• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH

BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

TESIS

Oleh

AYU YULIA SARI

097011052/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH

BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AYU YULIA SARI

097011052/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Nama Mahasiswa : Ayu Yulia Sari Nomor Pokok : 097011052 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Ketua

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA)

Ketua Program Studi Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji pada : 26 Juli 2011

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

2. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

(5)

ABSTRAK

Akhir-akhir ini di dalam masyarakat banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam Kompilasi Hukum Islam dianggap tidak ada akibat hukumnya, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya. Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, sehingga menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini kedudukan anak luar kawin yang diakui tersebut, namun permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan Kriteria anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kedudukan anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Akibat hukum anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang bertujuan untuk memaparkan/melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis tentang kedudukan anak luar nikah berdasarkan kompilasi hukum Islam dan kitab undang-undang hukum perdata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prinsip atau kriteria terhadap anak luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak mula’nah, dan (c) Anak syubhat. Anak luar kawin dalam KUHPerdata meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak sumbang, dan (c) Anak luar kawin yang lain.

Terdapat perbedaan kedudukan terhadap anak luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal adanya pengakuan dan pengesahan terhadap anak di luar perkawinan, dalam KUHPerdata anak luar kawin terbagi 2 (dua) yakni anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang tidak diakui. Apabila anak luar kawin tersebut telah diakui oleh ayah yang membenihkannya, maka kedudukan anak luar kawin tersebut akan sama dengan anak sah.

Akibat hukum anak luar nikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak luar nikah tersebut tidak berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak), dan perwalian dari ayah yang membenihkannya, melainkan kepada ibunya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, apabila anak luar kawin tersebut telah diakui maka anak luar kawin tersebut berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak), dan perwalian dari ayah yang membenihkannya. Yang menjadi wali nikah bagi anak luar nikah adalah Wali Hakim.

(6)

ABSTRACT

There have recently been numerous cases of illegitimate children in our society. Basically, there is no regulation in the Compilation of the Islamic Law on the relationship between the child and the man who is responsible for the child’s birth (henceforth, biological father) so that there will be no law of inheritance between them. This condition has motivated lawmakers, especially those who are involved in making the Civil Code (BW), to make a Testimony Body so that it will create a legal consequence to the child, i.e. the position of the illegitimate child. The problem arises when the man does not want to recognize the child ; in consequence, there will be no legal protection for the child.

The research was aimed to explain the criteria of an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law and in the Civil Code, the position of an illegitimate child in the Comilation of the Islamic Law and in the Civil Code, and the legal consequence of an illegitimate child according to the Compilation of the Islamic Law and the Civil Code.

This research level used descriptive analytic approach with judical normative design. It was aimed to describe and explain the object and its condition and to analyze the position of an illegitimate child according to the Compilation of the Islamic Law and the Civil Code.

The result of the research showed that there was the distinction in principles and criteia between an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law and an illegitimate child in the Civil Code : an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law included (a) illegitimate child, (b) mula’nah child, and (c) subhat child. An illegitimate child in the Civil Code included (a) illegitimate child, (b) sumbang

child, and (c) another type of illegitimate child.

There is the distinction between the position of an illegitimate child in the Comlilation of the Islamic Law and an illegitimate child in the Civil Code. In the Compilation of theIslamic Law, an illegitimate child has a lineage with his/her mother and his/her mother’s relatives ; whereas in the Civil Code, there are recognized and validation of an illegitimate child. Here, an illegitimate child can be recognized father, his/her position will be equal to the one who is legitimate.

The legal consequence of an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law is that he/she has no right to obtain the lineage, financial aid, inheritance, hadhanah (the right to be taken care of), and trusteeship from his/her biological father except from his/her biological mother. In the Civil Code, if an illegitimate child is recognized, he/she will have the right to obtain the lineage, financial aid, inheritance, hadhanah, and trustee from his/her biological father. The

wali (the man next of kin and guardian whose consent is reguired for the marriage of a girl and woman) of this illegitimate child is wali hakim (person appointed by the court who is not related to the bride).

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali saya mengucapkan Puji dan Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT dan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan rahmad, hidayah, anugerah, dan karunia kepada kita semua yaitu berupa kesehatan, kesabaran, semangat dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan sebaik-baiknya, yakni dengan judul “ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

Dan tak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, CTM, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

(9)

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2009 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda H. Imam Rohadi dan Ibunda Yosfriza serta adik-adikku Sandy Setiady, Satria Adi Kesuma, dan Ade Puspita Sari yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Penulis sangat menyadari bahwa isi dan penyusunan dari pada tesis ini masih kurang sempurna sebagaimana mestinya sesuai dengan kepentingan pembahasannya serta dari segi praktek untuk masyarakat yang memerlukannya terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.

