• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terbagi atas 5 bab yang saling berangkai satu dengan yang lainnya dan setiap bab di bagi lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan pengantar yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGATURAN PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

Merupakan gambaran umum tentang pengangkatan anak, dimana pada bab ini diuraikan tentang pengertian anak dan pengangkatan anak, sejarah lahirnya pengangkatan anak, dasar hukum pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, dan kedudukan anak angkat menurut yurisprudensi.

BAB III : PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA Pada bab ini diuraikan tentang prosedur pengangkatan anak di Pengadilan Agama, yaitu dimulai dari membahas tugas pokok dan fungsi Pengadilan Agama Tebing Tinggi, tata cara pengangkatan anak di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dan mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak, serta membahas proses pengangkatan anak sampai dikeluarkannya penetapan hakim.

BAB VI : AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK OLEH PENGADILAN AGAMA

Merupakan bab yang membahas secara detail mengenai akibat hukum pengangkatan anak oleh pengadilan agama yang di lihat dari tiga sisi yaitu : akibat hukum pengangkatan anak terhadap anak setelah diangkat, akibat hukum pengangkatan anak terhadap orang tua kandung dan orang tua angkat.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas sebelumnya dan saran-saran yang merupakan hasil pikiran penulis yang timbul saat penulis menguraikan permasalahan dalam skripsi ini.

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak

Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’

merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini merujuk pada perkembangan mental seseorang walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja di asosiasikan dengan istilah

“anak”.

Beberapa ketentuan yang mengatur tentang pengertian anak ialah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU No.35 Tahun 2014) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa batas antara belum dewasa (minderjerigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis Pasal 419). Pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap status kedewasaannya.18

Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status atau kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.

Menurut Pasal 1 angka (9) UU No. 23 Tahun 2002 dinyatakan bahwa Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

19

Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk melanjutkan keturunan, suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan.

Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja

18R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke-40, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), Pasal 330

19B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, (Rajawali Pers: Jakarta, 1989), hal. 45

atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap keponakan sendiri, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat.

Memang jika anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu hal ini secara psikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga kehadirannya di tengah-tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis. Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri penghulu, pengetua adat setempat serta disaksikan oleh anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat menjadi terang dan jelas.

Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung.

Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.20

a. Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi, antara lain:

20Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1980), hal.4

“Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.”21

b. Kemudian Mahmud Syaltut, membedakan dua pengertian pengangkatan anak yaitu:

Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia

sebagai anak orang lain ke dalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat

anak secara mutlak). Menurut “tabanni”dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.

Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal untuk mendapatkan warisan

21Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan asas-asas hukum adat, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hal.5

dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya.22

c. Surjono Sukanto, memberi rumusan tentang adopsi/pengangkatan anak sebagai suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri, atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja. Dalam hal ini anak tidak mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal warisan.

d. Pengangkatan anak menurut M.M. Djojodiguno dan Raden Tirtawinata, adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian rupa sehingga anak itu baik secara lahir dan batin merupakan anak sendiri.23

e. Ter Haar Bzn berpendapat bahwa perbuatan memasukkan dalam keluarganya seorang anak yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama seperti hubungan kemasyarakatan yang tertentu biologis, hal mana biasa terjadi di Indonesia, perbuatan ini yang disebut adopsi/pengangkatan anak.24

f. Soepomo, memberikan rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.

22Ibid

23Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal.33

24B. Bastian Tafal, Op.Cit., hal 46

g. Seorang sarjana Hukum Belanda yang khusus mempelajari tentang adopsi, yaitu J.A Nota, memberi rumusan bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang berpindah ke dalam ikatan keluarga yang lain, dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebahagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.25

Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian pengangkatan anak, tapi hal ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah pengangkatan anak adalah pengertian menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.26

25Djaja S. Meliala, Op.Cit., hal 3

26Ibid.

Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing yang dilakukan dengan menyerahkan anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua yang akan mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti halnya yang dilakukan pada pengangkatan anak dalam lingkungan penduduk golongan Tionghoa yaitu berdasarkan: Bepaling voor geheel Indonesie betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van Adoptie.

Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki tetapi kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap pula sah.

B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak, dalam Bab II diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi orang- orang Tionghoa.

Dari ketentuan tersebut, disebutkan bahwa yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda ataupun janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.

Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 ini hanya sebagai pedoman bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa “pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara membuat akta autentik adalah batal karena hukum”.

Setelah zaman kemerdekaan pada tahun 1958 dikeluarkan Undang- undang Nomor 62 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-undang ini, mengenai hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 2. Kemudian pada tahun 1977 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 yang mengatur tentang gaji pegawai negeri sipil yang memungkinkan mengangkat anak di Pengadilan Negeri. Sejak itu pengangkatan anak mulai banyak dilakukan oleh para pegawai negeri sipil dengan berbagai motivasi.

Pada Tahun 1978 dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari yang mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak, khususnya anak angkat maka pada Tahun 1979 dikeluarkan Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dalam undang-undang ini pun diatur secara tegas motif dan anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang dalam pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.

Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Maka pada tahun 2002 disahkannya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak dengan tujuan pengangkatan anak tersebut hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Kemudian pada tahun 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat

oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut, maka dibentuklah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku mulai 8 Februari 2005.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukan adanya perubahan pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.27

Praktek pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan

27Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika,2004) hal.28

pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda- beda, sesuai dengan sistem hukum adat serta berkembang di daerah yang bersangkutan.28

Pengamatan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh kepastian hukum hanya didapat setelah memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum terapannya. Ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:29

1. Staatsblad 1917, Pasal 5 sampai dengan 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada;

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak;

3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979;

4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KPE/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak;

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak;

28Ahmad Kamil, dan H.M. Fauzan., Op.Cit. hal.9

29Ibid., hal 52-53

7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama;

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

9. Peraturan Mentri Sosial No. 110 / HUK / 2009 tentang Peizinan Pengangkatan Anak.

10. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktek peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang- ulang, dalam waktu waktu yang lama sampai sekarang.

D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak

1. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia.

a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

1) Menurut Pasal 12 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat pengangkatan anak meliputi:

a) belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b) merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

d) memerlukan perlindungan khusus.

e) anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;

f) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan

g) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan

perlindungan khusus.

2) Menurut Pasal 13 PP Nomor 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat (COTA) harus memenuhi syarat-syarat:

a) sehat jasmani dan rohani;

b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h) dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;

j) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k) adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

m) memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

b. Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor : 110/ HUK / 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

1) Menurut Pasal 4 Permensos No : 110 / HUK /2009, adapun syarat- syarat calon anak angkat ;

a) anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b) merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;

c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan

d) memerlukan perlindungan khusus;

e) Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif CAA yang meliputi:

a) copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat calon anak angkat ( CAA );

b) copy kartu keluarga orang tua CAA; dan c) kutipan akta kelahiran CAA.

f) Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam (tiga) kategori yang meliputi:

a) anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus;

b) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan

laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat;

c) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus.

2) Menurut Pasal 7 Permensos No : 110 / HUK /.2009 adapun syarat- syarat calon orang tua angkat meliputi ;

a) Sehat jasmani dan rohani;

b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;

c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;

d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;

e) berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;

f) tidak merupakan pasangan sejenis;

g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

h) dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;

i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak;

j) membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;

k) adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;

l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,

l) telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,

Dokumen terkait