• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PELAKSANAAN DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK (STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROSES PELAKSANAAN DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK (STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI) SKRIPSI"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PELAKSANAAN DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

(STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI

OLEH:

WINDA APRILIA TAMBUNAN 130200171

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2017

(2)

PROSES PELAKSANAAN DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK

(STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI

OLEH:

WINDA APRILIA TAMBUNAN 130200171

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP 196603031985081001 Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Edy Ikhsan, SH.,M.A

NIP. 196302161988031002 NIP. 196101181988031010 Zulkifli Sembiring, SH.,M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2017

(3)

ABSTRAK Edy Ikhsan1 Zulkifli Sembiring2 Winda Aprilia Tambunan3

Pengan gkatan anak akhir-akhir ini masih dipilih oleh masyarakat sebagai pilihan untuk mempunyai anak. Motivasi serta tujuan yang berbeda-beda menjadi landasan dalam hal pelaksanaanya. Beberapa dari motivasi itu menjadikan suatu peraturan tidak dijalankan atau dilaksanakan dengan baik dan benar, sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan hukum seperti melakukan pengangkatan anak yang tidak melalui penetepan dari Pengadilan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagimana pelaksanaan dan akibat hukum pengangkatan anak melalui penetapan Pengadilan Agama.

Untuk menjawab masalah yang dikaji tersebut, penulis menggunakan jenis penelitian yang bersifat normatif dan pendekatan yang dipakai didalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan. Pengangkatan anak yang disahkan dengan penetapan pengadilan berakibat hukum hubungan hukum antara anak angkat dan orangtua angkatnya yang artinya bila nanti dikemudian hari terjadi masalah atau sengketa masing-masing pihak (dalam hal ini orangtua angkat dan anak angkat) dapat saling menggungat di muka Pengadilan maka hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tidak dapat dituntut ke Pengadilan, dan beberapa akibat-akibat hukum lainnya. Untuk masalah bentuk perlindungannya, bagi anak angkat berhak atas status yang legal dan hal ini dibuktikan dengan adanya penetapan dari pengadilan yang menyatakan secara sah bahwa pengangkatan anak telah terjadi dan sah dimata hukum.

Keyword : Pengangkatan Anak, Akibat Hukum Pengangkatan Anak.

1 Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat rahmat dan karunia Nya lah akhirnya penulis dapat mengikuti prosespendidikan di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PROSES PELAKSANAAN DAN AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK (STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI)”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna sehingga penulis berterima kasih jika ada yang memberi kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah banyak membantu, memberi dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan trima kasih, penghormatan dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H, Mhum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M.Hum., selaku Wakil Dekan II di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,.

(5)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

5. Bapak Dr. Edy Ikhsan S.H, M.A., selaku Dosen Pembimbing I, yang juga telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

6. Bapak Zulkifli Sembiring , S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

7. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik.

8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta kepada seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis dalam haladministrasi selama masa perkuliahan.

9. Bapak M. Yusafrihardi Girsang, SH.M.H, selaku Ketua Pengadilan Agama Tebing Tinggi.

10. Secara khusus penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada keluarga yakni;

a. Ayahanda tercinta Ir. Sarwin Tambunan M.AP., yang banyak menginspirasi penulis untuk bisa menuntut ilmu di Fakultas Hukum dan menjadi penegak hukum yang memegang teguh nilai-nilai luhur;

(6)

b. Ibunda tercinta Farida Sondang Manurung S.H, atas segala kasih sayang, cinta , nasehat, doa dan atas perjuangan Mama yang tidak henti-hentinya berkerja keras sehingga penulis bisa menjadi seperti ini;

c. Kepada adik-adik tersayang Widya Syafira Tambunan dan Najwa Sabrina Tambunan yang tidak pernah berhenti memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

d. Kepada paman terbaik penulis Fajar Rudi Manurung S.H, M.H yang banyak memberi inspirasi dan ilmu-ilmu yang bermanfaat.

e. Semua teman-teman seperjuangan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Teramat spesial kepada Iin Karnaen, Khairina Ramadani, Lili Wahyuni, Anita Anjaswari Harahap dan Maura Meralda Harahap yang telah banyak membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis, dan juga secara umum untuk seluruh teman- teman stambuk 2013 yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.

f. Kepada Muhammad Fauzan Hanif Harahap telah banyak membantu dan mendukung penulis selama ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar selanjutnya penulis dapat membuat karya penulisan yang lebih baik lagi.