Dan seperti yang telah dikatakan bahwa mungkin tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis akan menerima segala teguran perbaikan dan uluran yang berupa nasehat dan bimbingan yang sangat di harapkan. Demikianlah tesis ini dibuat. Jika ada kesalahan dalam penulisan maupun penyebutannya penulis mohon maaf.

Medan, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Ayu Yulia Sari

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 19 Juli 1987 Nomor Pokok Mahasiswa : 097011052

Alamat : Jalan Denai Ujung No. 127 E Medan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Kewarganegaraan : Indonesia

II. Orang Tua

Nama Ayah : H. Imam Rohadi

Nama Ibu : Yosfriza

III. Riwayat Pendidikan

SD : Tunas Harapan Medan

SMP : Kebangsaan Medan

SMA : Kesatria Medan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 13

C. Tujuan Penelitian... 14

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 18

1. Kerangka Teori... 18

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian... 32

1. Sifat dan Jenis Penelitian... 32

2. Sumber Data... 33

3. Teknik Pengumpulan Data ... 34

(12)

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH

DALAM KHI DAN KUHPERDATA... 36

A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam KHI... 36

B. Kriteria Anak Luar Kawin dalam KUHPerdata ... 42

BAB III KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH BERDASARKAN KHI DAN KUHPERDATA... 49

A. Anak Luar Nikah Berdasarkan KHI... 49

1. Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam... 49

2. Kedudukan Anak Luar Nikah Dalam Hukum Islam ... 53

3. Asal Usul Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam ... 56

4. Kedudukan Anak Luar Nikah Dalam KHI... 58

B. Anak Luar Kawin Dalam KUHPerdata ... 59

1. Perkawinan Dalam KUHPerdata... 59

2. Anak Luar Kawin Dalam KUHPerdata... 62

3. Pengakuan Anak Luar Kawin ... 67

4. Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Dalam KUHPerdata... 75

BAB IV AKIBAT HUKUM ANAK LUAR NIKAH BERDASARKAN KHI DAN KUHPERDATA... 87

A. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam ... 87

B. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 109

A. Kesimpulan……….. 109

B. Saran……… 110

(13)

ABSTRAK

Akhir-akhir ini di dalam masyarakat banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam Kompilasi Hukum Islam dianggap tidak ada akibat hukumnya, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya. Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, sehingga menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini kedudukan anak luar kawin yang diakui tersebut, namun permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.

Penulisan bertujuan untuk menjelaskan Kriteria anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kedudukan anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Akibat hukum anak luar nikah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang bertujuan untuk memaparkan/melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis tentang kedudukan anak luar nikah berdasarkan kompilasi hukum Islam dan kitab undang-undang hukum perdata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prinsip atau kriteria terhadap anak luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak mula’nah, dan (c) Anak syubhat. Anak luar kawin dalam KUHPerdata meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak sumbang, dan (c) Anak luar kawin yang lain.

Terdapat perbedaan kedudukan terhadap anak luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal adanya pengakuan dan pengesahan terhadap anak di luar perkawinan, dalam KUHPerdata anak luar kawin terbagi 2 (dua) yakni anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang tidak diakui. Apabila anak luar kawin tersebut telah diakui oleh ayah yang membenihkannya, maka kedudukan anak luar kawin tersebut akan sama dengan anak sah.

Akibat hukum anak luar nikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak luar nikah tersebut tidak berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak), dan perwalian dari ayah yang membenihkannya, melainkan kepada ibunya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, apabila anak luar kawin tersebut telah diakui maka anak luar kawin tersebut berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris (pewarisan), hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak), dan perwalian dari ayah yang membenihkannya. Yang menjadi wali nikah bagi anak luar nikah adalah Wali Hakim.

(14)

ABSTRACT

There have recently been numerous cases of illegitimate children in our society. Basically, there is no regulation in the Compilation of the Islamic Law on the relationship between the child and the man who is responsible for the child’s birth (henceforth, biological father) so that there will be no law of inheritance between them. This condition has motivated lawmakers, especially those who are involved in making the Civil Code (BW), to make a Testimony Body so that it will create a legal consequence to the child, i.e. the position of the illegitimate child. The problem arises when the man does not want to recognize the child ; in consequence, there will be no legal protection for the child.

The research was aimed to explain the criteria of an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law and in the Civil Code, the position of an illegitimate child in the Comilation of the Islamic Law and in the Civil Code, and the legal consequence of an illegitimate child according to the Compilation of the Islamic Law and the Civil Code.

