• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Legalitas Anak Bayi Tabung sebagai Anak Sah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4. Konsep dan Legalitas Anak Bayi Tabung sebagai Anak Sah

Makin majunya masyarakat dan makin berkembangnya teknologi berakibat makin terlihatnya kepentingan hukum di dalam masyarakat luas. Di dalam hubungan hukum satu sama lain orang harus mengetahui kedudukan, hak, dan kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat (Soeroso, 2007:52). Menurut Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” yang dikutip oleh Soeroso (2007:58) bahwa teori hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai hal yang dikatakan adil dan yang tidak adil. Dalam teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang atas hal yang berhak diterima yang memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus.sehingga hukum harus membuat “Algemeene Regels” (peraturan atau ketentuan-ketentuan umum). Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian hukum. Terkait dengan kaidah hukum, bahwa adanya kaidah hukum diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan perorangan maupun umum sehingga terdapat tata tertib dalam masyarakat.

Munculnya penemuan baru di bidang kedokteran yaitu bayi tabung atau in vitro fertilization dengan kenyataan bahwa sampai pada saat ini

commit to user

belum ada pengaturan tentang kedudukan yuridis anak bayi tabung pada hukum positif di Indonesia. Akan tetapi hukum positif di Indonesia hanya mengatur mengenai kedudukan yuridis anak yang dilahirkan secara alamiah yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan masalah bayi tabung sendiri merupakan kepentingan manusia yang perlu mendapat perlindungan hukum (Salim HS, 1993:74). Hal demikian dikarenakan anak bayi tabung juga sebagai subjek hukum di Indonesia.

Perlu adanya suatu peraturan khusus tentang bayi tabung di Indonesia dalam rangka untuk mencapai kepastian hukum serta perlindungan hukum di Indonesia, khususnya mengenai hal yang menyangkut dengan kedudukan yuridis dari anak hasil bayi tabung di Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia berkaitan dengan anak hanya terdapat pengaturan tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Pengertian anak sah tertuang dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa “anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya”. Selain itu dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”.

Sedangkan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa “upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal”. Pengertian anak sah pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diperluas berdasarkan penafsiran secara luas ke dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa pengertian pasangan suami istri yang sah adalah pasangan suami istri yang

commit to user

dianggap perkawinannya sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Selain itu anak sah dapat diperluas dengan pengertian anak yang dihasilkan atas pembuahan sperma dan ovum dari suami istri memiliki status perkawinan sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perluasan pengertian anak sah dapat diartikan anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang sah baik secara alami dan anak yang lahir dengan proses bayi tabung (in vitro fertilization) berdasarkan Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dengan adanya salah satu unsur dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 bahwa kehamilan diluar cara alami hanya dapat dilaksanakan dari perkawinan yang sah. Sehingga syarat dilaksanakan program bayi tabung di Indonesia yaitu dengan menunjukkan akta perkawinan autentik dari pasangan suami istri baik akta perkawinan yang yang disahkan oleh Pegawai Catatan Sipil maupun oleh Kantor Urusan Agama. Akta perkawinan tersebut sebagai bukti bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan oleh pasangan suami istri tersebut adalah sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Sedangkan proses teknis dalam pelayanan teknologi bayi tabung dengan cara mengambil sperma dari suami dan ovum dari istri yang selanjutnya sperma akan diproses sehingga sel-sel sperma suami yang baik saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam tabung gelas di laboratorium. Sel-sel telur istri dan sel-sel telur suami yang sudah dipertemukan itu kemudian dibiakkan dalam lemari pengeram. Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel” (Salim HS, 1993:34). Setelah diproses dalam tabung gelas untuk laboratorium untuk proses fertilisasi maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah menjadi beberapa sel yang disebut dengan embrio. Embrio tersebut kemudian dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim istri 2 sampai 3 hari kemudian.

Pelayanan program pelayanan bayi tabung di Indonesia tetap berasal dari sperma suami dan ovum dari istri atas perkawinan yang sah

commit to user

untuk diadakan pembuahan. Selanjutnya embrio di letakkan pada rahim istri untuk proses kehamilan. Pelayanan program bayi tabung ada campur tangan dari teknologi dan tenaga ahli kedokteran yakni dalam hal membantu proses pembuahan saja. Untuk proses kehamilan tetap pada rahim istri. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari suami dan istri yang sah. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Problematika yang ada yaitu diperlukannya suatu perlindungan hukum mengenai kedudukan yuridis atas anak bayi tabung yang sampai pada saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang status dan kedudukan anak bayi tabung. Menilik dari pengertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”. Dari bunyi Pasal tersebut maka anak bayi tabung dapat dikategorikan ke dalam anak sah sebab telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

a. Anak sah;

b. Dilahirkan dalam perkawinan yang sah; atau

c. Dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan sah yang dibuktikan dengan akta perkawinan.

Anak bayi tabung telah memenuhi unsur “dilahirkan dalam perkawinan yang sah”. Saat proses pelayanan program bayi tabung salah satu syaratnya harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga pembuahan embrio yang dihasilkan berasal dari sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah, bukan dari donor. Sedangkan unsur “dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah” juga telah dapat terpenuhi atas anak bayi tabung. Kelahiran seorang anak ditujukan unutk meneruskan keturunan dari darah daging pasangan suami istri dari perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang

commit to user

Perkawinan dimana dalam Perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditujukan untuk mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia. Kehadiran anak dapat mewujudkan kebahagiaan dalam suatu keluarga. Sehingga kehadiran anak merupakan buah atau hasil dari suatu perkawinan yang sah. Dapat dikatakan bahwa anak sebagai akibat dari perkawinan yang sah yang mana sesuai dengan salah satu unsur dari ketentuan dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan sehingga memperoleh suami ibunya sebagai ayahnya”. Dalam hal ini berarti anak tersebut adalah anak sah dari ibu dan suami ibu dari anak tersebut sehingga untuk dapat disebut anak sah harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Dilahirkan;

b. Tumbuh sepanjang perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000:166).

