• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Tersangka Miranda S.Goeltom Dalam Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Tersangka Miranda S.Goeltom Dalam Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Santi Frannita

NIM : 1111048000080

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M. ix + 67 halaman. Skripsi ini membahas tentang penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dalam tindak pidana korupsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya tudingan terhadap KPK yang dikatakan menjalankan tugas dan fungsinya secara sewenang-wenang dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom, tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. KPK sebagai lembaga independen negara yang dipercaya menangani kasus tindak pidana korupsi tentunya mempunyai aturan dan ketetapan sendiri dalam menindaklanjuti kasus tindak pidana tersebut yaitu Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi selain KUHAP. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ulang apakah keputusan serta kewenangan KPK dalam menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka benar-benar dilandasi hukum yang kuat. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan cara meneliti dan mengkaji peratuan perundang-undangan yang mengatur tentang fungsi dan kewenangan KPK dan prosedur penetapan tersangka. Selain meneliti undang-undang, penulis juga meneliti buku-buku, pendapat para ahli, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkenaan dengan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejauh kewenangan KPK dalam menetapakan tersangka sebuah kasus tindak pidana korupsi terkait kasus penetapan tersangka Miranda S. Goletom, KPK telah menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur yang berlaku menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tidak bertentangan dengan KUHAP.

Kata Kunci : Korupsi, Penetapan Tersangka, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(6)

v

Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil

‘alamin terucap dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas

terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu

tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.

Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat

jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya

yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui.

Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan

pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka

duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua

pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan.

Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum

sekaligus Dosen Pembimbing penulis yang selalu sabar dalam

membimbing penulis dan selalu membantu serta memotivasi penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Bapak Arip Purqon, MA.,

(7)

vi

mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa

dan selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Kak Eti, kak Asni,

bang Firdi, mas Sukarto selaku kakak-kakak penulis serta Dimas dan

Fathir selaku keponakan tercinta

5. Bapak Nur Habibi, SH, MH., selaku dosen perkuliahan penulis yang selalu

membantu, memberikan masukan, solusi, saran dan motivasi kepada

penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MPSD dan Drs. Abu Thamrin, SH,

M.Hum., selaku dosen penguji skripsi penulis.

7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Program Studi Ilmu Hukum.

8. Staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selalu ramah dan

membantu penulis untuk memperoleh data penunjang penulisan skripsi.

9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan

seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011.

10. Semua sahabat penulis Tiwi, Dini, Inggrit, Mazda, Khadafi, Ilma, Endah,

Resa, Isti, Ilma, Uthi. Semua teman kost penulis ka Tiwi, ka Riza, Farid,

(8)

vii

berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta

membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah

SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih

sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.

Jakarta, 29 Mei 2015

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... . ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ... 16

B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 25

(10)

viii

B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan ... 38

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA

A. Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom ... 44

B. Implementasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom ... 54

C. Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda

S. Goeltom ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran-Saran ... 63

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Banyak sekali pemberitaan yang timbul mengenai korupsi di

Indoneisa. Dari tahun ke tahun sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di

Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan sampai usaha

memperbaiki undang-undang. Bahkan muncul rasa putus asa untuk

memberantasnya.1 Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Tahap yang paling kritis,

ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit

penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai

pada tahap sistematik.2

Berbicara masalah korupsi jelas sangat menarik sebab menyangkut

orang-orang yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Perbuatan korupsi

biasanya dilakukan dalam bentuk rekayasa yang seolah-olah dibenarkan oleh

hukum dan bahkan terkandung dibalik kelemahan hukum itu sendiri. Melihat

korupsi di Indonesia, korupsi ini sudah tergolong extra-ordinary crimes karena

telah merusak dan meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik,

dan tatanan hukum nasional. Diperlukan suatu cara dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi secara luar biasa yang dilaksanakan oleh suatu lembaga

1

Andi Hamzah,Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet-ke 7, 2008, h. VII.

2

(12)

khusus berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi.3 Maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah lembaga

yang menangani khusus tindak pidana korupsi yang dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh

kekuasaan manapun.