This research level used descriptive analytic approach with judical normative design. It was aimed to describe and explain the object and its condition and to analyze the position of an illegitimate child according to the Compilation of the Islamic Law and the Civil Code.

The result of the research showed that there was the distinction in principles and criteia between an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law and an illegitimate child in the Civil Code : an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law included (a) illegitimate child, (b) mula’nah child, and (c) subhat child. An illegitimate child in the Civil Code included (a) illegitimate child, (b) sumbang

child, and (c) another type of illegitimate child.

There is the distinction between the position of an illegitimate child in the Comlilation of the Islamic Law and an illegitimate child in the Civil Code. In the Compilation of theIslamic Law, an illegitimate child has a lineage with his/her mother and his/her mother’s relatives ; whereas in the Civil Code, there are recognized and validation of an illegitimate child. Here, an illegitimate child can be recognized father, his/her position will be equal to the one who is legitimate.

The legal consequence of an illegitimate child in the Compilation of the Islamic Law is that he/she has no right to obtain the lineage, financial aid, inheritance, hadhanah (the right to be taken care of), and trusteeship from his/her biological father except from his/her biological mother. In the Civil Code, if an illegitimate child is recognized, he/she will have the right to obtain the lineage, financial aid, inheritance, hadhanah, and trustee from his/her biological father. The

wali (the man next of kin and guardian whose consent is reguired for the marriage of a girl and woman) of this illegitimate child is wali hakim (person appointed by the court who is not related to the bride).

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan Pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.1

Sebagaimana diketahui bahwa pada saat sekarang ini banyak orang tua yang tidak memelihara anaknya dengan baik walaupun telah dikatakan bahwa anak adalah amanah Allah SWT, hal ini diakibatkan karena menurunnya moral masyarakat yang ditandai dengan meluasnya pergaulan bebas sehingga mengakibatkan banyaknya bayi-bayi yang lahir di luar nikah.2 Akibat dari semua ini hampir setiap hari di media massa baik cetak maupun elektronik banyak menayangkan berita-berita tentang bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya yang tidak bertanggung jawab, atau ditinggal begitu saja di rumah sakit dimana mereka dilahirkan. Cukup banyak dari bayi-bayi tersebut

1

M. Hasballah Thaib dan Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hlm. 5.

(16)

didapati telah menjadi mayat, namun tidak sedikit pula yang selamat atau masih hidup.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun diatas nilai-nilai sakral karena berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila, maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.3

Rumah tangga yang dibentuk haruslah didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dan pembentukan keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, jelaslah bahwa perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial, dan adat istiadat. Agar tujuan tercapai, maka setelah terjadinya perkawinan harus ada keseimbangan kedudukan antara suami isteri. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga merupakan hasil keputusan bersama antara suami isteri berdasarkan musyawarah mufakat.4

3

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 10.

4Ibid.

(17)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:5

1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 3. Perkawinan berasas monogami.

4. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.

5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. 6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.

7. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hukum antara orang tua dengan anak menimbulkan kewajiban orang tua, antara lain tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka mandiri.6

Salah satu masalah hukum waris yang ada di Indonesia adalah mengenai anak luar nikah, dimana terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara hukum Islam yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dengan hukum perdata barat yang berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada

5

Ibid., hlm. 15.

6Ibid

(18)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.7

Tentang keabsahan seorang anak, menurut Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan ini dipertegas pula dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sebagai konsekuensinya akta kelahiran anak tersebut hanya mencantumkan anak dari ibu kandungnya.8

Mengenai hak waris, ia hanya bisa menjadi ahli waris dari ibu dan keluarga ibu. Sekalipun akta kelahirannya terkesan kurang lengkap, namun sesungguhnya memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta kelahiran dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dalam prakteknya akta tersebut bisa dipergunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk melanjutkan studi, melamar pekerjaan, dan sebagainya.9

Tidak sahnya anak luar nikah menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan

7

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6.

8

Ibid., hlm. 8.

(19)

dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 100 KHI).10

Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan, pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.11

Anak tidak sah ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sering anak di luar perkawinan disebut : anak jadah, anak zina atau natuurlijke kinderen atau onwettige kinderen, sedang anak sah disebut wettige kinderen.

Sebelumnya perlu dijelaskan apa hubungan hukum itu, ialah hubungan yang diatur oleh hukum, yang mempunyai dua segi yakni: pada satu segi ia merupakan hak, dan pada segi lain ia merupakan kewajiban. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya. Anak luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai

10

Mohd. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 5.