Medan, Januari 2017 Penulis

Winda Aprilia Tambunan

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak ... 18

B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak ... 24

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 27

D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak ... 29

E. Kedudukan Anak Angkat Menurut Yurisprudensi ... 36

BAB III : PROSEDUR PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK A. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia ... 41

(8)

1. Pengangkatan Anak Berdasarkan Adat Kebiasaan ... 41 2. Pengangkatan Anak Berdasarkan Peraturan

Perundang-Undangan ... 41 a. Pengangkatan Anak Secara Langsung ... 41 b. Pengangkatan Anak Melalui Lembaga

Pengasuhan Anak ... 42 B. Prosedur Pengangkatan Anak Antara Warga Negara

Indonesia Dengan Warga Negara Asing

(Intercountry Adoption) ... 44 1. Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh

Warga Negara Asing ... 44 2. Pengangkatan Anak Warga Negara Asing Oleh

Warga Negara Indonesia ... 47 C. Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia

Yang Dilahirkan Di Luar Wilayah Indonesia ... 47 D. Pelaksanaan Proses Pengangkatan Anak Di Pengadilan

Agama ... 48 1. Pengangkatan Anak Pasca Perubahan

Undang-Undang Peradilan Agama ... 48 2. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara

Permohonan Pengangkatan Anak ... 51

BAB IV : TINJAUAN MENGENAI PENGANGKATAN ANAKDI PENGADILAN AGAMA TEBING TINGGI

A. Profil Pengadilan Agama Tebing Tinggi ... 62

(9)

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama

Tebing Tinggi ... 61 2. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Tebing

Tinggi ... 60 B. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Mengeluarkan

Penetapan Pengangkatan Anak ... 68 C. Kekuatan Mengikat Surat Penetapan Pengangkatan

Anak ... 73 D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ... 82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN

Penetapan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 01/Pdt.P/2016/PA.TTD

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup bangsa dan Negara. Setiap anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.4

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disebut UU No.4 Tahun 1979)dinyatakan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak.

5

Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak di Indonesia. Kenyataan yangdijumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih

Menurut UU No.4 Tahun 1979, batas 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial, tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan mental. Pada usia 21 tahun, anak sudah dianggap mempunyai kematangan sosial, kematangan secara pribadi dan kematangan mental.

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan terhadap anak diperlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial dan lembaga pendidikan.

4Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal.4

5UU No.4 Tahun 1979, Pasal 1 angka 2

(11)

banyak dijumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak terlantar, anak yatim piatu, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan baik dari pemerintah maupun masyarakat.6

Pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UU No.1 Tahun 1974) dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa”.Menurut UU No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia. Keluarga merupakan orang seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.7Di dalam KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.8 Pada Pasal 250 KUHPerdata bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya. Dengan demikian, anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan walaupun dari benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan.9

Fungsi dasar dan terbesar dalam perkawinan manusia dapat memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus di masa yang akan datang. Sesuai dengan

6Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bagian Penjelasan paragraf ke-2

7Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quarisy, 2005), hal.17

8J.Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 18

9Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju, 1990), hal 133

(12)

ketentuan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Sudah menjadi kodrat alam bahwa di dalam kehidupan berkeluarga setiap pasangan suami-istri berkeinginan untuk mempunyai keturunan yang merupakan darah dagingnya sendiri. Kehidupan perkawinan mencerminkan suatu tujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, yang kenyataannya pada masyarakat Indonesia ini masih banyak pasangan suami-isteri yang telah menikah, tetapi tidak memperoleh keturunan.

Kehadiran seorang anak dalam perkawinan memiliki arti yang penting, sehingga terdapat pandangan dalam masyarakat bahwa tanpa adanya anak, perkawinan yang telah berlangsung akan hampa karena tidak terwujudnya suatu keluarga utuh yang didambakan dan juga mengakibatkan kepunahan pada lingkungan keluarga.

Keluarga memiliki peranan yang penting dalam pembangunan bangsa serta Negara, karena dalam satuan terkecil di masyarakat keluarga merupakan landasan utama dalam pembentukan bangsa dan Negara. Mengingat peranan yang dimiliki sebuah keluarga sangatlah penting bagi tegak dan sejahteranya masyarakat dan Negara, maka Negara membutuhkan tata tertib dan kaidah- kaidah yang akan mengatur tentang keluarga sehingga munculah istilah hukum keluarga yang diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan, termasuk di dalamnya adalah perkawinan, kekuasaan orangtua, perwalian, pengampuan dan keadaan tidak hadir.10

10Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal. 93

(13)

Selain itu peranan penting keluarga dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil didalam masyarakat luas, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Namun tidak selalu ketiga unsur tersebut terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan.