Unsur atau syarat untuk dapat disebut sebagai anak sah ialah anak yang dilahirkan. Program pelayanan bayi tabung mengenai keberhasilannya untuk dapat terlahirkannya anak ialah sekitar 15%, sehingga apabila program pelayanan bayi tabung berhasil maka anak anak tersebut dapat dilahirkan setelah dikandung ibu dari anak tersebut atau pihak istri yang melaksanakan program pelayanan bayi tabung. Dengan demikian jika anak hasil dari program bayi tabung tersebut dapat terlahir di dunia maka telah memenuhi unsur yang pertama dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan unsur atau syarat untuk dapat dikatakan sebagai anak sah menurut Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah “tumbuh sepanjang perkawinan”. Anak bayi tabung merupakan anak yang tumbuh sepanjang perkawinan sebab anak bayi tabung yang berhasil dilahirkan tersebut tumbuh dalam perkawinan yang sah. Oleh karena di dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009

commit to user

tentang Kesehatan telah mengatur mengenai syarat yang boleh melakukan program pelayanan bayi tabung hanya pasangan suami istri yang sah menurut hukum perkawinan nasional di Indonesia yaitu sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga anak bayi tabung yang dilahirkan merupakan hasil dari perkawinan yang sah dan tumbuh sepanjang perkawinan dari pasangan suami istri yang sah. Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 251 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang ke-180 setelah perkawinan dilangsungkan maka sebagai suami boleh menyangkal keabsahan anak tersebut.

Masa kehamilan (zwangerschapsperiod) yang dianggap paling pendek yaitu 180 hari, sedangkan Pasal 255 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan dibubarkan, adalah tidak sah”. Menurut ilmu kedokteran sejak zaman Romawi masa kehamilan paling panjang adalah 300 hari sehingga logikanya anak tersebut ditumbuhkan setelah perkawinan bubar. Sehingga suami dianggap sebagai ayah sah dari anak- anak yang dilahirkan oleh istrinya diantara hari dilangsungkannya perkawinan sampai dengan hari ke-300 atau terhitung dari bubarnya perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000:166). Pengertian anak sah yang disebutkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang dilakukan secara alami antara pasangan suami istri dan pasangan suami istri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan intervensi manusia (dokter), misalnya dalam membantu pasangan suami istri yang mandul belum pernah terpikirkan oleh pembuat undang-undang (Salim HS, 1993:75).

Anak hasil bayi tabung memenuhi persyaratan dalam pengertian mengenai anak sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 meskipun dalam Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

commit to user

tidak menyebutkan kedudukan tentang anak sah dengan proses kehamilan di luar cara alami. Selain itu di dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang anak sah juga tidak mengatur mengenai kedudukan anak bayi tabung atau anak yang dilahirkan dengan proses kehamilan di luar cara alamiah. Menurut Rachmadi Usman (2006:347) pengertian anak yang sah ini hendaknya termasuk pula anak- anak yang dilahirkan dari hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri yang melangsungkan perkawinan secara sah dengan suaminya. Sehingga ketika pasangan suami istri yang sah secara hukum telah sepakat untuk melakukan progam bayi tabung yang mana dalam prosesnya tidak melibatkan pihak ketiga sebagai pendonor sperma atau tidak mengambil sperma dari bank sperma, kemudian tidak menyewa rahim orang lain, maka program bayi tabung telah sesuai dengan peraturan perundangan kesehatan yang ada di Indonesia. Dengan sesuainya penerapan program bayi tabung menurut Undang-Undang Kesehatan di Indonesia maka berarti program bayi tabung tersebut diperbolehkan dan sah untuk dipraktekkan menurut hukum positif di Indonesia.

Menurut Salim HS (1993:76) bahwa anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah kemudian embrionya ditransplantasikan ke rahim istri yang bersangkutan maka secara hukum dapat dikatakan sebagai anak sah. Oleh karena anak yang dilahirkan dengan bantuan teknologi bayi tabung itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sperma dan ovum berasal dari suami dan istri yang sah, serta yang mengandung dan melahirkan adalah istri dari suami yang bersangkutan. Sedangkan intervensi teknologi adalah semata-mata untuk membantu proses pembuahannya saja. Proses selanjutnya embrio yang dihasilkan tetap berada dalam rahim istri.

Berdasarkan pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Salim HS (1993:77) bahwa:

Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh

commit to user

bayi tabung dari pada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran). Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu menggantikan atau sama dengan anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak atas pendidikan, pemeliharaan dan pewarisan dari orangtuanya.

Pendapat serupa yang menyatakan bahwa anak bayi tabung dalam kadudukan hukumnya terkait dengan hokum waris di Inonesia merupakan anak sah juga dikemukakan oleh Aris Bintania (2008:155) pada definisi anak sah dari jurnal Hak dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga dan Setelah Terjadi Perceraian Volume VIII No. 2 bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari, perkawinan yang sah atau hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.

B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan menurut Kitab