• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS

BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Penelitian Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

TIAR NURUL CHASANAH

NIM: E0007054

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user PERNYATAAN

Nama : Tiar Nurul Chasanah

NIM : E0007054

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian hukum (skripsi) berjudul: TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS

BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penelitian hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penelitian hukum dan gelar yang saya peroleh dari penelitian hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 12 Januari 2012 Yang Membuat Pernyataan

(5)

commit to user ABSTRAKSI

TIAR NURUL CHASANAH. E0007054. 2012. TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas MaretSurakarta.

Hukum di Indonesia yang saat ini telah menyentuh di segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang kedokteran. Adanya alih teknologi mengenai bayi tabung dalam rangka menanggulangi infertilisasi pada pasangan suami istri memerlukan perlindungan hukum pula untuk diterapkan di Indonesia seperti mengenai hubungan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta mengenai hak mewaris atas anak bayi tabung berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan jenis peneltian normatif, penulisan ini bersifat preskriptif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini yaitu sumber data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini dengan menggunakan studi kepustakaan. Penulisan ini menggunakan teknis analisis bahan metode silogisme dan interpretasi.

Adanya teknologi bayi tabung di Indonesia memaksa para legislatif untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan penerapan anak bayi tabung di Indonesia. Pelaksanaan teknologi bayi tabung di Indonesia berdasarkan proses alih teknologi yang diambil dari temuan teknologi para ahli kedoteran dari luar negeri dengan pertimbangan untuk mengambil aspek kemanfaatan dari teknologi bayi tabung serta mengingat arti pentingnya anak dalam suatu keluarga. Akan tetapi hukum di Indonesia ternyata ketinggalan dari pada fenomena tentang bayi tabung. Bayi tabung di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1988 namun peraturan bayi tabung baru muncul pada tahun 1993 pada Pasal 16 Undang-Udang No 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang selanjutnya disempurnakan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-Undang tersebut hanya mengatur secara umum mengenai syarat umum bayi tabung dapat diterapkan di Indonesia, tidak menyebutkan peraturan mengenai kedudukan hukum maupun hak mewaris anak bayi tabung. Dengan dasar penafsiran secara analogi atau memperluas pengertian dari anak sah menurut Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak bayi tabung dapat dikategorikan sebagai anak sah. Dikategorikannya anak bayi tabung ke dalam anak sah menjadikan anak bayi tabung memiliki hak waris yang sama dengan anak sah. anak bayi tabung merupakan salah satu ahli waris ab intestato golongan I berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(6)

commit to user

Kata Kunci: Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung, Anak Sah, Hak Waris Anak Bayi Tabung menurut KUHPerdata

ABSTRACT

TIAR NURUL CHASANAH. E0007054. 2012.A JURIDICAL REVIEW ON IN VITRO FERTILIZATION-CHILD IN LEGACY LAW BASED ON THE CIVILE CODE. Faculty of Lawof Surakarta Sebelas Maret University.

The law in Indonesia has currently touched every areas of life including medical area. The presence of technology transfer about in vitro fertilization in the attempt of coping with infertility in husband-wife couple needs law protection to be applied to Indonesia like that concerns the legal relationship of in vitro fertilization-child in marriage according to the Act No. 1 of 1974 about Marriage as well as concerns the right to give legacy to the in vitro fertilization based on the Civil Code.

In this legal research, the author employed a normative type of research that was prescriptive in nature, using statute and conceptual approaches. The data source used in this research was secondary data source with primary, secondary, and tertiary law materials. Technique of collecting law material used in this research was library research. Meanwhile the technique of analyzing material used in this research was syllogism and interpretation method.

The presence of in vitro fertilization technology in Indonesia forced the legislature to develop a regulation concerning the application of in vitro fertilization-child in Indonesia. The implementation of in vitro fertilization in Indonesia was based on the technology transfer process taken from the technological findings of foreign medical experts by taking into account the beneficial aspect of in vitro fertilization technology and recalling the importance of child within a family. However, Indonesian law, in fact, was left behind the phenomenon of in vitro fertilization. The first in vitro fertilization in Indonesia was done in 1988, but the regulation about it emerged only in 1993 in the Article 16 of Act No. 23 about 2009 about Health, thereafter accomplished by the Article 127 of Act No. 36 of 2009 about general conditions of in vitro fertilization that can be applied in Indonesia, without mentioning the regulation about the legal position and the right to give the in vitro fertilization-child the legacy. Based on the analogical interpretation or the extension of definition of legal child about Act No. 1 of 1974 about Marriage and Civil Code, the in vitro fertilization-child could be categorized as legal child. The inclusion of in vitro fertilization-child into legal child made him/her having the right to legacy equal to the legal child. The in vitro fertilization-child was one of ab intestato class I beneficiaries based on the Article 852 of Civil Code.

Keywords: Legal Position of In vitro fertilization-child, Legal Child, the In vitro fertilization’s Right to Legacy according to the Civil Code.

(7)

commit to user MOTTO

O you who believe! stand out firmly for justice, as witnesses to Allah, even as

against yourselves, or your parents, or your kin, and whether it be (against) rich or

poor: for Allah can best protect both. Follow not the lusts (of your hearts), lest you

swerve, and if you distort (justice) or decline to do justice, verily Allah is

well-acquainted with all that you do.

- Q.S. An-Nisa : 135 –

Harus ada dari kamu segolongan (orang-orang) yang mengajak kepada

kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah yang munkar. Merekalah

orang-orang yang beruntung dan berbahagia.

- Q.S. Ali Imran : 104 –

Yakinlah, bahwa apa pun yang Anda kerjakan, atau yang tidak Anda kerjakan,

mengarah ke sesuatu, dan akan menyampaikan Anda kepada kualitas hidup

tertentu di masa depan.