Dalam hal pemilikan anak, usaha yang mereka lakukan untuk menghidupkan suasana keluarga walaupun tanpa memiliki anak dapat ditempuh melalui cara mengangkat anak yang diharapkan dapat menjadi penghibur disaat kesepian, juga sebagai pembangkit rasa tanggung jawab ayah dan ibunya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 2002), pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak, namun ada berbagai alasan mengapa pasangan suami-istri memutuskan untuk mengadopsi/mengangkat seorang anak.

Cara mendapatkan anak lewat jalan adopsi zaman dahulu dan sekarang berbeda-beda, pada zaman dahulu jika ingin mengadopsi/mengangkat anak pada umumnya lebih cenderung untuk mengangkat anak dari lingkungan keluarga dekat atau jauh untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya jika anak tersebut telah dewasa dan dia mengetahui bahwa orang yang dianggapnya sebagai orang tua ternyata hanya sebagai orang tua angkat, maka akan lebih mudah untuk menjelaskan kepada anak tersebut jika orang tua aslinya masih dalam kalangan keluarga, dan anak tersebut juga tidak terlalu merasa dibuang oleh orang tua asalnya karena orang yang selama ini ia anggap orang tuanya sendiri ternyata masih ada hubungan keluarga.

(14)

Dalam adat yang berkembang di masyarakat yang beraneka kebiasaan dan sistem peradabannya banyak cara yang dilakukan untuk mengangkat anak atau mengadopsi anak dilihat dari kehidupan sehari-hari, pengangkatan anak lebih banyak berdasarkan atas pertalian darah, sehingga kelanjutan kehidupan keluarga tersebut tergantung kepadanya, adapun harta kekayaan tersebut juga tergantung apakah anak yang dimaksud berdasarkan pertalian darah atau tidak. Demikian juga kedudukan anak tersebut dalam masyarakat masih dipengaruhi oleh perlakuan dan pertimbangan hukum tertentu.

Lembaga pengangkatan anak dalam suatu masyarakat merupakan kebutuhan tersendiri bagi setiap keluarga yang menginginkannya, misalnya di Indonesia yang pada mulanya pengangkatan anak bertujuan untuk untuk melanjutkan keturunan atau menjadikan anak angkat sebagai anak kandung sendiri sehingga dapat mewaris. Kini lembaga pengangkatan anak semakin berkembang luas, karena dalam perkembangannya tujuan pengangkatan anak tersebut bukan hanya untuk melanjutkan keturunan saja. Semakin berkembangnya lembaga pengangkatan anak tersebut dipengaruhi oleh semakin banyaknya motivasi-motivasi pengangkatan anak di dalam masyarakat.

Pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. 11

Pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum, yaitu melalui Penetapan Pengadilan. Pengangkatan anak melalui Lembaga Pengadilan adalah

11Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1984), hal.

44

(15)

untuk mendapatkan kepastian hukum, karena akibat hukum pengangkatan anak menyangkut kewarisan dan tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Pengajuan permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama bagi yang beragama islam.

Lembaga pengangkatan anak sudah lazim dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia. Kehadiran Kompilasi Hukum Islam yang merupakan himpunan kaidah-kaidah Islam yang disusun secara sistematis dan lengkap mengakui eksistensi lembaga pengangkatan anak. Kompilasi Hukum Islam ini menjadi sumber hukum Islam bagi masyarakat muslim Indonesia yang melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak dan menjadi pedoman hukum materiil bagi pegadilan agama dalam mengadili perkara pengangkatan anak.

Kebutuhan hukum orang-orang beragama Islam untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak sesuai dengan pandangan hidup dan kesadaran hukumnya, yaitu berdasarkan hukum Islam yang seharusnya menjadi kewenangan Pengadilan Agama itu, akhirnya ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 bahwa pengangkatan anak antara orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama memberikan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.12

12Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2008), hal 81

Dalam hukum Indonesia kita mengenal ada beberapa macam istilah yang berhubungan dengan pengangkatan anak, masing-masing tertuju pada bentuk pengangkatan anak yang berbeda. Kalau mendengar istilah hukum adopsi biasanya yang terbayang adalah adopsi sebagai mana yang diatur dalam Burgelijk Wetboek (BW).

(16)

Golongan Indonesia asli mengenal lembaga pengangkatan anak yang diatur dalam hukum adat masing-masing yang bercorak pluralistis. Mengangkat anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan di negara kita, oleh orang Indonesia asli, dan/atau oleh warganegara asing terhadap anak-anak Indonesia dan sebaliknya, juga oleh mereka yang memeluk agama Islam, padahal hukum Islam tidak mengenal lembaga pengangkatan anak.13

Pengangkatan anak dalam Fikih Islam dikenal dengan sebutan tabbani.

