• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.20

Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah.21

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo :

“teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berfikir (Frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut”.

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1999, hlm. 12.

21Ibid.

“Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”.

Menurut W.L.Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F Susanto, menyebutkan bahwa:

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.22

Sedangkan Kerangka Teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang didasarkan pada kerangka acuan hukum, kalau tidak ada acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi Ilmu Hukum.

Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial. Oleh karena itu, hukum tidak bersifat statis melainkan hukum bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat, namun demikian perkembangan masyarakat tersebut perlu diatur dengan suatu ketentuan hukum guna terciptanya suatu kepastian hukum yang dapat melindungi hak dan kewajiban subjek hukumnya.23

22

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 5.

23

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 7.

Dengan demikian kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perkawinan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.24

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas. Teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Menentukan Asal Usul Anak Menurut Hukum Islam.

Dalam hukum Islam, asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara 3 (tiga) sebab, yaitu :25

1. Dengan cara al-Firasy yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah.

2. Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya.

3. Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti- bukti yang sah seorang anak betul anak si fulan. Dalam hal yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir dari nikah fasid. Dengan hal ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada 2 (dua) bagian yaitu anak yang diketahui hubungan darah dengan bapaknya dan anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya, dimana untuk anak yang tidak diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya itu mengakuinya.

24

Ibid.

25

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 33.

Syarat penetapan/penghubungan nasab dan keturunan adalah :26

1. Kandungan tersebut masih dalam status perkawinan yang sah diantara suami isteri. 2. Masa mengandung tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari empat tahun menurut jumhur ulama atau dua tahun menurut Abu Hanifah atau lima tahun menurut Imam Malik.

3. Terjadi senggama yang hakiki diantara suami isteri, kecuali pendapat Abu Hanifah: Aqad yang sah saja sudah cukup untuk menghubungkan nasab/keturunan.

4. Nasab/keturunan dapat dihubungkan kepada suami, apabila ia tidak menafikan/menolak nasab anak tersebut.

Menurut Wahbah az-Zuhayly dalam kitabnya al Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh (VII, 1989 : 671) yang dikutip oleh H.A. Mukhsin Asyrof dikatakan bahwa nasab adalah salah satu dari hak anak yang lima yakni :27

1. Nasab ;

2. Ridha’ (susuan) ;

3. Hadhanah (pemeliharaan) ;

4. Walayah (perwalian/perlindungan) ; dan 5. Nafkah.

Selanjutnya adapun sebab ditetapkannya nasab seorang anak pada ibunya adalah adanya kelahiran, baik kelahiran itu akibat persetubuhan yang sesuai dengan syara’ maupun karena persetubuhan yang menyalahi syara’. Sedangkan penetapan nasab seorang anak terhadap ayahnya, disebabkan karena salah satu dari 4 (empat) hal, yakni :28

1. Karena perkawinan yang sah ;

2. Karena perkawinan yang fasid/rusak ;

26Ibid.,

hlm. 38.

27

Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Diponegoro, Bandung, 1990, hlm. 28.

28Ibid.

3. Karena persetubuhan yang syubhat ; dan 4. Dengan pengakuan nasab.

Wahbah az-Zuhayly (VII, 1989 : 690) yang ditulis oleh H.A. Mukhsin Asyrof dikatakan bahwa ada tiga cara pembuktian untuk penetapan nasab yaitu :29

1. Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya perkawinan yang fasid ; 2. Mengajukan pengakuan nasab (iqraru bin nasab) ; dan

3. Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti saksi, termasuk didalamnya keterangan ahli qifayah. Pada zaman sekarang, perlu dipikirkan tentang alat bukti lain selain saksi (baik saksi biasa maupun saksi ahli) yakni hasil pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA.

Menurut Wahbah az-Zuhayly yang dikutip oleh Ahmad dan Fauzan yang mengatakan bahwa dalam perspektif Hukum Islam nasab anak terhadap anak bisa terjadi karena tiga hal yakni :30

1. Melalui perkawinan yang sah.

Para Sarjana Hukum Islam (ulama fikih) sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini sebagaimana dengan Hadist Rasulullah SAW berikut ini :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda : Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah), (Sahih Muslim, hadist nomor 2646)”.

Sehingga hadist diatas menegaskan bahwa nasab anak yang lahir dalam dan karena perkawinan yang sah adalah dihubungkan kepada ayah kandungnya. Ketentuan

29

Ibid., hlm. 40.

30Ibid.

ini tidak berlaku disebabkan kehamilan yang dilakukan karena perzinaan antara seorang laki-laki dan perempuan.

Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan berikut ini :31

a. Suami tersebut seorang yang memungkinkan dapat memberi keturunan, yang menurut kesepakatan ulama fikih adalah seorang laki-laki yang telah baligh. Oleh sebab itu, nasab tidak bisa terjadi dari lelaki yang tidak mampu melakukan senggama atau dari lelaki yang tidak mempunyai kelamin, kecuali bisa diobati. b. Menurut Ulama Mazhab Hanafi, anak tersebut lahir enam bulan setelah

perkawinan. Jumhur ulama menambahkannya dengan syarat suami isteri telah melakukan hubungan senggama. Jika kelahiran anak kurang dari enam bulan, maka nasabnya tidak bisa dihubungkan kepada suami wanita tersebut. Sebab hal ini menunjukkan bahwa kehamilan terjadi sebelum akad nikah, kecuali apabila suami tersebut mengakuinya. Pengakuan tersebut harus diartikan sebagai pernyataan bahwa wanita itu hamil sebelum akad nikah. Bisa juga kehamilan terjadi dalam perkawinan yang akadnya fasid atau karena terjadinya hubungan senggama syubhat. Jika demikian halnya, menurut Wahbah az-Zuhayly, maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada suaminya.

c. Suami isteri bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati ulama fikih. Namun mereka berbeda pendapat dalam mengartikan kemungkinan bertemu tersebut, apakah pertemuan itu bersifat aktual atau menurut perkiraan.

31Ibid.,

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab itu, apabila wanita tersebut hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya. Misalnya seorang wanita dari Timur menikah dengan seorang laki-laki dari Barat dan mereka tidak bertemu selama satu tahun, tetapi lahir anak setelah enam bulan sejak akad nikah dilangsungkan. Anak tersebut dinasabkan kepada suami wanita itu. Lebih jauh Ulama Mazhab Hanafi menjelaskan bahwa bisa saja terjadi pertemuan melalui kekeramatan seorang sufi sehingga seseorang bisa menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat, namun logika seperti ini ditolak jumhur ulama. Menurut mereka, kehamilan bisa terjadi apabila pasangan suami isteri tersebut dapat bertemu secara aktual serta pertemuan tersebut memungkinkan bagi mereka melakukan hubungan seksual. Inilah yang dimaksudkan Rasulullah SAW, melalui sabdanya : “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya”. Menurut Wahbah az- Zuhayly, perbedaan pendapat ini muncul karena Ulama Mazhab Hanafi menganggap bahwa pengingkaran seorang lelaki terhadap anak hanya bisa terjadi melalui li’an, namun jumhur ulama berpendapat bahwa pengingkaran terhadap anak selain melalui li’an juga bisa dengan cara lainnya, yaiu ketika suami tidak mungkin bertemu secara faktual dengan isterinya.

d. Apabila anak lahir setelah terjadi perceraian antara suami isteri, maka untuk menentukan nasabnya terdapat beberapa kemungkinan :

(1) Ulama fikih sepakat menyatakan apabila seorang suami mentalak isterinya setelah melakukan hubungan senggama dan kemudian lahir anak kurang dari

enam bulan setelah perceraian, maka anak tersebut bernasab kepada suami wanita itu. Akan tetapi, apabila kelahiran lebih dari enam bulan sejak terjadinya perceraian, sedangkan suami tidak melakukan hubungan seksual sebelum bercerai maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. (2) Apabila suami menceraikan setelah melakukan hubungan senggama, baik cerai

tersebut melalui talak raj’i maupun talak ba’in, atau karena kematian suami, maka terdapat 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

a) Apabila anak tersebut lahir sebelum habisnya masa maksimal kehamilan setelah perceraian atau kematian suami, maka nasabnya dihubungkan kepada suaminya. Masa maksimal kehamilan, menurut Ulama Mazhab Hanafi adalah 2 tahun, menurut Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah 4 tahun, dan menurut pendapat yang populer di kalangan Mazhab Maliki adalah 5 tahun. Sedangkan menurut Mazhab Imamiyah batas maksimal kehamilan adalah 9 bulan atau 10 bulan.

b) Apabila anak lahir melebihi waktu maksimal kehamilan (yang diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian suami), menurut jumhur ulama, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

Ulama Mazhab Hanafi mengemukakan rincian sebagai berikut :32

a) Jika perceraian termasuk talak raj’i dan wanita itu mengaku bahwa masa iddahnya belum habis, maka anak boleh dinasabkan kepada suaminya, baik anak itu lahir

32

Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut al-Qur’an-as-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, Mizan Media Utama, Bandung, 2002, hlm. 32.

sebelum masa 2 tahun sejak terjadinya perceraian maupun melebihi masa 2 tahun, karena suami dalam talak raj’i masih boleh melakukan senggama dengan isterinya, dan senggama dianggap sebagai pertanda rujuk. Apabila wanita itu mengakui bahwa masa iddahnya telah habis atau telah menempuh masa 60 hari (menurut Imam Abu Hanifah) atau 39 hari (menurut kedua sahabatnya, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy Syaibani), maka anak itu boleh dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

b) Jika perceraian itu termasuk talak ba’in atau karena kematian suami dan wanita itu tidak mengakui bahwa masa iddahnya telah habis, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu, kecuali apabila anak itu lahir sebelum 2 tahun sejak terjadinya perceraian atau kematian suami, karena masa maksimal kehamilan wanita menurut mereka adalah 2 tahun. Akan tetapi, apabila anak lahir setelah 2 tahun sejak perceraian atau kematian suami, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya.

