• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH

BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 menyebutkan bahwa :61

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan dari perkawinan adalah memelihara diri seseorang supaya tidak jatuh ke lembah kejahatan (perzinaan), karena apabila ada isteri atau suami disampingnya tentu akan terhindar dan akan terjauh dari perbuatan maksiat tersebut.

Disamping defenisi yang diberikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut diatas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia juga memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti defenisi undang-undang tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, yang terdapat dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dengan pengertian sebagai berikut :62

61

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

62

“Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.63

Perkawinan menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak (suami-isteri), keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, menyangkut hubungan masyarakat melalui kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara.64

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami isteri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan, karena perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, dan perkawinan mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.65

Pada anak yang dilahirkan itu terdapat 2 (dua) macam kepentingan, yaitu sebagai berikut :66

63

Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.

64

A. Munir, Dasar-Dasar Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 3.

65

Ibid.

66

Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hlm. 15.

(1) Kepentingan Khusus (Pribadi)

Ibu bapak mengharapkan selain anak itu menjadi tempat curahan kasih sayang, juga untuk mengharapkan kebaikan dan bantuan, lebih-lebih dimasa tua nanti, dikala ibu bapaknya sudah tua, mereka mengharapkan kebaikan dan kasih sayang anak-anak mereka, supaya anak dapat membantu kehidupan mereka.

Semua orang tua menginginkan anak yang saleh dan tahu berbuat baik meskipun mereka sudah meninggal dunia. Ibu selalu berusaha mendidik, menuntun anak-anaknya itu kearah yang baik serta mendoakan anak-anak dan keturunannya itu. (2) Kepentingan Umum

Orang tua selain bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi diwaktu hidupnya, anak yang dilahirkan itu juga diharapkan menjadi manfaat atau berguna bagi masyarakat umum.

Untuk mengetahui sahnya perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan :67

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hazairin menyatakan :

67

“Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang agama Kristen dan bagi orang Hindu-Budha seperti dijumpai di Indonesia”.68

Anak Luar Nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.69

Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, apabila anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah enam bulan. Ini berarti apabila ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.70

Dalam Hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis atau lajang, bersuami atau janda, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.71

68

Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm. 18.

69Ibid. 70

Ibid., hlm. 21.

71

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, hlm. 8.

2. Kedudukan Anak Luar Nikah dalam Hukum Islam.

Menurut hukum Islam, anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti halnya dengan anak sah yang mempunyai bapak. Hakikat hukum Islam tersebut anak di luar nikah termasuk anak tidak sah, meskipun orang tuanya telah melakukan pengakuan atau pengesahan, karena akibat anak itu lahir di luar perkawinan orang tuanya tetap saja pandangan masyarakat bahwa anak tersebut tidak sah.72

Persoalan anak luar nikah memang selalu menimbulkan problema dalam masyarakat, baik mengenai hubungan kemasyarakatan maupun mengenai hak-hak dan kewajibannya. Sering didengar dan disaksikan bahwa masyarakat terlalu cepat memberikan vonis terhadap anak yang lahir di luar nikah sebagai sampah masyarakat, bahkan selalu diperlakukan di luar perikemanusiaan, karena kelahirannya yang demikian, dianggap bahwa amal ibadah yang dikerjakannya tidak diterima.73

Ini berarti bahwa masyarakat sudah lupa terhadap hukum Islam, karena jelas dikatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah suci atau bersih dari dosa, baik yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan yang sah, karena anak yang dilahirkan itu tidak tergantung atau bertanggung jawab atas dosa ibu bapaknya.

72

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 15.

Hal ini tegas dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang artinya berbunyi sebagai berikut :74

“Rasulullah SAW bersabda, tidak seorang pun yang dilahirkan melainkan dalam keadaan suci, kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan anak itu Yahudi dan Nasrani, seperti lahirnya seekor hewan, apakah pernah kamu dapati terpotong telinganya (kecacatan dalam tubuhnya), kecuali kamu sendiri yang memotongnya (mencacatnya)”.