- Mario Teguh -

Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam

semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan

terasa selamanya”

- Lance Armstrong-

Memang baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik

- Peneliti -

(8)

commit to user PERSEMBAHAN

Karya kecil ini peneliti persembahkan kepada :

§ Allah SWT, Penguasa semesta

alam, yang senantiasa

memberikan yang terbaik dalam setiap detik episode kehidupan;

§ Bapak dan Ibu yang tiada henti

memberi dukungan dan

senantiasa mendoakanku selama ini;

§ Kakak-kakakku yang selalu

membantu dan menyemangati;

§ Keponakanku yang telah menjadi

sumber penghiburanku;

§ Indonesia tercinta, tempatku

bernaung;

§ Almamaterku, Universitas Sebelas

(9)

commit to user

§ Giniung Pratidina, yang selalu

menguatkan di segala keadaanku.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS

BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai

syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi.

2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Endang Mintorowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah dengan sabar membantu, membimbing, serta memberikan banyak pembelajaran yang sangat berharga bagi penulis.

4. Ibu Ambar Budhi Sulistyawati, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Skripsi yang telah membimbing, membantu, mendukung dan memberikan curahan ilmunya kepada penulis.

(10)

commit to user

5. Bapak Tuhana, S.H., M.Si selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan nasehatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Achmad Sumardi dan Ibunda Sri Surati, atas segala untaian doa, dukungan, kasih sayang, kerja keras serta tetesan air matanya telah diberikan selama ini. I’m here because you love me.

8. Kakak tercinta, Retno Nugraini Rahayu, yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan motivasi kepada penulis.

9. Kakak tersayang, Riska Anggit Dwi Ning Tyas yang selalu mendukung penulis, memberikan ide cemerlang, arahan dan membantu menyelesaikan masalah penulis.

10. Kakak-kakakku, Alfath Fathoni Jumadil Ula, S. Ip. dan Asep Surono, SE yang telah memberikan motivasi dan dukungan untuk penulis.

11. Keponakanku, Deff Abdillah Ahmad Al Ghozali, yang selalu menjadi sumber penghiburan penulis.

12. Giniung Pratidina, S.H. yang senantiasa memberikan semangat penulis, menuntun kedewasaan penulis dan selalu menguatkan penulis dalam segala keadaan.

13. Mas Arif Agus yang telah menjaga dan membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

14. Mas Say, S.H. atas kesabaran dan kepeduliannya untuk membagikan ilmunya kepada penulis.

15. Seluruh teman-teman Justicia Angkatan 2007 FH UNS.

16. Segenap anggota Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum (DEMA FH) periode 2007-2008.

(11)

commit to user

17. Saudaraku, Satya Nugraha, Maya Istia, Padang, Buyung Loding, Istiana, Dedi Tri Yulianto, Bu Tin (Tina Tince) yang telah bersama-sama penulis mengukir kebahagiaan dan kesuksesan.

18. Sahabat-sahabatku di Shimanist, Kartika Purbasari, Giska Talisha, Bu Laras, Maya, yang telah memberikan warna dalam hidup penulis.

19. Teman-teman Magelangers, Dura, Dhanis, Dhani, Randu, Nera, Nunna yang selalu memberikan kesan kehebohan dan memberi keceriaan bagi penulis. 20. Teman-teman Himaho, Ocki, Riskiyes, Hapsoro, Jefri, Bayu, Black, Penden,

Tama, Penceng, yang telah membuat semangat bagi penulis selama ini.

21. Teman-teman alumni Akademi Putri Ayu, Ike, Mega, Sari, Ana, Peny, dan Eli yang dengan cerianya memberikan rasa kekeluargaan yang mendalam bagi penulis.

22. Sang idola Beyonce Knowless, untuk gertakan lagu Run The World yang turut memberikan inspirasi serta kobaran semangat selama penyelesaian penulisan hukum ini.

23. Seluruh teman-teman kost Putri Shima 2 yang telah membantu dan memberi dukungannya selama ini.

24. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 12 Januari 2012 Peneliti

(12)

commit to user

TIAR NURUL CHASANAH

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI……….. .... iii

PERNYATAAN………... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penelitian Hukum ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori ... 16

a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 16

b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan di Indonesia ... ... 19

(13)

commit to user

c. Tinjauan Umum tentang Waris di Indonesia ... 21 d. Tinjauan Umum tentang Anak ... 23 e. Tinjauan Umum tentang Bayi Tabung ... 26 f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan Atas Anak Bayi

Tabung terhadap Harta Warisan ... ... 32 g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum ... 33 2. Kerangka Pemikiran... 39

BAB III PEMBAHASAN

A. Kedududkan Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 42 1. Aturan Yuridis dan Problematika tentang

Anak Bayi Tabung……… 42

a. Anak menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan……….. 44 b. Proses Lahirnya Anak Bayi Tabung ………... 45 c. Legalitas Bayi Tabung melalui Akta atau

Pencatatan Kelahiran Anak ………. 50 2. Korelasi Alih Teknologi Berdasarkan Konsep

Kedokteran dan Mekanisme Pengaturannya ………….. 52 a. Konsep Alih Teknologi Bayi Tabung

Berdasarkan Ilmu Kedokteran ………. 52 b. Mekanise Pengaturan Anak Bayi Tabung ………... 57 3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Bayi

Tabung di Indonesia ……… 60 4. Konsep dan Legalias Anak Bayi Tabung sebagai

Anak Sah ……… 64 B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata... 71 1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab

(14)

commit to user

Undang-Undang Hukum Perdata ……….……… 71 2. Penggolongan Warisan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ………. 75 3. Tinjauan Yuridis Anak Bayi Tabung dalam Hukum

Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .. 81

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 83

(15)
(16)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasar atas konstitusi. Di dalam negara hukum maka semua pola tindakan masyarakatnya diatur dengan hukum. Baik dalam bidang hukum pidana, perdata, adat, hukum tata negara, maupun hukum administrasi negara. Mengenai hukum perdata pada intinya bersumber pada Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga peraturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Selain itu ada pula peraturan perundang-undangan yang lainnya misalnya seperti undang-undang. Berkaitan dengan hukum waris di Indonesia bahwa sampai pada saat ini di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia (Eman Suparman, 1991:7). Sehingga penduduk di Indonesia dapat memilih untuk tunduk pada salah satu hukum waris yang ada tersebut.