(20)

hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan bapaknya, anak itu hanya mempunyai hubungan hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan.12

Pengakuan ayah biologis tidak dianggap, karena anak zina tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami, jadi anak itu tidak berbapak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah : “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)”.13

Firasy adalah tempat tidur dan disini maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, berdasarkan syarat nikah yang shahih dan pemilikan yang sah, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy, namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya karena tidak ada firasyinya yang sah dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.14

Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah SWT. Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina, maka :15

a. Anak itu tidak berbapak.

(21)

d. Anak itu hanya dihubungkan kepada ibunya yang melahirkan. e. Kewarisannya hanya dari ibunya atau keluarga dari ibunya.

Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena anak itu tidak memiliki wali atau wali nasab. Rasulullah bersabda, “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”.

Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka anak yang sah sesuai Pasal 99 KHI dan anak tidak sah Pasal 100 KHI, sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 99 KHI, anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100 KHI menyebutkan : Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Di dalam Hukum Islam tidak dibenarkan mengakui anak biologis (anak tidak sah) menjadi anaknya (anak yang sah). Di dalam Islam, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari suami isteri yang sah yang masih terikat dengan perkawinan yang sah, dan jika proses pembuahannya diluar rahim, maka setelah terjadi embrio dikembalikan kedalam rahim isteri yang sah yang punya bibit, maka anak itu adalah anak yang sah dan anak itu dibangsakan kepada ayahnya, sesuai ayat-ayat dibawah ini :

(22)

Maha Kuasa (Al Furqon)“ dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik atau ma’ruf (Al Baqarah ayat 233). Dalam hal anak biologis yang dihasilkan oleh perbuatan zina, kumpul kebo dan lainnya, sama sekali tidak ada hubungan nasab dan kekerabatan. Oleh karena itu dia secara hukum adalah orang luar yang diakui sebagai manusia biasa lainnya, karena anak zina itu tidak bersalah dan yang bersalah adalah pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan. Anak zina tidak menjadi wali kepada saudara seibunya, dan tidak mewarisi dari ayah biologisnya, dia hanya mewarisi dari keturunan ibunya sebagai saudara seibu.16

Dalam Hukum Islam, pengakuan terhadap anak luar nikah oleh ibunya tidak diperlukan, hubungan antara ibu dan anak tercipta dengan sendirinya. Sedangkan terhadap ayahnya sama sekali, tidak ada hubungan hukum, maka antara mereka tidak ada hubungan waris-mewaris.

Hukum Islam mensyaratkan untuk keabsahan kelahiran suatu jangka waktu minimum 6 bulan, sebagaimana bila ada yang dilahirkan dalam jangka waktu tersebut di atas, dianggap sebagai anak-anak yang tidak sah dan tidak dimungkinkan untuk diakui sebagai anak sah ayahnya.

Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dan ayat (2) mengatakan : “Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas, selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Hingga

(23)

sekarang peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang kedudukan anak luar nikah, belum terlaksana. Dengan keadaan seperti ini, maka sulitlah untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menyangkut kehadiran anak luar nikah itu.

Sehubungan dengan adanya ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka pengakuan hanya diperlukan dari sang ayah dan hal ini hanya dilakukan dengan seizin ibunya, sepanjang ibunya masih hidup (pasal 284 ayat 1 dan 2 KUHPerdata). Sedangkan ketentuan pasal 284 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa pengakuan seorang ayah terhadap anak luar kawinnya, yang ibunya termasuk golongan bumiputera atau yang dipersamakan dengan bumiputera, maka hubungan keperdataan antara anak dan ibunya menjadi putus. Ayat ini secara tegas harus kita nyatakan tidak berlaku lagi karena bersifat kolonial dan diskriminatif.

(24)

Mengenai hal anak luar nikah ini sampai saat ini dapat saja terjadi, hal tersebut dilakukan oleh:17

a. Pihak-pihak yang masih bujangan.

b. Satu pihak bujangan (ibu) dan bapak dalam status perkawinan atau sebaliknya. c. Akibat dari adanya perkosaan.

d. Pihak-pihak dalam status perkawinan dan pihak isteri melakukan zina dan dapat dibuktikan.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) kita yang masih berlaku hingga sekarang, menentukan bahwa anak yang dilahirkan dari seorang wanita tanpa adanya perkawinan ibunya dianggap tidak mempunyai ayah maupun ibu. Berdasarkan pasal 221 ayat (1) KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut: “Een onwettig kind heft de staat van natuurlijk kind van de moeder. Het verkrijgt door de erkenning de staat van

natuurlijk kind van de vader” (Seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak

wajar daripada ibunya). Ia memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh ayahnya.