Kehadiran KPK di Indonesia tidak secara otomatis menghentikan

praktik-praktik korupsi yang sudah marak4 bahkan kewenangan yang dimiliki KPK saat ini masihlah disertai dengan lemahnya pengawasan terhadap sistem

dan kinerja KPK sehingga kehadiran KPK yang digadang-gadang sebagai

lembaga independen negara terkesan menjalankan fungsinya secara

sewenang-wenang dan tentu saja dapat meyebabkan terjadinya penyalahgunaan

kewenangan oleh segelintir oknum KPK. Pada kenyataanya akhirnya timbul

berita terjadinya kesewenang-wenangan KPK dalam menetapkan tersangka

atau bisa dikatakan KPK menyalahi ketentuan undang-undang yang berlaku di

KPK serta KUHAP dalam hal menetapkan tersangka yang akhir-akhir ini

timbul di media. Masalah yang terakhir ini diduga karena dalam penetapan

tersangka, KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Kesulitan

pemahaman tentang bukti permulaan yang cukup dirasakan oleh kalangan

aparat penegak hukum sendiri karena banyaknya pendapat mengenai “bukti

permulaan yang cukup”.

3

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h. 13.

4

(13)

Belum hilang dari ingatan kita bagaimana beberapa tahun yang lalu

seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani

kasus yang menyangkut seorang Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda

Swaray Goeltom, yang didesak publik untuk diusut tuntas kasusnya,

menjelaskan kepada publik, bahwa kasus tersebut belum bisa dilakukan

penyidikan karena belum ditemukan alat bukti yang cukup. KPK minimal

memerlukan 2 alat bukti yang cukup untuk memproses lebih lanjut kasus

tersebut sehingga memenuhi kriteria sebagai bukti permulaan yang cukup

yang ditentukan oleh undang-undang KPK sendiri dan berdasarkan KUHAP.

Disebutkan dapat dipahami oleh karena dalam Pasal 44 ayat (2) Undang

undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi diatur bahwa “ Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada

apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti ….dan

seterusnya”.

Tanpa terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut menyebabkan

kasus tersebut belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum

adanya bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana kita ketahui bahwa alat

bukti sah dalam perkara pidana ada lima, yaitu keterangan saksi, keterangan

ahli, surat, petunjuk dan terakhir keterangan terdakwa.

Ini berarti dibutuhkan sesuatu hal yang baru dalam menelaah kembali

kinerja lembaga tersebut melihat kedudukan lembaga negara ini yang bersifat

independen. Tidak dengan menambah instrumen hukum semacam komisi

(14)

KPK atau „siapa yang akan menjadi pengawas dari para pengawas

tersebut?’5 melainkan digunakannya „due process of law’

yang baik dan

benar dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di KPK sesuai dengan

Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP

serta adanya transparansi KPK dalam penanganan kasus korupsi terhadap

masyarakat.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang hendak diteliti ialah bagaimana penetapan

tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK telah sesuai atau tidak dengan

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. Serta faktor-faktor apa

saja yang mendasari penetapan tersangka tersebut. Rumusan tersebut dirinci

kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dilihat dari

Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

KUHAP ?

b. Faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka

Miranda S. Goeltom?

2. Batasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan

penelitian ini akan dibatasi. Pemberantasan korupsi terdapat tiga unsur atau

(15)

bidang, yaitu pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Penelitian

ini hanya membahas penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah

dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

a. Untuk membuktikan apakah penetapan status tersangka yang

dilakukan KPK sesuai dengan UU Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan KUHAP.

b. Untuk menjelaskan beberapa faktor-faktor yang mendasari penetapan

tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang Kinerja

KPK dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para

(16)

seluas apa kewenangan KPK. Penelitian ini juga diharapkan dapat

meningkatkan kinerja KPK sesuai Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana yang sudah ditentukan.

c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih

gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Sebagaimana pendapat Lord Acton bahwa “power tends to

corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan itu

bagaimanapun kecilnya cenderung untuk disalahgunakan. Semakin kuat

kekuasaan itu semakin kuat pula kecendrungan penyalahgunaannya.6 Pendapat ini terbukti dengan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi

di dunia, dan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.

Seiring dengan munculnya berbagai lembaga independen negara

memperkuat adanya kekuasaan yang disalahgunakan.

2. Kerangka Konseptual

Pada bagian ini akan dikemukakan konsep dasar yang digunakan

sebagai dasar operasional dalam penelitian ini, antara lain adalah korupsi,

6

(17)

komisi pemberantasan korupsi, lembaga negara, lembaga negara

independen serta penetapan tersangka.