Pada zaman Hindia Belanda terdapat penggolongan penduduk menurut Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S.) yang terbagi dalam tiga golongan yaitu golongan pribumu (Indonesia Asli), golongan Eropa (Barat), dan golongan Timur Asing, maka hukum perdata yang berlaku juga terbagi dalam beberapa golongan sebagaimana yang terdapa dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yaitu:

1. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum perdata yang ketentuannya terdapat di dalam Burgerlijke Wetboek/B.W. (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Wetboek Van Koophandel/W.v.k (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan Failsementverordering (Peraturan Kepailitan);

2. Bagi Golongan Timur Asing, mula-mula berlaku hukum adanya masing-masing, kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab

(17)

commit to user

Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing;

3. Bagi golongan Bumi Putera, pada pokoknya berlaku hukum adatnya masing-masing (Kussunaryatun, dkk. 2008:21-22).

Mulanya Hukum Perdata Barat hanya berlaku bagi golongan Eropa saja. Bagi golongan Timur Asing dan Indonesia masing-masing berlaku Hukum Perdata Timur Asing dan Hukum Perdata Adat. Kemudian diadakan ketentuan dalam peraturan-perundang-undangan Hindia Belanda menurut Pasal 131 ayat (3) dan (4) I.S. yang mana membuka peluang atau kemungkinan bagi golongan yang bukan Eropa untuk menikmati Hukum Perdata Barat di Indonesia yang berlaku pula bagi golongan Eropa. Terdapat beberapa cara bagi golongan selain eropa untuk tunduk pada Hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu antara lain dengan Persamaan Hak, Pernyataan Berlakunya Hukum, serta penundukan sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa (Vrijwillige Onderwerping aan het Europese Privaatrecht). Pasal 131 I.S. ayat (4) menyebutkan bahwa “Bagi orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum diletakkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa”. Sehingga dibentuk Stb. 1917/No. 12 tentang Penundukan Sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa melalui Lembaga Penundukan Diri. Dalam peraturan ini menentukan adanya 4 macam Penundukan Dengan Sukarela kepada hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu melalui Lembaga Penundukan Diri yang terdapat dalam Buku I Hukum Perdata Barat. Penundukan tersebut terdiri dari:

1. penundukan diri untuk seluruh hukum perdata Eropa; 2. penundukan untuk sebagian hukum perdata Eropa,; 3. penundukan mengenai suatu perbuatan tertentu; dan

(18)

commit to user

Berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ditentukan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar”. Adanya peraturan perlaihan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum. Akan tetapi di Indonesia pada saat ini terdiri dari 2 golongan warga Negara, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengenai Warga Negara Indonesia (WNI) itu sendiri berdasarkan dari aspek biologis dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Warga Negara Indonesia Asli (Bumi Putera) serta Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan keturunan yang lain. Untuk keturunan asing seperti Tionghoa dan keturunan yang lain dapat berkewarganegaraan Indonesia dengan cara proses naturalisasi yang diatur sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No 3 Tahun 1946 sehingga Warga Negara Asing tersebut Indonesia dapat menjadi Warga Negara Indonesia.

Oleh karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal adanya pembagian penduduk menjadi golongan-golongan (tetapi hanya mengenal warga Negara dan bukan warga Negara), maka di Indonesia sekarang ini sedang bersaha untuk membentuk hukum perdata nasional. Sementara belum terbentuk hukum perdata nasional di Indonesia sehingga BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih berlaku jika tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan maksud agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dengan demikian bagaimanapun juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih diperbolehkan dan berlaku terlebih dalam hal ini hukum waris selama belum ada hukum waris nasional maka dapat memilih untuk menggunakan salah satu dari tiga hukum waris yang ada di Indonesia.

(19)

commit to user

Hukum Perdata memuat pengaturan tentang perkawinan yang diatur dalam Titel Buku IV mulai dari Pasal 26. Selanjutnya perkawinan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kitab Undang Hukum Perdata sebagai sumber hukum umum dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai sumber hukum umum sehingga isi dan muatan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi berdasarkan pada Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa apabila telah ada hukum yang baru, maka peraturan hukum yang lama menjadi tidak berlaku, sehingga dalam hal ini lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum nasional yang menyebabkan tidak berlakunya lagi Pasal-pasal yang mengatur tentang Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut berlaku bagi siapapun yang berada di Indonesia.

Berdasarkan aspek culture atau budaya di Indonesia, dalam suatu perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selain itu tujuan untuk terciptanya kebahagiaan dalam perkawinan salah satunya dengan memiliki anak dari pasangan suami istri. Harapan untuk memiliki anak tersebut dengan maksud bahwa memiliki anak sebagai penerus keturunan dari pasangan suami istri. Mayoritas penduduk di Indonesia beranggapan bahwa tidak lengkap suatu keluarga tanpa memiliki anak dalam budaya Indonesia.

