• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atas dasar permohonan Pemohon a quo dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Kewenangan tersebut diperkuat dalam beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khususnya Pasal 3, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya Pasal 6 dan Pasal 9. Namun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 telah membatasi kewenangan BPK, melalui norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a). Dikatakan membatasi karena menurut norma yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pejabat pajak dan atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan.

2. Terhadap dalil Pemohon a quo, dapat diterangkan bahwa pada prinsipnya norma yang terkandung di dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b memang merupakan pengecualian dan berkaitan erat dengan norma larangan yang terkandung pada ayat sebelumnya yaitu dalam Pasal 34 ayat (1) yang bertujuan melindungi Wajib Pajak terutama kerahasiaan Wajib Pajak.

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengecualian dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b tidak dapat diartikan sebagai menghalangi atau menghambat pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan akan tetapi untuk melindungi kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya yaitu Pasal 34 ayat (1).

Untuk melindungi kerahasian Wajib Pajak, pada prinsipnya setiap pejabat dan/atau tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan [vide Pasal 34 ayat (1) UU Perpajakan], akan tetapi dengan syarat dan prosedur tertentu (yaitu Pejabat dan/atau Tenaga Ahli yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan) prinsip tersebut dikecualikan [vide Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan].

Syarat dan prosedur tersebut mengandung makna bahwa pihak-pihak yang ditetapkan Menteri Keuangan, yang dalam hal ini pejabat dan/atau tenaga ahli tertentu saja yang diperbolehkan/mempunyai legalitas (dikecualikan dari larangan) untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara sepanjang mendapat penetapan dari Menteri Keuangan.

Syarat dan prosedur tersebut selain dimaksudkan untuk legalitas, juga bermakna menghilangkan sifat pidana dari larangan kepada pejabat untuk memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak. Hal ini sejalan dengan Ketentuan Umum KUH Pidana Pasal 51 yang menyatakan, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatanyang diberikan oleh Penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

3. Bahwa frasa “ditetapkan oleh Menteri Keuangan” pada prinsipnya tidak dimaksudkan untuk membatasi kewenangan konstitusional BPK dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berkaitan dengan wajib pajak. BPK dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara khusus yang berkaitan dengan wajib pajak dengan syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Perpajakan. Dengan demikian frasa “ditetapkan oleh Menteri Keuangan” lebih mengandung pengertian bahwa hanya pejabat dan/atau tenaga ahli tertentu saja yang ditetapkan untuk memberikan keterangan kepada lembaga negara atau instansi pemerintahan dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berkaitan dengan informasi tentang wajib pajak.

4. Bahwa Pemohon a quo juga mendalilkan dalam permohonannya bahwa Pasal 34 ayat (2a) huruf b undang-undang a quo mengenai frasa ”atau instansi pemerintah”, menurut Pemohon a quo telah merugikan kewenangan konstitusional BPK. Oleh karena adanya frasa ”atau instansi pemerintah” ditafsirkan bahwa terdapat dua pemeriksa keuangan negara yaitu ”lembaga negara” dalam hal ini sesuai Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah BPK dan ”instansi pemerintah”.

Terhadap dalil Pemohon tersebut dapat diterangkan bahwa yang pengawasan secara umum terhadap pengelolaan keuangan negara memang dilakukan oleh BPK. Namun, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dan Inspektorat Jenderal di setiap Departemen juga diberi wewenang sebagai pengawas internal. Hal ini mengandung pengertian bahwa di samping BPK sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab dalam bidang keuangan negara terdapat pula instansi pemerintah yang secara deskripsi kerja memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara di lingkungan instansi pemerintah.

5. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.

Terhadap dalil Pemohon tersebut dapat diterangkan bahwa perlu dipahami secara lebih seksama adalah mengenai prinsip perpajakan secara umum. Dalam prinsip perpajakan memberikan kebebasan kepada setiap wajib pajak untuk mengisi kewajiban perpajakan (prinsip self assessment). Kewajiban perpajakan yang dijalankan oleh wajib pajak merupakan domain private yang tidak dapat dicampuri oleh pihak manapun. Prinsip self assessment harus dihormati oleh pihak fiskus, kecuali pihak fiskus mendapatkan data atau informasi atas ketidakbenaran dari kewajiban perpajakan [Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007]. Selanjutnya, dalam prinsip perpajakan juga mengatur bahwa fiskus juga mempunyai kewajiban untuk merahasiakan terhadap segala sesuatu yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada petugas fiskus [Pasal 34 ayat (1) UU Perpajakan]. Kewajiban perpajakan dalam bentuk uang yang telah disetor kepada negara, menjadi hak negara sebagai bentuk penerimaan negara di bidang perpajakan. Konsekuensi dari penerimaan negara atas perpajakan tersebut, maka hal ini sebagai domain publik.

Terkait dengan penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan, maka keterangan dan informasi bukan merupakan pembatasan (limitasi), hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) bahwa data perpajakan dari Wajib Pajak adalah bersifat rahasia (domain private dari Wajib Pajak) dan sejalan dengan prinsip self assesment.

[2.12] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Maret 2008, pada pokoknya tetap pada pendapatnya masing-masing, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam berkas perkara;

[2.13] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Maret 2008, pada

pokoknya tetap pada pendapatnya masing-masing, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam berkas perkara;

[2.14] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah menguji konstitusionalitas Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU Perpajakan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus mempertimbangkan terlebih dahulu:

1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

2. Apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon dalam permohonan a quo.

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: KEWENANGAN MAHKAMAH

[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya.