• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

“Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan”.45

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif analitis maksudnya penelitian yang bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis tentang kedudukan anak luar nikah berdasarkan kompilasi hukum Islam dan kitab undang-undang hukum perdata.

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan khususnya Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kemudian menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan

43

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 8.

44

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 5.

45

dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.46

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Dalam penelitian ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan :47

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dari Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang- undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang bertujuan untuk melengkapi dan mendukung data-data ini, agar penelitian menjadi lebih sempurna.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-

46

Ibid., hlm. 15.

47

Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 16.

dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.48

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa. Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan,

48Ibid.,

pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui rehabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deduktif.49

49

BAB II

KRITERIA ANAK LUAR NIKAH

DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah :

a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.

Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Di samping itu dijelaskan juga tentang kedudukan anak dari perkawinan seorang laki- laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.

Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :

a. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah. b. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan

tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.

c. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.

Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fikih, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang kedudukan anak yang tertera dalam pasal- pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.50

Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi

50

Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999, hlm. 40.

Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.

Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam,

adalah : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Anak Luar Nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.51

Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 (enam) bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah 6 (enam) bulan. Ini berarti jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.

Dalam Hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis atau lajang, bersuami atau janda, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.

Ibnu Rusyd mengemukakan pengertian zina sebagai berikut :

51Ibid

“Zina ialah persetubuhan yang terjadi di luar nikah yang sah, bukan syubhat nikah dan bukan milik”.52

Zina terbagi 2 (dua), yaitu :53

a. Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah.

b. Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman.

Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati, sedangkan pezina ghairu muhson dicambuk sebanyak 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak luar nikah.

Anak yang lahir di luar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, meliputi :54

a) Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina muhson dan zina ghairu muhson disebut anak luar nikah. Zina muhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah, sedangkan Zina ghairu muhson yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, yakni berstatus perjaka atau perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati sedangkan pezina ghairu muhson dicambuk sebanyak 100 kali. Contohnya : 2 (dua) bulan hamil kemudian menikah.

52 Ibid., hlm. 20. 53 Ibid., hlm. 23. 54Ibid ., hlm. 35.

b) Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap hukum kewarisan, perkawinan, dan lain-lain.

Contohnya : Si Ibu hamil 4 bulan tetapi si Ayah menyangkal kalau anak tersebut bukan anaknya, dikarenakan si Ibu dituduh berzina dengan laki-laki lain, maka si Ayah harus dapat membuktikan perkataannya itu. c) Anak syubhat, yaitu anak yang kedudukannya tidak ada hubungan nasab dengan

laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali apabila laki-laki itu mengakuinya.

Contohnya : 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan.

2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.

Dalam kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyidin sebagaimana dikutip Muhammad Jawad Mughniyah ditemukan :

“Bahwa nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam apapun, kecuali orang yang syubhat itu mengakuinya, karena sebenarnya ia lebih mengetahui tentang dirinya”.55

55Ibid.

Tentang hal terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum dikalangan sunny dan syi’ah.

Hukum Islam membedakan syubhat kepada 2 (dua) bentuk, yaitu :56 (1) Anak syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan.

Adalah hubungan seksual yang dilakukan karena suatu kesalahan, misalnya salah kamar, suami menyangka yang tidur di kamar A adalah isterinya, ternyata adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula isterinya menyangka yang datang ke kamarnya adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan seksual sehingga menyebabkan hamil dan melahirkan anak luar nikah.

(2) Anak syubhat hukum.

Yaitu anak yang dilahirkan dari suatu akad, misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian diketahui bahwa wanita yang dinikahi tersebut adalah adik kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan yang haram dinikahi.

Dalam syubhat hukum, setelah diketahui adanya kekeliruan itu, maka isterinya haruslah diceraikan, karena merupakan wanita yang haram dinikahi dalam Islam.

B. Kriteria Anak Luar Kawin dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami).

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata,

56Ibid.

sebab dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar kawin yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.57

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti melangsungkan perkawinan atau melakukan pengakuan atau pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut sah, karena akibat hukum.

Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin yang disahkan. Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan perkawinan orang tua yang telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat perkawinan dilangsungkan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 3 (tiga) tingkatan status hukum dari pada anak di luar perkawinan, yaitu :58

1. Anak di luar perkawinan yang belum diakui oleh orang tuanya.

2. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya.

57

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hlm. 16.

58Ibid.,

3. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.

Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya terutama hak mawaris, maka hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Ada kalanya ibu yang tidak kawin melahirkan anak, kalau itu terjadi maka dalam hubungan hukum seorang anak itu hanya mempunyai ibu, sebagai penerus orang tuanya. Sebagai konsekuensi dari kelahiran anak tersebut, maka kedua orang tuanya wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, dan begitu juga wajib menghormati dan mentaati kehendak mereka.

Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan atau pengesahan terhadap anak tersebut karena mereka meninggal dunia sebelum melakukan hal tersebut, maka mereka tetap sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, namun dalam hal kewarisan sering terjadi hal-hal yang menyulitkan ahli waris yang sebenarnya, tetapi dengan adanya pihak ketiga atau pihak hukum maka dapat menemukan titik terang dari masalah ini.

Anak luar kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar perkawinan yang sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan di luar

perkawinan tersebut. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut :59

(a) Anak luar kawin dalam arti luas, adalah anak luar perkawinan karena perzinaan dan sumbang.

Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar kawin, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain, sedangkan Anak Sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melarang Perkawinan antara dua orang yang :

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri dari menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sepersusuan, anak sepersusuan, saudara

sepersusuan dan bibi/paman sepersusuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.

(b) Anak luar kawin dalam arti sempit, adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Apabila anak itu terpaksa disahkan pun tetap tidak ada akibat hukumnya

59Ibid.,

(Pasal 288 KUHPerdata). Kedudukan anak itu sangat menyedihkan, namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

Prof. Ali Afandi, S.H., dalam bukunya “Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian”, menyebutkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengadakan 3 (tiga) penggolongan terhadap anak-anak, yaitu : 1. Anak sah, yaitu seorang anak yang lahir di dalam suatu perkawinan;

2. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui anak itu saja, dan apabila ayah dan ibunya kawin, maka menjadi anak sah; dan 3. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi tidak diakui oleh ayah maupun ibunya.

Anak ini menurut hukum tidak mempunyai ayah dan ibu, karena merupakan anak luar kawin yang tidak diakui, sehingga tidak mempunyai keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya.

Anak yang lahir di luar perkawinan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, meliputi :60

1) Anak Zina, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yakni laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah satu atau kedua- duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain. Yang perlu diingat adalah bahwa salah seorang atau kedua orang tuanya yang mengadakan hubungan

60Ibid

dan menghasilkan anak tersebut ada dalam atau masih ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain.

2) Anak Sumbang, adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang dekat, sehingga antara mereka dilarang oleh undang-undang untuk menikah.

3) Anak Luar Kawin yang lain, yaitu seorang anak yang lahir atau dibenihkan di luar perkawinan, namun mengenai anak yang dilahirkan sesudah ayahnya meninggal atau bercerai, belum tentu merupakan anak luar kawin karena kalau ia dibenihkan selama ibunya berada dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan dalam jangka waktu 300 hari sesudah putusnya perkawinan, maka ia termasuk anak sah.

Lembaga pengakuan anak dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dimana dikemukakan bahwa anak luar kawin (natuurlijk kind), kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, maka tiap-tiap anak yang lahir di luar perkawinan apabila bapak dan ibunya melaksanakan perkawinan, maka anak tersebut menjadi anak sah, jika bapak dan ibunya sebelum melaksanakan perkawinan, mengakuinya menurut undang-undang, atau pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.

Kemudian dalam Pasal 280 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa dengan adanya pengakuan anak luar kawin sebagaimana tersebut diatas, maka timbullah hubungan perdata antara anak luar kawin itu dengan bapak dan ibunya sebagai anak yang sah lainnya.

Untuk memperoleh status hubungan antara ayah, ibu dan anak yang lahir di luar kawin, maka anak tersebut harus diakui oleh ayah dan ibunya. Pengakuan itu harus diakui dengan akta yang otentik, secara tegas dan tidak boleh dengan cara

Dokumen terkait