(20)

commit to user

mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga Batak. Tanpa anak, maka tak lengkap sebuah keluarga inti. Kehadiran anak pulalah yang membuat orangtua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat. Meski dalam masyarakat Batak tak dikenal sistem kasta, anak secara tidak langsung ikut menopang posisi orangtua (http://sosbud.kompasiana.com/ 2011/07/23/anak-harta-bagi-orang-batak/> [21 September 2011, pukul 03:25]). Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak serta keturunan.

Arti penting kehadiran anak dalam suatu keluarga juga dapat dipandang dalam ketentuan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pada Pasal 852 yang menyebutkan tentang anak dalam hal waris. Adanya pengaturan khusus tentang anak terutama dalam hal waris menunjukkan bahwa kehadiran anak sangatlah penting, terlebih lagi anak dalam hal waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikategorikan dalam golongan 1 yang hanya berdiri sendiri, tidak disatukan dengan janda, bapak, ibu, kakek, nenek, atau ahli waris yang lain. Akan tetapi tidak semua keluarga dapat memiliki anak atau keturunan.

Mayoritas dari pasangan suami istri di dunia ini mengalami kemudahan untuk memiliki anak. Akan tetapi sekitar ada juga pasangan suami istri yang mengalami masalah dalam memiliki anak atau keturunan. Kesulitan dalam memiliki keturunan dikarenakan berbagai macam faktor dan kelainan sistem reproduksi yang mungkin dimiliki, diantaranya yang disebut dengan infertilisasi (kelainan) yang dapat mencegah pasangan suami istri yang ingin memiliki anak (Wiryawan Permadi, 2008:2).

(21)

commit to user

mampu tidaknya pasangan suami istri untuk memiliki anak yakni faktor usia. Dalam beberapa dekade terakhir, ilmu kedokteran telah berupaya untuk dapat mengatasi setiap penyebab yang menghalangi impian pasangan suami istri dalam memiliki keturunan (infertilisasi). Hasil yang diperoleh para ahli dan penulis kedokteran dalam mengatasi infertilisasi adalah penerapan Fertilisasi In Vitro (FIV) atau program bayi tabung. Teknologi bayi tabung di Indonesia dapat diterapkan atas dasar adanya proses alih teknologi dari luar negeri ke dalam negeri, sehingga Indonesia dapat menikmati penemuan baru di bidang kedokteran yaitu adanya proses bayi tabung. Proses alih teknologi tersebut dapat diterapkan di Indonesia asalkan tidak bertentangan dengan nilai luhur bangsa dan konstitusi di Indonesia. Namun demikian, adanya proses alih teknologi yang memunculkan teknologi bayi tabung tersebut belum ada suatu ketentuan hukum yang mengatur mengenai bayi tabung terlebih dahulu sebelum diberlakukannya proses bayi tabung di Indonesia. Sehingga hukum menjadi tertinggal atas fenomena yang terjadi dalam bidang kedokteran itu yang mana anak bayi tabung telah terlahir lebih dahulu dari pada hukum yang mengatur bayi tabung di Indonesia. Dengan demikian baik dilihat dari aspek culture di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 bahwa keberadaan anak sangat penting di dalam suatu keluarga.

(22)

commit to user

karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri (http://bayitabung.blogspot.com /2007/11/bayi-tabung-dari-sudut-pandang-hukum.html> [20 September 2011 pukul 01:29 WIB]).

Setelah adanya penemuan baru mengenai bayi tabung menjadi kaitan dalam hukum positif di Indonesia yakni menyangkut tentang kepentingan manusia yang perlu mendapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang terkait dengan bayi tabung ialah mengatur hubungan dalam hukum keluarga dan pergaulan di dalam masyarakat. Dalam hubungan keluarga antara lain tentang kedudukan yuridis anak, perkawinan, dan warisan. Sedangkan yang termasuk dalam pergaulan di dalam masyarakat yang menyangkut dengan bayi tabung ialah dalam hal perikatan (Salim HS, 1993:74). Problematik yang terjadi pada anak bayi tabung dalam hukum positif di Indonesia yang menjadi acuan ialah dalam penentuan status dan kedudukan yuridis atas anak bayi tabung, apakah termasuk dalam kategori anak sah ataukah anak luar kawin.

Hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum serta hak mewaris bayi tabung di Indonesia belum ada, sedangkan hukum yang mengatur tentang status hukum anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal hukum atas anak bayi tabung, baik terkait dengan hubungan hukum atas perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun mengenai hak mewaris atas anak bayi tabung dalam hukum waris di Indonesia.

(23)

commit to user

bahwa di dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan mengenai hak dan kewajiban anak bayi tabung terhadap pewarisan orang tua.

Berdasarkan problematik yang ada bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang hak waris maupun Undang-Undang-Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan tidak menyebutkan pengaturan tentang anak bayi tabung, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan dalam bentuk karya ilmiah skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang mengidentifikasikan mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti, sehingga dapat menemukan pemecahan masalah dengan tepat dan sesuai dengan tujuan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penulisan yang dilakukan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Bagaimana hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

C. TUJUAN PENULISAN

(24)

commit to user 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan orang tua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

b. Untuk mengetahui hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Tujuan Subyektif

a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pemahaman penulis mengenai aspek hukum di dalam teori maupun praktek pada lapangan hukum.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penulisan ini dapat memberikan kegunaan guna pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata;

b. Memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti oleh penulis;

c. Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penulisan lain yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

(25)

commit to user

b. Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dan terlibat dalam penanganan perkara waris;

c. Dapat memperluas cakrawala berpikir dan pandangan bagi civitas akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya mahasiswa fakultas hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.

E. METODE PENULISAN

Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya penulis tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu metode ilmiah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu (Johnny Ibrahim, 2005:294).