Pasal 221 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi : “Onder de vader van een natuurlijk kind wordt verstaan, hijdie het kind heeft erkend” (Yang dimaksud dengan

ayah seorang anak wajar, ialah ia yang mengakui anak tersebut). Dan pasal 222 KUHPerdata, yang berbunyi : “Een onwettig kind komt met zijn geboorte en met zijn vader op het tijdstip van erkenning.” (Seorang anak tidak sah, mempunyai hubungan

hukum kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahirannya, dan dengan ayahnya pada saat dilakukannya pengakuan).

17

(25)

Oleh karena undang-undang tidak mengadakan ketentuan, kapan seorang anak luar kawin boleh diakui, maka boleh dianggap bahwa anak itu dapat diakui sebagai anaknya dalam usia berapapun, tanpa ada batasan. Berdasarkan ketentuan pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa anak yang masih dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan anaknya menuntutnya, dapat disimpulkan, bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dapat diakui pula.

Begitu juga pengakuan terhadap seorang anak yang telah meninggal duniapun tidak dilarang oleh undang-undang, maka dengan demikian harus dianggap dibolehkan. Pengakuan yang demikian tiada tanpa kepentingan, bilamana anak yang telah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan.

Akibat-akibat dari pada pengakuan anak:18 A. Terhadap ayah yang mengakui.

Dengan pengakuan ayah terhadap anak, terciptalah hubungan-hubungan perdata antara anak dan ayah yang mengakui itu (pasal 280 KUHPerdata). Akibat lebih lanjut dari pengakuan sang ayah ialah bahwa anak luar kawin tersebut berhak menggunakan nama keluarga sang ayah, yang sebelumnya menggunakan nama keluarga sang ibu. Dengan demikian anak tersebut berhak atas alimentasi dari ayahnya.

18

(26)

B. Terhadap sanak keluarga sang ayah.

Pada umumnya dapatlah dianggap bahwa pengakuan itu hanya menciptakan hubungan antara ayah dan anak, sedangkan hubungan anak tersebut dengan neneknya atau garis ke samping hampir tidak ada. Maka anak tersebut pun tidak berhak memperoleh alimentasi dari neneknya, begitu juga sebaliknya. Sebagai halangan perkawinan karena derajat kekeluargaan yang terlalu dekat, maka dalam hal ini anak luar kawin disamakan dengan anak sah.

Untuk menentukan kedudukan anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan orang tuanya tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Selanjutnya setelah mengetahui kedudukan dari masing-masing golongan anak maka dalam hal berkemampuan maupun yang tidak, mempunyai hak yang sama antara lain:19

a. Berhak atas kesejahteraan, perawatan, pengasuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang.

b. Berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya.

c. Berhak atas pemeliharaan dan perlindungan. d. Berhak atas pendidikan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan

19Ibid.,

(27)

tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai anak luar nikah. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN ANAK LUAR NIKAH BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab

Undang-undang Hukum Perdata ?

(28)

3. Bagaimana Akibat Hukum Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam dan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Untuk mengetahui Akibat Hukum Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan mengenai Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

(29)

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata”, belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut Kedudukan Anak Luar Nikah yang pernah dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu : 1. Nama : Ardiana Saragih

NIM : 027011093

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Kedudukan Anak Luar Kawin Terhadap Harta Warisan Orang Tuanya (Study Kasus Putusan M.A.R.I No.1545/K/Pdt/1986).

Perumusan Masalah : 1. Bagaimana Kedudukan Anak Luar Kawin Terhadap Harta Warisan Orang Tuanya ?

(30)

Perkawinan Yang Sah Antara Seorang Laki-Laki/Ayah WNI-KA Cina Dengan Seorang Perempuan/Ibu WNI-Pribumi, Dalam Persidangan Pengadilan ?

2. Nama : Syafitri Yanti

NIM : 087011120

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Itsbat Nikah Dan Kaitannya Dengan Status Anak Yang Lahir Sebelum Perkawinan Disahkan (Studi Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan).

Perumusan Masalah : 1. Bagaimanakah Tata Cara Pengajuan Itsbat Nikah Yang Dilakukan Pada Pengadilan Agama Klas IA Medan ?

2. Bagaimana Proses Penetapan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Klas IA Medan Dan Kendala Yang Dihadapi ?

3. Bagaimanakah Status Anak Yang Lahir Sebelum Dilakukannya Itsbat Nikah ?

3. Nama : Denilah Shofa Nasution

NIM : 017011010

(31)

Judul Tesis : Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa Di Kota Tebing Tinggi).

Perumusan Masalah : 1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Antara Seorang Laki-Laki Dan Seorang Perempuan Yang Perkawinannya Dilakukan Secara Adat Tionghoa ?

2. Bagaimanakah Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Dalam Hukum Keluarga ?

3. Bagaimanakah Hak Waris Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya ?

(32)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.20

Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah.21

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo :

“teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berfikir (Frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut”.