Salah satu faktor dari tabanni terkadang karena keinginan mereka untuk meringankan beban orang tua kandung anak angkatnya yang serba minim, baik karena hidup pas-pasan atau karena mempunyai anak yang banyak. Alhasil, faktor ini menjadi penyebab kurangnya perhatian terhadap kesehatan, pendidikan, perawatan, pengajaran, dan kasih sayang anak-anaknya. Setiap anak yang dilahirkan memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk mengantarkannya menuju kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh cara perawatan dan pengasuhan anak sejak dia dilahirkan.

Tumbuh kembang anak diperlukan perhatian yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi dibawah lima tahun). Demikian pula perkembangan psikologis anak juga mengalami fase-fase yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya.14

Tabanni merupakan bahasan yang sangat penting, karena pranata dalam

lapangan hukum kepardataan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anak agar bisa tumbuh kembang dengan baik di

13S. Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. VII (Jakarta : PT Kinta, 1969), hal. 117

14Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 202

(17)

masa mendatang. Namun disisi lain dua pranata tersebut tentu ada perbedaan, apalagi peristiwa hukum yang dijalani, prosesnya berbeda, sehingga melahirkan akibat hukum yang berbeda sebagai konsekuensi dari sebuah peristiwa hukum.

Maka, konsekuensi yang berbeda itulah agar bisa dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat, sehingga tetap dalam batas-batas ketentuan Fikih Islam.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa praktek pengangkatan anak telah dikenal luas oleh kalangan masyarakat Indonesia. Namun masih banyak orang- orang yang melakukan proses pengangkatan anak secara langsung tanpa melalui proses yang benar yaitu, melalui Penetapan Pengadilan.

Mengingat kondisi pengangkatan anak yang ada dalam masyarakat kita tidak sesuai dengan yang seharusnya, masih banyaknya orang-orang yang tidak mengikuti peraturan yang ada demi mencari keuntungan sendiri dan kelancaran proses yang mereka lakukan bahkan dengan memalsukan akte lahir anak. Proses pengangkatan anak yang semacam itu sampai saat ini masih banyak dilakukan karena rendahnya kesadaran masyarakat akan hukum dan kurangnya sosialisasi yang menyeluruh mengenai program pengangkatan anak yang sah.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut diperlukan adanya suatu pengaturan secara khusus tentang pelaksanaan pengangkatan anak sesuai dengan prosedur, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan

(18)

Anak (selanjutnya disebut UU No. 54 Tahun 2007) yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 23 Tahun 2002.15

Banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaanpengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang tepat, pemalsuan data dan perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak, maka untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut diperlukan adanya suatu pengaturan secara

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan pengangkatan anak yang berlaku secara nasional tanpa mengesampingkan hukum positif lainnya yaitu hukum adat dan hukum agama ini diharapkan terjadinya pengangkatan anak yang bertujuan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan anak. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan anak, berlakunya Peraturan Pemerintah bertujuan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi terhadap anak.

Peraturan Pemerintah ini berlaku sebagai salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak.

Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Indonesia telah di tindak lanjuti dengan disahkannya UU No.23 tahun 2002.

Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak.

Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada perturan perundang- undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

15PP No.54 Tahun 2007, bagian Penjelasan paragraf ke-4

(19)

khusus tentang pelaksanaan pengangkatan anak sesuai prosedur, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dimaksudkan agar pelaksanaan pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Hal ini bertujuan untuk dapat mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengangkatan anak di Pengadilan Agama dan akibat hukumnya, sehingga penulis memilih judul “Proses Pelaksanaan dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tebing Tinggi).”

B.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, permasalahan-permasalahan yang diangkat di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana pengaturan pengangkatan anak di Indonesia?

2. Bagaimana prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama?

3. Bagaimana akibat hukum atas pengangkatan anak yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama?

(20)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan pengangkatan anak di Indonesia 2. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama 3. Untuk mengetahui akibat hukum atas pengangkatan anak yang telah

ditetapkan oleh Pengadilan Agama D. Manfaat Penulisan

Dalam suatu penelitian yang buat diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, demikian pula yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Secara teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan hukum khususnya yang berkaitan dengan Pengangkatan Anak.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran yuridis terhadap perkembangan hukum dan menambah referensi serta litelatur kepustakaan di bidang Hukum Perdata.

c. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman ilmiah baik secara khusus maupun secara umum berkenaan dengan Tata Cara Pengangkatan Anak.

2. Secara Praktis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan serta pola pikir yang kritis bagi penulis dan

(21)

pihak-pihak yang terkait seperti Pemerintah dalam pengaturan mengenai Prosedur Pengangkatan Anak.

b. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman terhadap penelitian-penelitian sejenis berikutnya.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukum Terhadap Anak Setelah Diangkat” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisannya diperoleh berdasarkan litelatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli karya ilmiah penulis dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.