1. Jenis penulisan

Jenis penulisan hukum ini adalah jenis penulisan hukum normatif atau penulisan hukum doktrinal. Penulisan hukum normatif adalah suatu prosedur penulisan ilmiah untuk menemukan pendapat berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai objeknya, dalam hal ini yaitu peraturan–peraturan hukum (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penulis memilih penulisan hukum normatif dikarenakan sesuai dengan objek kajian dan isu hukum yang diangkat dan dianalisis melalui peraturan hukum yang terkait dengan isu.

2. Sifat Penulisan

(26)

norma-commit to user

norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22). Penulisan hukum ini bersifat preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dalam penulisan hukum ini penulis menjawab isu hukum hak waris atas anak bayi tabung menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan konsep anak bayi tabung sebagai anak sah dalam hubungan hukum dengan perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Pendekatan Penulisan

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penulisan hukum terdapat lima pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93).

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam satu penulisan normatif akan memungkinkan seseorang penulis untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penulisan normatif dapat digunakan beberapa pendekatan berikut: pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2005:300).

(27)

commit to user

bersangkut paut dan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93). Isu hukum yang diangkat oleh penulis dalam penulisan hukum ini yaitu mengenai hak mewaris dari anak bayi tabung menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana berkaitan dengan kedudukan hukum anak bayi tabung, sehingga penulis meninjau perundang-undangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai hukum warisnya, Undnag-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penulisan ini juga menggunakan pendekatan konsep dengan salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu (Johnny Ibrahim, 2005: 306). Penulisan ini menggunakan pendekatan konsep dengan alasan di dalam hukum positif Indonesia belum ada suatu peraturan perundangan yang mengatur mengenai status dan kedudukan hukum atas anak hasil bayi tabung yang dikategorikan dalam anak sah atau anak tidak sah.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penulisan yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoritatif yang artinya bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).

(28)

commit to user a. Bahan Hukum Primer

Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

b. Bahan Hukum Sekunder

Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer meliputi:

1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum; 2) Buku-buku ilmiah di bidang kedokteran;

3) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana; 4) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia;

5) Jurnal-jurnal hukum;

6) Literatur dan hasil penulisan lainnya.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, misalnya; bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

(29)

commit to user

Perdata, Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan Menteri Kesehatan No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, selain itu pengumpulan bahan hukum dengan mempelajari literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang dalam penulisan ini.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penulisan normatif menggunakan teknik analisis dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola pikir induktif. Silogisme dengan teknik analisis induksi yaitu proses analisis bermula dari penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan khusus yang diteliti. Penulisan hukum ini juga menggunakan interpretasi berdasarkan Undang-Undang, interpretasi berdasarkan Undang-Undang yaitu merupakan suatu “interpretasi berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacam-macam” (Peter Mahmud Marzuki, 2008:112).

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM

(30)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi dari penulisan ini secara garis besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan isu hukum yang diteliti yang memberikan landasan teori terhadap penulisan hukum. Pada bab ini akan dibahas mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang Undang-Undang No 1 tahun 1974; tinjuan umum tentang perkawinan di Indonesia; tinjauan umum tentang hukum waris di Indonesia; tinjauan umum tentang anak, tinjauan umum tentang bayi tabung; dasar hukum, status, dan kedudukan atas anak bayi tabung terhadap harta warisan; dan tinjauan umum tentang penafsiran hukum.

Kerangka pemikiran berisi tentang landasan berpikir penulis terhadap permasalahan yang diteliti untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut.

BAB III HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan membahas sekaligus menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu mengenai kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan orang tua berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hak mewaris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB IV PENUTUP

(31)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan

dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dan hari itu juga

diundangkan yang ditandatangani Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, Mayor Jenderal TNI Sudarmono, S.H., serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 no. 1 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia no. 3019 (Hilman Hadikusuma, 2003:4).

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:

Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi barbagai golongan dalam masyarakat.

Diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti bahwa keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga Negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namaun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya masih tetap berlaku selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Rachmadi Usman, 2006:230).

Peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan adalah

(32)

commit to user

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berfungsi sebagai paying hukum dan sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua warga Negara di Indonesia (Rachmadi Usman, 2006:245).

Menurut Racmadi Usman (2006:247) kandungan materi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur persoalan-persoalan pokok yaitu:

1) Meletakkan kerangka dan prinsip dasar pengaturan perkawinan yang meliputi pengertian, tujuan dan dasar perkawinan, kesahan dan pencatatan perkawinan, serta asas monogami dan poligami sebagai pengecualian (syarat-syarat dan alasan berpoligami), diatur dalam Pasal 1-5;

2) Syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya dan pelaksanaan perkawinan, diatur dalam Pasal 6-12;

3) Mengatur perkawinan yang dapat dicegah, pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan, dan penolakan perkawinan pencatat perkawinan, diatur dalam Pasal 13-21;

4) Pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, tempat mengajukan pembatalan perkawinan, saat mulai berlakunya batalnya suatu perkawinan dan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap beberapa hal, diatur dalam Pasal 22-28;

(33)

commit to user

6) Mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga , diatur dalam Pasal 30-35;

7) Pengaturan mengenai harta bersama dan status penguasaan harta bawaan, tanggung jawab suami istri terhadap harta bersama maupun harta bawaan, dan pengaturan penyelesaian harta bersama bila perkawinan putus karena perceraian, diatur dalam Pasal 35-37;

8) Mengatur mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan, tempat mengajukan permohonan atau gugatan perceraian dan alasan-alasan perceraian, dan akibat-akibat hukumnya, diatur dalam Pasal 38-41; 9) Hal menyangkut pengerian anak sah dan anak tidak sah, hubungan

nasab anak serta hak suami untuk mengingkari sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, diatur dalam Pasal 42-44;

10) Hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dalam rumah tangga, kekuasaan orang tua terhadap anak, dan pencabutan kekuasaan orang tua, diatur dalam ada Pasal 45-49;

11) Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian anak, penunjukan wali, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab wali, dan pencabutan kekuasaan wali, diatur dalam Pasal 50-54;

12) Pembuktian dan penetapan asal usul seorang anak, diatur dalam Pasal 55;

13) Perkawinan di luar Indonesia, diatur dalam Pasal 56;

14) Pengertian perkawinan campuran, akibat hukum perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan suami dan istri, syarat-syarat perkawinan campuran, sanksi pelanggaran ketentuan perkawinan campuran dan kedudukan anak dalam perkawinan campuran, diatur dalam Pasal 57-62;

15) Kewenangan pengadilan dalam hubungan dengan perkawinan, diatur dalam pasal 63;

(34)

commit to user

menurut peraturan yang lama serta poligami yang dilakukan berdasarkan hukum lama manapun, diatur dalam Pasal 65;

17) Ketentuan pernyataan tidak berlakunya ketntuan-ketentuan hukum perkawinan yang lama dan pernyataan mulai berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974, diatur dalam Pasal 66-67.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal;

2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu;

3) Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan; 4) Perkawinan berasas monogami;

5) Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan;

6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun;

7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka siding pengadilan; 8) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang (Hilman Hadikusuma,

2003:6).

b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan di Indonesia

(35)

commit to user

St. 1898 Nomor 198), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dari dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku (Kussunaryatun, 2011:31).

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batn antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Mark Kammack menjelaskan ada dua tujuan dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :

1) Untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian dan perkawinan dibawah tangan;

2) Untuk menyeragamkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia sebagai bagian program persatuan Indonesia dibawah Ideologi Negara Pancasila (Baharuddin Ahmad 2008:51).

Legalitas perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan sahnya perkawinan yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan adalah sah, apabila dailakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) secara tegas dikatakan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan agama. Sedangkan pencatataan merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga Negara (Mudiarti Trisnaningsih 2007:55-56).

(36)

commit to user c. Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia

Di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah hukum waris adat, sedangkan jika pewaris termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Cina, berlaku hukum waris Barat. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam maka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing Arab atau India, maka berlaku hukum adat masing-masing penduduk Timur Asing Arab maupun India (Eman Suparman, 1991:7).

Dalam penulisan hukum ini, penulis akan meneliti tentang anak dengan proses bayi tabung sebagai ahli waris dalam perspektif hukum perdata sehingga pembahasan terfokus pada hukum waris berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia. Hukum waris ini merupakan bagian dari hukum perdata dimana menurut Salim HS dalam buku yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik (2006:212) bahwa:

Hukum Perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.

Menurut Idris Ramulya yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:1), bahwa:

(37)

commit to user

Istilah waris sendiri berarti “orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal” (Eman Suparman, 1991:2). Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya (Effendi Perangin, 2005:3).

Definisi hukum waris menurut Pitlo yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:21):

Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai peminahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Kekayaan yang dimaksud dalam rumusan Pitlo adalah mengenai sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

1) ada seseorang yang meninggal dunia;

2) ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris (Eman Suparman, 1991:21).

Berdasarkan Pasal 830 disebutkan bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Terdapat dua cara untuk mendapat suatu pewarisan menurut Undang-Undang yaitu:

1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang);

2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat dalam Pasal 899).

(38)

commit to user 1) Golongan pertama

Ahli waris golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak. Ahli waris golongan pertama diatur dalam 852, 852 a Kitab Undang Hukum Perdata. Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai anak hanya mengatur tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Tentang anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung.

2) Golongan kedua

Ahli waris golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu yang masih hidup, ayah atau ibu yang salah satunya telah meninggal dan saudara serta keturunan saudara. Ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856, dan 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Golongan ketiga

Ahli waris golongan ketiga terdiri atas kakek nenek garis ibu dan kakek nenek garis ayah. Menurut Pasal 853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri maupun saudara, maka harta warisan dikloving (dibagi dua), satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan satu bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis ibu lurus keatas.

4) Golongan keempat

Ahli waris golongan keempat terdiri atas sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat ketujuh karena penggantian tempat (Anisitus Amanat, 2001:7).

d. Tinjauan Umum tentang Anak

(39)

commit to user

Menurut Dr. Wirjono dalam buku Hukum Waris di Indonesia yang dikutip oleh Soedharyo Soimin (2002:31) menyebutkan bahwa “oleh karena mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak”. Pengertian anak dalam tata hukum negara Indonesia antara lain:

1) Pasal 250 KUHPerdata

Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.

2) Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

3) Pasal 280 dan 862 KUHPerdata dan Pasal 43 Undang-Undang No. 1 tahun 1974)

Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Anak luar kawin berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Menurut sistem yang dianut Burgerlijk Wetboek dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tua. Setelah ada pengakuan, baru terbitlah suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibat dari pertalian kekeluargaan tersebut (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof Subekti yang dikutip oleh Soedharyo Soimin (2004:40).

(40)

commit to user

yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut berstatus sebagai anak luar kawin.

Sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 280 dan 862) anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang mengakui dan hanya berhak mewaris dari orang tua yang mengakui tersebut. Sehingga sepanjang tidak terdapat pengakuan anak luar kawin oleh ayah dan atau ibu maka anak luar kawin tersebut tidak berhak mewaris dari orang tuanya.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 menentukan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu dari anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan maka seorang anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu dan juga berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibu.

Berkaitan dengan pengakuan anak luar kawin bahwa jika kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara. Dalam hal ini Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di hadapan Pencatatan Sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut atau dalam akta perkawinan orang tua atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris (Soedharyo Soimin, 2006 :40).