Oleh karena itu, seorang anak yang lahir dengan akad nikah yang sah tidaklah pasti anak itu menjadi orang yang baik, begitu juga dengan anak yang lahir di luar nikah tidaklah pasti menjadi orang yang jahat, hal itu tergantung kepada hasil didikan orang tuanya dan juga lingkungannya. Apabila lingkungannya baik, maka tidak mustahil anak tersebut menjadi orang mukmin yang saleh, sebaliknya anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tidak jarang pula menjadi anak yang tidak menuruti ajaran agama, bahkan menjadi penjahat, yang disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan lingkungan pergaulan yang kurang baik.75

Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab kepada laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya, ia tidak mengikuti nasab laki-laki pemilik sperma yang menyebabkan kelahirannya, tetapi nasabnya mengikuti kepada ibu yang melahirkannya, maka hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban/tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada ayah, dan antara keduanya adalah sebagai orang lain.76

74Ibid. , hlm. 18. 75 Ibid., hlm. 20. 76

M. Zuffran Sabrie, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 9.

Secara nyata akibat yang diterima anak adalah hilangnya martabat muhrim dalam keluarga. Apabila anak itu perempuan, maka antara bapak (pemilik sperma) dengan anak itu dibolehkan menikah. Demikian dikemukakan oleh M. Jawad Mughniyah menurut pandangan Imam Malik dan Imam Syafi’i sebagai berikut:

“Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dibolehkan bagi seseorang mengawini puterinya (anak zina), saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannya yang semuanya itu dari hasil zina”.77

Selanjutnya M. Jawad Mughniyah menjelaskan, bahwa mazhab Syi’ah Imamiyah, Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal berpendapat sebagai berikut:

“Ayah dengan anak perempuan hasil perbuatan zina yang dilakukannya, haram menikah dengan alasan bahwa anak zina itu tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa (lughah) dan ‘urf (kata). Karena itu haram menikah antara anak zina dengan ayahnya. Sebagaimana antara ayah dengan anak kandungnya sendiri”.78

Pandangan Syi’ah Imamiyah, Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal tersebut, adalah suatu pandangan yang manusiawi, artinya menempatkan kedudukan manusia tetap pada tempatnya, walaupun anak itu lahir dari hasil perbuatan zina, tetapi anak itu tetap sebagai anaknya menurut bahasa dan kata (‘urf). Oleh sebab itu haram pulalah anak itu terhadap bapaknya, meskipun demikian, dalam segi hukum anak itu bukanlah anak yang sah menurut syara’, karena itu ayah tersebut tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuan itu apabila ia akan menikah.79

77 Ibid., hlm. 12. 78 Ibid. 79Ibid ., hlm. 14.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa anak zina hanya bernasab kepada ibunya, sedangkan wali dalam perkawinan disyaratkan harus laki-laki. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad Ibn Hanbal, bahwa tidak sah perkawinannya yang diwalikan oleh dirinya sendiri, maka Sulthanlah (Kepala KUA) yang menjadi walinya, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. Sulthan (penguasa) adalah wali bagi yang tidak ada wali (Hadits Turmuziy dari Aisyah).80

Mengenai wanita tidak sah nikah menjadi wali dan mewalikan dirinya sendiri, hal ini berdasarkan hadits Dara Quthniy dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Tidak sah wanita menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan dirinya sendiri, karena hanya wanita yang berzinalah yang menikahkan dirinya”.81

3. Asal Usul Anak dalam Kompilasi Hukum Islam.

Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam fiqih sunni, karena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Berbeda dengan pemahaman ulama Syi’ah bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula anak zina tidak bisa mewarisi keduanya.82

80Ibid., hlm. 16. 81 Ibid. 82

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Jakarta, 1993, hlm. 20.

Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahqaf ayat 15, yang artinya :

“...mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 (tiga puluh) bulan (dua setengah tahun)”.83

Dan juga Al-Qur’an surat Luqman ayat 14, yang artinya :

“…….Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah dan menyapihnya dalam 2 (dua) tahun atau 24 (dua puluh empat) bulan”.84

Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24 bulan. Ini berarti bayi membutuhkan 30-24 bulan = 6 bulan dalam kandungan.85

Oleh sebab itu, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendati pun dalam ikatan perkawinan yang sah, dan ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI). Pendapat semacam ini, boleh jadi terasa kaku, tetapi apabila semua pihak konsisten dengan gagasan Al-Qur’an yang menekankan pembinaan moral, tentu akan dapat menyadari dan memakluminya. Persoalan pokok, sesungguhnya terletak 83 Ibid., hlm. 22. 84 Ibid. 85Ibid. , hlm. 24.

pada kejujuran seorang perempuan yang sedang mengandung di luar perkawinan itu sendiri, atau setidak-tidaknya dalam keadaan tertentu meski telah bersuami, ia dalam hati kecilnya tahu bagaimana sesungguhnya nasab bayi itu, jika ia melakukan selingkuh dengan laki-laki lain.86

4. Kedudukan Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan :

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.