F. Metode Penelitian

Setiap penelitian ilmiah haruslah menggunakan metode penelitian yang sesuai agar dapat diperoleh hasil penelitian dengan data yang akurat. Metode penelitian adalah menggunakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam penelitian, dalam menarik suatu kesimpulan, jika telah disertai bukti yang meyakinkan dan bukti-bukti harus jelas.

Jadi suatu metode harus dipilih berdasarkan pada kesesuaian terhadap masalah yang akan diteliti, yang nantinya berhasil atau tidaknya suatu penelitian sangat tergantung pada metode yang dipakai, maka dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

(22)

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, maksudnya adalah penelitian yang menggungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta. Penelitian deskriptif analistis pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu daerah tertentu, mengenai sifat, karakteristik dan faktor-faktor tertentu.16

2. Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi penelitian hukum normatif dan hukum sosiologi. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yaitu untuk mengkaji asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Penelitian hukum sosiologi adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum dijalankan pada prateknya.

3. Jenis Data

a. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data , yaitu data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, yaitu dari bahan dokumentasi atau bahan yang ditulis berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan- laporan, dan sebagainya yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

16Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jember : Rajawali Pers, 1996), hal. 35

(23)

b. Data primer yakni data langsung dan diperoleh dari informan penelitian melalui metode wawancara.

4. Sumber Data

a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari Norma atau kaidah dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Peraturan Dasar yaitu batang tubuh

UUD 1945, peraturan perundang-undangan yaitu UU atau Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah; bahan hukum ya ng tidak dikodifikasi misalnya hukum adat; yurisprudensi; traktat; serta bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku misalnya KUH Perdata.17

b. Bahan hukum sekunder, merupakan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang- Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (hasil) dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, merupakan data yang bersifat menunjang data primer dan sekunder atau biasa disebut bahan referensi (bahan acuan, bahan rujukan) misalnya kamus, ensiklopedia dll.

5. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Lapangan

17Ibid., hal. 116

(24)

Teknik pengumpulan data studi lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung dengan sejumlah informan.

b. Studi Kepustakaan

Teknik pengumpulan data dengan melakukan studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan bahan dokumentasi berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan-laporan, literatur-literatur yang akan dikaitkan dengan masalah yang diteliti.

6. Analisa Data

Metode analisa data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif yaitu suatu metode dan taktik pengumpulan datanya memakai metode observasi. Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat yang kemudian disusun secara sistematis untuk mencapai kejelasan masalah yang akan di bahas dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi atas 5 bab yang saling berangkai satu dengan yang lainnya dan setiap bab di bagi lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pengantar yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

(25)

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

Merupakan gambaran umum tentang pengangkatan anak, dimana pada bab ini diuraikan tentang pengertian anak dan pengangkatan anak, sejarah lahirnya pengangkatan anak, dasar hukum pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, dan kedudukan anak angkat menurut yurisprudensi.

BAB III : PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA Pada bab ini diuraikan tentang prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama, yaitu dimulai dari membahas tugas pokok dan fungsi Pengadilan Agama Tebing Tinggi, tata cara pengangkatan anak di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dan mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak, serta membahas proses pengangkatan anak sampai dikeluarkannya penetapan hakim.

BAB VI : AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK OLEH PENGADILAN AGAMA

Merupakan bab yang membahas secara detail mengenai akibat hukum pengangkatan anak oleh pengadilan agama yang di lihat dari tiga sisi yaitu : akibat hukum pengangkatan anak terhadap anak setelah diangkat, akibat hukum pengangkatan anak terhadap orang tua kandung dan orang tua angkat.

(26)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan saran-saran yang merupakan hasil pikiran penulis yang timbul saat penulis menguraikan permasalahan dalam skripsi ini.

(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak

Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’

merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini merujuk pada perkembangan mental seseorang walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja di asosiasikan dengan istilah

“anak”.

Beberapa ketentuan yang mengatur tentang pengertian anak ialah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU No.35 Tahun 2014) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

(28)

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa batas antara belum dewasa (minderjerigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis Pasal 419). Pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya.18

Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status atau kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.

Menurut Pasal 1 angka (9) UU No. 23 Tahun 2002 dinyatakan bahwa Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

19

Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk melanjutkan keturunan, suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan.

Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja

18R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-40, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), Pasal 330

19B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, (Rajawali Pers: Jakarta, 1989), hal. 45

(29)

atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap keponakan sendiri, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat.

Memang jika anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu hal ini secara psikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga kehadirannya di tengah- tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis. Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri penghulu, pengetua adat setempat serta disaksikan oleh anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat menjadi terang dan jelas.

Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung.

Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.20

a. Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi, antara lain:

20Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1980), hal.4

(30)

“Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.”21

b. Kemudian Mahmud Syaltut, membedakan dua pengertian pengangkatan anak yaitu:

Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia

sebagai anak orang lain ke dalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat

anak secara mutlak). Menurut “tabanni”dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.

Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal untuk mendapatkan warisan

21Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan asas-asas hukum adat, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hal.5

(31)

dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya.22

c. Surjono Sukanto, memberi rumusan tentang adopsi/pengangkatan anak sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.

d. Pengangkatan anak menurut M.M. Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa sehingga anak itu baik secara lahir dan batin merupakan anak sendiri.23

e. Ter Haar Bzn berpendapat bahwa perbuatan memasukkan dalam keluarganya seorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia, perbuatan ini yang disebut adopsi/pengangkatan anak.24

f. Soepomo, memberikan rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.

22Ibid

23Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal.33

24B. Bastian Tafal, Op.Cit., hal 46

(32)

g. Seorang sarjana Hukum Belanda yang khusus mempelajari tentang adopsi, yaitu J.A Nota, memberi rumusan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang berpindah ke dalam ikatan keluarga yang lain, dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebahagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.25

Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian pengangkatan anak, tapi hal ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah pengangkatan anak adalah pengertian menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.26

25Djaja S. Meliala, Op.Cit., hal 3

26Ibid.

Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing yang dilakukan dengan menyerahkan anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua yang akan mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti halnya yang dilakukan pada pengangkatan anak dalam lingkungan penduduk golongan Tionghoa yaitu berdasarkan: Bepaling voor geheel Indonesie betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van Adoptie.

(33)

Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki tetapi kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap pula sah.

B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak, dalam Bab II diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi orang- orang Tionghoa.

Dari ketentuan tersebut, disebutkan bahwa yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda ataupun janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.

(34)

Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 ini hanya sebagai pedoman bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa “pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum”.

Setelah zaman kemerdekaan pada tahun 1958 dikeluarkan Undang- undang Nomor 62 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang- undang ini, mengenai hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 2. Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 yang mengatur tentang gaji pegawai negeri sipil yang memungkinkan mengangkat anak di Pengadilan Negeri. Sejak itu pengangkatan anak mulai banyak dilakukan oleh para pegawai negeri sipil dengan berbagai motivasi.

Pada Tahun 1978 dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari yang mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak, khususnya anak angkat maka pada Tahun 1979 dikeluarkan Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dalam undang-undang ini pun diatur secara tegas motif dan anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

(35)

Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.

Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Maka pada tahun 2002 disahkannya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak dengan tujuan pengangkatan anak tersebut hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Kemudian pada tahun 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat

(36)

oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut, maka dibentuklah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku mulai 8 Februari 2005.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang merupakan pelaksanaan dari Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukan adanya perubahan pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.27

Praktek pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan

27Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika,2004) hal.28

(37)

pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda- beda, sesuai dengan sistem hukum adat serta berkembang di daerah yang bersangkutan.28

Pengamatan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:29

1. Staatsblad 1917, Pasal 5 sampai dengan 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada;

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak;

3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979;

4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KPE/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak;

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;

28Ahmad Kamil, dan H.M. Fauzan., Op.Cit. hal.9

29Ibid., hal 52-53

(38)

7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama;

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

9. Peraturan Mentri Sosial No. 110 / HUK / 2009 tentang Peizinan Pengangkatan Anak.

10. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktek peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang- ulang, dalam waktu waktu yang lama sampai sekarang.

D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak

1. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia.

a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

1) Menurut Pasal 12 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:

a) belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b) merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d) memerlukan perlindungan khusus.

e) anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

f) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan

(39)

g) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan

perlindungan khusus.

2) Menurut Pasal 13 PP Nomor 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat (COTA) harus memenuhi syarat-syarat:

a) sehat jasmani dan rohani;

b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h) dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

j) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k) adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

(40)

m) memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

b. Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 110/ HUK / 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

1) Menurut Pasal 4 Permensos No : 110 / HUK /2009, adapun syarat- syarat calon anak angkat ;

a) anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b) merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;

c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan

d) memerlukan perlindungan khusus;

e) Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif CAA yang meliputi:

a) copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat calon anak angkat ( CAA );

b) copy kartu keluarga orang tua CAA; dan c) kutipan akta kelahiran CAA.

f) Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam (tiga) kategori yang meliputi:

a) anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus;

b) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan

(41)

laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat;

c) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus.

