• Tidak ada hasil yang ditemukan

[3.5] Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Dengan demikian agar suatu pihak dapat diterima kedudukan hukumnya dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, pihak dimaksud terlebih dahulu harus:

(a) menjelaskan kualifikasinya apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;

(b) menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a) di atas.

[3.6] Menimbang pula, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 yang disempurnakan dengan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 hingga saat ini, Mahkamah berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual

atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa Pemohon telah menjelaskan kualifikasinya sebagai lembaga negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK), sebagaimana dimaksud Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Dengan demikian, Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK;

[3.8] Menimbang, dengan demikian, yang selanjutnya harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah dalam kualifikasi Pemohon sebagai lembaga negara, sebagaimana dimaksud dalam paragraf [3.7] di atas, hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan. Berkenaan dengan hal ini, Pemohon mendalilkan sebagai berikut:

[3.8.1] Bahwa Pemohon secara konstitusional berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri;

[3.8.2] Bahwa kewenangan Pemohon sebagaimana disebut pada [3.8.1] di atas memperoleh justifikasi dan penegasan beberapa undang-undang, yaitu:

a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK).

Pasal 6 ayat (1) UU BPK menyatakan, “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”.

Pasal 9 ayat (1) UU BPK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” .

b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Pemeriksaan Keuangan Negara).

Pasal 3 UU Pemeriksaan Keuangan Negara menyatakan, “Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara”

Pasal 10 UU Pemeriksaan Keuangan Negara menyatakan, “Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:

a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;

b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,

lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya”;

[3.8.3] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Pemeriksaan Keuangan Negara juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara), BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas seluruh keuangan negara yang meliputi penerimaan negara – baik berupa pajak dan non-pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara – serta penggunaan pengeluaran negara;

[3.8.4] Bahwa kewenangan BPK yang diberikan oleh UUD 1945, yang diperkuat oleh beberapa undang-undang sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf

[3.8.1] sampai dengan sub-paragraf [3.8.3] di atas, telah dibatasi oleh norma yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan. Dikatakan membatasi karena, menurut norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan, pejabat pajak dan atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan. Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan dimaksud juga menggambarkan bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara tidak hanya dimiliki oleh “lembaga negara”, yaitu BPK, tetapi juga dimiliki oleh “instansi pemerintah”. Sementara itu, Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan dikatakan membatasi sebab tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK selaku “lembaga negara”, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Dengan demikian, kedua ketentuan UU Perpajakan tersebut, menurut Pemohon, secara nyata dan tegas mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 serta undang-undang lainnya sebagaimana disebut pada sub-paragraf [3.8.2] sampai dengan sub-paragraf [3.8.3] di atas, sehingga sangat merugikan kewenangan konstitusional Pemohon;

[3.8.5] Bahwa hal-hal yang diuraikan pada sub-paragraf [3.8.2] sampai dengan sub-paragraf [3.8.3] di atas, menurut Pemohon, patut dinilai dan diyakini dapat merugikan kewenangan konstitusional Pemohon karena dengan adanya ketentuan-ketentuan UU Perpajakan tersebut Pemohon tidak dapat melakukan pemeriksaan penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan secara bebas dan mandiri, sedangkan pajak merupakan kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang merupakan salah satu bentuk penerimaan negara atau setidaknya bagian dari penerimaan keuangan negara menurut Pasal 2 UU Keuangan Negara;

[3.9] Menimbang, berdasarkan uraian pada paragraf [3.8] di atas, telah ternyata bahwa ada-tidaknya unsur kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam permohonan a quo berkait langsung dengan pokok permohonan sehingga kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK baru dapat ditentukan setelah Mahkamah memeriksa Pokok Permohonan;