Dalam Islam, apabila seseorang telah terang ada hubungan darah dengan ibu bapaknya, maka dia mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tidak ada suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna, dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang ibu.

Kedudukan sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut.

Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak kepada anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun

86Ibid.,

tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibannya yang dipandang menjadi hak anak apabila kedudukannya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.

B. Anak Luar Kawin dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

1. Perkawinan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.87

Berdasarkan Pasal 26 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Pasal tersebut maksudnya bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Suatu asas lagi dari KUHPerdata ialah poligami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.88

Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata memiliki beberapa asas, antara lain :89

1) Perkawinan berasaskan monogami, dan melarang poligami (Pasal 27 KUHPerdata).

87

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 24.

88

Ibid.

89Ibid.

2) Undang-undang hanya memandang soal perkawinan didalam hubungan keperdataannya, yaitu dilakukan di depan Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijke Stand).

3) Perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan tata cara agama saja tidak dianggap sah, dan kesahannya baru dapat dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan di depan pegawai catatan sipil (Pasal 81 KUHPerdata), maksudnya dalam hubungan ini, ketentuan melarang petugas keagamaan untuk melakukan perkawinan menurut tata cara agama sebelum perkawinan perdata dilangsungkan.

4) Perkawinan dilakukan dengan persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita di dalam bidang hukum keluarga (Pasal 28 KUHPerdata). Dengan demikian, terlihat bahwa perkawinan itu merupakan persetujuan khusus yang berbeda dengan persetujuan-persetujuan sebagaimana dimuat dalam Buku III KUHPerdata. 5) Perkawinan hanya sah apabila memenuhi persyaratan yang dikehendaki undang-

undang. Yaitu syarat sebagaimana tersebut diatas.

6) Perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan pada ketentuan undang-undang. 7) Berdasarkan ketentuan pasal 199 KUHPerdata, perkawinan bubar karena :

a. Kematian, yaitu suami/isteri meninggal dunia (Pasal 199 KUHPerdata).

b. Ketidakhadiran di tempat (afwezigheid) atau kepergian suami atau isteri selama sepuluh tahun dan diikuti dengan perkawinan baru oleh suami/isteri (Pasal 199 jo. Pasal 493 - 495 KUHPerdata).

c. Keputusan hakim sebagai akibat perpisahan meja dan ranjang yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil (Pasal 199 jo. Pasal 200 - 206b KUHPerdata).

8) Perkawinan berakibat terhadap hak dan kewajiban suami isteri.

Hal ini diatur dalam Pasal 115 KUHPerdata, hak dan kewajiban suami isteri terdiri dari :

a. Suami adalah kepala dari persatuan suami isteri. b. Suami harus memberi bantuan kepada isterinya.

c. Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi isterinya. d. Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai kepala rumah tangga yang

baik.

e. Suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tidak bergerak milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri.

9) Perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian darah sehingga melahirkan hak dan kewajibannya terhadap keturunannya.

Pertalian keluarga terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu :

a. Keturunan sedarah, yaitu terjadi jika seseorang adalah keturunan yang lain atau jika beberapa orang mempunyai leluhur (nenek moyang) yang sama (Pasal 290 - 299 KUHPerdata).

b. Pertalian semenda atau perkawinan semenda, yaitu keluarga sebagai anggota satu dan lainnya memiliki hubungan keluarga yang diakibatkan dari suatu perkawinan.

10)Perkawinan mempunyai akibat di dalam bidang kekayaan suami isteri. Akibat-akibat lain dari perkawinan adalah :90

90Ibid.

a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan adalah anak sah (wettig).

b. Suami menjadi ahli waris isteri dan begitu juga sebaliknya, apabila salah satu meninggal di dalam perkawinan.

c. Oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami dan isteri. d. Perjanjian perburuhan antara suami isteri tidak diperbolehkan.

e. Pemberian benda-benda atas nama tidak diperbolehkan antara suami isteri. f. Suami tidak diperbolehkan menjadi saksi didalam suatu perkara isterinya dan

sebaliknya.

g. Suami tidak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitu juga sebaliknya (misalnya pencurian).