Ditinjau dari Hukum Perdata akan terlihat adanya tiga tingkatan status hukum dari anak di luar perkawinan yaitu:

a) Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-bapak dari anak luar kawin itu;

(41)

commit to user

c) Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tua melangsungkan perkawinan yang sah (Soedharyo Soimin, 2006:40-41).

Mengenai pengesahan anak luar kawin menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000: 188-189) adalah status upaya hukum (rechtmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai anak sah melalui perkawinna yang dilakukan orang tuanya. Pengesahan dapat dilakukan melalui perkawinan orang tua anak yang bersangkutan atau dengan surat-surat pengesahan berdasarkan pengakuan terlebih dahulu oleh orang tua yang bersangkutan. Pengesahan hanya dapat terjadi oleh:

a) Karena perkawinan orang tuanya (Pasal 272 BW);

Pasal 272 BW menyatakan anak-anak yang dibenihkan diluar perkawinan akan menjadi anak sah jika:

(1) Orang tua melangsungkan perkawinan;

(2) Sebelum orang tua melangsungkan perkawinan terlebih dahulu telah mengakui anaknya atau pengakuan tersebut dilakukan dalam akta perkawinan.

b) Adanya surat-surat pengesahan (Pasal 274 BW).

Pengesahan dengan surat-surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu:

(1) Jika orang tuanya lalai untuk mengakui anak-anaknya sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 274 BW); atau

(2) Jika terdapat masalah hubungan intergentil (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, 2000: 188-189).

e. Tinjauan Hukum tentang Bayi Tabung

(42)

commit to user

Proses bayi tabung pertama kali berhasil dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasangan suami istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istrinya, sehingga pada tanggal 25 Juli 1978 lahirlah bayi tabung yang pertama yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat badan 2.700 gram.

Momentum awal penemuan bayi tabung di Indonesia pada tanggal 2 Mei 1988 dengan lahirnya bayi tabung bernama Nugroho Karyanto, hasil dari pasangan suami istri Markus dan Chai Lian yang mana sperma dan ovum yang digunakan berasal dari Markus dan Chai Lian dan embrio ditanamkan kembali ke rahim istri. Anak bayi tabung Nugroho Karyanto merupakan hasil karya dari Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta (Salim HS, 1993:19).

Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pusat pelayanan program bayi tabung di Indonesia, maka jenis bayi tabung yang dikembangkan di RSAB Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo adalah jeni bayi tabung yang sperma dan sel telurnya diambil dari pasangan suami istri yang sah dan embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang menanamkan benih tersebut. Hal demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekarang diberlakukan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Salim HS, 1993:19).

(43)

commit to user

pasangan suami istri, ada yang mengalami berbagai macam faktor dan kelainan sistem reproduksi (infertilisasi) yang mungkin dimiliki sehingga pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilisasi dapat mengalami pencegahan atau hambatan untuk memiliki keturunan.

Teknologi reproduksi buatan atau program bayi tabung merupakan bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi. Teknologi reproduksi buatan dalam program bayi tabung digunakan untuk mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan. (http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi-reproduksi-buatan/> [29 November 2011 pukul 09:45 WIB]).

Berdasarkan Hanifa Wiknjosastro (1999:497), disebutkan bahwa infertilisasi memiliki dua jenis, yakni:

Disebut infertilisasi primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemunginan kehamilan selama 12 bulan. Infertilisasi sekunder terjadi apabila istri pernah amil, akan tetai kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

Bayi tabung itu sendiri di dalam istilah kedokteran dikenal dengan Fertilisasi In Vitro atau In Vitro Fertilization. Menurut John David Gordon, Michael DiMattina (2011:98) bahwa “IVF secara harfiah berarti pembuahan telur dengan sperma kaca yang diterjemahkan jadi pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium”.

(44)

commit to user

nama Yusuf Ivander Damares di Rumah Sakit Medistra Jakarta pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2009 pukul 21.29 WIB (http://showbiz.liputan6. com/read/230068/bayi-rp-400-juta-inul-daratista-lahir, [12 September 2011 pukul 12:17 WIB])

Program bayi tabung dilakukan dengan berbagai alasan yang menjadi sebab serta syarat diperbolehkannya pelayanan program bayi tabung. Teknik Bayi Tabung diperuntukkan bagi pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilitas. Pasien Bayi Tabung umumnya wanita yang menderita kelainan sebagai berikut :

1. kerusakan pada saluran telurnya; 2. lendir rahim istri yang tidak normal;

3. adanya gangguan kekebalan dimana terdapat zat anti terhadap sperma di tubuh istri;

4. tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur atau seteleh dilakukan pengobatan endometriosis;

5. sindroma LUV (Luteinized Unruptured Follicle) atau tidak pecahnya gelembung cairan yang berisi sel telur; dan

6. sebab-sebab lainnya yang belum diketahui.

Sedangkan alasan yang menjadi sebab pada suami untuk menjalankan program bayi tabung, teknik ini diperuntukkan bagi pasien pria atau suami yang pada umumnya memiliki kelainan mutu sperma yang kurang baik, seperti oligospermia atau jumlah sperma yang sangat sedikit sehingga secara alamiah sulit diharapkan terjadinya pembuahan (http://pendidikanagamaislam07.blogspot.com/2009/12/setatus-anak-zina-anak-angkat-bayi.html, [5 September 2011 pukul 01:54 WIB]).

(45)

commit to user

Wiryawan Permadi (2008:1) istilah “bayi tabung” atau yang dikenal masyarakat, pada dasarnya mengacu pada proses Fertilisasi In Vitro (FIV) dalam dunia kedokteran. Fertilisasi berarti pembuahan sel telur wanita ole spermatozoa pria, sedangkan In Vitro berarti di luar tubuh. Sehingga Fertilisasi In Vitro berarti proses pembuahan sel telur wanita oleh spermatozoa pria (bagian dari proses reproduksi manusia), yang terjadi di luar tubuh.