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1999, hlm. 12.

21Ibid.

(33)

“Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”.

Menurut W.L.Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F Susanto, menyebutkan bahwa:

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.22

Sedangkan Kerangka Teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi Ilmu Hukum.

Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial. Oleh karena itu, hukum tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat, namun demikian perkembangan masyarakat tersebut perlu diatur dengan suatu ketentuan hukum guna terciptanya suatu kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban subjek hukumnya.23

22

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 5.

23

(34)

Dengan demikian kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perkawinan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.24

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas. Teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Menentukan Asal Usul Anak Menurut Hukum Islam.

Dalam hukum Islam, asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara 3 (tiga) sebab, yaitu :25

1. Dengan cara al-Firasy yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah.

2. Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya.

3. Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang anak betul anak si fulan. Dalam hal yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir dari nikah fasid. Dengan hal ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada 2 (dua) bagian yaitu anak yang diketahui hubungan darah dengan bapaknya dan anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya, dimana untuk anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya itu mengakuinya.

24

Ibid.

25

(35)

Syarat penetapan/penghubungan nasab dan keturunan adalah :26

1. Kandungan tersebut masih dalam status perkawinan yang sah diantara suami isteri. 2. Masa mengandung tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari empat tahun menurut jumhur ulama atau dua tahun menurut Abu Hanifah atau lima tahun menurut Imam Malik.

3. Terjadi senggama yang hakiki diantara suami isteri, kecuali pendapat Abu Hanifah: Aqad yang sah saja sudah cukup untuk menghubungkan nasab/keturunan.

4. Nasab/keturunan dapat dihubungkan kepada suami, apabila ia tidak menafikan/menolak nasab anak tersebut.

Menurut Wahbah az-Zuhayly dalam kitabnya al Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh (VII, 1989 : 671) yang dikutip oleh H.A. Mukhsin Asyrof dikatakan bahwa nasab adalah salah satu dari hak anak yang lima yakni :27

1. Nasab ;

2. Ridha’ (susuan) ;

3. Hadhanah (pemeliharaan) ;

4. Walayah (perwalian/perlindungan) ; dan 5. Nafkah.

(36)

3. Karena persetubuhan yang syubhat ; dan 4. Dengan pengakuan nasab.

Wahbah az-Zuhayly (VII, 1989 : 690) yang ditulis oleh H.A. Mukhsin Asyrof dikatakan bahwa ada tiga cara pembuktian untuk penetapan nasab yaitu :29

1. Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya perkawinan yang fasid ; 2. Mengajukan pengakuan nasab (iqraru bin nasab) ; dan

3. Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti saksi, termasuk didalamnya keterangan ahli qifayah. Pada zaman sekarang, perlu dipikirkan tentang alat bukti lain selain saksi (baik saksi biasa maupun saksi ahli) yakni hasil pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA.

Menurut Wahbah az-Zuhayly yang dikutip oleh Ahmad dan Fauzan yang mengatakan bahwa dalam perspektif Hukum Islam nasab anak terhadap anak bisa terjadi karena tiga hal yakni :30

1. Melalui perkawinan yang sah.

Para Sarjana Hukum Islam (ulama fikih) sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini sebagaimana dengan Hadist Rasulullah SAW berikut ini :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda : Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah), (Sahih Muslim, hadist nomor 2646)”.

Sehingga hadist diatas menegaskan bahwa nasab anak yang lahir dalam dan karena perkawinan yang sah adalah dihubungkan kepada ayah kandungnya. Ketentuan

29

Ibid., hlm. 40.

30Ibid.

(37)

ini tidak berlaku disebabkan kehamilan yang dilakukan karena perzinaan antara seorang laki-laki dan perempuan.

Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan berikut ini :31

a. Suami tersebut seorang yang memungkinkan dapat memberi keturunan, yang menurut kesepakatan ulama fikih adalah seorang laki-laki yang telah baligh. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi dari lelaki yang tidak mampu melakukan senggama atau dari lelaki yang tidak mempunyai kelamin, kecuali bisa diobati. b. Menurut Ulama Mazhab Hanafi, anak tersebut lahir enam bulan setelah

perkawinan. Jumhur ulama menambahkannya dengan syarat suami isteri telah melakukan hubungan senggama. Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, maka nasabnya tidak bisa dihubungkan kepada suami wanita tersebut. Sebab hal ini menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali apabila suami tersebut mengakuinya. Pengakuan tersebut harus diartikan sebagai pernyataan bahwa wanita itu hamil sebelum akad nikah. Bisa juga kehamilan terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena terjadinya hubungan senggama syubhat. Jika demikian halnya, menurut Wahbah az-Zuhayly, maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada suaminya.

c. Suami isteri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam mengartikan kemungkinan bertemu tersebut, apakah pertemuan itu bersifat aktual atau menurut perkiraan.

