas antara belum dewasa (minderjerigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis Pasal 419). Pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya.18

Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status atau kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.

Menurut Pasal 1 angka (9) UU No. 23 Tahun 2002 dinyatakan bahwa Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

19

Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk melanjutkan keturunan, suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan.

Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja

18R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-40, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), Pasal 330

19B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, (Rajawali Pers: Jakarta, 1989), hal. 45

atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap keponakan sendiri, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat.

Memang jika anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu hal ini secara psikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga kehadirannya di tengah-tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis. Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri penghulu, pengetua adat setempat serta disaksikan oleh anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat menjadi terang dan jelas.

Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung.

Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.20

a. Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi, antara lain:

20Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1980), hal.4

“Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.”21

b. Kemudian Mahmud Syaltut, membedakan dua pengertian pengangkatan anak yaitu:

Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia

sebagai anak orang lain ke dalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat

anak secara mutlak). Menurut “tabanni”dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.

Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal untuk mendapatkan warisan

21Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan asas-asas hukum adat, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hal.5

dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya.22

c. Surjono Sukanto, memberi rumusan tentang adopsi/pengangkatan anak sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.

d. Pengangkatan anak menurut M.M. Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa sehingga anak itu baik secara lahir dan batin merupakan anak sendiri.23

e. Ter Haar Bzn berpendapat bahwa perbuatan memasukkan dalam keluarganya seorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia, perbuatan ini yang disebut adopsi/pengangkatan anak.24

f. Soepomo, memberikan rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.

22Ibid

23Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal.33

24B. Bastian Tafal, Op.Cit., hal 46

g. Seorang sarjana Hukum Belanda yang khusus mempelajari tentang adopsi, yaitu J.A Nota, memberi rumusan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang berpindah ke dalam ikatan keluarga yang lain, dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebahagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.25

Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian pengangkatan anak, tapi hal ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah pengangkatan anak adalah pengertian menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.26

25Djaja S. Meliala, Op.Cit., hal 3

26Ibid.

Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing yang dilakukan dengan menyerahkan anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua yang akan mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti halnya yang dilakukan pada pengangkatan anak dalam lingkungan penduduk golongan Tionghoa yaitu berdasarkan: Bepaling voor geheel Indonesie betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van Adoptie.

Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki tetapi kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap pula sah.

B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak, dalam Bab II diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi orang- orang Tionghoa.

Dari ketentuan tersebut, disebutkan bahwa yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda ataupun janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.

Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 ini hanya sebagai pedoman bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa “pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum”.

Setelah zaman kemerdekaan pada tahun 1958 dikeluarkan Undang- undang Nomor 62 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-undang ini, mengenai hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 2. Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 yang mengatur tentang gaji pegawai negeri sipil yang memungkinkan mengangkat anak di Pengadilan Negeri. Sejak itu pengangkatan anak mulai banyak dilakukan oleh para pegawai negeri sipil dengan berbagai motivasi.

Pada Tahun 1978 dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari yang mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak, khususnya anak angkat maka pada Tahun 1979 dikeluarkan Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dalam undang-undang ini pun diatur secara tegas motif dan anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.

Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Maka pada tahun 2002 disahkannya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak dengan tujuan pengangkatan anak tersebut hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Kemudian pada tahun 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat

oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut, maka dibentuklah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku mulai 8 Februari 2005.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukan adanya perubahan pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.27

Praktek pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat

Praktek pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat

Dokumen terkait