2. Melalui perkawinan yang fasid

Ulama fikih mengemukakan 3 (tiga) syarat dalam penetapan nasab anak dalam pernikahan fasid, yaitu :33

a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan isterinya tidak bisa hamil ;

b. Hubungan seksual benar-benar bisa dilaksanakan ; dan

c. Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadi akad nikah fasid tersebut (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama Mazhab Hanafi) apabila anak itu lahir dalam waktu sebelum enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

33Ibid.

3. Melalui hubungan senggama karena adanya syubhah an-nikah (nikah syubhat). Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya. Dilihat dari segi perlindungan hukum anak, maka hal ini sangat merugikan anak yang lahir di luar perkawinan, karena ia tidak berhak memperoleh biaya hidup dan pendidikan oleh ayahnya, yang turut menyebabkan ia lahir di dunia dan oleh karena itu seharusnya ikut bertanggung jawab atas kehidupan dan kesejahteraan anak tersebut.34

Untuk dapat membuktikan asal usul seorang anak dapat dilakukan dengan cara:35

1. Adanya akte kelahiran. 2. Surat keterangan kenal lahir.

3. Kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan surat keterangan dokter, bidan, dukun bayi, dan lain-lainnya.

Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa adalah hak ibunya, sedangkan seluruh biaya pemeliharaan anak adalah tanggung jawab ayah menurut kemampuannya sampai anak itu dewasa atau mandiri.

Menentukan apakah seorang anak lahir sebagai akibat dari suatu perkawinan atau bukan dilihat dari panjang masa kehamilan ibunya, namun Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal ini. Pada asasnya, anak yang dilahirkan

34

Erna Sofwan Syukrie, Perlindungan Hukum Anak Di Luar Nikah Ditinjau Dari Hak-Hak Anak, Kowani, Jakarta, 1996, hlm. 29.

35Ibid

lebih dari 180 hari sesudah perkawinan, tidak dapat diingkari keabsahannya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 251 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.36

Setiap anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan sesuai dengan martabat kemanusiaan, untuk itu diperlukan undang-undang untuk melindungi kepentingan anak.

Perlindungan terhadap hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 22 Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak”. Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan :

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. (2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam Pasal 24 juga disebutkan :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Dan terakhir dalam Pasal 25 disebutkan :

“Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak”.

36

Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm. 15.

Undang-undang perlindungan anak (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002), yang dibentuk bertujuan untuk mengatur semua tindakan yang menyangkut diri anak dan harus mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan terbaik si anak. Negara wajib memberikan perawatan yang memadai jika orang tua atau wali gagal memberikannya.

Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara tetapi terutama menjadi tanggung jawab orang tua anak tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua dimana kekuasaan orang tua yang tidak hanya menyangkut hak asuh orang tua tetapi juga pengurusan orang tua terhadap hak anak yang berhubungan dengan harta kekayaan atau warisan.

Berdasarkan Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai kekuasaan orang tua bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya oleh pengadilan. Salah seorang atau kedua orang tuanya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran (berupa ide).

“Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.37

Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep. Menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional.

37

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 7.

“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.38

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut.

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas, karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian, oleh karena itu dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.39

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100

38

Ibid., hlm. 10.

39

Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Dalam KUHPerdata, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau anak ang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yakni laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah satu atau kedua- duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain.40

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Analisis, adalah Suatu kata yang mempunyai arti menganalisis atau mengamati suatu tempat atau pandangan.

b. Yuridis, adalah Peraturan yang dibuat dan disepakati baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dalam bentuk peraturan atau undang-undang yang mengikat perilaku setiap masyarakat.

c. Yang dimaksud dengan “Kedudukan adalah 1. keadaan yang sebenarnya (tentang sesuatu perkara dan sebagainya) : 2. status (keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara)”.41

d. Anak Luar Nikah, maksudnya adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menyetubuhinya.42

40

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut Undang-Undang), Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 26.

41

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 49.

42

e. Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah Seperangkat peraturan yang mengatur tentang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.43

f. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), adalah Seperangkat peraturan yang mengatur tentang orang, kebendaan, perikatan, dan pembuktian dan daluwarsa.44

Dokumen terkait