31Ibid.,

(38)

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya. Misalnya seorang wanita dari Timur menikah dengan seorang laki-laki dari Barat dan mereka tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita itu. Lebih jauh Ulama Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa bisa saja terjadi pertemuan melalui kekeramatan seorang sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat, namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama. Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami isteri tersebut dapat bertemu secara aktual serta pertemuan tersebut memungkinkan bagi mereka melakukan hubungan seksual. Inilah yang dimaksudkan Rasulullah SAW, melalui sabdanya : “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya”. Menurut Wahbah az-Zuhayly, perbedaan pendapat ini muncul karena Ulama Mazhab Hanafi menganggap bahwa pengingkaran seorang lelaki terhadap anak hanya bisa terjadi melalui li’an, namun jumhur ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak selain melalui li’an juga bisa dengan cara lainnya, yaiu ketika suami tidak mungkin bertemu secara faktual dengan isterinya.

d. Apabila anak lahir setelah terjadi perceraian antara suami isteri, maka untuk menentukan nasabnya terdapat beberapa kemungkinan :

(39)

enam bulan setelah perceraian, maka anak tersebut bernasab kepada suami wanita itu. Akan tetapi, apabila kelahiran lebih dari enam bulan sejak terjadinya perceraian, sedangkan suami tidak melakukan hubungan seksual sebelum bercerai maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. (2) Apabila suami menceraikan setelah melakukan hubungan senggama, baik cerai

tersebut melalui talak raj’i maupun talak ba’in, atau karena kematian suami, maka terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

a) Apabila anak tersebut lahir sebelum habisnya masa maksimal kehamilan setelah perceraian atau kematian suami, maka nasabnya dihubungkan kepada suaminya. Masa maksimal kehamilan, menurut Ulama Mazhab Hanafi adalah 2 tahun, menurut Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah 4 tahun, dan menurut pendapat yang populer di kalangan Mazhab Maliki adalah 5 tahun. Sedangkan menurut Mazhab Imamiyah batas maksimal kehamilan adalah 9 bulan atau 10 bulan.

b) Apabila anak lahir melebihi waktu maksimal kehamilan (yang diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian suami), menurut jumhur ulama, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

Ulama Mazhab Hanafi mengemukakan rincian sebagai berikut :32

a) Jika perceraian termasuk talak raj’i dan wanita itu mengaku bahwa masa iddahnya belum habis, maka anak boleh dinasabkan kepada suaminya, baik anak itu lahir

32

(40)

sebelum masa 2 tahun sejak terjadinya perceraian maupun melebihi masa 2 tahun, karena suami dalam talak raj’i masih boleh melakukan senggama dengan isterinya, dan senggama dianggap sebagai pertanda rujuk. Apabila wanita itu mengakui bahwa masa iddahnya telah habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut Imam Abu Hanifah) atau 39 hari (menurut kedua sahabatnya, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy Syaibani), maka anak itu boleh dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

b) Jika perceraian itu termasuk talak ba’in atau karena kematian suami dan wanita itu tidak mengakui bahwa masa iddahnya telah habis, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu, kecuali apabila anak itu lahir sebelum 2 tahun sejak terjadinya perceraian atau kematian suami, karena masa maksimal kehamilan wanita menurut mereka adalah 2 tahun. Akan tetapi, apabila anak lahir setelah 2 tahun sejak perceraian atau kematian suami, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya.

2. Melalui perkawinan yang fasid

Ulama fikih mengemukakan 3 (tiga) syarat dalam penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid, yaitu :33

a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan isterinya tidak bisa hamil ;

b. Hubungan seksual benar-benar bisa dilaksanakan ; dan

c. Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadi akad nikah fasid tersebut (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama Mazhab Hanafi) apabila anak itu lahir dalam waktu sebelum enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

33Ibid.

(41)

3. Melalui hubungan senggama karena adanya syubhah an-nikah (nikah syubhat). Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya. Dilihat dari segi perlindungan hukum anak, maka hal ini sangat merugikan anak yang lahir di luar perkawinan, karena ia tidak berhak memperoleh biaya hidup dan pendidikan oleh ayahnya, yang turut menyebabkan ia lahir di dunia dan oleh karena itu seharusnya ikut bertanggung jawab atas kehidupan dan kesejahteraan anak tersebut.34

Untuk dapat membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan dengan cara:35

1. Adanya akte kelahiran. 2. Surat keterangan kenal lahir.

3. Kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan surat keterangan dokter, bidan, dukun bayi, dan lain-lainnya.

Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa adalah hak ibunya, sedangkan seluruh biaya pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa atau mandiri.

Menentukan apakah seorang anak lahir sebagai akibat dari suatu perkawinan atau bukan dilihat dari panjang masa kehamilan ibunya, namun Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini. Pada asasnya, anak yang dilahirkan

34

Erna Sofwan Syukrie, Perlindungan Hukum Anak Di Luar Nikah Ditinjau Dari Hak-Hak Anak, Kowani, Jakarta, 1996, hlm. 29.

35Ibid

(42)

lebih dari 180 hari sesudah perkawinan, tidak dapat diingkari keabsahannya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.36

Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, untuk itu diperlukan undang-undang untuk melindungi kepentingan anak.

Perlindungan terhadap hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak”. Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan :

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. (2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam Pasal 24 juga disebutkan :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Dan terakhir dalam Pasal 25 disebutkan :

“Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak”.

36

(43)

Undang-undang perlindungan anak (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002), yang dibentuk bertujuan untuk mengatur semua tindakan yang menyangkut diri anak dan harus mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan terbaik si anak. Negara wajib memberikan perawatan yang memadai jika orang tua atau wali gagal memberikannya.

Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara tetapi terutama menjadi tanggung jawab orang tua anak tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua dimana kekuasaan orang tua yang tidak hanya menyangkut hak asuh orang tua tetapi juga pengurusan orang tua terhadap hak anak yang berhubungan dengan harta kekayaan atau warisan.

Berdasarkan Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai kekuasaan orang tua bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya oleh pengadilan. Salah seorang atau kedua orang tuanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran (berupa ide).

“Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.37

Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep. Menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional.

37

(44)

“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.38

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut.

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas, karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian, oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.39

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100

38

Ibid., hlm. 10.

39

(45)

Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Dalam KUHPerdata, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau anak ang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yakni laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain.40

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Analisis, adalah Suatu kata yang mempunyai arti menganalisis atau mengamati suatu tempat atau pandangan.

b. Yuridis, adalah Peraturan yang dibuat dan disepakati baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk peraturan atau undang-undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat.

c. Yang dimaksud dengan “Kedudukan adalah 1. keadaan yang sebenarnya (tentang sesuatu perkara dan sebagainya) : 2. status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara)”.41

d. Anak Luar Nikah, maksudnya adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menyetubuhinya.42

40

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut Undang-Undang), Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 26.

41

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 49.

42

(46)

e. Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah Seperangkat peraturan yang mengatur tentang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.43

f. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), adalah Seperangkat peraturan yang mengatur tentang orang, kebendaan, perikatan, dan pembuktian dan daluwarsa.44

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

“Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan”.45

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif analitis maksudnya penelitian yang bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau

peristiwanya sekaligus menganalisis tentang kedudukan anak luar nikah berdasarkan kompilasi hukum Islam dan kitab undang-undang hukum perdata.

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan khususnya Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kemudian menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan

43

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 8.

44

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 5.

45

(47)

dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.46

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Dalam penelitian ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan :47

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dari Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang bertujuan untuk melengkapi dan mendukung data-data ini, agar penelitian menjadi lebih sempurna.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari

46

Ibid., hlm. 15.

47

(48)

dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.48

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa. Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan,

48Ibid.,

(49)

pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui rehabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deduktif.49

49

(50)

BAB II

KRITERIA ANAK LUAR NIKAH

DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.

Referensi

Dokumen terkait

2) Akibat hukum dalam pengesahan anak luar kawin menjadi anak sah terhadap pewarisan berdasarkan pasal 863 KUHPerdata, anak luar kawin yang diakui menjadi anak sah

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) anak luar kawin akan mempunyai hubungan keperdataan dengan orang tuanya maka anak luar kawin harus

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT karena atas limpahan nikmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ HAK WARIS ANAK LUAR NIKAH MENURUT KITAB

Anak- anak mewaris dalam derajat pertama artinya mereka mewaris kepala demi kepala mereka masing-masing mempunyai bagian yang sama besar diatur dalam pasal 852

Para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 (enam) bulan setelah

Hal ini adalah wajar karena meski menjadi anak luar kawin, namun hubungan antara anak luar kawin dengan Pewaris adalah lebih dekat dibandingkan dengan ahli

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu Kedudukan anak luar kawin dalam hukum waris itu ada 2 (dua) yaitu anak luar kawin yang tidak diakui oleh ayah dan ibu biologisnya

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Menurut KUHPerdata, Pengakuan anak luar kawin harus dilakukan oleh bapak atau ibunya untuk mendapatkan hubungan