2. Anak Luar Kawin dalam KUHPerdata.

Secara garis besar kedudukan atau status anak tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu anak yang lahir dalam perkawinan dan anak yang lahir di luar perkawinan.

a. Anak Sah.

Pasal 250 KUHPerdata, menyebutkan bahwa :

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”.

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara anak yang dilahirkan dan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan adalah merupakan hubungan yang sah, sehingga kedudukan atau status anak tersebut dapat dikatakan sebagai anak yang sah. Tetapi

lain halnya terhadap anak yang lahir setelah perkawinan putus, sebab harus dibuktikan terlebih dahulu apakah anak tersebut dibenihkan sepanjang perkawinan, pembuktiannya tentu sulit, karena undang-undang membuat suatu asumsi atau persangkaan, yaitu:

“Anak-anak yang dilahirkan dalam waktu 300 hari sesudah putusnya perkawinan adalah anak yang dibenihkan sepanjang perkawinan dan karenanya adalah anak sah”.91

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang dilahirkan sejak perkawinan dilangsungkan sampai 300 hari sesudah putusnya perkawinan adalah anak sah, namun terhadap pasal tersebut terdapat pengecualian yaitu terhadap anak yang dilahirkan kurang dari 180 hari sejak perkawinan dilangsungkan adalah anak yang dibenihkan sebelum perkawinan.92

Dengan kata lain bahwasanya seorang anak dilahirkan dari seorang ibu, hal ini tentu mudah untuk dibuktikan, tetapi bahwa seorang anak tersebut merupakan anak dari bapaknya tentunya sulit dibuktikan, sehingga dalam hal demikian undang-undang memberikan hak untuk memungkiri keabsahan seorang anak kepada suami.93

Pasal 251 KUHPerdata, menyebutkan :

Keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dalam perkawinan suami isteri dapat diingkari oleh si suami, namun pengingkaran ini tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

91

R. Badri, Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan KUHPerdata, Amin, Surabaya, 1991, hlm. 15.

92

Ibid., hlm. 16.

(1) Jika si suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan kehamilan si isteri. (2) Jika ia telah hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta itu pun telah

ditandatanganinya atau memuat pernyataan darinya, bahwa ia tak dapat menandatanganinya.

(3) Jika si anak meninggal sewaktu dilahirkan.

Begitu juga ketentuan yang terdapat dalam pasal 252 KUHPerdata menyebutkan :

“Si suami boleh mengingkari keabsahan si anak apabila dapat membuktikan bahwa ia sejak tiga ratus sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahir anak itu, baik karena perpisahan maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan, berada dalam ketidakmungkinan yang nyata, untuk mengadakan hubungan dengan isterinya”.

Begitu juga yang diatur dalam Pasal 254 KUHPerdata, yang menyatakan : “Suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak, yang dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak mengurangi hak isterinya untuk mengemukakan segala peristiwa yang kiranya sanggup membuktikan bahwa suamilah bapak anak itu”.

Hak untuk memungkiri sahnya anak sebagaimana terdapat dalam Pasal 251, 252, dan 254 KUHPerdata tidak dapat dipergunakan dalam hal :

1. Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa isterinya mengandung.

2. Pada waktu anak dilahirkan ia ikut hadir pada waktu akta kelahiran dibuat dan ia ikut menandatangani akta itu.

3. Anak tidak hidup pada waktu dilahirkan.

Pasal 255 KUHPerdata, menyebutkan bahwa :

(1) Anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah dibubarkan adalah tak sah.

(2) Apabila bapak dan ibu seorang anak yang dilahirkan satu sama lain melakukan perkawinan ulang, maka tiadalah jalan lain oleh si anak dapat ditempuh guna memperoleh kedudukan selaku anak yang sah, melainkan menurut ketentuan- ketentuan dalam bagian kedua bab ini.

Pengingkaran sebagaimana disebutkan diatas harus dilakukan :94

1) Dalam waktu satu bulan jika suami tinggal disekitar tempat anak itu dilahirkan. 2) Dalam waktu dua bulan sesudah kembali dari berpergian jika suami itu sedang

Dokumen terkait