• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teor

a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan

dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dan hari itu juga

diundangkan yang ditandatangani Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia, Mayor Jenderal TNI Sudarmono, S.H., serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 no. 1 dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia no. 3019 (Hilman Hadikusuma, 2003:4).

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:

Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi barbagai golongan dalam masyarakat.

Diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti bahwa keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga Negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namaun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya masih tetap berlaku selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Rachmadi Usman, 2006:230).

Peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan adalah

commit to user

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memuat kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berfungsi sebagai paying hukum dan sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua warga Negara di Indonesia (Rachmadi Usman, 2006:245).

Menurut Racmadi Usman (2006:247) kandungan materi Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur persoalan- persoalan pokok yaitu:

1) Meletakkan kerangka dan prinsip dasar pengaturan perkawinan yang meliputi pengertian, tujuan dan dasar perkawinan, kesahan dan pencatatan perkawinan, serta asas monogami dan poligami sebagai pengecualian (syarat-syarat dan alasan berpoligami), diatur dalam Pasal 1-5;

2) Syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya dan pelaksanaan perkawinan, diatur dalam Pasal 6-12;

3) Mengatur perkawinan yang dapat dicegah, pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan, dan penolakan perkawinan pencatat perkawinan, diatur dalam Pasal 13-21;

4) Pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, tempat mengajukan pembatalan perkawinan, saat mulai berlakunya batalnya suatu perkawinan dan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap beberapa hal, diatur dalam Pasal 22-28;

5) Kemungkinan mengadakan perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilansungkan, diatur dalam Pasal 29;

commit to user

6) Mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga , diatur dalam Pasal 30-35;

7) Pengaturan mengenai harta bersama dan status penguasaan harta bawaan, tanggung jawab suami istri terhadap harta bersama maupun harta bawaan, dan pengaturan penyelesaian harta bersama bila perkawinan putus karena perceraian, diatur dalam Pasal 35-37;

8) Mengatur mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan, tempat mengajukan permohonan atau gugatan perceraian dan alasan-alasan perceraian, dan akibat-akibat hukumnya, diatur dalam Pasal 38-41; 9) Hal menyangkut pengerian anak sah dan anak tidak sah, hubungan

nasab anak serta hak suami untuk mengingkari sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, diatur dalam Pasal 42-44;

10) Hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dalam rumah tangga, kekuasaan orang tua terhadap anak, dan pencabutan kekuasaan orang tua, diatur dalam ada Pasal 45-49;

11) Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian anak, penunjukan wali, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab wali, dan pencabutan kekuasaan wali, diatur dalam Pasal 50-54;

12) Pembuktian dan penetapan asal usul seorang anak, diatur dalam Pasal 55;

13) Perkawinan di luar Indonesia, diatur dalam Pasal 56;

14) Pengertian perkawinan campuran, akibat hukum perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan suami dan istri, syarat-syarat perkawinan campuran, sanksi pelanggaran ketentuan perkawinan campuran dan kedudukan anak dalam perkawinan campuran, diatur dalam Pasal 57- 62;

15) Kewenangan pengadilan dalam hubungan dengan perkawinan, diatur dalam pasal 63;

16) Ketentuan yang berhubungan peralihan berlakunya Undang-Undang No 1 tahun 1974, yaitu pernyataan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No 1 tahun 1974 berlaku dan dijalankan

commit to user

menurut peraturan yang lama serta poligami yang dilakukan berdasarkan hukum lama manapun, diatur dalam Pasal 65;

17) Ketentuan pernyataan tidak berlakunya ketntuan-ketentuan hukum perkawinan yang lama dan pernyataan mulai berlakunya Undang- Undang No 1 Tahun 1974, diatur dalam Pasal 66-67.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal;

2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu;

3) Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan; 4) Perkawinan berasas monogami;

5) Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan;

6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun;

7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka siding pengadilan; 8) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang (Hilman Hadikusuma,

2003:6).

b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan di Indonesia

Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam titel buku IV Pasal 26 dan seterusnya. Setelah berlakunya Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beserta peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 perkawinan yang diatur dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagian besar sudah tidak berlaku lagi. Hal ini diatur pada Pasal 66 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Cristen Indonesiers St. 1993 Nomor 74), Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken

commit to user

St. 1898 Nomor 198), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dari dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku (Kussunaryatun, 2011:31).

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batn antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Mark Kammack menjelaskan ada dua tujuan dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :

1) Untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian dan perkawinan dibawah tangan;

2) Untuk menyeragamkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia sebagai bagian program persatuan Indonesia dibawah Ideologi Negara Pancasila (Baharuddin Ahmad 2008:51).

