• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 2 dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bawa Indonesia adalah Negara hukum sehingga segala tingkah laku yang dilakukan di Indonesia memiliki ketentuan hukum atau dasar hukum sebagai pedoman untuk berperilaku. Dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Benda.

Hukum waris merupakan satu peraturan-peraturan yang mengatur mengenai perpindahan harata kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris dari orang yang meninggal dunia atau pewaris

commit to user

tersebut yang mana asas dalam hukum waris bahwa yang berpindah di dalam suatu pewarisan adalah kekayaan dari pewaris (Satrio, 1992:9). Dalam suatu kehidupan seseorang pasti terjadi proses kelahiran dan juga proses kematian. Proses kelahiran dan kematian tersebut menuntut Negara untuk menciptakan peraturan atau ketentuan dalam rangka mengatur hal- hal yang berkaitan dengan kelahiran sampai pada kematian seseorang dalam suatu Negara. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kematian diatur dalam hukum waris.

Pengertian secara umum mengenai hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau keluarganya. Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena pada saat ini berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Hukum Waris Islam. Semua yang berhubungan dengan perkara warisan khususnya di Indonesia merupakan perkara perdata yang kompleksitas masalahnya sangat beragam di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan perkara waris merupakan perkara yang menyangkut hubungan antara pribadi yang satu dengan yang lain yang masing-masing bertindak sebagai ahli waris, yang mana semua itu berujung pada satu masalah yaitu pembagian harta warisan, yang seringkali menimbulkan perselisihan di dalam satu keluarga (Taufiq Tri Kustanto, 2007:1).

Sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengikut pada sistem keluarga inti dengan pembagian harta secara individual. Pokok-pokok kewarisan yang diatur dalam hukum perdata dapat dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal yang ditentukan yaitu:

a. Tidak seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima langsung harta peninggalan itu dalam keadaan yang tak terbagi;

commit to user

b. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan untuk melakukannya;

c. Namun dapat diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan;

d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima tahun, tetapi setelah tenggang waktu lewat, perjanjian itu dapat diperbaharui.

Berdasarkan pokok-pokok sistem hukum waris menurut Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa ketentuan hukum yang mengutamakan kepentingan perorangan atas harta warisan ini sering menimbulkan konflik diantara para ahli waris. Pada dasarnya semua harta peninggalan baik aktiva maupun pasiva berpindah kepada ahli warisnya. Para ahli waris sebelum dilakukan pembagian warisan dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga kemungkinan:

a. Menerima harta warisan secara penuh atau secara murni; b. Menerima harta warisan dengan syarat;

c. Menolak harta warisan (Satrio, 1992:359).

Asas yang terdapat dalam Pasal 836 dan 899 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa orang yang bertindak sebagai ahli waris, harus ada (sudah lahir) pada saat terbukanya warisan. Asas tersebut selanjutnya harus ditafsirkan bahwa orang yang akan mewaris selain daripada ahli waris telah ada (telah lahir) ahli waris pun harus masih ada (masih hidup) pada saat matinya pewaris. Oleh karena saat kematian dan kelahiran seseorang sangat penting dan bersifat sangat menentukan. Saat tersebut menentukan siapa saja yang berhak mewaris dan sejak kapan hak dan kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris. Disamping itu saat meninggalnya pewaris mempunyai pengaruh yang penting sekali berhubung dengan adanya ketentuan yang mana sesuai dengan Pasal 1083 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa tiap ahli waris setelah diadakan pembagian dan pemecahan warisan dianggap menerima langsung pada saat pewaris mati. Dengan demikian disini ada dikenal tindakan hukum yang berlaku surut (terugwerkende kracht). Ketentuan

commit to user

yang demikian itu berlaku pula bagi pembeli barang warisan menurut Pasal 1076 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Satrio. 1992:23).

Sedangkan asas hukum waris menurut Pasal 832 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pada asasnya bahwa untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Hubungan darah yang tak sah timbul sebagai akibat pengakuan anak secara sah. Mengenai syarat suatu perkawinan yang sah dan mengenai keturunan luar kawin diatur dalam Hukum Keluarga (Satrio. 1992:29). Selain anak sah, anak luar kawin, serta anak luar kawin yang diakui, terdapat pula fenomena pengangkatan anak, adopsi anak, serta memperoleh anak dengan teknis anak bayi tabung.

Mengenai anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1). Sehingga anak tersebut dianggap sebagai anak orang tua biologisnya. Demikian pula hubungan perdata antara orang tua biologis dan sanak keluarganya di satu pihak, dengan anak tersebut di lain pihak menjadi putus sesuai dama Pasal 14. Bilamana anak adoptif tersebut mempunyai nama keluarga lain maka karena hukum memperoleh nama keluarga ayah adoptifnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 11. Jika seseorang duda mengadopsi seorang anak setelah perkawinannya putus maka anak itu dianggap dilahirkan dari perkawinan duda tersebut yang terputus karena kematian istrinya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1998:112-113).

Ditinjau dari segi biologis setiap orang pasti mempunyai ayah dan ibu. Ibu dari anak tersebut adalah wanita yang melahirkan, sedangkan ayahnya ialah yang membenihkan dia atau dalam hal inseminasi buatan (konjugatige inseminatie) dengan benih/sperma dan ovum siapa anak itu dibenihkan. Apabila seorang anak mempunyai ayah dan ibu yuridis, maka

commit to user

terdapat hubungan hukum kekeluargaan terhadap ayah dan ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan ini dapat menunjukkan gradasi yang berbeda-beda. Hubungan yang paling kuat ialah antara anak yang sah terhadap orang tua dari anak itu, misalnya seorang anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tuanya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1998:103). Anak mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga, terlebih dalam hal pewarisan yang terkait dengan ahli waris oleh karena anak merupakan keturunan langsung dari orangtuanya dan sebagai ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi ada pula anak yang tidak dapat menjadi ahli waris menurut ketentuan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Dalam pembahasan sebelumnya pada penulisan hukum ini, anak bayi tabung dikategorikan ke dalam anak sah sehingga pewarisan dari anak bayi tabung tersebut sama dengan anak sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga anak bsaayi tabung mempunyai status, kedudukan hukum, hak, serta kewajiban yang sama dengan anak sah. Dengan demikian dalam sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termasuk dalam ahli waris pada golongan pertama.

2. Penggolongan Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata