• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK PERKARA

3. Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b

Penjelasan tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

“Keterangan yang dapat diberikan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.

Identitas Wajib Pajak meliputi :

1. nama Wajib Pajak.

2. Nomor Pokok Wajib Pajak.

3. alamat Wajib Pajak.

4. alamat kegiatan usaha.

5. merek usaha; dan atau

6. kegiatan usaha Wajib Pajak.

Informasi yang bersifat umum tentang Perpajakan meliputi: a. penerimaan pajak secara nasional;

b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atauper Kantor Pelayanan Pajak;

c. penerimaan pajak per jenis pajak;

d. penerimaan pakak per klasifikasi lapangan usaha;

e. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak Terdaftar; f. register permohonan Wajib Pajak;

g. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau

h. tunggakan pajak per kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.”

Pemohon mendalilkan bahwa penjelasan Pasal 34 ayat (2a) tersebut secara nyata dan tegas mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dan

cakupan pemeriksaan BPK adalah keuangan negara yang meliputi antara lain hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman (Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), yang kemudian lebih lanjut diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksan Keuangan.

Di lain pihak, Pemerintah dalam keterangannya menyatakan bahwa Pemohon sangat keliru apabila menganggap ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP dan Penjelasannya bertentangan UUD 1945. Ditambahkan lagi bahwa setiap lembaga negara dalam menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait lainnya sehingga tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, hal mana sejalan dengan salah satu prinsip pokok penyelenggaraan negara yang harus dipatuhi oleh setiap lembaga negara yaitu perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan hak asasi manusia oleh negara dibenarkan sejauh hal itu dimungkinkan oleh undang-undang yang disetujui rakyat sendiri melalui wakil-wakilnya. Setiap penyelenggara kekuasaan negara termasuk tetapi tidak terbatas pada BPK tidak menggunakan kewenangannya secara sewenang-wenang yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Tugas utama negara dalam perspektif negara modern adalah untuk memajukan hak asasi manusia, karena itu prinsip kehati-hatian telah menjadi syarat penting untuk dipegang tegus setiap aparatur negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Di dalam menilai dalil-dalil Pemohon, argumentasi Pemerintah dan keterangan ahli Pemohon maupun Pemerintah, maka sangat penting diperhatikan bahwa standar audit yang diakui dimanapun mensyaratkan bahwa transaksi yang menjadi dasar perhitungan kadang-kadang perlu diperiksa untuk melihat kebenaran secara materiil. Dalam melihat sejauh mana akses dapat diberikan kepada pemeriksa berkenaan dengan pandangan dan tafsiran atas undang-undang yang berbeda, akan menimbulkan ketegangan, ketegangan mana yang dialami secara sama

dibeberapa sistem, telah diatasi dengan kesepakatan dan pengakuan bahwa pemeriksa punya hak atas akses terhadap dokumen-dokumen yang diperlukan pemeriksa untuk melaksanakan tugasnya, dan beberapa kesepakatan diatur untuk dapat mengelola secara pantas kerahasiaan catatan dan informasi Wajib Pajak. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan yang diperlukan untuk perlindungan pendapatan negara dibanding dengan ketidaknyamanan kalangan usaha dalam memenuhi kewajibannya, dapat secara berimbang terlindungi. Memang pengalaman menunjukkan bahwa Wajib Pajak cenderung lebih patuh secara sukarela, jika (i) aparat pajak bersikap melayani Wajib Pajak dengan memberi edukasi dan bantuan dalam melaksanakan kewajibannya; (ii) penegakan hukum yang efektif dan penerapan sanksi untuk pelanggaran menciptakan pencegahan atas ketidak patuhan yang kuat; dan (iii) aparat pajak transparan, dan dipandang jujur, adil dan tidak berat sebelah dalam melaksanakan hukum pajak. Voluntary compliance dicapai dengan sebaik-baiknya melalui sistem self-asessment, di mana Wajib Pajak menghitung sendiri kewajibannya, melaporkan SPT dan membayar pajak yang dihitungnya sendiri, dan jika gagal melakukannya akan berhadapan dengan risiko untuk dikenakan penalti. Harus juga diakui bahwa hanya aparat pajak (fiskus) yang berwenang melakukan audit Wajib Pajak dan menerbitkan ketetapan penilaian yang telah diperbaiki, sehingga oleh karenanya jika auditor eksternal menemukan kesalahan perhitungan dan penilaian, hal demikian hanya dibawakan untuk menjadi perhatian aparat pajak untuk ditindak lanjuti. Kecuali jika telah menyangkut dugaan korupsi, harus dirujuk kepada penegak hukum. Dalam hal demikian maka kerahasiaan data Wajib Pajak mempunyai dasar kebijakan yang sehat, tetapi harus dibuka kemungkinan untuk menyingkap kerahasiaan tersebut dalam hal-hal yang khusus. Karena kerahasiaan dirancang untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak untuk secara sukarela, maka tantangannya adalah bagaimana menjamin bahwa proses yang berhubungan dengan perlindungan privasi Wajib Pajak, tidak mengesampingkan kebutuhan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bekerjanya secara keseluruhan sistem perpajakan. Jika terjadi pertentangan antara UU Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU BPK yang