Legalitas perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan sahnya perkawinan yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan adalah sah, apabila dailakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) secara tegas dikatakan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan agama. Sedangkan pencatataan merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga Negara (Mudiarti Trisnaningsih 2007:55-56).

Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah pertalian yang sah antara laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan (Pasal 26 Burgerlijk Wetboek).

commit to user c. Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia

Di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah hukum waris adat, sedangkan jika pewaris termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Cina, berlaku hukum waris Barat. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam maka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing Arab atau India, maka berlaku hukum adat masing-masing penduduk Timur Asing Arab maupun India (Eman Suparman, 1991:7).

Dalam penulisan hukum ini, penulis akan meneliti tentang anak dengan proses bayi tabung sebagai ahli waris dalam perspektif hukum perdata sehingga pembahasan terfokus pada hukum waris berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia. Hukum waris ini merupakan bagian dari hukum perdata dimana menurut Salim HS dalam buku yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik (2006:212) bahwa:

Hukum Perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah- kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.

Menurut Idris Ramulya yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:1), bahwa:

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana kepengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

commit to user

Istilah waris sendiri berarti “orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal” (Eman Suparman, 1991:2). Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya (Effendi Perangin, 2005:3).

Definisi hukum waris menurut Pitlo yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:21):

Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai peminahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Kekayaan yang dimaksud dalam rumusan Pitlo adalah mengenai sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

1) ada seseorang yang meninggal dunia;

2) ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris (Eman Suparman, 1991:21).

Berdasarkan Pasal 830 disebutkan bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Terdapat dua cara untuk mendapat suatu pewarisan menurut Undang-Undang yaitu:

1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang);

2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat dalam Pasal 899).

Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang ahli waris mengenai anak sebagai ahli waris ab intestato atau ahli waris menurut Undang-Undang. Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas 4 (empat) golongan, yaitu:

commit to user 1) Golongan pertama

Ahli waris golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak. Ahli waris golongan pertama diatur dalam 852, 852 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mengenai anak hanya mengatur tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Tentang anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung.

2) Golongan kedua

Ahli waris golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu yang masih hidup, ayah atau ibu yang salah satunya telah meninggal dan saudara serta keturunan saudara. Ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856, dan 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Golongan ketiga

Ahli waris golongan ketiga terdiri atas kakek nenek garis ibu dan kakek nenek garis ayah. Menurut Pasal 853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri maupun saudara, maka harta warisan dikloving (dibagi dua), satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan satu bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis ibu lurus keatas.

4) Golongan keempat

Ahli waris golongan keempat terdiri atas sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat ketujuh karena penggantian tempat (Anisitus Amanat, 2001:7).

d. Tinjauan Umum tentang Anak

Dalam lingkungan hukum Perdata Indonesia, anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan yang terpenting dan yang utama.

commit to user

Menurut Dr. Wirjono dalam buku Hukum Waris di Indonesia yang dikutip oleh Soedharyo Soimin (2002:31) menyebutkan bahwa “oleh karena mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak”. Pengertian anak dalam tata hukum negara Indonesia antara lain:

1) Pasal 250 KUHPerdata

Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.

2) Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

3) Pasal 280 dan 862 KUHPerdata dan Pasal 43 Undang-Undang No. 1 tahun 1974)

Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Anak luar kawin berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Menurut sistem yang dianut Burgerlijk Wetboek dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tua. Setelah ada pengakuan, baru terbitlah suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibat dari pertalian kekeluargaan tersebut (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof Subekti yang dikutip oleh Soedharyo Soimin (2004:40).

Fenomena yang ada mengenai perkawinan bahwa adanya perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut hukum adat atau perkawinan-perkawinan yang tidak dicatat menurut ketentuan Undang- Undang Perkawinan. Dengan tidak dilangsungkannya perkawinan menurut ketentuan hukum yang berlaku mengakibatkan anak-anak

commit to user

yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut berstatus sebagai anak luar kawin.

Sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 280 dan 862) anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan orang tua yang mengakui dan hanya berhak mewaris dari orang tua yang mengakui tersebut. Sehingga sepanjang tidak terdapat pengakuan anak luar kawin oleh ayah dan atau ibu maka anak luar kawin tersebut tidak berhak mewaris dari orang tuanya.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 menentukan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu dari anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan maka seorang anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu dan juga berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibu.

Berkaitan dengan pengakuan anak luar kawin bahwa jika kedua orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari Kepala Negara. Dalam hal ini Presiden harus meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di hadapan Pencatatan Sipil dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut atau dalam akta perkawinan orang tua atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai Pencatatan Sipil bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris (Soedharyo Soimin, 2006 :40).