2) Menurut Pasal 7 Permensos No : 110 / HUK /.2009 adapun syarat- syarat calon orang tua angkat meliputi ;

a) Sehat jasmani dan rohani;

b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h) dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;

i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak;

j) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k) adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;

(42)

l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

m) memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Provinsi.

n) umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu perhitungan umur COTA.

o) pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak.

p) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA.

q) COTA dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.

r) Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.

s) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh COTA.

2. Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing.

a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

1) Mengenai syarat-syarat calon orang tua angkat sama dengan pengangkatan anak warga negara Indonesia warga negara Indonesia yaitu mengacu pada Pasal 12 Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

2) Menurut Pasal 13 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat calon orang tua angkat Warga Negara Asing meliputi:

(43)

a) sehat jasmani dan rohani;

b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;

h) mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon;

dan

i) membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

b. Permensos Nomor 110 / HUK /.2009

1) Syarat-Syarat Calon Anak Angkat ( CAA), mengenai persyaratan calon anak angkat sama seperti pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia yaitu mengacu pada Pasal 4 Permensos Nomor 110/HUK/2009

2) Menurut Pasal 7 Permensos Nomor 110/HUK/2009 adapun syarat- syarat calon orang tua angkat meliputi;

a) sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu untuk mengasuh calon anak angkat ;

(44)

b) berada dalam rentang umur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun pada saat calon orang tua angkat mengajukan permohonan pengangkatan anak;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h) dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;memperoleh persetujuan dari anak, bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya ;

i) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak serta demi kepentingan terbaik bagi anak;

j) membuat pernyataan tertulis akan dan bersedia melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Indonesia melalui Perwakilan RI setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

k) dalam hal CAA dibawa ke luar negeri COTA harus melaporkan ke Departemen Sosial dan ke Perwakilan RI terdekat dimana mereka tinggal segera setelah tiba di negara tersebut;

(45)

l) COTA bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun;

m) adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak.

E . Kedudukan Anak Angkat Menurut Yurisprudensi

Terdapat bermacam-macam ketentuan yang mengatur mengenai anak angkat, sehingga bagaimana hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua yang mengangkatnya belum ada terdapat keseragaman. Sebelum melihat kedudukan anak angkat dalam beberapa yurisprudensi, terlebih dahulu dilihat beberapa pendapat sarjana yang mengemukakan tentang kedudukan anakangkat.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa :

“anak angkat mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dari kedudukan hukum anak keturunannya sendiri juga perihal hak anak itu untuk mewarisi kekayaan yang kemudian ditinggalkan oleh orang yang mengangkat anak itu pada waktu mereka meninggal dunia”.30

“Anak angkat dipelihara seperti halnya anak sendiri, tetapi di samping itu haruslah dibedakan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat dan dengan orang tua kandungnya dan juga dengan keluarga orang tua angkatnya, oleh orang tua angkat diperlukan sebagai anak kandung sendiri, terhadap harta dari orang tua angkat, anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian, terhadap harta asal, anak tidak berhak”.

Ter Haar berpendapat bahwa :

31

30R. Wirjono Prodjodikoro, Warisan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1983), hal 78.

31Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1974), hal 184.

(46)

Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa:

“Di daerah Lampung anak angkat tegak tegi yang merupakan penerus keturunan bapak angkatnya merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya, dan ia tidak mewaris lagi dari orang tua kandungnya, sedangkan di daerah Jawa anak angkat itu Ngangsu Sumur Loro artinya mempunyai dua sumber warisan, karena ia mendapat warisan dari orang tua angkatnya dan juga mendapat warisan dari orang tua kandungnya”.32

1. Keputusan MA No. 82 K/Sip/1957 dalam perkara di Bandung diputuskan bahwa anak angkat hanya berhak atas harta gono-gini orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka (barang asal) kembali kepada waris keturunan darah, jadi tidak jatuh kepada anak angkat atau anak pungut;

Selain dari pendapat-pendapat di atas, juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung R.I yang memuat hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Dalam hal ini Mahkamah Agung tidak seragam dalam memberi putusan tentang hak-hak anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya:

2. Keputusan MA No. 416 K/Sip/ 1958, mengalami perubahan di mana perkara hukum terjadi di Sumatera Timur, Keputusan tersebut berpedoman kepada hak adat Sumatera Timur, yaitu anak angkat tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, hanya dibenarkan menerima hibah, selama hidup anak angkat.

Pertimbangan MA:

Hukum Islam tidak mengenal anak angkat, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam

32Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal.80

(47)

mengenal anak angkat yaitu Pasal 171 bagian h. Undang-Undang Peradilan Agama: No. 7 Tahun 1989.