a. Korupsi

Korupsi sebagai fenomena menyimpang dalam kehidupan

sosial budaya, kemasyarakatan dan kenegaraan. Korupsi berasal dari

kata Latin Corruptio atau Corruptus, kemudian muncul dalam bahasa

Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie,

selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.7 Korupsi juga diartikan sebagai sebuah kejahatan yang menghancurkan

lembaga demokrasi, menggerogoti tatanan hukum, merusak

kepercayaan masyarakat terhadap negara, memperlamban

pertumbuhan ekonomi, menghambat upaya-upaya pengentasan

kemiskinan, mengganggu alokasi sumber daya, menurunkan daya

saing negara dan melumpuhkan investasi.8

b. Komisi Pemberantasan Korupsi

Merebaknya kasus korupsi yang melanda bangsa kita

belakangan ini, sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan

masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi

yang melanda bangsa ini, maka pada tanggal 29 Desember 2003

7

A. Hamzah, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), h. 2-3.

8

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : Grafiti,

2006), „dikutip dari kata pengantar Drs. Taufiequrrahman Ruki, S.H. , selaku mantan ketua

(18)

lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK,9 KPK merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi,

menanggulangi dan memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun.

c. Lembaga Negara

Lembaga Negara adalah lembaga pemerintahan atau

"Civilizated Organization" dimana lembaga tersebut dibuat oleh

negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk

membangun negara itu sendiri. Lembaga negara terbagi dalam

beberapa macam dan mempunyai tugas masing-masing antara lain

Lembaga Negara Utama dan Lembaga Negara Penunjang. Lembaga

Negara Utama dapat juga disebut Lembaga Tinggi Negara adalah

Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD),

sedangkan Lembaga Negara Penunjang dibentuk sesuai UU dan

merupakan penunjang terhadap fungsi Lembaga Negara Utama10.

d. Lembaga Negara Penunjang

9

Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi,(Yogyakarta: Pustaka Timur), 2008, h. 18.

(19)

Adapun istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang

paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata

negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat

bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara

independen”

e. Penetapan Tersangka

Penetapan tersangka adalah suatu proses ketika seseorang

diduga karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti

permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana dan

menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik.11

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu

1. a. Judul Skripsi

b. Fokus

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh

Peyidik Pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Menurut UU No. 30 Tahun 2002.

Apakah tugas, wewenang dan kewajiban

Komisi Pemberantasan Korupsi menurut UU

No. 30 Tahun 2002, apa saja kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam

proses penyidikan tindak pidana korupsi

11

(20)

c. Waktu/Tempat

menurut UU No.30 Tahun 2002 dan

bagaimanakah proses penyidikan tindak

pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi pada tingkat penyidikan menurut UU

No. 30 Tahun 2002.

Universitas Indonesia, Depok 2004

2. a. Judul Skripsi

b. Fokus

c. Waktu/Tempat

Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia :

Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan

Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu.

Apa yang dimaksud dengan lembaga negara

bantu dan bagaimana kedudukannya dalam

suatu sistem ketatanegaraan serta

bagaimanakah kedudukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai

lembaga negara bantu di dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia (RI).

Universitas Indonesia, Depok 2007

3. a. Judul Skripsi

b. Fokus

Urgensitas Kerjasama Antara KPK Dengan

PPATK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Di Indonesia (Analisis Yuridis).

Bagaimanakah Undang-Undang mengatur

(21)

c. Waktu/Tempat

pemberantasan korupsi di Indonesia serta

bagaimanakah urgenitas kerjasama antara

KPK dengan PPATK dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi.

UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012

Yang membedakan penelitian yang akan saya lakukan dengan

penelitian sebelumnya ini adalah dimana penelitian lain lebih mengarah

kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Sedangkan

penelitian yang akan saya lakukan lebih mengerucut kepada kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen negara yang

dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Kitab-Undangundang Hukum Acara Pidana. Penelitian

saya akan mengungkap dan membuktikan bahwasannya kewenangan dan

fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini terlaksana tidak

bertentangan dengan aturan hukum.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan KPK sebagai lembaga

super body yang seharusnya dilaksanakan secara transparan perlu dipublis

dan mudah diakses hasilnya oleh masyarakat, agar semua kalangan

masyarakat mengetahui apakah ada ketentuan-ketentuan atau

kewengangan-kewenangan KPK yang menyalahi aturan hukum serta tentang batasan

kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Oleh karena itu

semua kewenangan KPK sendiri terkait pelaksanaan penyidikan,

penyelidikan dan penindakan pemberantasan korupsi perlulah diperjelas

(22)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk

memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil

penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang

dianggap pantas.12Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai

aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian hukum normatif yaitu:13 pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Dalam

penelitian ini pendekatan yang Penulis gunakan adalah pendekatan

perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif.

12

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.

13

(23)

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif.

Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang

berwenang.Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.14 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan

dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU No. 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai dengan

diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.15 Terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan

kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur

14

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.141.

15

(24)

ketatanegaraan dan penetapan tersangka menurut KUHAP dan

Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang

akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk

mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum

bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan

permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih

konkret.