Latar belakang dilakukan proses bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro dibagi menjadi dua bagian:

1) Faktor Pria

a) Gangguan pada saluran keluar spermatozoa;

b) Kelumpuhan fisik yang menyebabkan pria tidak mampu melakukan hubungan seksual seperti kelumpuhan tubuh bagian pinggang ke bawah setelah terjadinya kecelakaan;

c) Sangat terbatasnya jumlah spermatozoa yang mampu membuahi sel telur (yang mengalami bentuk tubu spermatozoa normal dan bergerak secara aktif);

d) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah. 2) Faktor Wanita

a) Gangguan pada saluran reproduksi wanita seperti pada perlengketan atau sumbatan tuba;

b) Adanya antibody abnormal pada saluran reproduksi wanita, sehingga menyebabkan spermatozoa pria yang masuk ke dalam saluran reproduksi wanita tidak mampu bertahan hidup;

c) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah (Wiryawan Permadi, 2008:4).

(46)

commit to user

khusus, berisi cairan yang serupa dengan cairan dalam saluran reproduksi wanita. Dengan cara demikian, fertilisasi dapat berlangsung layaknya dalam saluran reproduksi wanita, yang karena suatu penyebab tidak dapat berlangsung secara spontan pada pasangan suami istri yang bersangkutan. Kelanjutan proses setelah terciptanya embrio sebagai hasil dari sel telur yang dibuahi oleh spermatozoa pada kehamilan spontan (tanpa bantuan teknologi kedokteran) dan kehamilan dengan Fertilisasi In Vitro adalah sama yakni embrio yang terbentuk akan tertanam dalam dinding rahim (istilah kedokteran : Implantasi). Jika tidak terdapat gangguan, proses bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro akan terus berlangsung hingga lahirnya seorang bayi (Wiryawan Permadi, 2008:6).

Setiap upaya untuk mencapai keberhasilan selalu memiliki resiko akan terjadinya kegagalan, seperti pada hal proses bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro. Berdasarkan waktu terjadinya maka resiko proses pelaksanaan bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro terdiri dari:

1) Resiko saat pelaksanaan tahap-tahap fertilisasi in vitro a) Sindrom Hiperstimulasi Ovarium

Pada tahap awal fertilisasi in vitro, ovarium istri dirangsang untuk memproduksi sel telur matang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan siklus reproduksi normal. Sekitar 5% dari wanita yang mengalami stimulasi ovarium terjadi kelainan yang disebut syndrome hiperstimulasi ovarium dengan gejala seperti perut mual, diare, kenaikan berat badan, warna utin lebih gelap, nyeri dada, serta dinding perut menjadi tegang.

b) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga siap ditanamkan kembali ke dalam rahim

(47)

commit to user

c) Resiko kegagalan embrio untuk menanamkan diri dalam dinding rahim, setelah dilakukan transfer embrio

Setelah dokter menempatkan embrio yang dihasilkan dari fertilisasi sel telur oleh spermatozoa di laboratorium ke raim istri, maka kelanjutan hubungan antara embrio dan dinding rahim bergantung pada embrio dan rahim istri.

2) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga ditanamkan kembali ke dalam rahim

a) Resiko keguguran

Keguguran berarti keluarnya buah kehamilan secara spontan (tanpa penyebab yang jelas), sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu, atau sebelum bayi dapat hidup di luar kandungan (Wiryawan Permadi, 2008:52-57).

b) Resiko kehamilan lebih dari 1 janin/kembar

Menurut pendapat dari David Orentlicher (2010: 2, Vol 40, No 3) bahwa, any multiple birth raises health risks. Among twins, more than 60% are born prematurely; among triplets or other multiples, more than 95 % are premature. IVF twins, triplets, and other multiples are more likely than singletons to require neonatal intensive care, to develop cognitive and physical disabilities, and to die. Kehamilan lebih dari satu dalam fertilisasi in vitro sangat rawan sekali dalam kesehatan, dapat membahayakan kesehatan bahkan dampak yang terjadi dapat berupa kematian.

f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan atas Anak Bayi Tabung

terhadap Harta Warisan

Referensi

Dokumen terkait

Seperti telah disebutkan diatas hanya anak luar kawin yang diakui yang dapat mewaris terhadap harta orangtua yang mengakuinya, akan tetapi dalam Pasal 285

Sehingga apabila sepanjang mengenai kepastian hukum anak sah maka diatur dalam Pasal 250 Burgelijk Wetboek voor Indonesie (BW) atau yang dikenal juga dengan Kitab

Penyerahan harta warisankepada anak yang masih dalam kandungan ada 2 macam yaitu diserahkan ke ibu kandung anak yang masih ada di dalam kandungan atau

Tulisan ini mengkaji 1.Bagaimana kedudukan hukum anak angkat terhadap hak waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadanhukum Islam ?2.Manakah di antara kedua sistem hukum

b) Tidak diberlakukan lagi hubungan sebagai anak angkat untuk sebab mewaris. c) Hubungan janji untuk mewaris. Janji untuk mewaris tetap diper- tahankan dalam Islam. Yang

b) Tidak diberlakukan lagi hubungan sebagai anak angkat untuk sebab mewaris. c) Hubungan janji untuk mewaris. Janji untuk mewaris tetap diper- tahankan dalam Islam. Yang

Dalam hal ini banyak sarjana beranggapan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber utama perikatan sehingga apa yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata berarti sebagai

Tulisan ini mengkaji 1.Bagaimana kedudukan hukum anak angkat terhadap hak waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadanhukum Islam ?2.Manakah di antara kedua sistem hukum