• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG

B. Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

terkait Perlindungan Konsumen

1. Menurut asas lex specialis derogate lex generalis

Asas lex specialis derogate lex generalis secara umum dapat diartikan

sebagai undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih

umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.150

Menurut asas lex specialis derogate lex generalis, UU Perlindungan

Konsumen sebagai lex generalis dan UU OJK sebagai lex specialis dalam hal

150

pengaturan perlindungan konsumen. Kedudukan UU Perlindungan Konsumen

terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen ditinjau dari asas lex specialis

derogate lex generalis menempatkan UU Perlindungan Konsumen sebagai landasan, acuan, dan dasar dalam pengaturan perlindungan konsumen terhadap peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia (kecuali UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dengan demikian, UU OJK harus merujuk ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen jika mengatur ketentuan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.

Rumusan ini diperkuat dengan ketentuan yang dipertegas dalam Penjelasan

Umum UU Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:151

Asas ini menempatkan kedudukan UU OJK yang kuat dalam pengaturan dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Namun, antara UU Perlindungan Konsumen dan UU OJK masih terdapat kontradiksi makna terkait batasan konsumen, dimana UU Perlindungan hanya mengenal konsumen akhir dan menegaskan bahwa konsumen yang dimaksud adalah orang yang “tidak memperdagangkan kembali” barang dan/atau jasa yang diperolehnya. Sedangkan UU OJK tidak hanya mengenal konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara, yaitu dengan dimasukkannya Pemodal di Pasar Modal, dimana konsumen ini

"Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, undang-undang tentang perlindungan konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.

151

sangat erat kaitannya dengan komersialisasi/jual beli barang dan/jasa yang diperolehnya.

Pertentangan batasan konsumen dalam dua undang-undang ini

menimbulkan kontradiksi jika menggunakan asas lex specialis derogate lex

generalis. Artinya kekhususan UU OJK jika dilihat dari kacamata asas ini kurang kuat. UU Perlindungan Konsumen sebagai undang-undang yang umum mengatur perlindungan konsumen seharusnya menjadi acuan UU OJK sebagai undang-undang yang khusus mengatur perlindungan konsumen di bidang sektor jasa keuangan. Kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen seharusnya menjadi landasan, acuan atau dasar pengaturan, yang mana hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan UU Perlindungan Konsumen sebagai

umbrella act dalam pengaturan perlindungan konsumen.

2. Menurut asas lex posterior derogate lex priori

Undang-undang dalam konteks ilmu perundang-undangan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, undang-undang ini menempati jenjang tersendiri, yang tidak mengenal adanya pembagian lagi. Artinya, tidak ada undang-undang yang lebih tinggi daripada undang-undang lain.

Memang ada undang-undang tertentu yang menjadi umbrella act, yang secara

salah kaprah lazim disebut dengan “undang-undang pokok”. Kedudukan umbrella

act tersebut tidaklah lebih tinggi daripada undang-undang yang memuat materi

menutup kemungkinan terjadinya kontradiksi antara undang-undang pokok dengan undang-undang sektoralnya.

Prof. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Shidarta S.H., M.Hum.,

mengemukakan bahwa apabila terjadi kontradiksi antara umbrella act dengan

undang-undang yang lebih sektoral, maka berlakulah asas hukum lex posterior

derogate lex priori (undang-undang yang lebih belakangan akan

mengenyampingkan undang-undang yang lebih terdahulu).152

Pengertian mengenai asas ini jika dikaitkan dengan pandangan Prof. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Shidarta S.H., M.Hum., memperlihatkan bahwa pengenyampingan atau pembatalan undang yang lama oleh undang-undang yang baru jika makna atau tujuannya bertentangan.

Secara umum, asas ini berarti undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang yang berlaku terdahulu. Maksudnya, undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) dimana diatur suatu hal tertentu tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut.

153

Merujuk pendapat di atas, maka UU Perlindungan Konsumen tidak berlaku atau dikesampingkan oleh UU OJK terkait perlindungan konsumen sektor jasa

keuangan karena UU Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act bertentangan

dengan undang-undang sektoralnya. Dengan demikian, permasalahan batasan

152

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.Cit., hlm. 78. 153

konsumen antara UU Perlindungan Konsumen dengan UU OJK lebih tepat

diselesaikan dengan asas lex posterior derogate lex priori.

Kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait

perlindungan konsumen ditinjau dari asas lex posterior derogate lex priori

menempatkan UU Perlindungan Konsumen bukan sebagai landasan, dasar, dan acuan terhadap UU OJK terkait perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, meskipun ditegaskan dalam Penjelasan UU Perlindungan Konsumen, bahwa UU

Perlindungan Konsumen sebagai umbrella act. Batasan konsumen dalam UU

Perlindungan Konsumen menjadi aturan yang tidak berlaku terhadap konsumen pada sektor jasa keuangan karena telah dikesampingkan dan dibatalkan oleh UU

OJK menurut asas lex posterior derogate lex priori. Dengan demikian,

permasalahan batasan konsumen terkait “tidak untuk diperdagangkan kembali” dalam UU Perlindungan Konsumen dan “pemodal di pasar modal” dalam UU

OJK dapat diselesaikan dengan asas lex posterior derogate lex priori dan

pemodal di pasar modal tetap diakui keberadaannya dan mendapatkan perlindungan hukum yang kuat.

C. Hubungan Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Dokumen terkait