3. Keputusan MA No. 997 K/Sip/ 1972, menegaskan bahwa: anak angkat berhak atas harta gono-gini dan harta bawaan orang tua angkatnya;

4. Keputusan MA No. 1002 K/Sip/1976, mengatakan bahwa janda dan anak angkat berhak atas harta gono-gini, sedangkan barang asal (bawaan) anak angkat tidak berhak.

5. Keputusan MA No. 3832 K/Sip/1985, MA memutuskan:

a. Prinsip tentang anak angkat:

MA memutuskan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan janda dan anak kandung yaitu ahli waris.

b. Jika anak angkat bersekutu dengan janda, anak kandung berhak atas harta gono-goni, kesannya bagian anak anagkat adalah sama dengan bagian anak kandung atau janda.

c. Anak angkat mewarisi seluruh harta gono-gini, bila tidak ada anak kandung dan janda .

6. Keputusan MA No. 246 K/Sip/1980 menegaskan bahwa di Nganjuk seorang anak angkat dilihat dari kenyataan yaitu apabila anak angkat dipelihara sejak ia bayi, dikhitankan, dikawinkan, disahkan oleh orang tua angkatnya, maka ia berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dan atas harta bersama.

7. Keputusan MA No. 210 K/Sip/1973, menyatakan bahwa keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada acara adat, tanpa menilai secara obyektif, realita, dan keberadaan anak angkat dalam kehidupan orang tua angkatnya;

(48)

8. Keputusan MA No. 912 K/Sip/1995, bahwa tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak meskipun anak itu sejak kecil dipelihara, dikawinkan oleh orang tua angkatnya;

9. Keputusan MA No. 281 K/Sip/1993, bahwa pengangkatan anak sah mana kala dipengaruhi beberapa syarat, dan harus dibarengi upacara “Widi Widina”

(upacara peras) dihadiri oleh pendeta, disaksikan klan adat, klan suku, kepala desa serta diumumkan di depan ulama.

10. Keputusan MA No. 849 K/Sip/1979 menyatakan bahwa:

Pengangkatan anak salah satu syarat upacara tidak lagi dipedomani, sejak tahun 1976, ditegaskan bahwa anak yang diambil sejak bayi dilahirkan dan pemeliharaannya dilakukan secara terus menerus sampai besar dan dikawinkan, sah sebagai anak angkat, meskipun tidak melalui upacara adat.

Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh wilayah/daerah Indonesia. Menurut hukum adat Indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan.

Dalam hal kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat di dalam masyarakat yang sifat susunan kekerabatannya parental seperti di Jawa, berbeda dengan kedudukan anak angkat dalam masyarakat yang susunan kekerabatan patrilineal seperti Bali. Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya

(49)

diambil dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orang tua angkat, di samping itu berhak pula mewarisi harta warisan dari orang tua kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat dari keluarganya masuk ke dalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua angkatnya.

Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan didalam hukum adat sedangkan didalam hukum barat disebut adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie (Bahasa Belanda) atau adoption(Bahasa Inggris). Menurut kamus Inggris–Indonesia, adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adopsi, dan sebutan pengangkatan anak disebut adoption of child.33

Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak karena pengangkatan anak menimbulkan akibat–akibat hukum, sebagaimana yang dikatakan Soepomo, diseluruh wilayah hukum (Jawa Barat) bilamana dikatakan manupu, mulung atau mungut anak yang dimaksud ialah mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri.

33Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, (Bandung: Pionir Jaya, 1992), hal. 24

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah jam praktik mengajar (PPL) yang dilakukan praktikan berdasarkan jadwal dan alokasi waktu pelajaran di SMP N 1 Minggir untuk setiap minggunya adalah 12 jam

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang sifatnya eksploratif untuk mengetahui pengaruh gangguan terhadap kinerja sistem

Lower life cycle costs, higher quality pavements Lower life cycle costs, higher quality pavements?. Keeping good pavements good Keeping good

Berdasarkan hasil penilaian evaluasi Dokumen Usulan Teknis Jasa Konsultansi untuk Paket Supervisi/Pengawasan Rehabilitasi dan Perpanjangan Fasilitas Pelabuhan Laut Teluk Malala

In this chapter, we’ll learn to use standard library and open source commu- nity tools that make it incredibly simple to create a conventional, idiomatic command-line interface

Pejabat yang berwenang menerbitkan SPPD Pegawai yang melakukan perjalanan dinas, para pejabat yang mengesahkan tanggal berangkat/tiba berdasarkan peraturan-peraturan keuangan

Selain dapat menampilkan terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Asing atau pun dari bahasa Asing ke dalam bahasa Indonesia, kamus ini juga dapat menambah kata, mengedit

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Persepsi Nilai dan Kepercayaan terhadap Kepuasan Konsumen dan dampaknya terhadap Loyalitas Konsumen Salon