memberi akses kepada data Wajib Pajak, sementara undang-undang perpajakan melarang pengungkapannya, maka ketegangan atau perselisihan demikian merupakan tugas hakim untuk memecahkan dengan putusan atau menyerahkan kepada kesepakatan tertentu diantaranya melalui antara lain memorandum of understanding (MoU) BPK dengan Menteri Keuangan. Tetapi sebagai pedoman akan best-practices yang pada umumnya dianut di dunia, sebagaimana tergambar dari Pasal 20 Deklarasi Lima yang merupakan hasil dari Kongres INTOSAI yang ke-9 pada tanggal 17-26 Oktober 1977 yang diikuti oleh 95 negara dari lima benua yang berbunyi:

1. Supreme Audit Institutions shall be empowered to audit the collection of taxes as extensively as possible and, in doing so, to examine individual tax files;

2. Tax audits are primarily legality and regularity audits however, when auditing the application of tax laws, Supreme Audit Institutions shall also examine the system and efficiency of tax collection, the achievement of revenue targets and, if appropriate, shall propose improvements to the legislative body.

Pasal 20 tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

1. Auditor berwenang mengaudit pajak seluas mungkin dan dalam melakukan hal itu, juga memeriksa data-data Wajib Pajak secara individual.

2. Audit pajak, terutama untuk legalitas dan kepatuhan atau regularitas. Namun jika audit penerapan undang-undang pajak, maka auditor juga memeriksa sistem dan efisiensi pemungutan pajak, pencapaian target.

Selanjutnya dalam menilai permohonan Pemohon tentang Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b, maka beberapa pertanyaan yang harus dijawab adalah hal berikut ini:

1. Apakah Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b, bukannya menjelaskan norma dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b tersebut, melainkan merumuskan norma yang sama sekali baru.

2. Apakah norma baru yang mengidentifikasi dokumen yang dapat diberikan kepada pemeriksa BPK sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) huruf b, sesungguhnya membantu

pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang BPK untuk melakukan pemeriksaan, pengelolaan, dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri, untuk dapat memberikan analisis, evaluasi secara cermat dan benar dalam rangka menciptakan good governance, accountability dan fairness (keadilan), sesuai dengan amanat konstitusi, yang oleh Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 ditetapkan bahwa BPK berhak memperoleh akses atas dokumen tersebut dan Pejabat DJP wajib memberikannya.

3. Apakah memang dokumen data dan informasi Wajib Pajak yang diberikan kepada dan dikumpulkan/diperoleh DJP merupakan hak milik dan privacy Wajib Pajak sepenuhnya,yang merupakan hak asasi yang dilindungi yang tidak dapat dikurangi dengan cara dilihat/dibaca BPK dalam rangka audit keuangan?

Berdasarkan keterangan dari para ahli dan alat-alat bukti yang diajukan, maka kami berpendirian sebagai berikut ini.