Setelah menjelaskan permasalahan secara umum kemudian Penulis

menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu

hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

G. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”

H. Sistematika Penulisan

Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan-persoalan yang

akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah

sistematisasi. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang akan membuat tulisan

lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai

(25)

BAB Pertama Tentang Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review), metode

penelitian, pedoman penulisan skripsi dan sistematika penulisan.

BAB Kedua Tentang Landasan Teori

Terdiri dari Landasan Teori mengenai Penetapan Tersangka Menurut

Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB Ketiga Profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Terdiri dari Sejarah, Visi, Misi, Tugas dan Kewenangan, Struktur

Organisasi dan Keanggotaan serta Kedudukan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam Struktur Ketatanegaraan.

BAB Keempat Tentang Analisis Implementasi Standar Operasional

Prosedur KPK

Bab ini terdiri dari Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom,

Implementasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom dan Faktor-Faktor yang

(26)

BAB Kelima Tentang Penutup

Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian,

dilengkapi juga dengan saran saran yang dapat membantu dan memberikan

masukan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya melalui

(27)

16

A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut pasal 1 Nomor 14 KUHAP, bahwa yang dimaksud

dengan tersangka adalah “seseorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

tersangka tindak pidana”.

Definisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan

Pasal 17 KUHAP, adalah ”Bukti permulaan untuk menduga adanya

tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara Pasal

1 butir 14 KUHAP menyatakan ”Bahwa tersangka adalah seseorang

yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti

permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Berdasarkan

Hasil Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung, Kehakiman,

Kejaksaan, Kepolisian (Rakergab Makehjapol) 1 Tahun 1984

halaman 14, dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti

permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah

dengan salah satu alat bukti lainnya. Sedangkan dalam Penetapan

Pengadilan Negeri Sidikalang Sumatera Utara No.4/Pred-Sdk/1982,

14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup harus mengenai

alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP bukan yang

(28)

lain-lainnya seperti: Laporan polisi dan sebagainya.16 Pengertian

bukti permulaan menurut Keputusan Kapolri No.

Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang merupakan

keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:

a. Laporan polisi

b. BAP di TKP

c. Laporan Hasil Penyelidikan

d. Keterangan saksi atau ahli; dan

e. Barang bukti

Mengenai bukti permulaan, Lamintang berpendapat bahwa:

Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17

KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti

seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin

bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan

penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak

pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.17

Harun M. Husein menyatakan sependapat dengan pendapat

Lamintang diatas, dengan alasan untuk melakukan penangkapan terhadap

seseorang haruslah didasarkan hasil penyelidikan yang menyatakan

bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat

disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi kepentingan

16

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112

17

(29)

penyidikan tindak pidana tersebut. Masih dijelaskan menurut Harun M.

Husein, bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti

(keterangan saksi pelapor atau pengadu) dirasakan masih belum cukup

kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup guna dipergunakan

sebagai alasan penangkapan seseorang. Terkecuali apabila laporan polisi

dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi

tentang kepastian bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai

tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana,

terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan karena tersedia

cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.18

Menurut M.Yahya Harahap, mengenai apa yang dimaksud dengan

permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan

sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara

penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ”ketidakpastian” dalam

praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan

untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang

paling rasional dan realitis, apabila perkataan ”permulaan” dibuang,

sehingga kalimat itu berbunyi :”diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup”.19

Jika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya

lebih pasti. Pengertian yang dirumuskan dalam pasal 17 hampir sama

18

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112

19

(30)

dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika,

yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau

penahanan, harus didasarkan adanya bukti dan kesaksian. Jika ditelaah

pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir serupa

dengan apa yang dirumuskan Pasal 183, yakni harus berdasar prinsip

”batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua

alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat

bukti lain.

Rasulullah SAW menjelaskan masalah pembebanan pembuktian

yang populer dalam perspektif hokum Islam adalah:

”Pembuktian dibebankan pada penggugat dan sumpah kepada

tergugat”

Pembuktian dibebankan pada penguggat (affirmanti incoumbil

probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai petitum gugatannya,

seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan

dalil-dalil gugatannya. Dalam Islam kesaksian adalah salah satu bukti

yang sah. Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asy-syahadah

menurut bahasa memiliki arti sebagai berikut;

a) Pernyataan atau pemberian yang pasti

b) Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan

penyaksian langsung;

c) Mengetahui sesuatu secara pasti,mengalami, dan melihatnya.

(31)

yaitu; ucapan yang keluar dan diperoleh dari pengetahuan

yang diperoleh dengan penyaksian langsung.

