• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Program Bayi Tabung di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Program Bayi Tabung di Indonesia

Berdasarkan pada Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat terlihat bahwa salah satu syarat pelaksanaan program bayi tabung hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan suami istri yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. “Sahnya suatu perkawinan akan menentukan kedudukan anak, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga” (Rachmadi Usman, 2006:347). Setelah lahirnya Undang-

commit to user

Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan nasional, maka keabsahan suatu ikatan perkawinan harus berdasarkan peratuan perundangan yang ada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan nasional di Indonesia. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.. Kalimat ‘berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ sesuai dengan falsafah Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segala-galanya. Terlebih menyangkut masalah perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani mempunyai peranan yang penting (Hilman Hadikusuma, 2003:7). Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan suatu peraturan perkawinan nasional yang menentukan sah atau tidaknya atas pelaksanaan suatu perkawinan.

Sahnya suatu perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan ‘perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’. Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Buddha. Kata ‘hukum masing-masing agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti hukum agamnya masing-masing yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut

commit to user

oleh kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan itu telah dilaksanakan menurut hukum Islam kemudian dilaksanakan lagi menurut hukum Kristen dan atau Hukum Hindu/Buddha maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya (Hilman Hadikusuma, 2003:26).

Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pencatatan perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan dimana perlu terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. Pelaksanaan pencatatan perkawinan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksana) Pasal 2 dinyatakan bahwa bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk sedangkan bagi masyarakat yang tidak beragama Islam pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan.

Sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan nasional di Indonesia apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan calon suami dan calon istri, serta harus dilakukan pencatatan perkawinan menurut perundangan yang berlaku. Apabila suatu perkawinan dilaksanakan hanya di hadapan pegawai pencatatan sipil maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum perkawinan nasional Indonesia oleh karena tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama.

Dalam menentukan status seseorang maka diperlukan 5 buah kejadian yaitu:

commit to user b. Pengakuan (terhadap kelahiran); c. Perkawinan;

d. Perceraian;

e. Kematian (Koerniatmanto Sutropawiro, 1996:142).

Kelima kejadian tersebut merupakan hal yang penting dan perlu karena dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan suatu kejadian-kejadian tersebut sehingga perlu diadakan lembaga Catatan Sipil (Burgerlijke Stand = BS). Menurut pendapat dari Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1984:23) bahwa:

Lembaga Catatan Sipil bertujuan untuk memungkinkan dengan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya memberikan kepastian yang sebenar-benarnya mengenai kejadian-kejadian seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan sebagainya. Semua kejadian dibukukan seingga baik yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang kejadian-kejadian tersebut. Oleh karena orang ketiga mempunyai juga kepentingan untuk mengetahui tentang kelahran, perkawinan, perceraian, dan kematian orang itu, maka dafar kejadian-kejadian itu terbuka untuk umum.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan- ketentuan tentang Catatan Sipil dimuat dalam 14 pasal yang berlaku hanya untuk warga negara keturunan Eropa dimana ke-14 pasal itu terdiri atas 3 bagian yakni:

a. Tentang daftar-daftar Catatan Sipil (Pasal 4 dan 5 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata);

b. Tentang nama, penggantian nama, dan penggantian nama depan (Pasal 5a-12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

c. Tentang pembetulan akta-akta Catatan Sipil dan tentang penambahan diktumnya.

Disamping itu hal yang perlu dikemukakan akan daftar-daftar atau akta-akta Catatan Sipil yaitu tentang kekuatan pembuktian atas Catatan Sipil yang tidak dijelaskan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan pendapat dari Asser-Scholten yang dikutip oleh Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1982:23) menyatakan

commit to user

bahwa “pembentukan undang-undang sengaja tidak menyebutkannya oleh karena hendak diberikan suatu kekuatan pembuktian khusus terhadap kutipan-kutipan daftar Catatan Sipil itu”.

Pasal 25 ayat 1 Reglement Burgerlijke Stand menentukan bahwa suatu kutipan atas dasar Catatan Sipil itu merupakan suatu kekuatan pembuktian menurut hukum. Menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dinyatakan bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan terletak pada akta yang asli sedang dalam kutipan daftar Catatan Sipil itu kutipan yang mempunyai kekuatan pembuktian menurut hukum Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1982:24).