Ditinjau dari Hukum Perdata akan terlihat adanya tiga tingkatan status hukum dari anak di luar perkawinan yaitu:

a) Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu- bapak dari anak luar kawin itu;

b) Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tua dari anak luar kawin tersebut;

commit to user

c) Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tua melangsungkan perkawinan yang sah (Soedharyo Soimin, 2006:40-41).

Mengenai pengesahan anak luar kawin menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000: 188-189) adalah status upaya hukum (rechtmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai anak sah melalui perkawinna yang dilakukan orang tuanya. Pengesahan dapat dilakukan melalui perkawinan orang tua anak yang bersangkutan atau dengan surat-surat pengesahan berdasarkan pengakuan terlebih dahulu oleh orang tua yang bersangkutan. Pengesahan hanya dapat terjadi oleh:

a) Karena perkawinan orang tuanya (Pasal 272 BW);

Pasal 272 BW menyatakan anak-anak yang dibenihkan diluar perkawinan akan menjadi anak sah jika:

(1) Orang tua melangsungkan perkawinan;

(2) Sebelum orang tua melangsungkan perkawinan terlebih dahulu telah mengakui anaknya atau pengakuan tersebut dilakukan dalam akta perkawinan.

b) Adanya surat-surat pengesahan (Pasal 274 BW).

Pengesahan dengan surat-surat pengesahan dapat dilakukan karena dua hal yaitu:

(1) Jika orang tuanya lalai untuk mengakui anak-anaknya sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 274 BW); atau

(2) Jika terdapat masalah hubungan intergentil (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, 2000: 188-189).

e. Tinjauan Hukum tentang Bayi Tabung

Berdasarkan P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards dalam buku Birth After Reimplantation of Human Embryo yang dikutip oleh Salim HS (1993:6) bahwa:

commit to user

Proses bayi tabung pertama kali berhasil dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasangan suami istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istrinya, sehingga pada tanggal 25 Juli 1978 lahirlah bayi tabung yang pertama yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat badan 2.700 gram.

Momentum awal penemuan bayi tabung di Indonesia pada tanggal 2 Mei 1988 dengan lahirnya bayi tabung bernama Nugroho Karyanto, hasil dari pasangan suami istri Markus dan Chai Lian yang mana sperma dan ovum yang digunakan berasal dari Markus dan Chai Lian dan embrio ditanamkan kembali ke rahim istri. Anak bayi tabung Nugroho Karyanto merupakan hasil karya dari Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta (Salim HS, 1993:19).

Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pusat pelayanan program bayi tabung di Indonesia, maka jenis bayi tabung yang dikembangkan di RSAB Harapan Kita Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo adalah jeni bayi tabung yang sperma dan sel telurnya diambil dari pasangan suami istri yang sah dan embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang menanamkan benih tersebut. Hal demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekarang diberlakukan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Salim HS, 1993:19).

Menurut John David Gordon dan Michael DiMattina (2011:98) bahwa bayi tabung atau in vitro fertilization secara harfiah berarti “pembuahan telur dengan sperma dalam kaca” yang diterjemahkan menjadi pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium. Menurut Hanifa Wiknjosastro (1999:497), Fertilitas ialah kemampuan seorang istri untuk menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu menghasilkan istri. Fertilitas merupakan fungsi satu pasangan yang sanggup menjadikan kehamilan dan kelahiran anak hidup. Pada beberapa

commit to user

pasangan suami istri, ada yang mengalami berbagai macam faktor dan kelainan sistem reproduksi (infertilisasi) yang mungkin dimiliki sehingga pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilisasi dapat mengalami pencegahan atau hambatan untuk memiliki keturunan.

Teknologi reproduksi buatan atau program bayi tabung merupakan bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi. Teknologi reproduksi buatan dalam program bayi tabung digunakan untuk mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan. (http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi- reproduksi-buatan/> [29 November 2011 pukul 09:45 WIB]).

Berdasarkan Hanifa Wiknjosastro (1999:497), disebutkan bahwa infertilisasi memiliki dua jenis, yakni:

Disebut infertilisasi primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemunginan kehamilan selama 12 bulan. Infertilisasi sekunder terjadi apabila istri pernah amil, akan tetai kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.

Bayi tabung itu sendiri di dalam istilah kedokteran dikenal dengan Fertilisasi In Vitro atau In Vitro Fertilization. Menurut John David Gordon, Michael DiMattina (2011:98) bahwa “IVF secara harfiah berarti pembuahan telur dengan sperma kaca yang diterjemahkan jadi pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium”.

Di Indonesia, salah satu program bayi tabung juga dilakukan oleh pasangan Inul Daratista dan Adam. Pasangan suami istri Inul Daratista dan