Kesaksian dapat diterima sebagai alat bukti apabila jika

memenuhi syarat sebagai berikut;

1. Kesaksian dilakukan didalam sidang pengadilan, jika

dilakukan diluar sidang pengadilan, meski itu dihadapan

hakim ,tidak dianggap sebagai kesakasian.

2. Kesaksian diucapkan dengan lafad kesaksian, seperti saya

bersaksi.

3. Jumlah dan syarat orang yang menjadi saksi sesuai dengan

syarat dan ketentuan syari‟at.

Dan adapun syarat yang lain adalah menjadi saksi karena Allah

SWT, seperti yang dijelaskan dalam surah An-nisa ayat 135 :

اَي

اَهُيأ

نيذلا

اونَمآ

۟

اونوك

۟

نماَوق

لاِب

ۡ

سق

ۡ

ط

ءاَدَهش

هلل

...

( 531 )

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah...”

Dengan pembatasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur

(32)

dipikirkan pembuktian. Metode kerja penyidik menurut KUHAP, harus

dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan teknik dan taktis

investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru

dilakukan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan

penahanan.20

Berarti pada prinsipnya, penetapan seseorang menjadi tersangka

dilakukan melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan. penyelidikan

yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

suatu peristiwa yang adanya sebagai tindak pidana guna menentukan

dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur

dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Di dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana disebutkan juga bahwa penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan mengenai

kewenangan hakim dalam menetapkan saksi menjadi tersangka guna

menemukan tersangkanya. Jadi, penetapan tersangka terletak pada

penyelidikan dan penyidik. Berdasarkan pasal 1 butir 2, bahwa penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, untuk mencari

serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangkanya.

20

(33)

Penyelidikan dalam hukum acara pidana, tingkat acara pidana

dibagi dalam 4 tahap, yaitu:21

1. Tahap penyelidikan yang dilakukan oleh polisi negara

2. Tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau Penuntut

Umum

3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh jaksa

4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga

pemasyarakatan di bawah pengawasan ketua pengadilan yang

bersangkutan.

Berdasarkan tahap tersebut, penyelidikan merupakan suatu proses

atau langkah awal yang menentukan dari keseluruhan proses

penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas.

Upaya untuk memyelidiki dan mengusut tindak pidana secara konkret

dapat dikatakan penyelidikan dinilai sesudah terjadinya tindak pidana

untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :

1. Tindakan pidana apa yang dilakukan

2. Kapan tindakan itu dilakukan

3. Dimana tindakan itu dilakukan

4. Dengan apa tindakan itu dilakukan

5. Bagaimana tindakan itu dilakukan

6. Mengapa tindakan itu dilakukan

7. Siapa pelaku tindakan tersebut

21

(34)

Karena penyelidikan merupakan langkah awal yang menentukan

dari keseluruhan tahap acara pidana, maka dalam mencari

keterangan-keterangan seperti diatas seorang penyidik harus tunduk kepada

ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 8

tahun 1981 sebab jika tahap penyelidikan tersebut sangat penting bagi

proses penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses acara pidana

selanjutnya.

Apabila tahap penyelidikan saja sudah banyak melakukan

pelanggaran dan kesalahan diluar ketentuan Undang-undang yang

berlaku, maka secara otimatis tahap cara berikutnya akan terpengaruh

yang berarti tidak mungkin akan terjadi penyesatan putusan hakim.

Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelakanaan hukum acara

pidana dapat dilihat dalam hubungan dengan ketentuan-ketentuan

KUHAP mengenai penyidikan, penuntutan dan peradilan perkara.

Seorang penyidik harus melakukan penyelidikan secara tertip dan harus

selalu memperhatikan dalil-dalil yang ada dilapangan.

Seorang penyelidik harus memperhatikan dan menyidik setiap

fakta yang ada dilapangan sekecil apapun karena sejalan dengan tujuan

hukum acara pidana, maka tugas penyelidikan perkara adalah “mencari

kebenaran materiil” memang, dalam penyelidikan perkara pidana

kebenaran materiil yang mutlak tidak akan pernah dapat diperoleh 100%

karena hanya Tuhanlah yang mengetahui. Walaupun demikian dengan

(35)

berkaitan dengan perkara pidana dapat dicari sebanyak-banyaknya

sehingga suatu penyelidikan dapat mendekati kebenaran bahwa ada suatu

tindak pidana yang dilakukan dan siapa pelaku-pelakunya.

Ada pun ketika seorang saksi setelah memberikannya

keterangannya dalam proses peradilan diubah statusnya menjadi

tersangka ini adalah kewenangan Hakim dalam mengubah status saksi

menjadi tersangka pada dasarnya memang di jelaskan. Status tersangka

bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa

jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Untuk

menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana

semata-mata dibebankan kepada penuntut umum.22 Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah

siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun

1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk

Hadir di Sidang Pengadilan). Dan jika dalam persidangan ditemukan

bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat

penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi

tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama,

maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya

menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.

Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi

menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi untuk tindak

22

(36)

pidana memberikan keterangan palsu. Kewenangan itu diatur

dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim

lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan

keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim

palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut

oleh penuntut umum karena sumpah palsu.

Berarti dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa

hakim bisa secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan

dapat pula secara tidak langsung menetapkan saksi menjadi tersangka,

yakni dengan meminta aparat penegak hukum lain, seperti kejaksaan,

kepolisian sampai KPK sebagai salah satu lembaga independen negara.

Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil

secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Saksi semacam

itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Hakim tinggal memerintahkan

panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan

penuntutan. Jadi, wewenang jaksa tetap melakukan penuntutan.23

B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi mempunyai

kewenangan dalam hal menetapkan tersangka. Bisa kita lihat pada salah

23

(37)

satu tugas KPK yang berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (“UU KPK”) adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Secara umum, mekanisme

penanganan perkara di lembaga superbody ini sama seperti di lembaga

penegak hukum lainnya.

Pada saat KPK menangani suatu perkara (bukan karena operasi

tangkap tangan) yang telah masuk tahap penyelidikan, dalam aturannya

akan memvalidasi temuan informasi-informasi yang berkembang. Baik

informasi yang dipaparkan terperiksa, maupun informasi yang didapat

dari suatu dokumen serta hasil sadapannya. Validasi sendiri, dilakukan

dengan cara menelaah hasil temuannya itu. Biasanya KPK akan

memanggil orang-orang yang diduga berkaitan dengan perkara yang

tengah diselidikinya. Namun, orang tersebut masih berstatus 'terperiksa'.

Atau, validasi bisa dengan cara menelaah dan mencocokan barang bukti

satu dengan bukti lainnya. Setelah temuan-temuan tersebut atau ada hasil

validasi yang jelas, KPK akan melakukan gelar perkara atau sering

disebut ekspose. Gelar perkara akan dihadiri Penyelidik, Direktur

Penyelidikan, Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan serta Pimpinan

KPK.24

Kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidan

korupsi adalah dalam melakukan pemeriksaan KPK dapat mengabaikan

24

(38)

aturan tertentu jika tersangka yang ditangani oleh KPK adalah pejabat

negara, dengan tidak perlu mendapatkan izin terlebih dahulu untuk

melakukan pemeriksaan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46

ayat (1) Undang-Undang KPK “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai

tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhitung sejak tanggal

penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka

pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”

Selanjutnya kewengan KPK dalam menetapkan seorang saksi

menjadi seorang tersangka adalah apabila seseorang yang terbukti

melakukan tindak pidana dan atau yang awalnya hanya sebagai saksi

dalam suatu kasus dan KPK memiliki dua alat bukti sebagai bukti

permulaan yang cukup dalam menetapkan sebagai tersangka. Saksi

dalam hal ini bisa dituntut juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama

tetapi berkas yang baru. Dalam hal menetapkan tersangka berarti tidak

bisa sembarangan, harus adanya bukti yang cukup atau minimal dua alat

bukti seperti yang sudah dijabarkan di atas. Jika tidak terdapat dari

minimal dua alat bukti tersebut tetapi pihak yang berwenang tetap

menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai

tersangka atau di tuduh sebagai pelaku tindak pidana maka hal ini disebut

(39)



















Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu; janganlah kamu menyangka (berita yang dusta) itru buruk bagi kamu, bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang di antara mereka akan beroleh hukuman sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya itu dan orang yang mengambil bahagian besar dalam menyiarkannya di antara mereka, akan beroleh seksa yang besar (di dunia dan di akhirat).

Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

menyatakan bahwa ”Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada

apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk

dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”.

Dan Pimpinan KPK juga menafsirkan bahwa keterangan lima orang saksi

yang bersesuaian satu dengan yang lainnya itu dianggap sebagai alat

(40)

29

A. Komisi Pemberantasan Korupsi 1. Sejarah KPK

Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya

penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, membuat masyarakat serak

meneriakkan pemberantasan korupsi.25 Aspirasi masyarakat untuk membumi hanguskan korupsi di negara ini semakin meningkat karena sudah

merebaknya korupsi ini ke seluruh lapisan masyarakat yang telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berujung dengan

timbulnya krisis di berbagai bidang.26

Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak

era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu

disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang

dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,

25

Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, cet-ke 1, 2005, h 3.

