• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan

Peran pemimpin menjadi paling penting terutama dalam hal pemberian contoh tidak melakukan korupsi, pemimpin yang mampu menjaga citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin tersebut melakukan korupsi maka bawahan tidak segan untuk melakukan hal yang sama yaitu korupsi. Karena pentingnya peran pimpinan maka dibuat lah secara khusus Kode Etik Pimpinan KPK melalui keputusan KPK No. KEP-06/-KPK/02/2009.

B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan

Sebelum membahas tentang kedudukan KPK dalam sturktur ketatanegraan sebagai state auxiliary organ, penulis akan menjabarkan tentang pengertian lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara bukan konsep secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara, badan negara, organ negara.34

Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan lembaga non-pemerintahan (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif,

34

http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem

legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Lembaga negara di Indonesia ada bermacam-macam. Ada lembaga tinggi negara, lembaga departemen dan non-departemen dan juga ada pula yang disebut lembaga negara apa saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD 1945 ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU adalah organ, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap

Sejak permulaan Orde Baru hingga era reformasi yang masih sedang berlangsung saat ini, telah tumbuh demikian bayak lembaga-lembaga yang berkaitan dengan tujuan negara, fungsi negara, dan tugas-tugas pemerintahan dalam arti luas.. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan

institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden.

KPK disinii di tetapkan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan ekstra. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undangundang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi

yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis.

Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.35

Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan

35

Menurut Yusril Ihza Mahendra (2002:32) Keberadaan KPK di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang sudah ada selama ini dan di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat internasional, merupakan lembaga terakhir dan satu-satunya harapan bangsa Indonesia. Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, h.202.

independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya. Status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres).

Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepanjang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan termasuk bila diatur dalam Undang-Undang.

Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

44

A. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Kitab