26

(41)

perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum

yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.27

Ada beberapa gagasan dalam pembentukan komisi ini yang pertama

diawali oleh TAP MPR Nomor II Tahun 1998. TAP ini mengamanatkan

kepada DPR dan Pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan

pemerintah yang bersih dari korupis, koluis dan nepotisme. 28TAP inilah yang akhirnya membuat Pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang Nomor

28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme kemudian DPR dan Pemerintah juga

mencabut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan menggantinya dengan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada saat inilah muncul gagasan

tentang KPK. Dan kemudian Undang-Undang KPK juga menjelaskan bahwa,

salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance

capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran

Undang-Undang KPK menyatakan, Lembaga Pemerintah yang menangani

perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam

memberantas tindak pidana korupsi.29

Pada tanggal 27 Desember 2003, Presiden Megawati akhirnya

melantik lima orang pemimpin KPK. Dengan dibentuknya KPK diharapkan

27

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h.31.

28

Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin du Tengah Kegelapan, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), h.7

29

(42)

korupsi yang sudah merajalela di negara ini dapat diberantas dan hukum

dapat ditegakkan.30 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga awal di Indonesia yang telah resmi dibenti tanggal 29 Desember 2003 untuk

mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia.

2. Visi dan Misi KPK

Sebagai sebuah lembaga independen negara Komisi Pemberantasan

Korupsi memiliki visi yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Sedangkan misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu menjadi penggerak

perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi.31 Untuk mewujudkan visi dan misi ini, tentunya Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK)

harus menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan asas-asas yang

telah di jelaskan.

Jika dilihat dari visi dan misi KPK seperti yang sudah disebutkan,

maka terlihat sebuah tekad yang kuat dari lembaga KPK untuk segera

memberantas dan membersihkan Indonesia dari segala macam bentuk

korupsi. Dan sangat diharapkan pula melihat dari misi KPK tersebut komisi

ini bisa menjadi lembaga yang membudayakan anti korupsi baik di

masyarakat, swasta dan pemerintahan Republik Indonesia.

3. Tugas dan Kewenangan KPK

Berdasarkan visi KPK, komisi ini mempunyai harapan dan keinginan

yang cukup mulia, yakni ingin membebaskan Indonesia dari korupsi. Sukses

30

Ensiklopedia Pemerintahan dan Kewarganegaraan, Sistem dan Bentuk Pemerintahan di Indonesia, h.95.

31

(43)

tidaknya KPK, tergantung dari kerja keras yang dilaksanakan untuk

memaksimalkan apa yang sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK seperti

yang sudah disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemeberantan

Korupsi. Tugas dan Kewenangan KPK antara lain:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan

negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan

Korupsi berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

(44)

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana

korupsi; dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak

pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan

tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga

mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana

korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam

pengambil alihan tersebut, pihak KPK wajib menyerahkan tersangka dan

seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan

dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya

permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut disebutkan di dalam

Undang-undang KPK pasal 7, pasal 8 ayat (1), pasal 8 ayat (2), pasal 9 dan

pasal 8 ayat (3)

Kemudian di dalam Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa penyerahan

dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan

sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat

penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Selanjutnya dalam melaksanakan

(45)

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang

diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik

tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi

perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang

sedang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,

(46)

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani.

Dalam melaksanakan tugas pencegahan disebutkan pada pasal 13 UU

KPK, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai

berikut:

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta

kekayaan penyelenggara negara;

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap

jenjang pendidikan;

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas monitor yang telah disebutkan juga dalam

pasal 14 UU KPK, KPK berwenang:

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di

(47)

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah

untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian,

sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa

Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut

tidak diindahkan.

4. Struktur Organisasi dan Keanggotaan KPK

Salah satu modal utama agar kinerja KPK bisa efisien dan efektif

adalah melalui pembangunan yang profesional. Ini bisa tercipta dengan cara

mengoptimalkan seluruh elemen dari organisasi tersebut. Karenanya KPK

melakukan perbaikan-perbaikan agar tercipta sebuah lembaga yang kompeten.

Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan KPK Nomor: PER-08/XII/2008

tanggal 30 Desember 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, struktur

organisasi KPK terdiri atas Pimpinan, Penasihat, Deputi dan Sekjen, Direktur,

dan Kepala Biro. Pimpinan KPK terdiri atas lima orang, yang masing-masing

adalah seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua

merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat

negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Sesuai

Undang-Undang KPK, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun

dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.32

32

(48)

Disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) huruf b UU KPK untuk menjamin

perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK mengangkat tim

penasihat yang terdiri atas empat anggota dan berasal dari berbagai bidang

kepakaran. Seperti yang dijelaskan pada pasal 23 UU KPK tim penasihat ini

berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya

kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.

Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang

Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat (PIPM). Masing-masing bidang tersebut dipimpin

oleh seorang deputi. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang

Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal ini diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan

KPK. Deputi Bidang Pencegahan yang terdiri dari Direktorat Pendaftaran dan

Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP-LHKPN),

Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, dan

Direktorat Penelitiandan Pengembangan. Sementara itu, Deputi Bidang

Penindakan yang terdiri dari Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan,

dan Direktorat Penuntutan.33

33

(49)

Peran pemimpin menjadi paling penting terutama dalam hal

pemberian contoh tidak melakukan korupsi, pemimpin yang mampu menjaga

citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin

tersebut melakukan korupsi maka bawahan tidak segan untuk melakukan hal

yang sama yaitu korupsi. Karena pentingnya peran pimpinan maka dibuat lah

secara khusus Kode Etik Pimpinan KPK melalui keputusan KPK No.

KEP-06/-KPK/02/2009.

B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan

Sebelum membahas tentang kedudukan KPK dalam sturktur

ketatanegraan sebagai state auxiliary organ, penulis akan menjabarkan

tentang pengertian lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara bukan

konsep secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam

literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut

lembaga negara, sedangkan bahasa belanda mengenal istilah staat organen

atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara, badan negara, organ

negara.34

Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat

dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat,

atau yang biasa dikenal dengan lembaga non-pemerintahan (ornop). Oleh

karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga

masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif,

34

http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem

(50)

legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Lembaga negara di

Indonesia ada bermacam-macam. Ada lembaga tinggi negara, lembaga

departemen dan non-departemen dan juga ada pula yang disebut lembaga

negara apa saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan

oleh UUD 1945 ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari

UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan

Presiden. Hierarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat

pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan

organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU adalah organ,

sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih

rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap

Sejak permulaan Orde Baru hingga era reformasi yang masih sedang

berlangsung saat ini, telah tumbuh demikian bayak lembaga-lembaga yang

berkaitan dengan tujuan negara, fungsi negara, dan tugas-tugas pemerintahan

dalam arti luas.. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu

sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden

Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan

satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi

menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya

lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem

pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan

(51)

institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur

ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap

lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya.

Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke

dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas

perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power).

Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang

(legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk

atas dasar perintah keputusan presiden.

KPK disinii di tetapkan sebagai lembaga yang mempunyai

kewenangan ekstra. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu

diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran

yang semilegislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan

semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan

berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies)

yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering

kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra

itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur

ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah,

kekuasaan membuat undangundang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak

terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik

pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat

(52)

yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen,

inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan.

Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan

pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena

pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan

yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari

hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam

kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga

ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini,

dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu

kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa

ada perangkat konstitusional yang logis.

Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini

tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang

bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi

preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan

menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru

melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.35

Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan

komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan

35

(53)

independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,

maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya.

Status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang

bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak

berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait

status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara”

tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja,

atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga

negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah

konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden

(Keppres).

Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air.

Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi

Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepa

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian Pengaruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak pidana korupsi di Indonesia berarti akibat yang timbul dari KPK dalam melakukan

IMPLEMENTASI FUNGSI PENCEGAHAN KPK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. OLEH :

Selain itu dalam menangani kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi, hakim juga dituntut harus lebih jelih dalam hal membedakan pada pembuktian terhadap

Problematika kepolisian sebagai penyidik tindak pidana korupsi dalam penetapan tersangka tindak pidana korupsi dana kampung/desa, yaitu : Pertama, saksi tidak kooperatif

kasus tindak pidana korupsi sesuai persyaratan yang ditentukan undang- undang. Dalam hal melakukan penyidikan tipikor Polri dan KPK tdk. pernah melakukan penyidikan

Ketiga, upaya-upaya yang dilakukan Jaksa untuk memaksimalkan kinerjanya dalam menangani tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, antara lain (a) Melaksanakan

KPK sebagai lembaga yang ditugaskan oleh negara untuk memeberantas tindak pidana korupsi harus benar – benar bisa membuktikan dugaan bahkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

Perlu adanya penyederhanaan undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan penyidik KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sehingga terjadi keterpaduan dalam penegakan hukum,